Monday 16 February 2009

YAH, JANGAN BIARKAN TAMAN KITA GERSANG!

0 comments

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada ALLAH. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-NYA, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.S Al-Isra’:44)


Bila kita

Tak segan mendaki

Lebih jauh lagi

Kita akan segera rasakan

Betapa bersahabatnya alam

Setiap sudut seperti menyapa

Bahkan teramat akrab

Seperti kita turut membangun

Seperti kita yang merencanakan…. (SENANDUNG PUCUK-PUCUK PINUS:EBIET G. ADE)


Sungguh menyenangkan menikmati jagung bakar sambil duduk di sini. Apalagi sore ini tak terlalu banyak orang yang berlalu lalang. Kulepas pandangan mengitari sekeliling telaga, mencari tempat yang agak lapang untuk sholat subuh dan muhasabah besok pagi. Tak terlalu sulit mencari tempat yang nyaman untuk menggelar beberapa lembar tikar. Kemarau telah menyebabkan air telaga surut. Tak heran bila air tak benar-benar sampai ke tepi.

“Pak, biasanya kalau pagi tempat ini sudah ramai?” Mbak Yessi yang duduk di sampingku membuka dialog dengan seorang bapak yang menunggu penumpang kapal ‘bebek’nya.

“Seumpama dipakai sholat subuh, boleh?” tambahku

“Oh, boleh-boleh saja. Masih sepi, kok, Mbak.” Jawab bapak itu sambil membenahi letak topi lapangan yang menempel di kepalanya.

“Ya udah, De’, di sini aja, ya sholat subuh dan muhasabahnya. Biar terasa menyatu dengan alam.”

Aku segera mengiyakan.

“Senja yang indah. Sarangan penuh kenangan, Mbak!”

“Sudah terlalu sering ke sini, ya, Dek?”

“Dulu ke sini pas perpisahan dengan teman-teman SMA. Trus ndampingi rihlah teman-teman Keputrian Tama*.”

Aku mulai merasa deburan di hatiku muncul berirama. Pelan beraturan. Romantisme kenangan itu tiba-tiba hadir. Mungkin benar bahwa masa SMA adalah masa yang paling indah meskipun sudut pandang kami--aku dan teman-teman rohis-- dalam menilai keindahan berbeda dengan sebagian besar penduduk bumi, terkhusus teman-teman SMA. Namun kami tetap melukis indah kisah pelangi dan menyimpannya di laci-laci ingatan yang tersembunyi.

“Dek, gimana kabar teman-teman Solo?”

“Alhamdulillah, baik kecuali yang tidak, Mbak.”

“Masih pada sibuk?”

“Ya, begitulah…”

Mbak Yessi tersenyum penuh arti. Semua bisa dimakluminya. Rata-rata teman-seangkatanku memang aktivis yang menduduki jabatan strategis, baik di LDK, BEM, maupun organisasi mahasiswa ekstra kampus. Susah untuk disuruh pulang meski hanya sebentar. Jadi kalau adik-adik SMA ada acara yang membutuhkan kehadiran alumni belum tentu teman-teman Solo bisa pulang meskipun kalau dikalkulasi jarak Solo paling dekat. Biaya transportasi ke Ngawi pun lebih murah dibandingkan dengan teman-teman yang kuliah di Surabaya, Malang, Jogja, Bogor, Bandung, dan Jakarta. Namun selalu saja ada agenda yang tak bisa ditinggalkan; dauroh, seminar, training, talk show, dan semua agenda yang berlabel ‘wajib hadir’, entah posisi mereka sebagai SC maupun OC.

“Dek, kembali ke villa, yuk! Sepertinya sebentar lagi maghrib.”

Aku segera bangkit mengikuti Mbak Yessi setelah menyelesaikan pipilan terakhir dari jagung bakar dan membuang tongkolnya di tepi jalan. Tenang! Sepertinya tepi jalan itu memang biasa digunakan untuk membakar sampah-sampah. Ya, semoga bukan sebuah apologi untuk membenarkan tindakan membuang sampah seenaknya. Percaya, deh!

Perjalanan ke villa kami lalui dengan bertukar info, saling bercerita tentang alumni SMA yang sebagian sudah lulus dan menikah. Menikah? Aku jadi teringat dua sosok laki-laki gagah. Nuansa Sarangan yang khas dengan keindahan alam dan obrolan tentang pernikahan membuatku merasa tiba-tiba kehadiran mereka begitu dekat.

ﺏﻱﺖ


SUBHANALLAH! Hanya untaian tasbih yang tak henti-hentinya mewakili perasaan takjubku malam ini. Udara dingin di Sarangan benar-benar membuat tubuhku menggigil. Bibirku membiru dan susah sekali untuk bersuara. Terlalu berlebihan mungkin. Padahal aku harus menemani adik-adik SMA diskusi sampai jam sepuluh malam.

Dingin khas pegunungan inilah yang membuat para ABG itu bersemangat untuk perlahan-lahan memejamkan mata. Mau tak mau mereka harus dirangsang dengan beberapa games agar kembali bersemangat. Ternyata volume suaraku benar-benar tak bisa mencukupi. Sudah lama sekali aku tidak menghadapi anak-anak SMA. Rasanya nggak bisa optimal. Apalagi delapan puluhan remaja yang ada di hadapanku hampir semuanya bersuara. Hmh.., sudah ngantuk masih juga ramai. Akhirnya Mbak Yessi pula yang turun tangan. Mantan KAMMI-er UGM itu yang menggantikanku memberikan games sebagai pengantar diskusi yang bertema khas remaja: cintrong. Bahasa yang digunakan tidak mengalami perubahan Vi eM Ji alias Virus Merah Jambu meskipun sebenarnya aku tidak pernah sepakat kalau cinta dimasukkan sebagai virus. Bagaimanapun cinta adalah fitrah manusia. Kalau rasa itu sudah tidak menempati ruang yang seharusnya, barulah diperlukan penanganan khusus. Sebuah terapi yang sekali lagi bukan untuk membunuhnya tapi ‘sekedar’ mengendalikannya. Jadi ia bukanlah virus yang harus dibunuh.

Cinta! Berbicara tentangnya memang selalu menarik. Seperti apapun memaknainya senantiasa menghadirkan romantisme kenangan. Dan kali ini aku terkenang dengan dua sosok laki-laki gagah: ayah dan mas. Apa kabar kalian? Bunda pasti juga merindukan kalian.

Sudah! Cobalah kau tepis dulu gejolak rindu itu. Sekarang bukan saat yang tepat untukmu menghadirkan mereka dalam monologmu meskipun hanya kau yang tau. Sebuah suara memenuhi batinku. Mau tak mau aku pun kembali berkonsentrasi mengawasi diskusi yang dibagi dalam beberapa kelompok kecil.

Durasi waktu memang dibatasi sampai jam setengah sepuluh. Artinya masih tersisa waktu tiga puluh menit untuk melanjutkan sesi diskusi kedua. Kelas X kembali dibagi menjadi beberapa kelompok. Mereka akan berdiskusi dengan tema ‘How to be a nice person ?’. Sedangkan kelas XI yang sebentar lagi akan menjadi inti penggerak Tama segera kugiring ke sebuah ruangan di villa bagian belakang. Sesuai permintaan panitia, aku mengajak mereka untuk sharing dari hati ke hati. Menyelesaikan ‘konflik’ dan ketegangan ukhuwwah yang tengah terjadi.

Memanfaatkan momentum tafakkur alam (TA), sebenarnya ada beberapa anologi yang bisa kuambil sebagai prolog untuk memancing mereka agar mau berterus terang tentang hal yang selama ini masih menjadi ganjalan. Aku mendapat bocoran dari kelas XII bahwa komunikasi antara adik-adik kelas XI masih belum beres. Mereka masih punya masalah interpersonal.

“Bukankah orang-orang yang beriman seperti halnya satu organ ; jika kepalanya sakit, maka seluruh tubuhnya merasa demam dan tidak bisa tidur. Mbak harap forum ini adalah saat yang tepat untuk kita saling jujur dan berterus terang. Bila masih ada yang kecewa, bila masih ada yang kesal dengan saudaranya tolong segera disampaikan. Jangan sampai masalah seperti itu menjadi penghambat dakwah. Ingat, nahnu du’at qoblla kulli syaiin; kita adalah da’i sebelum yang lain. Dakwah yang berat ini tidak mungkin mampu kita usung seorang diri.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja. Nahnu du’at qobla kulli sya’iin adalah statement yang harus kumamah kembali. Karena ternyata seringkali aku lupa dengan apa yang dulu pernah kuikrarkan.

Ruangan masih hening. Belum ada yang mau memulai. Kulihat mata-mata yang semakin mengantuk. Mbak Yessi yang duduk di sebelahku jadi gemes. Lantas dicobanya memancing adik-adik untuk bersuara.

ﺏﻱﺖ


Sebelum adzan Subuh berkumandang delapan tikar berukuran besar telah digelar. Adik-adik sudah siap untuk sholat. Mereka telah memakai mukena. Jadilah pemandangan tepi telaga penuh dengan nuansa putih.

Usai salam, kususun jemariku. Kucoba membawa bening telaga dan memindahkannya ke hatiku. RABBI! Kueja satu nama penuh harap dan cemas. Bilakah segenggam do’a yang kupinta akan terkabul. Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkan diri ini dalam dien-Mu!

“Sekarang masing-masing kelompok harap memisahkan diri. Kita akan melakukan muhasabah,” sebuah intruksi dari sie acara segera mendapat respon. Delapan puluhan gadis SMA itu segera menuju kelompoknya masing-masing. Ada empat kelompok yang terbentuk, menyesuaikan jumlah alumni yang ada; aku, Mbak Yessi, Bu Is dan Fahria.

Sebenarnya aku tak punya persiapan sama sekali. Baru kemarin malam ada SMS yang memberi tahu bahwa alumni diminta mengisi acara malam hari dan muhasabah.

“Temanya terserah, mbak. Yang penting kita bisa mengambil pelajaran dari alam dan mencoba menyatu dengannya.” Begitulah kurang lebih jawaban yang diberikan panitia saat kutanya.

Lagi-lagi kembali meluncurlah kata-kata yang harusnya kumamah lebih dulu. Aku takut sekali menjadi kaburo maqtan yang hanya bisa berkata-kata tapi tak bisa mengamalkannya. Bismillah... aku pun segera mengajak mereka untuk men-tafakkuri segala keindahan yang ada di sekitar telaga.

“Bersyukur pada ALLAH atas segala nikmat yang tiada pernah bertepi. Nikmat penglihatan, pendengaran dan hati, serta segala yang kita tidak pernah sanggup untuk menghitungnya. Dengan mata ini kita bisa belajar banyak hal. Coba lihat sekeliling kita. Banyak sekali ayat-ayat ALLAH yang ada di alam semesta. Dengan telinga yang sehat, kita bisa mendengar syahdunya adzan, panggilan untuk kita bersegera menghadap ALLAH. Sekarang kita juga bisa mendengar suara-suara alam di tepi telaga ini. Bila saja kita mengerti bahasa alam, mungkin kita akan sangat malu.

Mari kita buka Al-Quran. Dalam sebuah ayat disebutkan bahwa kepunyaan ALLAH segala tentara langit dan bumi dan adalah ALLAH Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana**. Coba lihat di depan kita. Ada gunung yang tinggi tinggi menjulang. Kita tak cukup takjub dengan keindahannya namun kita pun mesti mengerti bahwa gunung adalah salah satu tentara ALLAH yang selalu siap diperintah. Bisakah kita mengambil pelajaran dari fenomena ini. Gunung saja takut pada ALLAH. Kalau tidak percaya, marilah kita belajar dari peristiwa gunung merapi? Kalau kita mampu mengerti, sebenarnya gunung itu berbicara dan mengajari kita untuk tunduk pada perintah ALLAH.

Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada ALLAH. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.*** Begitulah firman ALLAH dalam salah satu ayat kauliyah-NYA. Sekarang sudah saatnya kita mengerti bahasa alam. Yakinlah bahwa gelombang tsunami, gempa tektonik, banjir, dan fenomena yang akhir-akhir ini terjadi bukan semata-mata musibah. Tapi itu adalah peringatan bagi diri kita untuk mengevalusi segala yang telah kita lakukan. Segala telah terjadi merupakan teguran bisa juga ujian. Gempa tektonik di Bantul adalah salah satu indikasi bahwa laut nggak mau diajak untuk syirik. Meskipun Mbah Marijan dan teman-temannya telah mengadakan larung untuk menolak bala, tetap saja terjadi gempa.”

Dalam jeda bicara kulafadzkan istghfar dalam-dalam. Kupancing mereka untuk menyebutkan fenomena alam dan mengambil pelajaran darinya. Ya ALLAH, izinkan kumamah kata-kata itu sebelum mencernanya kembali!

ﺏﻱﺖ


“Siapa kalian?”

“Mujahidah Tama?”

“Mau apa kalian?”

“Bersenang-senang....”

What? Aku menelan ludah. Para mujahidah hendak bersenang-senang. Yang benar saja? Mau tak mau aku pun menahan geli. Ada-ada saja Fahria itu. Gadis cantik berkacamata, yang pernah menyabet medali perunggu dalam olimpiade nasional mata pelajaran biologi, itu kuakui memang kaya ide dan mampu menyesuaikan diri. Darah SMAnya masih kental, maklum baru beberapa bulan lulus. Gadis yang baru saja bersatatus sebagai mahasiswa ITB itu memaksakan diri pulang ke Ngawi ‘hanya’ untuk menemani adik-adik SMA bertafakkur alam. Ya, mumpung belum jadi sibuker seperti teman-teman kampus yang lain. Sabtu siang sampai di SMA dan Ahad malam ia harus kembali ke Bandung lagi. Bolehlah mantan wakil presiden OSIS ini kuacungi jempol.

“Mbak ada yang kambuh asmanya, ” Sebuah suara menyiratkan cemas. Kusudahi dulu pengamatanku pada Fahria.

Aku segera bergegas menuju pos akhir yang ada di atas bukit, mengikuti seorang panitia. Astaghfirullah! What should I do? Sudah lama aku nggak menangani penderita asma.

Bersama beberapa panitia, aku membopong Bunga ke tempat yang agak panas. Udara Sarangan yang dingin ini mungkin adalah salah satu faktor pemacu kambuhnya Bunga.

“Bunga dah lama nggak kambuh jadi nggak bawa obat. Tapi dah ada yang turun ke villa ngambil obat, kok, Mbak.”

Kemarau ternyata tak hanya menyebabkan air telaga surut tetapi juga tanah merah di perbukitan ini menjadi kering. Akibatnya begitu tersentuh oleh kaki-kaki lincah para ABG, debu-debu pun menyapa. Aku saja merasa tidak nyaman tiap kali menginjak tanah merah yang kering, apalagi Bunga. Gadis belia ini tidak sekedar sensitif dengan debu tapi mungkin sangat alergi.

“Allahu Akbar… Allahu akbar!” gema takbir penuh semangat terdengar jelas. Rupanya basecamp anak-anak putra tidak jauh dari sini. Tadi malam mereka juga tidur di perbukitan ini dengan tenda-tenda yang didirikan sebelumnya.

“Ada yang sakit, ya?” munculah Pak Wardi, guru Biologi sekaligus pembina rohis, dari arah suara takbir itu.

“Ya, Pak. Asma. O, ya Pak, di ikhwan ada tikar? Boleh pinjam?”

“Sebentar saya ambilkan.”

Tak lama berselang Pak Wardi membawa selembar tikar berukuran besar. Aku segera menggelarnya dan membantu Bunga untuk merebahkan diri di tikar itu. Kutunggui gadis itu, sementara alumni dan panitia yang lain menjaga pos-pos permainan yang harus dilewati para peserta TA. Setelah minum obat yang dibawakan temannya, Bunga mencoba merebahkan diri. Nafasnya tersengal-sengal. Kuusap pelan dan kuluruskan jari-jari tangannya agar tidak kaku.

Perlahan-lahan kondisinya membaik. Namun ia masih terlalu lemah untuk bergabung dengan teman-temannya. Jadilah aku menungguinya sampai kondisinya benar-benar pulih.

“Rumahnya di mana, Dek?”

Spontan pertanyaan klise itu keluar dari bibirku. Pertanyaan yang salah karena kata ganti –nya seharusnya digunakan untuk menggantikan orang ketiga bukan orang kedua. Namun petanyaan itu sudah sering kutujukan pada teman seperjalanan di bus jurusan Surabaya-Jogja.

“Sidolaju, Mbak.”

“Sidolaju?”

Gadis itu mengiyakan. Nama desa yang tidak asing bagiku. Bagaimana mungkin aku tidak akrab dengan nama desa itu. Ya! Masa kecil kuhabiskan di sana. Namun kini aku sudah semakin jarang untuk berkunjung. Ya, sejak ayah memutuskan menetap di sana tanpa ibu, mas dan aku.

Bunga memejamkan mata. Seolah ia memberiku kesempatan untuk kembali bermonolog seorang diri. Betapa romantisme kenangan masa kecilku kini terlihat jelas. Perlahan wajah ayah, mas, dan bunda hadir memenuhi ruang rasa. Sungguh, ternyata kebersamaan itu begitu mahal harganya. Ya ALLAH, bilakah KAU izinkan kami kembali berkumpul dalam pertemuan yang indah di surga-MU kelak?

Pohon-pohon pinus di sini menjadi saksi, sebentuk doa yang murni kini kembali kupinta. Segenggam harap untuk ayah.

Ayah, aku ingin kita kembali menyatu dengan alam. Dan belajar melihat keindahannya yang sungguh proporsional, belajar mendengar dzikir pada-NYA yang tiada henti, dan merasakan dengan hati bahwa segalanya tunduk pada-NYA.

Taman di rumah mulai tidak terawat. Bonsai-bonsai sudah tidak rapi lagi, rumput jepang yang biasanya hijau sudah benar-benar kering, yang tersisa dan masih tetap terlihat manis hanyalah bunga soka, yang lain sudah tidak mencerminkan keharmonisan seperti halnya yang terjadi pada kita. Ternyata keindahan taman di runah semakin berkurang tanpa sentuhan tangan-tangan yang berjiwa seni. Bagaimana pula hati? Perlu seni tersendiri untuk menjaga agar kondisinya sehat.

Ayah, jangan biarkan taman rumah kita gersang, jangan biarkan kolam ikan kita kering. Kembalilah! Jangan biarkan taman hati kita mati. Kuingin seperti dulu, mencari bibit bonsai di hutan, menjala ikan di kali, dan menikmati indah kicau burung di alam bebas.

Tanpa sadar kunyanyikan ‘Senandung Pucuk-Pucuk Pinus’ milik Ebiet G. Ade yang dulu kerap menghiasi hari-hari kami dirumah. Sungguh! Ternyata aku memang harus mengerti bahwa bersahabat dengan alam dalam ikatan iman memberi banyak manfaat.**** Ternyata sudah sejak awal alam berbicara. Mungkin kita mesti memperlebar telinga agar mengerti bahwa alam mulai berteriak; mengabarkan kita bahwa ia masih tetap tentara ALLAH.

“Mbak sudah mau selesai. Upacara penutup akan dilakukan bareng ikhwan.”

Sebuah suara membisik di telinga. Untuk sementara segera kusudahi monologku. Kulihat Bunga sudah semakin membaik. Ia pun segera bangkit. Sungguh, menunggui gadis Sidolaju ini mengingatkanku pada ayah.

Yah, jangan biarkan taman kita gersang! Agar kita selalu melihat keindahan, mendengar tasbihnya, dan merasakan betapa kita bukan apa-apa karena kebesaran hanyalah milik ALLAH!

“Mbak, afwan Bunga belum kuat jalan.”

“Ya udah kita bareng mobil yang ngangkut barang-barang ikhwan aja. Berani nunggu mobil itu dengan Dek Nana di sini?”

Nggak berani, Mbak.”

Akhirnya aku menemani Bunga dan Nana sampai mobil yang akan memuat tenda dan perkap yang digunakan oleh adik-adik putra lewat. Kunikmati penantian dengan menikmati keindahan yang ada sambil mengagungkan-NYA di setiap kata. Sungguh Maha Besar ALLAH dengan segala ciptaan-NYA.

“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan serta pohon-pohon keduanya tunduk menghamba kepada-NYA.” (Q. S Ar-Rahman:5-6)

ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ


Jalur Gaza, Ar-Royyan Putri I, 8 Oktober 2006:23.39 (kenangan atas TA 26-27 Agustus)

De’, af1 namanu kuganti menjadi Bunga soalnya mbak lupa!

Untuk Bunda di rumah: Laa tahzan atas kepergian Mas Anton! Maafkan ade’ blm bisa mewujudkan harapanmu!

* Tama : Ta’mir Musholla Ash-Sholihin (Rohis SMAN 2 NGAWI)

** Q.S Al-Fath:4

*** Q.S Al-Hasyr:21

**** kata-kata di Majalah Tarbawi Edisi 30 Th. 3

0 comments:

Post a Comment