Thursday 26 February 2009

RINDU DAMAI SENYUMMU, BUNDA !

0 comments

SELEPAS membaca Al-Matsurat bersama teman-teman sepondok, aku segera kembali ke kamar. Adzan Isya’ sepertinya masih beberapa menit lagi. Kuraih mushaf yang ada di meja kecilku. Masih ada waktu untuk tilawah barang satu dua lembar.

Baru dua ayat yang kubaca, terdengar SMS masuk ke ‘kotak unyil’ yang lupa ku-non-aktifkan. Meski sedikit malas, kubuka SMS itu. Siapa tahu memang penting.


Assmlkm. M’Ita, bsk ba’da Ashar syuro’ di masjid kampus. Mbk, anti stiap minggu plg da acr, ya? Usul:bgmn jk bsk tdk plg, mndampingi adik2? Sampun diSMS U’Wati, tho? Fahma

Entah sudah berapa kali kuterima permintaan yang sama. Permintaan agar akhir pekan aku tidak pulang. Kali ini giliran Fahma, mahasiswa semester empat yang jadi koordinator majalah ‘English Sisters’ yang memintaku mendampingi mereka syuro’. Di pekan-pekan sebelumnya permintaan yang sama tak sekali dua kali ditujukan padaku.

“Tak selalu kita mesti mengatakan pada orang lain apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.” tegas Mbak Ais ketika aku mengeluhkan protes beberapa orang akan kepulanganku tiap Sabtu sore.
Segera kuhapus SMS dari Fahma tanpa membalasnya. Pulsaku sudah habis sejak tadi pagi. Belum ada anggaran untuk mengisi.

Kemarin juga ada telepon yang minta kesediaanku untuk rapat di malam hari.

“Sudah ana tegaskan: ana nggak bisa mabit malam Ahad.”

“Anti selalu pulang? Kenapa?”

“Ada alasan.”

“Ya sudah.”

Akhirnya menyerah juga. Aku pun segera menutup gagang telepon. Dalam hati aku merasa bersalah namun bukankah setiap orang bebas menentukan apa yang terbaik menurutnya. Begitu pun aku.
Aku sudah berjanji untuk selalu pulang, minimal sepekan sekali. Tak ada yang bisa menghalangiku kecuali ada agenda yang menuntut tanggungjawab penuhku. Kukira syuro’ atau rapat tanpaku tetap bisa berjalan.
☺


“Bunda nggak masak apa-apa. Adanya cuma soto ayam dari warung.”

“Ah, Bunda! Selalu begitu! Nggak pa-pa, kok. Tenang aja.”

Kutatap sekilas wajah perempuan yang telah melahirkanku. Kutemukan gurat kelelahan di sana. Ya, bahkan masih kujumpai kesedihan yang belum juga hilang.

“Ita, Bunda sudah lupa untuk memasakkan makanan kesukaanmu.” Ujarnya penuh rasa bersalah.

“Sudahlah, Bunda. Tsabita tak pernah mempermasalahkan tentang makanan yang kita makan.”

“Syukurlah kalau begitu. Bunda ke depan dulu, ya!”

Bunda, perempuan yang baru menginjak usia 45 tahun itu, segera meninggalkanku. Tiap sore beliau selalu meluangkan waktunya untuk menyirami bunga-bunga, bonsai, dan rumput di taman depan bila hujan tidak turun. Sudah setahun lebih Bunda melakukan rutinitas itu, terhitung sejak ayah pergi meninggalkan kami dan menikah dengan perempuan lain.

“Dik, jaga Bunda baik-baik, ya!”

Selalu terngiang di telinga pesan dari Mas Ikhlas, kakak semata wayangku, sebelum merantau ke Kalimantan.

“Mas, aku juga seorang perempuan.” jawabku waktu itu.

“Aku mengerti perasaannya dan pasti akan menjaganya. Memastikan beliau baik-baik saja.”

“Janji pulang tiap pekan, ya!”

“Insya Allah.”

Begitulah! Mulai saat itu aku pulang ke rumah tiap pekan untuk memastikan kondisi bunda baik-baik saja. Minimal Bunda tidak sakit dan masih melakukan rutinitas seperti biasa.
☺


Rintik-rintik air hujan
jatuh ke bumi membawa rizki
hilangkan dahaga ini
hapus semua keluh kesah kita*


Gerimis kecil mulai berjatuhan. Segera kupercepat langkahku menuju pondok sederhana, tempatku melepas penat setelah seharian beraktivitas. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai.

“Assalamu’alaikum.” Ucapku riang sesampai di depan pintu.

“Wa’alaikumussalaam… Wah, kehujanan, ya Mbak? Ada yang bisa dibantu?”

Suara khas Ayu dari dalam kamar terdengar riang. Teman sekamarku itu memang gadis yang teramat baik. Hampir-hampir aku tak pernah melihatnya berdiam diri sekiranya ada yang bisa dilakukan untuk membantu orang lain. Sungguh, aku masih harus banyak belajar darinya.

“Mbak, kubuatkan teh hangat, ya?” lagi-lagi ia menawarkan kebaikan.

“Sudah nggak usah. Nanti aja usai mandi, mbak buat sendiri. Lanjutkan aja pekerjaanmu, Dek.”
Kutinggalkan Ayu yang sedang asyik di depan komputer. Kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat cucian. Ada dua pasang gamis, kerudung dan kaos kaki yang harus segera kucuci. Mumpung masih ada waktu luang. Ya! Jangan sampai ada kejadian seorang Tsabita kehabisan baju dengan alasan terlalu sibuk dengan seabrek agenda. Sama sekali nggak nyeni, kan? Apalagi membawa baju kotor ke laundry, jangan pernah, deh kecuali dalam kondisi darurat.

Nyuci itu menyenangkan, kok! Setidaknya itulah yang diajarkan ayah ketika kami –aku dan Mas Ikhlas- mulai belajar mencuci baju sendiri. Ketika itu kami baru pindah dari Jakarta ke sebuah desa kecil di kabupaten Ngawi. Dalam kondisi ekonomi yang masih belum mapan, segala pekerjaan rumah tangga kami lakukan bersama. Bahkan sampai sekarang, ketika segalanya telah teraih, dalam hal ini lebih pada perekonomian yang semakin mapan, aku dan Mas Ikhlas pun masih selalu melakukan pekerjaan rumah tangga; nyuci, nyapu, ngepel sendiri.

Tanpa sengaja kupandangi tetes-tetes air dari langit yang semakin berjatuhan.
Ayah! Hujan hari ini mengingatkanku akan memori masa lalu. Hujan yang menghadirkanmu dalam monologku. Kutahu, ayah, hujan yang dianugerahkannya juga tentara Allah. Kedatangannya selalu mengingatkanku; betapa kita pernah bersama; betapa kita pernah bahagia. Kini apa yang kau rasakan tiap rintik-rintik itu turun?

Astaghfirullah!
Kuulang istighfar dalam-dalam. Tiba-tiba aku begitu merindukan ayah. Aku baru sadar bahwa aku tak benar-benar bisa melupakannya. Ternyata bunda benar; bahwa apapun yang terjadi; ayah tetaplah ayah dan tak pernah ada yang akan mampu memutuskan ikatan itu.

Ah, Bunda. Semoga sore yang basah ini pun, putrimu masih selalu mampu menjaga bara shalihahnya hingga menjadi secantik bidadari, sebaik-baik perhiasan dunia.
Bidadari? Ah, kukira terlalu berlebihan gelar itu kudapatkan saat ini. Ya! Masih terlalu jauh.
☺


“Gimana Tsabita? Kau sudah siap untuk menggenapkan setengah dienmu, bukan?”

Pertanyaan mbak Ais hanya kubalas dengan senyum. Aku tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Bukankah saat ini masih banyak yang lebih berhak ketimbang diriku? Atau jangan-jangan Mbak Ais hanya mencoba menjajaki sejauh mana kesiapan adik-adik binaannya. Setahuku, baru Mbak Ami yang telah mengisi biodata ‘hijau’ untuk diproses. Ya! Idealnya memang Mbak Ami lebih dulu.

“Maksud Mbak Ais?” aku balik bertanya.

Kini ganti mbakku yang tersenyum.

“Setahu Ita, pernikahan itu menyatukan dua kekuatan. Siap menikah artinya juga siap menjanda.

Bukankah begitu, Mbak?”

“Maksudmu apa, Tsabita?”

“Orang bilang menikah itu mengumpulkan dua kekuatan menjadi interdepent, kumpulan dua orang yang independent, masing-masing tidak bergantung dengan yang lain. Ita merasa belum siap kehilangan, Mbak.”

“Astaghfirullah, Tsabita...”

Mbak Ais meraih tanganku.

Sejujurnya aku masih trauma dengan kepergian ayah. Aku tidak siap bila kelak mengalami kejadian yang sama dengan apa yang telah terjadi pada bunda. Aku tahu menikah itu ibadah, namun aku tak yakin telah benar-benar siap.

“Bukankah tak pernah ada yang abadi di dunia, Ukhti? Mbak rasa sudah saatnya kau mengaplikasikan ilmu yang kau pelajari selama di pondok dan majelis ilmu yang lain; tarbiyatul aulad, tafsir wanita, fiqh dakwah muslimah, shirah sahabat, juga teori-teori praktis kehidupan, setidaknya akan membantumu untuk memasuki kehidupan pasca pernikahan.”

“Tapi, Mbak sepertinya Ita belum siap. Ita masih...”

“Baiklah. Semua mbak kembalikan padamu. Dalam sepekan ini, kuatkan maknawiyahmu. Mbak percaya padamu, Tsabita. Kau boleh pulang sekarang.”

Kutinggalkan rumah Mbak Ais dengan ragu. Aku ingin mengatakan bahwa aku masih gamang. Namun hari sudah terlalu sore untuk tinggal. Sebentar lagi adzan Maghrib sepertinya berkumandang.
Kukendalikan motor dengan kecepatan sedang. Sungguh aku tak tahu apakah ini jawaban dari doa-doaku; agar ALLAH menjagaku untuk tetap teguh menapaki kehidupan? DIA datangkan teman perjalanan ketika langkahku mulai terasa berat.
☺


Malam yang indah. Bintang-bintang bertaburan meski tanpa cahaya bulan. Kutengadahkan wajah melihat bentang luas cakrawala. Dulu aku dan Mas Ikhlas sering menghabiskan malam dengan melihat bintang bersama ayah. Masa kecil yang tak kan terulang. Saat itu aku merasa menjadi anak yang beruntung. Punya ayah yang hebat, mas yang baik, dan bunda yang selalu memanjakanku. Aku menyangka keutuhan keluarga kami akan terjaga selamanya. Takdir berkata lain. Ayah pergi dari rumah di tahun ketiga aku duduk di bangku kuliah. Kepergian yang tiba-tiba itu sungguh menggoncang kami.

Bunda bilang mestinya aku bersyukur. Ayah pergi ketika aku telah punya pegangan yang kuat; aku telah belajar agama dan punya banyak teman berbagi. Meski tergoncang, aku mencoba memaknai hal itu sebagai ujian. Ayah memang tak ada lagi di samping kami namun ia tak pernah benar-benar pergi dari hati. Selalu kususun jemari, menyebut namanya dalam doa yang tiada putusnya.

“Percayalah Tsabita, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan sebaliknya. Bunda yakin kau adalah gadis yang tegar. Tak perlu larut dalam kesedihan panjang. Belajarlah dari ayah dan bunda agar kelak bahtera rumah tanggamu tenang menghadapi karang dan gelombang kehidupan.”
Tiba-tiba aku jadi kangen dengan Bunda. Apakah beliau akan bahagia bila putri semata wayangnya menikah? Apakah bebannya akan berkurang? Selama ini kutahu Bunda selalu mencemaskanku. Sejak ayah pergi, kami jadi semakin dekat.

Selalu ada damai di senyum Bunda. Selalu kutemukan kekuatan dari senyum itu. Senyum yang mengisyaratkan ketegaran; bahwa hidup akan terus berlanjut dengan atau tanpa pasangan yang kita cintai. Baiklah Bunda, izinkan putrimu belajar meniti ketegaran dengan damai senyum itu.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, masih belum mampu kuhitung bintang. Tak akan pernah memang. Namun tahukah engkau, Bunda? Bila memang sudah tiba masanya kan kusambut dia yang berhati cahaya untuk meniti jalan bersama menuju surga.

Ngawi, 21 April 2007:21.41
Bingkisan di bulan kelahiran ayah.
Thanks untuk mbak Er lis atas inspirasinya.
*petikan senandung dari Harmoni Voice.













0 comments:

Post a Comment