Tuesday 13 July 2010

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami (No Sufor No Cry)

0 comments

Sebuah catatan kecil yang kubuat selama MH badminton:Rabu Malam, mengejar lomba menulis bunda tapi terlambat. Hitung2 stimulasi bikin buku baru: catatan rumah tangga muda! Lagi mengamankan ide. Doakan segera terlahir dengan selamat dan bahagia ^_^

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami

Subhanallah! Semua terjadi begitu cepat. Pernikahan saya hanya membutuhkan persiapan selama 3 pekan. Alhamdulillah, acara aqad dan walimatul ursy pun berjalan relatif lancar. Semua terasa seperti mimpi. Apalagi sebulan kemudian Allah memberi kami amanah yang baru. Saya tak mendapati haid lagi setelah pernikahan kami.
Saya hamil. Ya Allah! Sebagai perempuan normal, tentu saya bahagia. Saya merasa purna sebagai seorang istri. Di sisi lain, saya merasa gundah. Betapa cepat amanah baru ini diberikan. Saya menata hati, berbaik sangka pada Allah dan berdoa agar diberi kemampuan menunaikannya dengan sebaik mungkin.

Tiap bulan, suami mengantar saya ke rumah sakit. Tiap bulan pula dengan sabar, ia menunggu sampai tiba giliran kami untuk berjumpa buah hati via USG. Saya beruntung. Laki-laki yang berstatus calon ayah bayiku begitu peduli. Ia juga proaktif menjaga calon mujahid kami sejak dalam kandungan. Ia tak hanya ikut memperhatikan asupan gizi calon bayi kami tapi juga rajin mengajaknya berkomunikasi, mengelusnya, dan mengajaknya bicara tentang apa saja. Bila adzan masjid depan rumah kami berkumandang, ia pun berbisik ke perut saya, “Dede’, sudah adzan, dengarkan, ya!”


Sebagai calon ibu baru, saya juga rajin membaca perkembangan bayi dalam kandungan. Saya mengikuti perkembangan bayi kami dari bulan ke bulan dengan membaca buku “9 Bulan yang Menakjubkan” terbitan Ayahbunda dan rajin searching seputar kehamilan via internet.

Pada bulan ke-3 dan ke-4, atas anjuran suami, saya cuti dari sebagai editor sebuah penerbitan di Solo. Selain menjaga kehamilan pertama, dalam masa cuti itu saya berharap bisa menyelesaikan skripsi. Ternyata tak mudah. Saya sering teler dan tak juga bisa berkonsentrasi. Bulan ke-5 hingga menjelang bulan ke-9, saya kembali menikmati aktivitas di kantor. Tiap hari menempuh perjalanan 2 x 22 km. Jalan terasa begitu panjang. Alhamdulillah di bulan-bulan terakhir kehamilan suami bersikukuh untuk mengantar jemput saya.

Berdasarkan HPL, bayi kami lahir sekitar tanggal 20 April 2009. Pertengahan Maret 2009, saya diizinkan untuk membawa kerjaan kantor ke rumah. Saya mengedit naskah di rumah. Kemudian, akhir Maret, kami memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran, Ngawi. Secara psikologis, saya ingin dekat dengan ibu dan ditunggui beliau saat persalinan. Alhamdulillah, suami mengerti dan tak sedikit pun keberatan untuk bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Begitu pula yang terjadi saat kesibukan menjelang dan pasca pemilu. Suami tetap bertekad pulang tiap akhir pekan.

HPL kurang seminggu lagi, akhir pekan tanggal 11 April, suami pulang ke Ngawi dalam kondisi capek pasca pemilu. Sudah feeling kali, ya, bayi kami akan lahir. Jadi tetap memilih pulang meskipun ada undangan pernikahan. Suamiku memang tipe suami siaga.

Tanggal 12 April tengah malam, saya merasa aneh. Ada semacam kontraksi. Rasanya seperti mau buang air besar. Saya belum ngeh juga kalau waktu persalinan telah tiba. Meski terasa sakit, saya terlelap sampai sepertiga malam terakhir. Saat terbangun, saya sudah merintih kesakitan. Tak lama kemudian, bersama ibu dan suami, saya menuju tempat persalinan terdekat. Tanpa banyak persiapan kami berangkat.

Menjelang Subuh kami sampai di Rumah Bersalin. Saat diperiksa baru pembukaan satu. Sekitar lima menit kemudian sudah pembukaan sembilan. Masya Allah, kontraksi terjadi seolah tanpa jeda. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Apalagi bidan masih menangani satu pasien yang terlebih dahulu datang. Saya harus menunggu giliran. Padahal bayi kami sudah hampir lahir. Suami tetap siaga di samping, ibu pun ada di kamar menunggui saya dengan harap-harap cemas.
Adzan Subuh terdengar begitu syahdu. Saya menahan sakit, menetralisir segala rasa dengan dzikrullah. Suami saya keluar ruangan bersalin untuk shalat Subuh berjama’ah di mushola. Ia tak menyia-nyikan kesempatan itu untuk mengulang doa agar saya diberi kemudahan saat melahirkan dan agar bayi kami terlahir dengan selamat.

Bidan yang seharusnya membantu persalinan saya ternyata merujuk pasien ke rumah sakit. Saya harus menunggu. Sungguh, saya nggak kuat : duh sampai kapan? Akhirnya proses kelahiran pertama saya dibantu oleh bidan muda. Usut punya usut, ia adik kelas saya di SMA. Alhamdulillah, hanya dengan dua-tiga kali mengejan, bayi kami lahir dengan selamat.

Suami saya menangis haru dan mencium kening saya saat tangis pertama bayi kami terdengar. Setelah dibersihkan, ia mengumandangkan adzan dan iqomah secara bergantian di kedua telinga.
*******

Kesedihan pertama yang saya rasakan pasca melahirkan adalah belum bisa memberikan ASI pada buah hatiku. Padahal sejak ia dalam kandungan, saya sudah bertekad untuk tidak memberi setetes pun susu formula pada bayiku. Tetapi apalah dayaku. ASI belum keluar walaupun pasca melahirkan ia diletakkan di dadaku untuk inisiasi menyusui dini. Sedih bukan kepalang menyaksikan suamiku menyuapi bayi kami susu formula sendok demi sendok.

Kutepis sedihku dengan banyak-banyak berdoa. Apapun akan kulakukan agar bisa memberikan ASI. Selain makan kacang-kacangan dan berbagai macam sayuran hijau, saya juga rajin melakukan massage untuk merangsang agar ASI segera keluar. Saya pun rajin memberikan puting susu meski asi belum keluar. Suami juga tak henti-hentinya memberikan support. Ia meyakinkan saya bahwa setiap ibu hamil Insya Allah bisa menyusui bayinya.

Alhamdulillah hari ke-6, ASI keluar. Saya pun segera memberikannya pada bayi kami. Asi pertama yang keluar mengandung kolustrum, jadi kami tak ingin melewatkannya.

Hari ke-7, saat aqiqah, saya sudah memberikan ASI pada mujahid kecil yang kami beri nama Arkan Dian Husnayan. Secara makna, namanya merupakan harapan agar ia menjadi anak pertama (awal) ~sebagai dasar~ dalam menggapai cahaya kemenangan agama (Islam). Alhamdulillah, di hari aqiqah banyak sekali yang datang memberi ucapan selamat dan doa.

Selama tujuh hari pertama, kami dibantu Bulik yang sudah berpengalaman dalam memandikan dan merawat bayi. Setelah pupak pusar, saya mulai belajar memandikan. Alhamdulillah, suami pun juga segera mahir sehingga kami bisa bergantian memandikan Arkan.

Suami masih harus bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Saya sedih tiap kali ditinggal suami. Sepertinya sempat terjangkit baby blues syndrom. Biasalah ibu muda, masih butuh banyak support. Lebay kali, ya, hampir tiap hari saya mengirim foto perkembangan terbaru Arkan. Hal itu berlangsung sampai 2,5 bulan sampai kami boyongan ke Solo.

Saya yang masih rajin searching seputar bayi dan tumbuh kembang bayi. Setiap kali menemui hal baru yang belum saya ketahui saya menjadikan Mbah Google sebagai guru pertama. Hasilnya lumayan. Tak perlu konsultasi dokter atau bidan, saya mampu mengatasi problematika yang ada. Saya senantiasa memantau tumbuh kembang bayi. Memastikan bahwa tumbuh kembang Arkan sesuai dengan usianya.

Selain full ASI pada enam bulan pertama, saya dan suami rajin membawa bayi ke bidan untuk melihat grafik pertambahan berat badan dan memijatkannya sepekan sekali. Kalau terlambat, maka giliran suami saya yang memijatnya. Hal ini kami rasakan banyak sekali manfaatnya.

Alhamdulillah Arkan lulus ASI ekslusif versi saya (meski enam hari pertama terpaksa mencicipi sufor). Tepat enam bulan ia mulai menikmati MPASI yang orisinal buatan saya sendiri. Hanya sebulan saja ia mau mencicipi bubur susu instant. Selanjutnya, ia menolak dan sampai sekarang tidak mau mencicipi makanan bayi instant kecuali biskuit.

Kami bersyukur. ASI ekslusif terbukti tokcer. Arkan tumbuh sehat dan jarang sekali sakit. Ia juga lincah dan ceria. Sampai sekarang Arkan tetap minum ASI dan tidak beralih ke susu formula. Insya Allah kami akan mengupayakan ASI sampai Arkan berusia dua tahun. Tak mudah memang, banyak sekali yang menegur: Kenapa nggak dikenalkan dengan susu formula?
*******

Tumbuh kembang tiap bayi itu unik. Itulah mengapa kami tak pernah membandingkan Arkan dengan anak-anak usianya. Kami tak perlu khawatir, misalnya, ketika di usia satu tahun ini Arkan belum lancar berjalan sedangkan ada juga bayi 9 bulan sudah lancar berjalan. Arkan punya prestasi tersendiri dalam tahapan usianya. Sekarang ia sudah pandai cium tangan, dada, sayang Ummi-Abi, menyuapi Ummi-Abi, berlagak menyisir rambut sendiri, berlagak telp, bilang maem atau nenen jika merasa lapar atau haus, menyambut kedatangan Abi, dsb.

Kini sudah satu tahun usia sulungku. Begitu banyak hal yang menakjubkan yang membuat saya dan suami tak henti-hentinya bertasbih dan bersyukur. Sungguh jalan yang terbentang masih begitu panjang. Kami pun masih harus banyak belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Menyaksikan tumbuh kembangnya dari hari ke hari adalah menuntun kami untuk senantiasa bersyukur. Pengalaman pertama menjadi orangtua menyadarkan kami betapa ia adalah anugerah terindah dari-Nya. Semoga ia menjadi cahaya mata, penyejuk hati kami selamanya, dan bermanfaat untuk agama dan ummat.

Solo, 15 April 2010:23.00
Kado milad buat Arkan Dian Husnayan.
Jazakallah buat MH atas semua support selama ini:)