Wednesday 25 March 2009

CAHAYA YANG TERUS MENYALA*

0 comments
Inilah resensi Buku Pedoman Asistensi (BPA)UNS yang kini telah direvisi. Saya melihat tampilannya kini sudah berubah namun muatan di dalamnya tak jauh berbeda dari sebelumnya.

DATA BUKU
Judul : Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi
Penyusun : Yeceu Ekajaya, dkk.
Penerbit : Nurul Huda Press
Edisi :Edisi keempat, September 2005
Tebal : xvii + 166 halaman

Kita tentu sudah sangat faham bahwa masa muda adalah masa yang paling berharga dalam fase kehidupan manusia. Di masa mudalah kekuatan fisik menyatu dengan berbadai ide dan cita-cita serta tekad yang kuat membaja. Benarlah apa yang dikatakan Hasan Al-Banna bahwa pemuda adalah pilar kebangkitan, karena memang dalam setiap kebangkitan pemuda adalah pengibar panji-panjinya. Tidaklah mengherankan jika banyak pihak yang berusaha untuk memanfaatkan pemuda untuk memenuhi tuntutan ambisinya.

Menyadari kondisi umat Islam yang jauh melangkah dan terjebak dalam kondisi kejahiliyahan maka Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi, Buku Panduan Asistensi (BPA) Agama Islam UNS, disusun oleh Tim BPA. Buku ini adalah persembahan istimewa untuk menyambut mahasiswa baru yang masih bersemangat dalam menemukan jati dirinya.



BPA disusun dengan sistematis. Hal itu dapat kita lihat dari penyusunan bab demi bab. Bab 1 mengajak kita, khususnya mahasiswa baru, untuk mengenal diri kita sebagai manusia individu. Tiga unsur manusia, akal, jasad dan ruh, membentuk senyawa kepribadian sehingga membedakan kita dengan makhluk yang lain. Dengan memahami Manusia Dalam Perspektif Islam kita diharapkan mampu menyadari potensi dan keistimewaan kita sebagai manusia. Dengan pemahaman yang benar manusia diharapkan mampu melaksanakan misi penciptaan yang diembannya.

Setelah mengenal eksistensi kita sebagai manusia dalam perspektif Islam, dalam 3 bab selanjutnya, bab 2, 3, dan 4, kita diajak untuk berma’rifah (mengenal) Allah, Rasul, dan Islam. Ma’rifatullah, Ma’rifatul Rasul, dan Ma’rifatul Islam adalah 3 hal penting yang harus difahami oleh seluruh umat Islam. Pemahaman yang benar akan 3 hal tersebut sesungguhnya berkolerasi dengan lurusnya aqidah seorang muslim.

Setelah mengenal Allah, Rasul, dan Islam, mata kita dibuka untuk melihat
Problematika Umat Islam yang kini telah melanda. Realitas individu (lemahnya komitmen aqidah, wawasan, spiritual, kemauan dan cita-cita serta harga diri individu muslim) dan realitas masyarakat (lemahnya kepemimpinan, persaudaraan, jaringan, dan lemahnya perencanaan dakwah) sesungguhnya adalah penyakit yang semakin menyurutkan kekuatan umat Islam dalam menghadapi tantangan masa kini, baik invasi fisik maupun invansi pemikiran (ghazwul fikri) yang berupaya untuk menjauhkan umat Islam dari fitrahnya. Dalam bab ke-5 ini kita disadarkan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah kemestian. Diperlukan dakwah Islamiyah yang syamilah (komprehensif) untuk menyingkirkan penyakit dari dalam tubuh umat Islam.

Dalam menyongsong kebangkitan umat Islam dan menjalankan dakwah Islam yang menyeluruh maka Tarbiyah Islamiyah yang ada dalam bab ke-6 adalah perangkat yang ditawarkan. Bab ini membahas pengertian, urgensi, dan karekteristik tarbiyah Islamiyah. Secara umum, tarbiyah Islamiyah adalah proses penyiapan menumbuhkan dan membentuk manusia yang shalih pada setiap sisinya sehingga tercipta keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan dan tindakannya. Bab ini meyakinkan kita bahwa tarbiyah adalah solusi yang tepat untuk mencapai tujuan mulia. Diperlukan kesungguhan dalam proses tarbiyah karena, seperti yang dikatakan Musthafa Masyur, tarbiyah memang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya takkan bias diraih kecuali dengan tarbiyah.

Manusia membutuhkan pedoman hidup yang jelas agar tidak tersesat. Dalam bab terakhir, bab ke-7, kita diingatkan bahwa pedoman hidup seorang muslim adalah Al-Quran. Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Bab ini menjelaskan tentang fungsi, keistimewaan, dan kewajiban kita terhadap Al-Quran.

Buku Panduan Asistensi ini cukup lengkap dan mampu menutupi kekurangan materi dalam Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Susunannya yang sistematis memudahkan kita untuk memahami bab demi bab. Kita seolah diajak berpetualang dengan rute yang menarik. Bab demi bab yang telah terbaca memudahkan kita untuk memahami bab selanjutnya. Sisi kemanusiaan kita disentuh dengan cara yang sangat lembut lewat jeda yang ada di antara bab satu dengan bab yang lain. Sejenak Merenung adalah jeda yang menuntun kita untuk mengambil untaian hikmah yang sarat akan pembelajaran dalam memaknakan kehidupan.

Buku ini memang sistematis. Namun akan lebih menarik jika gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa ringan, mengingat buku ini ditujukan untuk mahasiswa muslim yang baru saja lulus SMA. Tidak ada salahnya jika dalam edisi selanjutnya, buku ini ditulis dengan bahasa gaul yang santun dan mudah difahami. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kejemuan mahasiswa baru dalam membaca keseluruhan isi buku yang cukup berat. Kosa kata bahasa arab memang tetap diperlukan. Meskipun sudah ada glossary untuk kata-kata sulit tersebut, namun pemilihan kata yang sesuai dengan karakteristik anak muda tetap diperlukan.

Dari edisi pertama sampai edisi keempat ini tidak ada revisi yang signifikan. Buku ini memang masih relevan jika digunakan untuk beberapa tahun mendatang. Namun dalam edisi selanjutnya haruslah diupayakan revisi dan inovasi yang menarik. Setting dan lay out buku ini bisa dipercantik, dan font yang digunakan tidaklah harus Times New Roman yang kesannya sangat formal. Tidak ada salahnya jika ditambahkan ilustrasi lucu (gambar kartun misalnya) dalam setiap babnya.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi, diharapkan mampu menjadi sarana untuk mendukung kembalinya generasi Islam pada jalan yang sesungguhnya dan sebagai sarana untuk menggapai cahaya-Nya. Semoga buku ini mampu menjadi sumber rujukan bagi setiap muslim yang mencari jalan kebenaran. Semoga buku ini benar-benar mampu menunjukkan cahaya. Cahaya yang membuka hati manusia untuk menggapai hidayah-Nya. Ya! Karena cahaya itu akan terus menyala!
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah akan tetap menyempurnakan agamanya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff:8)

*resensi kecil masa kecil,juara III lomba resensi perpus ukmi di masanya.

PANGGILAN DAN KENYAMANAN

0 comments

“Tidak suka dipanggil dengan sebutan ‘boss/pak..”

Saya tersenyum membaca profil salah seorang al-akh. Ia adalah salah satu anggota di sebuah ‘tim dakwah’ yang usia di kampusnya terpaut dua angkatan di bawah saya. Saya tidak menyangka ia akan menuliskan hal tersebut dalam form yang saya bagikan sebelumnya. Dan hari ini, setelah lima bulan berlalu, saya minta maaf kepada al-akh, anggota tim yang lain. Saya merasa bersalah karena beberapa waktu terakhir sering memanggilnya dengan ‘Dik’. Panggilan yang sebenarnya biasa saya gunakan untuk memanggil adik-adik saya, baik ikhwan/akhwat yang berasal dari tanah kelahiran saya, Ngawi.

Ada yang salah dengan panggilan tersebut?


Jawabannya tergantung dari masing-masing personal dan apa yang ada di dalam hatinya. Sebenarnya saya merasa nyaman saja memanggil teman-teman yang usianya terpaut beberapa tahun di bawah saya dengan panggilan ‘Dik’. Bagi saya, panggilan ‘Dik’ ke akhwat menimbulkan kedekatan, sedangkan memanggil ‘Dik’ pada ikhwan akan memperjelas batas; bahwa ia lebih muda daripada saya. Dengan begitu –awalnya- saya fikir lebih aman dalam berinteraksi. Saya tidak mempunyai maksud apa-apa.

Ketika ada teguran yang datang, ataupun ada pertanyaan yang terlontar dari seorang sahabat tentang alasan mengapa saya memanggil al-akh dengan panggilan tersebut, saya menjawabnya dengan alasan di atas. Meskipun seorang ukhti di Surabaya mengatakan bahwa memanggil ikhwan dengan panggilan ‘Dik’ adalah salah satu bentuk pelanggaran, saya tetap melakukannya. Menurut saya tak ada yang salah dengan panggilan tersebut.

Saya sadari bahwa panggilan yang kita berikan pada orang-orang di sekitar haruslah panggilan yang baik. Bukankah Rasulullah pun mengajarkan untuk memberikan panggilan yang baik pada orang lain? Jadi bukan asal kita merasa nyaman, tapi lebih dari itu kita pun harus memperhatikan perasaan orang yang kita panggil.

Di kalangan aktivis –ikhwan/akhwat-, mungkin panggilan yang paling aman adalah ‘Akhi/Ukhti’. Meskipun di beberapa tempat kebiasaan itu kadang tidak berlaku untuk semua usia. Daerah Jogja misalnya. Berdasarkan cerita dari teman-teman di UGM, mereka terbiasa memanggil ikhwan dengan sebutan ‘Pak’. Teman-teman Indonesia Timur –yang saya tahu akhwat Ternate- memanggil ikhwan yang lebih tua dengan panggilan ‘Kak’, sedangkan teman-teman di Padang mempunyai panggilan ‘Uda/Bang’. Jadi, memang tak ada keharusan memanggil apa pada ikhwan/akhwat. Pun memanggil dengan panggilan ‘Akhi/Ukhti’. Apalagi di khalayak ramai, panggilan tersebut cenderung kita minimalisasi.

Kembali ke masalah yang saya sampaikan di awal. Apakah ada yang salah dengan panggilan ‘Dik’ yang saya tujukan pada seorang al-akh? Kurang ahsan-kah panggilan tersebut? Entahlah...tiba-tiba saja saya merasa harus mengubah cara saja memanggil al-akh itu, meskipun secara usia ia terpaut beberapa tahun di bawah saya. Ya! Saya khawatir ia tidak ridha terhadap panggilan yang saya berikan. Saya masih ingat, dalam SMS terkadang ia masih sering memanggil saya dengan ‘Ukh’. Hanya sekali dua kali ia memanggil saya dengan ‘Mbak’. Saya kemudian berkesimpulan bahwa tidak semua ikhwan –yang secara usia lebih muda- senang dipanggil ‘Dik’, seperti halnya saudara saya yang tidak suka dipanggil ‘Boss/ Pak’

Adalah hal yang wajar memanggil orang dengan panggilan yang membuat kita merasa nyaman dengan panggilan tersebut. Namun, ada baiknya kita berfikir ulang dengan panggilan yang kita berikan. Saya khawatir panggilan yang kurang tepat bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Bagaimanapun kita harus menjaga diri dan tahu dengan siapa kita bergaul. Alhamdulillah, saya pun sedikit lega ketika akhirnya al-akh yang beberapa waktu terakhir saya panggil ‘Dik’ ternyata tidak keberatan dengan panggilan tersebut.
Kmrn sya ngk OL ki & jga blm bca psn mbk. IA sya ngk mslh dipnggil DIK, toh srg dpngl dik ma mbk Iin. Mlh lbh nyaman dipnggl dik. Tfdhli mbk bety mo mangl apa.


Wisma Kemuliaan, 6 Oktober 2007