Monday 16 February 2009

KARENA QTA EMANG BEDA!

0 comments



Tak terasa 6 bulan telah berlalu. Ini berarti aku harus menjalankan aktivitas yang menjemukan : Ujian semester. Aku belum siap. Bukan karena harus belajar dalam seminggu penuh melainkan menyaksikan pemandangan yang membuatku kecewa. Aku tak ingin mengundang kekecewaan yang menjadikan aku enggan belajar. Aku tak pernah menginginkan kekecewaan itu menghadirkan prasangka buruk. Akan tetapi kekecewaan itu terlanjur berpadu dan menyatu erat denganku tiap kali mengikuti ujian semester.

“Bang, sebelum belajar berdoa dulu biar nggak diganggu setan!” Hani menepuk bahuku. Aku tersentak sesaat dan cepat-cepat mengarahkan pandangan pada buku yang ada di tangan.

“Kamu sudah siap mengikuti ujian semester, Dik?” tanyaku sambil menutup buku yang baru terbaca judulnya saja. Yang kutahu selama ini Hani nggak jauh beda denganku. Sistem kebut semalam itu pasti berlaku jika hari-hari ujian semester sudah di hadapan mata.

“Entahlah, Bang. Yang pasti seminggu lagi bebas.” Jawabnya asal.

“Hmm..sama dong!” batinku

“Bang Ihsan di ruang berapa? Satu, ya?” tanyanya menyelidik.
Aku mengangguk. Adikku yang superusil itu tersenyum dan meninggalkanku sendirian dalam tanya. Apa maksud senyumannya?

Ah! Peduli amat. Kulangkahkan kaki ke kamar karena belajar di ruang tengah memang nggak nyaman. Ada saja yang nggganggu konsentrasi tapi di kamar pun belum tentu aku bisa menahan keinginan untuk mengembarakan angan.
Aku harus belajar! Bismillah....



Kulirik adik kelas yang duduk di sampingku. Seorang jilbaber lagi. Buru-buru kubawa tatapku menekuni kolong meja sambil menunggu soal dibagikan. Mengapa aku selalu duduk di samping jilbaber tiap kali mengikuti ujian semester?

Sebenarnya pakai jilbab atau tidak, aku tak begitu mempermasalahkannya. Tapi kalau dia tidak menunjukkan eksistensi kepercayaan diri seorang muslimah alias menunjukkan gelagat ketidaksopanan seperti suka ngerpek or cari bala bantuan pada yang lain, menurutku itu sangat mengganggu pemandangan. Aku tersinggung. Apa bedanya dengan yang lain? Mudah-mudahan ia tidak begitu.

“Ihsan, cepetan. Cuma satu jam waktunya!” Slamet mengoyang-goyangkan kursiku. Refleks, segera kuberikan dua lembar soal ke belakang.

Bismillah...kupenuhi lembar jawab pilihan ganda satu-satu. Tanpa pikir panjang kukerjakan soal seadanya, tanpa penghayatan, tanpa pemahaman, dan tentu saja penuh ketidakmengertian.

Jam di dinding depan, dekat papan tulis menunjukkan waktu masih tersisa setengah jam. Aku malas meneliti jawaban walaupun kuyakin masih banyak yang harus dibenahi. Aku ceroboh, sifat yang sudah kusadari dari dulu tapi entah mengapa aku tak pernah berusaha untuk hati-hati. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, untuk memahami soal saja nggak bisa 100 persen benar.
Semenit kemudian suasana kelas agak gaduh. Ada yang lempar-lemparan kertas, ada yang berbisik-bisik, ada juga yang menggunakan isyarat dengan sandi-sandi yang sudah menjadi kesepakatan.

Uh...benar-benar menjemukan.
Kutatap tajam dua orang pengawas yang asyik ngobrol tentang masalah kriminal. Aku tak habis pikir mengapa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik; mengapa mereka membiarkan murid-muridnya bekerjasama saat ulangan. Jangan-jangan mereka sengaja memberikan kesempatan ‘istimewa’ agar tercapai hasil yang maksimal. Bagaimana ujian semester mampu dijadikan tolak ukur keberhasilan siswa dalam belajar kalau praktik di lapangan sudah hancur seperti ini?

Astaghfirullah!
Kulirik adik kelas yang duduk di sampingku. Tampaknya ia masih tenang meneliti lembar jawabnya. Untuk kedua kalinya kembali kutekuni kolong meja. Kali ini dengan ditumbuhi malu yang teramat sangat.

Allah, ampuni aku! Kucoba memanfaatkan sedikit tenaga yang tersisa untuk mengembalikan kekuatan yang hampir saja hilang tertelan kedongkolan. Waktu masih tersisa limabelas menit, saat kuputuskan untuk membaca ulang soal lalu mencocokannya dengan jawaban, sama seperti kebiasaanku di semester awal kelas satu. Masih setengah soal lagi, ini berarti aku harus melawan kejenuhan, mengganti jawaban yang kuyakin di kunci benar tetapi bertentangan dengan hati nuraniku. PPKN, entah mengapa aku tak menyukaimu. Siapa suruh kau terlalu mengagung-agungkan Pancasila? Siapa bilang Pancasila itu sakti? Huuh...

“Lima menit lagi,” seorang pengawas mengingatkan. Lirih kudengar teman-temanku mengucap ‘aduh’. Salah siapa pakai lirik kiri kanan, teriak batinku kesal. Astaghfirullah.

“Tet...tet...tet....” Suara bel yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar juga.
Tanpa pikir panjang segera kutinggalkan lembar soal di meja. Bersama Yusuf kuayunkan langkah ke musholla Ash-Sholihiin. Kuambil wudhu, shalat dhuha, dan memohon keimanan yang tak kan pudar di setiap keadaan, memohon kemudahan di setiap urusan, memohon ampunan di setiap kesalahan, memohon dan memohon....

Tak terasa bening kaca berjatuhan di tengadah tanganku. Aku tak pantas berharap banyak sementara aku tak pernah berjuang untuk mempermudah diri dalam menyikapi setiap urusan. Allah...ampuni aku. Beri kesempatan padaku untuk memperbaiki diri. Agar aku tak hanya memohon tapi juga berjuang menggapai kemenangan yang Kau janjikan.

Jam kedua, pelajaran matematika kulewati dengan biasa saja. Tak ada yang istimewa, pun ketika ada 5 soal yang tak mampu kuselesaikan dengan sebenar yakin. Aku tak mempunyai ganjalan sama sekali dan itu yang membuatku merasa perlu untuk mencaci maki diriku sendiri.

Untuk ketiga kalinya kulirik jilbaber yang ada di sampingku. Ia masih tenang dan kelihatan penuh percaya diri mengerjakan. Padahal banyak di antara teman-temannya menjalankan aksi persekutua. Alhamdulillah, tiba-tiba aku merasa bangga dengannya. Ia mengingatkanku pada adik semata wayangku : Hanifah. Kuperhatikan kerudung yang menutup kepalanya, selebar kerudung

Hani. Jangan...jangan ia memang Hani?

Kuingin meliriknya sekali lagi.Tidak! Sudah berapa lirikan yang kutujukan untuknya. Aku harus menahan keingintahuanku tentang dirinya. Aku harus menjaga pandangan, gadhul bashar.He..he, jaim, Ok! Mungkin Allah mengingatkanku untuk bersikap tenang sepertinya dan bersungguh-sungguh dalam menunaikan pekerjaan yang baik dan rapi, jangan memalsu, seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna.


Hari ke-2, ke-3, dan ke-4 kulewati dengan baik. Kubertekad untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Walaupun tak seluruh materi sempat terbaca, aku yakin siap. Aku jadi sedikit lebih tenang dan tidak terlalu mempedulikan lingkungan yang mengelilingiku. Biarlah kubuktikan pada diriku sendiri bahwa aku mampu menjadi diriku tanpa terpengaruh faktor luar yang sebenarnya cukup dominan membawaku pada tradisi ngerpek dan nyontek yang sudah menjadi kebiasaan. Tradisi yang memuakkan, mengikis habis rasa percaya diri generasi muda yang harusnya bermental baja. Dan aku nggak boleh ikut-ikutan memanipulasi jawaban alias terperangkap ke dalam kepalsuan. Aku bukan mereka dan mereka bukan diriku. So, menjadi diriku sendiri meski beda adalah tuntutan. Betul, tidak? He..he....

Hari ke-5, aku tak tahu mengapa kembali dilanda kejenuhan. Aku tak siap untuk bertempur dengan baik. sejarah dan geografi benar-benar membuatku tak bisa berkutik. Semalam penyakit malasku kambuh lagi karena sejujurnya aku memang paling alergi kalau disuruh menghapalkan. So, what should I do?

Tiba-tiba keinginanku untuk memperhatikan adik kelas yang duduk di sampingku muncul kembali. Allah...ampuni aku bila rasa penasaran tentang dirinya mengusik ketenanganku. Siapa dia sebenarnya? Mengapa kerudungnya mirip sekali dengan kerudung Hani? Apakah ia memang benar adikku?

Ya Allah...izinkan aku melihat wajahnya! Aku ingin memastikan kalau dia benar-benar Hani.
Hampir lima menit aku memperhatikannya. Berharap gadis itu menoleh ke arahku untuk beberapa saat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mungkin ia benar-benar menyukai geografi sehingga terlihat serius mengerjakannya.

“Hani?” akhirnya suaraku mengambang memanggilnya. Meski setengah berbisik, aku yakin volume suaraku masih mampu terdengar oleh telinganya. Kalau ternyata ia bukan Hani aku tinggal mencari akal untuk untuk menanyakan apakah ia kenal Hani atau tidak.

“Ya, ada Bang?” ia pun menoleh ke arahku.

Ya Allah....ia benar-benar Hani-ku.

“O, tidak! Nggak da apa-apa kok. Ngetest aja, kok kayaknya serius banget, sih!” jawabku asal. Dan Hani pun kembali asyik dengan soalnya. Aku malu-semalunya. Kuakui ia memang adik yang paling manis, ya...karena ia memang satu-satunya adikku.

Waktu masih tersisa lima belas menit ketika kuputuskan untuk ke luar kelas lebih dulu. Mungkin aku bisa memanfaatkan sisa waktu plus istirahatku untuk mempersiapkan ujian jam ke-2 alias sejarah yang tidak menarik sama sekali. Hm..terlalu banyak hapalan tentang tanggal dan peristiwa.

Saat kutinggalkan mejaku, kulihat Bu Farah, guru sekaligus sepupuku, mendekati adikku.



He...apa yang terjadi dengan Hani. Tak biasanya ia cemberut. Di mana senyum dan canda yang biasanya selalu mewarnai kebersamaan kami? Kuacak sayang rambutnya, tapi ia masih mempertahankan wajah cemberutnya. Bahkan tersenyum tipis pun tidak.

“Ada apa, Han?” tanyaku lembut.

“Ah, tidak!” Hani menyambar kerudung kaos yang tersampir di kursi dan melangkah ke serambi.

“Ada apa, sih dengan Adik Kecil,” kugunakan panggilan kesayangannya. Mudah-mudahan ia mau bercerita. Hani masih setia dalam diamnya. Ia berjalan ke taman dan mendekati tanaman favoritnya, palem botol yang terletak di dekat kolam ikan. Tak lama kemudian ditinjuinya bagian yang menggembung.

“Hani kecewa, Bang. Udah lama Hani memendamnya. Hani ingin menerima setiap keadaan dengan ikhlas, tapi nyatanya nggak bisa, Bang. Hani gagal melakukannya padahal Hani, kan sudah berusaha.”

Kecewa, gagal, berusaha? Aku nggak ngerti arah pembicaraannya. Yang kutahu aku pernah mengalaminya dalam seminggu ini dan mungkin sampai besok aku masih harus merasakan ketersiksaan batin yang akan sembuh dengan sendirinya seiring perjalanan waktu. Dan jika ujian semester ganjil tiba, rasa itu pasti menyerangku kembali.

“Pertama kali masuk SMA, Hani merasa senang sekali. Bukan hanya karena banyak teman-teman yang hijrah dan berjilbab tetapi juga sambutan dari kakak-kakak kelas yang hangat dan menawarkan berjuta keindahan dalam ikatan ukhuwah. Hani seperti menemukan dunia baru yang menjanjikan solusi yang benar dan tepat untuk semua problematika yang nantinya akan Hani hadapi. Hani sangat kagum dengan para aktivis Rohis yang mengajarkan ketawadzunan. Selain aktif di organisasi-organisasi lain, nilai akademik pun selalu memuaskan. Sejujurnya Hani bangga dan ingin belajar untuk menjadi seperti mereka. Tapi, Bang mengapa kekaguman itu harus luntur manakala Hani melihat kenyataan lain yang tidak sesuai dengan yang Hani sangkakan.”

“Siapa sebenarnya yang kau maksud, Han?” tanyaku bodoh padahal aku sudah tahu benar siapa saja aktivis Rohis yang dikaguminya.

“Siapa lagi kalau bukan Bang Ihsan dan teman-teman abang yang pernah ke sini, juga mbak-mbak yang tidak perlu Hani sebutkan namanya satu-satu.”
Deg! Aku tersentak. Bagaimana mungkin aku digolongkan orang yang menghilangkan rasa simpati? Tidak! Kali ini adik kecilku pasti salah.

“Kau tak berhak memvonisku sekejam itu, Han!”

“Abang tersinggung?” tanyanya datar tanpa rasa bersalah.

“Abang memang tidak melakukan kecurangan selama lima hari terakhir ini. Tapi Hani cukup kecewa melihat Abang membiarkan teman Abang yang juga aktif di Rohis melakukan hal yang benar-benar memalukan. Apa kata dunia kalau aktivis Rohis nyontek dan kerjasamaa saat ujian. Bagaimana bisa mengajak orang lain melakukan perbaikan sedang ia tidak mampu memberi keteladanan?”
Sedapat mungkin kupaksakan diri untuk tersenyum.

“Han, segalanya butuh proses. Teman-teman yang aktif di Rohis memang belum semuanya mampu untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya, termasuk dalam hal kejujuran. Bukan Abang nggak mau mengingatkan tapi....”

“Kalau begitu apa wujud esensi dari ilmu yang tlah kita pelajari selama ini?”
Belum selesai aku memaparkan pembelaanku, Hani kembali menyerangku. Dengan wajah yang semakin kecewa ia berjalan meninggalkanku.



Seminggu lewat begitu saja. Aku benar-benar tertipu. Tujuh hari kulewati tanpa adanya perubahan yang berarti. Aku tak mampu menyelesaikan masalah kecil yang membebani kepala. Yang lebih parah, Hani sepertinya menuntutku untuk bertindak sebelum masa reorganisasi Rohis tiba.

“Bang Ihsan mencalonkan diri sebagai ketua saja.” Ucapnya polos.
Emangnya jadi qiyadah itu mudah? Huh...dasar gadis kecil. Padahal satu tahun kepengurusan ke depan aku berniat untuk bergabung dengan Divisi Jurnalistik yang merupakan bagian dari Departement PSDM.

“Kalau Abang jadi ketua, kan penetapan AD ART bisa dilakukan setelah proses penggodokan yang ketat. Jadi bab yang mengatur tentang hak dan kewajiban pengurus bisa diterima oleh semua pihak dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab.”
Duh, Hani sudah mulai pintar ngomong sekarang. He..he...mungkin imbas dari kedekatannya dengan anak scout yang hobi debat.

“Bang, pokoknya Hani pingin semua anak Rohis itu jujur, termasuk dalam ulangan atau ujian semester. Dan harus ada kartu monitoring yang ngontrol pelanggaran apa saja yang dibuat oleh pengurus. So, biar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab merasa jera karena sekali melanggar peraturan kena iqob dan kalau pointnya sudah sampai batas yang tidak bisa ditoleransi bisa langsung di back list atau di-PHK dari Rohis.”

Hmm...adikku yang lagi jadi ABG (akhwat baru ghirah) terlihat menggebu. Biasalah...kalau anak lagi semangat idealismenya terjaga. Mudah-mudahan dia bisa mempertahankan apa yang baru dikatakannya. Hmm...tapi membentuk suatu kepengurusan yang benar-benar solid dan mampu bertanggungjawab terhadap diri dan umat tidaklah semudah mengatakannya. Butuh kesadaran dari semua pihak.



Seleksi pengurus Rohis tahun ini benar-benar ketat. Setiap calon pengurus wajib mengikuti test tulis, wawancara dan orasi. Pengurus lama yang sudah kelas tiga sebentar lagi berstatus demisioner.

Hani tampak semangat sekali mengikuti seleksi. Apalagi pas orasi, dia sampai bela-belain kursus kilat kepadaku. Dia masih belum mampu melupakan kesedihannya pasca ujian semester. Sebagai rasa prihatin yang mendalam ia mengambil tema kejujuran yang dikemas dengan judul ‘Honesty where are you’. Selepas test tulis ia mengeluh kepadaku.

“Lho kok test masuk Rohis aja pakai test akademik. Kok ada matematika, bahasa inggris dan pengetahuan umum, sih, Bang? Aku mumet apalagi pas penalaran ada bagian yang mirip test IQ.”

“Karena dakwah nggak sekedar memerlukan semangat tetapi kader yang militan; yang bisa menyeimbangkan dzikir, fikir dan ikhtiar....”

Kutangkap rasa was-was dalam diri adikku selama masa tenggang menunggu hasil pengumuman. Tapi hari ini dari kejauhan kulihat ia begitu menikmati LDKR (Latihan Dasar Kepemimpinan Rohis) yang diadakan di Tawangmangu.

Sejujurnya aku salut juga melihat Hani dan teman-temannya. Saat pelantikan kulihat dia mengucapkan ‘Ikrar Mujahid’ dengan sungguh-sungguh.



“Bang Ihsan!” panggil Hani sambil menimang-nimang raport yang baru diambil ibu dari sekolah. Ia tampak begitu bahagia. Meski merasa kurang optimal tapi toh ia masih duduk dalam tiga besar di kelasnya.

“Hm...” jawabku kurang bersemangat. Meski masih peringkat 1 di kelas tapi gelar juara umum lepas dari tanganku.

“Bang jangan bilang siapa-siapa, ya!” setengah berbisik ia meletakkan telunjuknya di atas hidung,”Tahu, nggak kalau Mbak...Eh Bu Farah membantuku saat ujian geografi. Masak jawabanku yang salah diketuk-ketuk dengan jari telunjuk. Padahal seumur-umur belum pernah lho...Hani minta bantuan. Trus mau nggak mau ya...jawaban yang salah itu Hani ganti. Tolong katakan pada Bu Farah : nggak usah repot-repot ngebantu Hani.”
“Katakan saja sendiri..., ternyata kamu juga nggak PeDe. Apa bedanya dengan mereka?”

“Ye...Bang Ihsan jahat!” Aku segera berlari ketika Hanifah bersiap-siap menyerangku. Kelihatannya ia sudah tidak marah lagi padaku.

“Berbuat ihsanlah! Lihatlah Allah dalam setiap tindakkanmu. Jika kau tak melihat-NYA maka ketahuilah bahwa Allah melihat setiap tindakanmu.” Terngiang kembali akan pesan Ayah -yang juga ada dalam hadist arbain- sebelum pergi menghadap-Nya.

Hm...jadi mengapa harus sedih jika lingkungan tidak seperti yang kita harapkan. Bukankah yang terpenting bagi kita adalah berusaha mempersiapkan ‘amunisi’ yang terbaik dalam setiap peperangan.

“Kalau kita nggak bisa mengubah tradisi, minimal kita memulainya dari diri sendiri. Karena memang kita berbeda. Keberhasilan yang kita raih bukan hanya dinilai dari segi hasil tapi lebih dari itu Allah melihat pekerjaan kita. Untuk itulah kita hanya menggunakan cara yang baik untuk mendapatkan hasil yang terbaik...waspadalah dengan keberhasilan yang datang dengan tiba-tiba!” jawaban yang diberikan Mas Cahyo saat Hani mengeluh di forum diskusi tentang fenomena oknum anak Rohis yang masih nggak jujur pada saat ulangan masih membekas dalam ingatanku. Semoga aku pun bisa memberi keteladanan bagi teman-temanku untuk mulai mandiri dan jujur dalam setiap langkah.


Ngawi, Akhir Oktober2000, pasca ulangan Cawu1 kelas 1 SMU dengan sedikit penyesuaian 3 tahun kemudian. Maksud hati protes pada ‘oknum TAMA’ yang kerjasama saat ulangan; mudah-mudahan nggak terulang lagi.

0 comments:

Post a Comment