Thursday 26 February 2009

(masih) Belajar Menjadi Aktivis

0 comments

Engkau bahkan masih memberi penjelas, penegas bahwa kita harus berbagi tugas. Tidak semua harus terjun ketika agenda dakwah begitu memadat. Banyak ruang kosong di sana sini yang harus diisi oleh sebaran kader yang harus terbagi. Dan engkau yang membagi sebaran itu, dan engkau yang memilih ruang lain itu.1

“af1, Akh. Da amanah lain yg hrus sgra ditunaikan. ane g bs syuro bidang nanti mlm.


Huda tersenyum getir membaca SMS dari stafnya. Izin lagi. Izin lagi. Kapan seluruh staf bisa kumpul dalam syuro bidang? Padahal undangan syuro dah dikirim jauh-jauh hari yang lalu. Bukan sekedar via SMS tapi juga undangan tertulis plus taushiyah telah disampaikannya secara langsung. Semua usaha untuk menghadirkan seluruh personel bidang sudah dilakukan. Bahkan sebagai ketua bidang, ia rela bergerilya dari kos ke kos, dari fakultas ke fakultas, dan dari basecamp ke basecamp agar bisa menemukan anak buahnya. Memastikan agar syuro special kali ini bisa dihadiri oleh seluruh personel. Minimal kali ini saja.

Nurul, kembaran sekaligus sekretaris bidangnya, juga telah melakukan hal yang sama. Tapi memang manusia hanya bisa berencana.

“Akhwat hanya separuh yang bisa. Yang lain izin.” Laporan Nurul via interkom membuat Huda jadi kehilangan semangat. Kalau begini terus bagaimana bidangnya bisa solid? Padahal targetan syuro bidang malam nanti adalah membahas the big event yang membutuhkan banyak pemikiran. Bagaimana mungkin hanya mengandalkan kabid dan sekbidnya?

Masih dengan akumulasi kekecewaan Huda menuruni tangga masjid NH. Segera ditujunya tempat wudhu. Kesejukan air kran membuat kepala ikhwan berjenggot tipis itu sedikit lebih ringan. Pelan, istighfar pun terlantun dari bibirnya. Hatinya kini menjadi lebih lapang.

Kini ia bersiap untuk shalat ashar. Usai ashar ia harus meluncur ke kampus sebelah untuk mengisi kajian sore.



Nurul berjalan berjingkat-jingkat. Hujan selepas maghrib menemani perjalanannya menuju masjid kampus. Payung mungilnya tak mampu melindungi tubuhnya dari guyuran air dari langit. Jaket UKMI yang dikenakannya sudah basah. Kaos kakinya apalagi. Namun gadis itu mencoba menikmatinya. Ia ingat taushiyah sang murrabiyah.

“Hujan adalah tentara ALLAH. Dan antunna percaya bahwa sesama tentara ALLAH tak akan saling menyakiti, bukan?”

Gadis itu pun tersenyum. Kalaupun habis kehujanan ia jatuh sakit biasanya sebuah isyarat staminanya sedang menurun. Mudah-mudahan kali ini tidak begitu. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum. Ia percaya hal itu.

“Mbak Nurul, tunggu!” Sebuah suara yang tidak asing menghentikan langkahnya. Nurul menengok ke belakang. Ada Ajeng yang berlari-lari kecil mendekat ke arahnya. Keduanya pun bergegas menuju eNHa, masjid perjuangan tercinta.

“Mbak afwan sebelumnya. Ajeng capek banget. Tadi habis muter-muter cari sponshorship untuk acara HMJ. Semisal nanti nggak terlalu loading dalam syuro harap dimaklumi, ya?” sebuah pinta dari Ajeng baru saja diterimanya.

Melihatmu datang saja, mbak sudah senang. Nurul berucap dalam hati. Senyumnya yang masih mengembang membuat Ajeng jadi salah tingkah.

“I ya, deh mbak, ntar Ajeng tetap berusaha connect.”

“Begitu lebih baik. You can if you think you can!.” Kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja. Semangat yang lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.



Nurul masuk rumah sakit. Typus-nya kambuh. Huda segera meminta bantuan seorang al-akh untuk meneruskan proposal kegiatan bidang yang sebenarnya sudah didelegasikan ke stafnya, lebih tepatnya menjadi tanggung jawab sekretaris kegiatan. Deadline sudah lewat, proposal itu belum juga dikerjakan. Terpaksa ia mengambil alih pekerjaan itu untuk kesekian kali. Namun kali ini ia terpaksa meminta tolong pada teman sekamarnya di eNHa.

Huda segera meluncur ke PKU Muhammadiyah, tempat Nurul dirawat inap.
“Syafakillah, Dik,” bisik Huda di cuping saudara kembarnya.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Nggak usah khawatir. Ini bukan yang pertama, kan?”

Dalam kondisi lemah, Nurul masih saja bercanda. Mau nggak mau Huda pun tersenyum. Dua akhwat yang membawa Nurul ke rumah sakit pamit untuk sementara waktu. Huda pun segera mengiyakan. Tak lupa ia berterimakasih pada keduanya.

“Tawadzun itu nggak mudah, ya?” Nurul masih saja berceloteh.

“Sudah nggak usah mikir yang macam-macam. Istirahat aja.”

“Tapi, Da... deadline laporanku....?”

“Sudah...Insya ALLAH kubantu.”

Ups! Tak sengaja ia berjanji. Tapi Huda bertekad akan membantu saudara kembarnya.

Kasihan Nurul. Tadi malam ia masih berapi-api dalam syuro bidang bersamanya. Meski dari 15 personel hanya tujuh yang hadir, gadis itu masih berusaha membantunya mengkondisikan forum agar muntijah. Saudara kandung sekaligus teman seperjuangan yang tak pernah bosan menyemangatinya.

Jam di dinding kamar rumah sakit menunjukkan pukul dua dini hari. Huda masih terjaga. Dipandanginya wajah tirus sang adik kembar. Hanya iba yang kini mewarna di benaknya. Iba itu menimbulkan sesak di dada, men-stimulus bening-bening kristal mengalir di pipi.

Astaghfirullah! Ia kembali mengulang istighfarnya. Lantas diraihnya mushaf kecil di meja. Dibacanya kalam suci dengan tartil. Sepenuh hati dicobanya mentadabburi ayat-ayat cinta Illahi. Ada ketenangan yang tak berhingga.

Huda me-review kembali perjalanannya di kampus hijau. Betapa ternyata kesibukan demi kesibukan tak diimbangi dengan suplai energi yang sepadan. Betapa ternyata ‘kokoh dan mandiri dalam maknawiyah, fikriyah dan jasadiyah’ masih sebatas slogan. Amal yauminya akhir-akhir ini seolah hanya mengejar target tanpa pemaknaan. Buku-buku pergerakan dan sains yang dibacanya sama sekali tak berbekas. Pola makan dan istirahatnya belumlah memenuhi standar kesehatan. Huda mendesah pelan. Ia yakin Nurul pun demikian. Mungkin lebih parah.

“Aina anta ya jundullah?” kini pertanyaan itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Aina ana?”


Ternyata lagi-lagi ia (masih) harus belajar untuk menjadi seorang aktivis. Semangat saja memang tidak cukup.

Dibentangkannya sajadah kecil di samping tempat tidur Nurul. Sepertiga malam ini dilaluinya dengan syahdu. Di hadapkan wajahnya dengan hati yang penuh rindu. Betapa ia merasa sangat lemah.

Apa jadinya diri ini tanpa pertolonganmu, Ya Rabb?

Huda tersungkur dalam sujud panjangnya.

9 Juli 2007:01.30 untuk adik2 eNHA

*Dikutip dari “Aina Anta Ya Jundullah?Refleksi seorang Murrabi: Fajar el-Shahwah)



0 comments:

Post a Comment