Monday 16 February 2009

THE SAME PEOPLE

0 comments



9 Mei 2001

Kemarin tanpa sengaja kulihat Awan bersama Hari dan beberapa teman SMPku berbelok ke arah jalan Kutilang. Ini berarti Awan tidak berbohong. Dia sudah ngaji lagi. Alhamdulillah, akhirnya kecemasanku terhadapmu berkurang sudah, Wan. Kalau selama ini aku selalu memantau perkembanganmu, memperhatikan sepak terjangmu, itu karena aku masih peduli padamu meski mungkin tak ada alasan untuk melakukan itu. Aku menyayangimu meski sebenarnya tak ada benang merah yang dapat mempersaudarakan kita, aku tak bisa menganggapmu sebagai adik kandung. Kau tak pernah sepersusuan denganku walaupun masa kecil kita lewati dalam kebersamaan. Kau....


Bhara menutup diarynya. Ia menggeleng berulang-ulang. Meski sedikit ragu, diary bersampul hijau muda itu diletakkannya di antara buku-buku di rak. Ada bening kaca yang tiba-tiba berjatuhan di pipinya. Bhara semakin gelisah. Belum ada jawaban yang tepat atas berbagai pertanyaan yang berkecamuk. Bhara tahu selama ini dirinya masih diselimuti oleh ketidakjujuran.

“Awan itu terlalu istimewa, Ra. Meski berulang kali kucoba menepis rasa yang semestinya bisa dikendalikan dengan iman, aku tetap kewalahan. Aku tak mungkin membunuh rasa cinta itu. Awan memang bukan cinta pertamaku. Tapi, Ra dia adalah sosok yang paling memberikan warna lain dalam keseharianku.”

Astaghfirullah! Bhara hanya beristighfar mendengar pengakuan Caya.

“For example?” Akhirnya ia pun memancing Caya untuk memberikan contoh konkret dari alasan mengapa ia begitu dimabuk cinta pada Awan.

“Secara tidak langsung ia memotivasiku untuk lebih rajin belajar. Aku kan harus nyambung kalau diajak diskusi soal pelajaran. Catatanku jadi rapi, aku malu jika ia sampai meminjam catatanku yang semrawut. Aku jadi ....”

Bhara menghela napas. Caya yang dulunya dianggap sebagai sosok yang tomboy saja bisa kepincut dengan Awan. Jadi apakah salah bila Bhara pun menjatuhkan harap pada Awan? Salahkah bila ia melakukan ‘PeDeKaTe’ dengan Awan demi menjaganya agar tidak tertular virus yang kini hinggap pada Caya dan mungkin juga menjangkit teman-temannya. Salahkah ia berharap : Awan bisa tegak melangkah pada jalan yang kini mulai disusurinya?

Lagi-lagi Bhara menggeleng. Bukankah hidayah Allah akan diberikan pada siapapun yang dikehendaki-Nya? Jadi cukuplah ia membantu teman di masa kecilnya itu dengan doa. Ya..semoga Allah..senantiasa memberikan petunjuk-Nya!
Benarkah ia bisa tulus di dalam doanya? Sepertinya Bhara sendiri pun masih ragu.



Bhara melipat mukena lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ia ingin lebih lama lagi singgah di Ash-Sholihiin, musholla sekolahnya. Menikmati udara pagi di serambi musholla adalah kenikmatan yang tidak akan ia temukan di tempat lain di lingkungan sekolahnya yang terletak di kawasan persawahan. Tapi kemarin Caya sudah mewanti-wantinya untuk berangkat sekolah lebih awal, tentunya dengan harapan sampai kelas pun lebih awal.

“Jam berapa, Mbak?” tanyanya pada kakak kelas yang tengah menalikan sepatu di sampingnya.

“Duh, aku juga nggak bawa jam. Coba adik lihat ke dalam musholla. Mungkin bentar lagi jam tujuh. Mbak ke kelas dulu ya! Assalamu’alaikum.” Kakak kelas itu pun berlalu.

Malas! Ia membatin. Tapi toh akhirnya ia beranjak ke dalam musholla. Jam yang terpasang pada dinding belakang itu menunjukkan pukul tujuh kurang sedikit. Bhara kembali ke serambi dan mengecek buku-bukunya yang ada di dalam tas, takut ada yang ketinggalan habisnya tadi berangkat terburu-buru.

Sekedar memastikan tidak salah melihat jam, Bhara menengok ke dalam musholla untuk yang kedua kalinya. Tapi..upps, ia melihat Awan baru bangun dari I’tidalnya. Ia masih shalat Dhuha. O..ya..kemarin Caya bilang kalo’ jam pertama dan kedua kosong. Pantas Awan tidak terburu-buru.

Sebentuk senyum kini menghiasi wajahnya. Kini tak ada alasan untuk menyisakan kekhawatiran terhadap Awan. Bhara yakin, Awan masih terjaga. Allah masih menyayangimu, Wan! Istiqomah, ya Akh! Bhara membisikkan harap di hatinya sambil melangkah tenang menuju kelas. Tak henti-hentinya ia bertakbir dalam hati.

“Assalamu’alaikum...” sapanya riang pada seisi kelas.

“Wa’alaikumussalam Waa Rahmatullahi Wa Barakatuuh..” terdengar balasan kompak persis dengan koor adik-adik TPA yang diajarnya. Ia meletakkan tas di bangkunya dan mendekat pada segerombol anak yang membentuk lingkaran dan sibuk menyalin jawaban.

“Tumben kalian kompak..” Bhara berkomentar melihat kesibukan teman-temannya.

“I ya-lah Ra. Namanya aja PR alias Pekerjaan Rame-rame jadi harus dikerjakan secara berjama’ah, dong! Wah... untung jam pertama kosong kalau tidak pasti kamu sudah disindir Bu Umi dengan majas ironinya : Ra, sepagi ini kau berangkat, teman-temanmu sudah pada pulang tahu..!” Anggi menimpali komentar Bhara dengan seni bermajasnya.

Bhara hanya tersenyum mendengar jawaban konyol dari Anggi. Dasar nih anak memang terkesan dengan Bu Umi yang biasanya mengajar Bahasa Indonesia pada jam pertama

“By the way, Ra..ada yang mau curhat, nih!” Anggi berhenti menulis dan menyikut lengan Anis.
“Ada apa, Nis?”
“Hmm..ada aja! Eh... anu...nanti habis nyelesaian PR aja ya Mbak!” Jawab gadis manis yang berambut panjang itu sedikit malu-malu.

Bhara mengiyakan. Sambil menunggu teman-temannya menyelesaikan PR dibacanya Risalah Pergerakan yang kemarin dipinjamnya dari Ash-Sholihiin Islamic Library. Sekali-kali matanya melihat ke arah pintu, mencari sosok Caya. Hampir lima menit berlalu tapi sosok yang dicarinya belum juga muncul di kelas.

“Hanyo..Mbak Bhara baca buku kok kaya’nya gelisah sekali...nunggu seseorang ya?” Tanpa disadarinya Anggi sudah duduk di sampingnya.

Hm..ketahuan. tapi bukan Bhara kalau mau mengakui kebenaran dugaan Anis.
“I ya..Nis, nunggu kamu. Katanya mau curhat.”
“Gini...Mbak, Anis mau tanya...”

“Ya?” Bhara memasang telinganya takut kalau pertanyaan itu menyangkut privacynya. Anis tersenyum melihat Bhara berwajah serius.

“Jawab dengan jujur, ya! Mbak Bhara pernah jatuh cinta nggak?”

What? Pertanyaan yang polos. Bhara mengulum senyum. Duh...mesti njawab apa ya?

“Jawab dong Mbak, soalnya aku lagi naksir seseorang, nih! Tapi kayaknya bertepuk sebelah tangan.” Anis terlihat murung. Bhara diam menunggu kalau ada kelanjutan lebih detail dari kalimat Anis.

“Aku tahu Mbak Bhara tuh nggak mengenal yang namanya pacaran tapi......” belum sempat melengakapi kalimatnya, Anis melihat ke arah pintu. Tak lama berselang Awan dan beberapa anak lelaki masuk ke kelas tanpa salam. Bhara pura-pura nggak melihat.

“Mbak, sepulang sekolah ada acara, ya? Aku mau main ke rumah Mbak Bhara aja. Nggak jadi curhat di sini, takut ada yang ndengar...” Anis mulai salah tingkah. Meski berusaha menyembunyikannya tapi toh Bhara bisa menebak mengapa Anis mengurungkan niat curhatnya. Jawabannya sederhana : orang yang ditaksir Anis ada di sini. Siapa lagi kalo’ bukan ketua suku yang baru saja datang : Awan!

“Nanti sepulang sekolah ada ASC. Ikut, yuk! Acaranya sampai Ashar... habis itu langsung aja ke rumahku. Nanti tak anter pulang menjelang Maghrib. Tapi kau harus izin ibumu dulu. “

“ASC? Acara apaan tuh Mbak?”

“Masak nggak pernah dengar, sih. ASC itu Ash-Sholiihin Study Club.”

“Oooh..kaya’nya menarik juga. Kegiatan belajar bareng anak-anak Rohis ya, Mbak? Gimana sih kegiatannya?”

“Ya kita ngerjain soal-soal atau membahas kesulitan belajar di kelas. Tentornya kakak kelas 3. Hari ini jadwal kita belajar Fisika... Ayo’, Nis ikut aja. Minggu depan kan Bu Mei akan mengadakan ulangan. Ya itung-itung nyicil belajarlah...biar pas hari- H kita bisa ngerjakan dengan optimal...” akhirnya Bhara promosi padahal sebelumnya nggak ada rencana untuk itu.

“Aku pikir-pikir dulu aja ya Mbak. Kalau nggak jadi ikut berarti nanti sore aku langsung ke rumah Mbak. Ok?”

“Boleh!” Bhara mengangguk mantap.

“Sip..!” Anis memamerkan dua jempolnya.

“Kalau gitu aku ke perpus dulu, ya! Mau ngembalikin buku. Kalau telat nanti kena semprot Mbak Mur.”

“I ya, deh aku juga mau ke kantin.”

Keduanya berpisah di pintu kelas. Soalnya arah kantin yang dituju Anis berlawanan dengan letak perpus sekolah.

Beberapa langkah lagi Bhara akan sampai di perpus tapi....

“He... Ra, mau ke mana? Nyari aku ya?” sebuah suara yang khas membuatnya celingukan. Tak lama kemudian Bhara merasa ada yang menutup matanya.”

“Idih...apa-apaan, sih , Ya?” Bhara cemberut. Caya memasang wajah marahnya.

“Kamu jahat, Ra! Membiarkan aku terperangkap dalam demam berkepanjangan. Kau biarkan aku kembali pada dunia maya yang menyengsarakan. Kau...”

Bla-bla...Bhara ingin lari rasanya. Seperti biasa Caya membuatnya merasa terpojok dan terjepit dalam tanda tanya besar : salahkukah semua ini?

“Kita bicara baik-baik, ya.. Ya! Ke sekretarian Rohis, yuk! Mumpung lagi sepi. Aku bawa kuncinya, kok.” Bhara mengurungkan niatnya ke perpus dan mencoba menawarkan tempat yang nyaman. Caya mengiyakan.

Di ruang yang berukuran 4x6 itu Caya mengungkapkan keluh kesahnya. Masih seputar kegelisahannya menepis gelora rasa terhadap Awan. Caya memberikan argumen-argumen yang kuat; bahwa Awan adalah sosok yang pantas untuk dicintai. Bhara mencoba bersabar mendengarkan setiap kata dari mulut sahabatnya. Ia masih menunggu Caya mengungkapkan pemaparannya yang lebih terperinci. Sampai akhirnya....

“Please tolong aku, Ra!” Wajah Caya memelas.

“Aku butuh jawaban yang menyejukkan. Meski kutahu itu klise dan kau pun telah terlalu sering mengatakannya.” Caya menatap Bhara penuh harap.

“Baiklah, aku akan coba menawarkan alternatif baru. Jika selama ini kau telah sekuat tenaga menjaga pandanganmu untuk tidak menatapnya maka mulai detik ini cobalah juga untuk tidak menyebut namanya dalam setiap perbincangan kita.”

Caya mendesah pelan. Bhara meyakinkan sahabatnya bahwa cinta kepada manusia tanpa landasan yang benar hanya akan membuahkan kecewa.

“Kerap kali kita menjumpai kepalsuan. Hal yang kita sangka bahagia ternyata mengecewakan.”

Sepuluh menit lebih Bhara mendapati Caya diam. Bhara tidak tahu apa yang sedang dipikirkan gadis tomboy yang hampir sebulan ini menyulsulnya berjilbab. Perlahan diraihnya tangan Caya, mencoba menguatkannya untuk mengendalikan rasa itu dengan baik.

“Kembali ke kelas, yuk! Bentar lagi Bu Ema datang. Sayang, kan kalau kau melewatkan matematikamu tercinta.”

Caya masih diam. Bhara bingung mau berkata apalagi.

“Kalau menurutmu apa yang kukatakan tadi terlalu ekstrim, kau boleh memilih langkah yang lebih tepat dan sesuai dengan kondisimu saat ini.”
Caya menatap Bhara lekat, “ Apa iya begitu?”


Jam setengah lima sore Bhara baru sampai rumah. ASC hari ini asyik nian. Pemandunya memang jagoan Fisika. Kabarnya mau masuk teknik elektro UGM via PBUD. Ah, andaikan berandai-andai itu boleh, aku juga ingin masuk UGM tapi ngambil HI saja..keren...siapa tahu bisa ketemu Amien Rais atau minimal anaknya. He..he.. apa hubungannya? Coba tebak? Bhara juga nggak tahu..we...!

“Ra, tadi Anis ke sini. Ke mana aja, sih kamu ditungguin kok nggak pulang-pulang?” tegur bundanya begitu ia siap beraksi ke meja makan. Lapar banget dari siang belum makan.

“Kan, kemarin Bhara sudah izin pulang sore, Nda.” Jawabnya santai sembari mengambil nasi dari Magicjer.

Astaghfirullah! Bukankah tadi pagi Anis sudah buat kencan denganku. Tiba-tiba selera makannya jadi hilang. Dasar pelupa! Bhara memaki dirinya sendiri.

“Ada pesan nggak, Nda?”
“Ada. Nih..surat kepada layang.” Bunda memang suka berkelakar.
Bhara cengengesan, “Bukannya layang kepada surat, Nda?”
“Emboh, Nduk! Aku mau njahit dulu....Apa pun pesan itu segera dibaca lho, barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan Anis.”

Bunda meninggalkannya sendirian di meja makan. Meski tidak antusias, akhirnya ia menuruti saran bundanya. Selesai makan dan mencuci piring, dibukanya surat dari teman sekelasnya itu.

Assalamu’alaikum, Mbak Bhara! To the point aja ya.!
Akhir-akhir ini Awan rajin ke musholla, apakah ia mau bergabung dengan anak-anak Ash-Sholihiin, Mbak? Dan sikapnya kok jadi aneh, ya? Sombong banget! Ia nggak mau mbonceng cewek...biasanya dia nawarin mboncengin aku pulang ke rumah tapi kok sekarang nggak mau lagi. Emangnya Mbak tahu kenapa?

Pacaran itu haram ya, Mbak? Tapi kalau sekedar pingin dekat dengannya boleh nggak? Cinta kan nggak harus memiliki! Tapi gimana bisa dekat lha wong dia aja angkuh begitu. Apa aku juga harus berjilbab seperti Mbak agar bisa menarik simpatinya?
Jawab ya Mbak! Besok pagi taktunggu di gerbang sekolah! Via kertas aja jawabannya dan jangan sampai ketahuan siapa-siapa ya!Thanks. Wassalam
Anis


Bhara mengulang-ngulang istighfarnya....Mengapa jadi begini nasib sahabat kecilku? Aku harus bilang ke ikhwan Ash-Sholihiin untuk menjaganya. Tapi siapa? Lagian apakah aku berhak mencampuri urusannya? Bhara menggeleng! Rasanya nggak perlu, ia takut terjadi fitnah.


“Raa..ada telfon! “ Bunda berteriak memanggilnya dari ruang tengah.

Jam delapan malam. Baru dua soal dari 20 soal trigonometri yang diberikan Bu Ema terjawab, eh... sudah ada gangguan teknis. Kapan bisa kelar? Bhara mengeluh.

“Assalamu’alaikum.” Sifat hiprokit-nya kambuh...pura-pura jadi orang terramah sedunia.

“Ra..anu...eh... ‘Alaikumussalam. Gini lho, aku Cuma mau ngasih tahu kalo’ ternyata Anis juga naksir Awan. Parahnya lagi, ternyata nggak cuma dia yang suka dengan Awan. Widya, Yanti, Tri, dan Tyas juga kepincut berat sama Awan. Gimana dong, Ra?”

Bhara melongo mendengar suara penuh nada kecemasan dari sebrang. Kasihan benar Caya...berita seperti itu saja harus dikabarkan padaku. Bhara ngedumel dalam hati.

“Istighfar Ya...Istighfar yang bener. Wudhu dulu, abis itu tanyakan pada hati nuranimu : Apa I ya semua yang kau lakukan untuk melupakan Awan sudah dilandasi kesadaran. Meski wajar bila kadang rasa itu menggelora di hatimu, tapi jangan terus dibiarkan, dong! Ingat, jalanmu masih panjang. Dah dulu ya...Caya Sayang aku mau nyelesain PR dari Bu Ema dulu. Daag...Assalamu’alaikuum.”

Bhara menutup telepon tanpa persetujuan dari lawan bicaranya. Ia tertegun sejenak. Kata-kata yang diucapkan pada Caya sebenarnya lebih pas untuk dicernanya sendiri.
Astaghfirullah! Bhara mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Awan...Awan, mengapa banyak sekali yang menjatuhkan harap padamu?

Tanpa semangat Bhara kembali ke kamarnya. PR matematika yang berjumlah 20 soal itu menjadi tidak menarik lagi. Pandangannya sengaja ia kembarakan ke seluruh penjuru kamar. Buku diarynya yang bersampul hijau muda seolah melambai padanya. Menawarinya untuk berbagi tentang cerita-ceritanya hari ini.

Bhara tak menolak tawaran itu. Diambilnya diarinya dari rak buku yang tertempel di dinding. Baru beberapa kata tertulis tapi Bhara memutuskan untuk berhenti. Diurungkan niatnya untuk membingkai kisah tentang Awan. Sudah terlalu sering ia tulis nama yang sama pada diarynya.
Sebetulnya apa sih keistimewaanmu, Wan? Berlagak lupa, Bhara pun membuka lembar-lembar awal.....

17 Juli 2000
Muhammad Awan Kelana. Entah atas dasar apa kutuliskan namamu pada diary ini. Yang jelas aku sebel bin kesal serta tak habis pikir : kenapa kau sekelas lagi denganku? Huuh..aku jadi berprasangka yang macam-macam. Aku takut tak berani memulai perubahan total karena kau telah tahu bagaimana dan siapa aku waktu di TK, SD, dan SLTP. Aku takut kau akan membeberkan rahasiaku pada yang lain; bahwa aku angkuh, dingin, dan tentu saja nggak gaul. Astaghfirullah, maafkan aku, Wan!

18 Juli

Aku nggak peduli, Wan! Meskipun kau ada di kelasku, aku harus tetap berubah. Aku harus berani memulai petualangan baruku ‘tuk tunjukkan eksistensiku sebagai muslimah. Juju aja: aku masih harus banyak belajar darimu, terutama tentang cara membawa diri pada lingkungan yang heterogen dan bagaimana bisa berbaur dengan semua pihak tanpa melupakan kesejatian diri.

20 Juli
Masa orientasi sudah berakhir. Kita sudah benar-benar resmi menghuni sekolah ‘kaporit’. Bagaimana denganmu, Wan? Apa kau sudah mulai bangga menjadi warga ‘Permadani Hijau’? Eh, gimana rasanya kepilih jadi kepala suku di kelas punya banyak etnis ini?? Mudah-mudahan kau bisa jadi kepala suku yang baik...Amien.
10 Agustus
Kamu memang ‘ndableg’, Wan! Kamu nggak suka ‘dioyak-oyak’. Dan akibatnya, nikmati aja sendiri...kelas kita terlambat mengumpulkan foto untuk raport dan kelengkapan administrasi. Tapi aku yakin kau tetap pegang amanah, kok. Insya Allah!


17 Agustus

He...akhirnya kelas kita dinobatkan jadi kelas paling memprihatinkan dalam lomba kebersihan. Gimana perasaanmu? Cuek..pasti nggak kerasa apa-apa. Sebab apapun kata orang, kau akan bilang yoben, biarin!


September 2000
Aku benci kau, Wan..asli! Siapa suruh kau calonkan aku jadi anggota MPK. Aku nggak suka rapat...kau tahu, kan sebenarnya? Tapi it will be oke karena sidang pleno itu hanya setahun sekali. Di komisi B, kami membahs tentang progam kerja OSIS. By the way, kau lulus jadi OSIS baru ya! Selamat, mudah-mudahan kau dapatkan banyak pengalaman. Sayangnya Dik, kau nggak aktif di musholla. Sebenarnya pilih Scout boleh aja, OSIS pun silakan asal RoHis jangan dilupa...Sayang seribu sayang jika ngaji pun kau tinggalkan!


Bosan membaca, Bhara menutup diarynya. Dan kesimpulannya : Caya benar. Awan adalah figur yang istimewa, buktinya ia pun memperhatikan sosok yang kadang kala dianggapnya sebagai musuh bebuyutan.

Kembali Bhara beristighfar.

Ya Allah bersihkanlah hati kami dari segala sesuatu yang membuat kami berpaling dari-MU. Izinkan kami merasakan keindahan kasih-MU selalu.

Bhara tersedu menghayati do’a yang pernah didapatnya dari seorang sahabat. Entah dari mana sumbernya, ia tak tahu. Kini dibukanya kembali kertas merah jambu yang disimpannya di sela-sela buku diarynya. Berharap ia tak kan larut & tertular penyakit yang tlah menjangkiti teman-temannya dan kini mulai menyerangnya.

YA ALLAH, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya kepada-MU, agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-MU. YA MUHAIMIN, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-MU YA ALLAH, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-MU, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu. YA RABBANA, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada-MU. YA RABBUL IZZATI, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-MU. YA ALLAH, jika aku menikmati cinta kekasih-MU, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-MU. YA ALLAH, jika aku jatuh hati pada kekasih-MU, jangan biarkan aku tertatih & terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru pada manusia kepada-MU. YA ALLAH, jika KAU halalkan aku merindui kekasih-MU, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki&rindu abadi hanya pada-MU *)

Ngawi, 1 Juni 2001 dengan beberapat edit-an 3 tahun kemudian
Untai rindu untuk Ash-Sholihiin Crew : Moga Istiqomah selalu!
*) diambil dari lembar yang dihadiahkan Bu Is tanpa kutahu sumbernya dari mana.

0 comments:

Post a Comment