Monday 6 December 2010

Man jadda wa jadda: Kesungguhanmu benar-benar Diuji!

0 comments


Tahun 2003, saya diterima di sebuah kampus negeri di Surakarta (Solo). Kami menyebutnya kampus hijau. Bukan hanya karena masih banyak pohon hijau di dalamnya tapi lebih karena dakwah kampus dan sepak terjang para aktivisnya.

Tahun 2004, saya berniat hengkang dari kampus. Sungguh, saya belum merasa nyaman tinggal di Solo. Saya masih belum sreg dengan jurusan. Saya mencoba mengikuti ujian masuk sebuah sekolah tinggi negeri dengan semangat yang menyala-nyala. Sayang sekali tidak lolos. Manusia hanya mampu berencana, dan saya selalu berhuznudzon atas semua takdir-Nya. Maka, meski sempat disorientasi, saya mencoba menikmati kuliah saya di Solo.

Sejak awal, saya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan (khususnya aktivitas dakwah kampus). Saya tidak ingin menjadi mahasiswa triple K yang aktivitasnya hanya berkutat pada tiga hal: kuliah-kantin-kos. Saya juga rajin menghadiri seminar, talkshow dan pelatihan-pelatihan. Banyak bekal yang saya perlukan untuk menghadapi kehidupan pasca kampus. Saya sadar bahwa kuliah yang saya jalani bukanlah satu-satunya jalan untuk mencari pekerjaan.

Tahun 2005, saya memutuskan untuk menjadi bagian dari santriwati sebuah pesantren mahasiswa. Kesibukan saya bertambah banyak. Rutinitas saya dimulai dari jam setengah enam pagi: dirosah (kuliah pagi di pesantren mahasiswa). Kemudian dilanjutkan aktivitas kampus: kuliah, rapat-rapat keorganisasian, dan kegiatan-kegiatan yang seolah tanpa jeda. Meski begitu, di akhir pekan saya tetap menyempatkan diri untuk pulang ke tanah kelahiran, Ngawi.

Di tahun ini, keinginan untuk pindah jurusan semakin menggebu. Namun, hal itu tidak mungkin saya lakukan. Saya tak ingin menambah beban bunda. Di tahun itu, tragedi memilukan terjadi kembali dalam keluargaku. Hubungan ayah dan bunda semakin memburuk. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Sungguh saat itu saya merasa tak berguna karena tak mampu untuk menyegahnya.

Bagaimana mungkin saya keluar kuliah, sedang saat itu bunda menyemangati saya untuk terus bertahan, ”Dik, walaupun ayah sudah tidak bersama kita lagi, kita harus bisa buktikan bahwa kita bisa. Adik tidak boleh lemah. Harus tetap semangat kuliah.”

Rupanya motivasi bunda memang berpengaruh dalam kestabilan semangat belajarku. Di tahun itu, IPK semester berhasil menyentuh angka 3. Padahal, sebelumnya berkisar antara 2,8-2,9.

Tahun 2006, kakak semata wayangku merantau ke Kalimantan. Saya semakin tidak tenang tinggal di Solo. Di sisi lain, amanah kelembagaan saya sedang berada dalam puncaknya. Saat itu saya juga praktik mengajar di sebuah SMP. Konsentrasi saya terpecah antara Ngawi-Solo. Setelah ujian PPL (Program Pengalaman Lapangan), saya semakin yakin bahwa kompetensi saya bukan di bidang yang selama ini saya geluti dengan perasaan berdarah-darah.
***** *****


Saat awan semakin bergelayut di langit hatiku, ada kabar gembira yang sedikit menjadi pelipur lara. Naskah bukuku diterima sebuah penerbit. Saya tersentak: bukankah itu satu di antara cita-cita yang kuidam-idamkan sejak SD? Alhamdulillah, satu demi satu lomba menulis yang saya ikuti juga membuahkan hasil. Meskipun hadiah yang saya terima tidak seberapa, setidaknya saya makin bersemangat untuk terus belajar menulis.

Tahun 2007, saya tidak lagi tinggal di asrama santriwati. Saya pindah ke sebuah kos muslimah di belakang kampus. Di tahun itu, saya baru mulai mengambil skripsi. Dan tahun itu saya habiskan dengan menyusun proposal skripsi dan menunaikan amanah dakwah. Selain itu, saya juga belajar mencari penghasilan sendiri ( menjadi guru les privat dan penjaga toko). Sebelumnya saya pernah jualan baju dan kerudung. Hasilnya lumayan. Setidaknya ujicoba saya berhasil; kelak tak harus menggunakan ijazah untuk mendapatkan penghasilan.

Saya percaya bahwa setiap manusia telah telah ditetapkan rizkinya oleh Allah. Tinggal bagaimana ia menjemputnya. Sebab rizki memang harus diupayakan (dijemput bukan sekedar dicari). Di penghujung tahun 2007, saya mendapat job menulis cergam untuk anak. Hasilnya membuat saya terpukau. Hanya semalam nglembur tapi honor yang saya terima cukup fantastis untuk ukuran mahasiswa (menyentuh angka satu juta). Hal ini semakin membuat saya bersemangat untuk segera lulus dan banting setir ke dunia tulis menulis. Meskipun honor bukanlah tujuan utama, setidaknya bisa menjadi penyemangat tersendiri bagi saya.

Gayung bersambut. Tahun 2008, saya mendapat tawaran untuk menjadi editor sebuah penerbitan Islam. Dengan senang hati, saya menerimanya. Aktivitas saya bertambah: kuliah, kerja, dan dakwah.

Bulan Mei 2008 saya bersiap-siap melakukan penelitian. Bagaimanapun, masa kuliah saya harus segera disudahi. Namun, ternyata pembimbing kedua saya belum memberikan lampu hijau. Beliau meminta saya untuk memperbaiki Bab I terlebih dahulu. Ya Allah, lemas rasanya persendianku. Mengulang dari awal lagi?!
***** *****

Bulan Juni 2008, seorang pemuda datang ke rumah bersama keluarganya. Antara percaya dan tidak, khitbah (lamaran) itu berlanjut dengan pernikahan sebulan kemudian. Kini status saya berubah menjadi seorang istri. Kesibukan saya juga bertambah. Kuliah, kerja, nikah, dan dakwah.

Skripsi saya jalan di tempat. Ternyata tak mudah bagi saya untuk fokus menyelesaikannya. Apalagi sebulan setelah menikah Allah menambah amanah baru. Saya hamil. Pada trimester pertama, saya minta izin atasan untuk cuti dua bulan. Selain menjaga kehamilan pada trimester pertama, saya berharap masa cuti bisa saya manfaatkan untuk benar-benar konsentrasi mengerjakan tugas akhir saya sebagai mahasiwa. Sayang, tak ada perkembangan yang berarti dalam dua bulan itu. Akhirnya, saya masuk kantor lagi sampai usia kehamilan memasuki usia 9 bulan.
***** *****

Tahun 2009, tepatnya tanggal 13 April, anak pertama kami lahir dengan proses normal. Alhamdulillah, saya dan suami mendapat amanah baru menjadi orang tua. Kami berjanji dalam hati untuk memberikan yang terbaik untuknya. Salah satunya dengan memberikan ASI sebagai surga dunia pertama untuknya. ASI tanpa sufor sampai dua tahun. Insya Allah.

Suami memberi dukungan penuh kepada saya. Bagaimanapun manajemen ASI juga berbanding lurus dengan kondisi psikis. Setelah beberapa kali mencoba untuk bangkit memulai kembali skripsi, akhirnya pertahanan saya roboh. Saya mengambil jeda. Saya tak ingin gagal dalam memberikan ASI karena pikiran yang bercabang-cabang membuat saya mudah lelah. Emosi saya fluktuatif.
***** *****

Menjadi ibu rumah tangga putus kuliah adalah beban yang membuatku terpenjara dalam perasaan bersalah. Tentu saja stress berkepanjangan itu harus segera berakhir. Tak ada pilihan selain bangkit dari keterpurukan. Setelah lebih dari dua tahun skripsi jalan di tempat, dengan dukungan penuh dari suami dan ibu, saya memulai aktivitas sebagai mahasiswa lagi. Saya memutuskan untuk transfer ke Universitas Terbuka (UT). Di waktu yang sama, suami juga sedang menyelesaikan kuliah S2-nya.

We are never old to learn. Tak ada kata terlambat. Kuluruskan kembali niat. Di tengah kesibukan sebagai guru untuk sulung kami, Arkan (19 bulan), yang sedang berada dalam masa emasnya dan aktivitas ibu rumahtangga yang seolah tiada habisnya, saya bulatkan tekad untuk menyelesaikan kuliah. Sudah kepalang tanggung. Tinggal selangkah lagi: bismillah bantu hambamu yang dhaif ini, ya Allah!
***** *****

Saya mulai membangun pikiran positif dalam diri, saya ingat kembali episode masa sekolah. Dari SD sampai SMA, saya tak menemui hambatan yang berarti dalam masalah studi. Selalu lulus dengan hasil sangat memuaskan. Mengingat hal itu menjadi penyemangat dalam diri. Saya pasti BISA!

Di UT, saya kuliah tanpa beban. Mahasiswa UT yang majemuk dalam hal usia dan pekerjaan juga menambah motivasi saya. Waktu ujian, saya melihat banyak ibu yang sedang hamil. Bahkan ada yang hari itu HPLnya. Ada pula yang membawa anaknya yang masih bayi agar di sela-sela waktu ujian bisa tetap memberikan ASI langsung. Subhanallah, hal ini juga menimbulkan semangat baru: saya bisa melewati masa-masa kuliah di UT dengan lebih baik. Ya, saya PASTI BISA!

Saya percaya setiap manusia tak akan diberi beban di luar batas kesanggupan. Saya pelihara terus pikiran-pikiran positif: you can if you think you can. Bagaimanapun,
apapun yang kita pikirkan, pikiran kita akan selalu berusaha mewujudkannya. Man jadda wa jadda. Dan kali ini kesungguhan saya benar-benar diuji. Saya yakin Allah tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali TETAP SEMANGAT and NEVER GIVE UP! Masa depan yang terbentang di hadapan, marilah kita sambut dengan hati riang, kesungguhan, dan penuh keyakinan.

Solo, 3 Desember 2010:06.11

Pohon Talok Pohon Simalakama

0 comments

“Kalian mau talok? Tuh!” Kutunjuk buah kersen berwarna merah yang sebagian tersembunyi di bawah daun.

Tanpa komando, anak-anak membuka pagar dan masuk ke halaman rumah. Mereka berusaha menggapai buah kersen yang dirasa paling mudah dijangkau. Namun apa daya tongkat pramuka yang mereka pakai tidak mencukupi. Kutahan tawaku agar tidak menggoyahkan tekad mereka. Sampai akhirnya salah satu di antara mereka merajuk manja kepadaku, ”Bulik, petikan taloknya. Bulik, kan, lebih tinggi. Tolong, Bulik saja yang metik taloknya!”

Ho..ho.. kini saya menjadi korban. Baiklah anak-anak manis, saya mengalah. Demi senyum dan binar di mata mereka, saya memanjat kursi dan mulai beraksi dengan pipa panjang yang tidak terpakai. Kalau saja sore itu ada Abu Arkan mungkin akan lain kejadiannya. Doi, kan, lebih piawai memetik satu demi satu buah-buah yang bertebaran di ranting pohonnya.

***** *****


Sebenarnya keberadaan pohon talok di depan rumah, tepatnya kamar Arkan, membuat halaman rumah menjadi lebih teduh. Apalagi saat panas matahari begitu menyengat. Saya sering mengajak sulung kami, Arkan, berekspresi (baca: bermain) di bawah pohon talok. Kami begitu menikmati semilir angin yang begitu menyejukkan. Ranting dan dedahanan yang meliuk-liuk menarik perhatian Arkan.

Saya sering bertanya kepadanya, ”Buah apa ini, Nak?”

”Talo” jawabnya.

Kalau saya tak bertanya, ia yang ganti bertanya. Lantas ia tertawa-tawa. Kadang keluar usilnya, diinjaknya buah yang berjatuhan. Arkan juga sering memegang sapu dan berlagak membersihkan dedaunan yang jatuh sambil berkata , ”Capu.. capu.” Terkadang juga ia fasih, ”Sapu..sapu.”

Tak ada masalah dengan keberadaan pohon talok di depan rumah. Arkan dan Abu Arkan sangat menikmati keberadaannya. Sesekali anak-anak di perumahan juga menginginkan buahnya. Ada pula tetangga yang memetiknya untuk dijadikan obat asam urat atau sekedar sebagai pencuci mulut.

Tak ada masalah dengan rindangnya pohon talok di depan rumah. Hanya saja, daun-daunnya sering kali berguguran. Frekuensinya melebihi pepohonan rindang yang lain. Dan tentu saja, hal ini begitu menyibukkan saya. Bayangkan saja, belum selesai menyapu, daun-daunnya yang menguning sudah berjatuhan lagi. Capek, deh... Padahal saya nggak dapat gaji khusus untuk menyapunya setiap saat:D

Dedaunan yang berguguran itu tidak hanya menyibukkan diriku tetapi juga suamiku. Kalau langit mulai gelap, angin berhembus kencang, dan penampakan lain yang mengisyaratkan hujan segera turun, ia mulai sibuk beraksi. Mengambil tangga. Hup.. dalam hitungan detik sudah nangkring di atas atap membersihkan daun-daun talok. Kalau tidak, bisa kebanjiran kamar dan dapur kami.

Daun talok kering yang berguguran juga telah menyibukkan tetanggaku. Suatu hari, sepulang dari pengajian rutin, kami mendapati pohon talok di depan rumah sudah ramping. Usut punya usut, bapak-bapak yang hari itu kerja bakti, berinisiatif untuk memangkas beberapa dahan yang dirasa terlalu rindang. Tentu saja saya senang, daun-daun yang berguguran akan berkurang. Meski (tentu saja) di sisi lain, merasa nggak enak hati. Biasalah perasaan wong Jawa.

Sayangnya semakin dipangkas, pertumbuhan talok semakin menggila (He..he.. lebay.com). Tak lama berselang sudah rimbun lagi dan capeklah kami dibuatnya. Maka tak heran, salah satu tetangga kami yang baik hati (suka menolong dan tidak sombong:D), mengajak suami untuk mengurangi (lagi) dahan dan rantingnya.

Ketika Arkan mudik ke rumah Mbah di Ngawi, tetangga yang lain juga punya kesibukan baru. Menyapu jalan di depan rumah kami tiap pagi. Dan setelah genap seminggu Arkan kembali ke rumah, sampah daun talok di depan kamarnya sudah menggunung tinggi. Ola..la...

Talok tidak hanya menyibukkanku, suami, dan tetangga, tetapi mertuaku juga pernah sibuk karenanya. Saat saya hendak berangkat pagi (mau Ujian Akhir Semester ceritanya), beliau bela-belain menyapu jalan di depan rumah sebelum mengajak Arkan menuju kediamannya (Karanganyar). Saat itu saya baru sempat menyapu rumah, belum sampai ke halaman. Ya sudahlah...apa boleh baut?

***** *****


”Tebang aja, tuh pohon sampai ke akar-akarnya,” suatu ketika kuutarakan uneg-unegku pada suami.

Not responding.
Saya juga sadar diri. He..he.. bukan kami yang menanam pohon itu. Milik siempunya kontrakan. Mungkin suatu saat, jika rumah itu kami beli (^^), akan kami babat tuntas pohon itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Kalau saya, sih, ingin pohon bambu hias saja. Semangat Go Green. Konon, bambu bisa menghasilkan 35% Oksigen lebih banyak daripada yang lain.

Pohon talok di depan kamar Arkan memang pohon simalakama. Kalau ditebang, pasti banyak juga yang kehilangan. Selain itu, kamar Arkan akan lebih terasa panas. Kalau tidak ditebang, kok, ya banyak yang repot dibuatnya. Gimana, nih?


Bukit Gading Indah, 26 November 2010:00.44


Pekan depan Arkan sekeluarga mau mudik ke Ngawi. Ada yang mau jadi relawan petugas kebersihan? Dikasih bonus metik talok sepuasnya, deh:D



Catatan tambahan dari Mbah Wiki:


Kandungan buah kersen (talok) setiap 100 gram kersen terkandung : air (77,8 gram),protein (0,384 gram), Lemak (1,56 Gram), karbohidrat (17,9 gram), serat (4,6 gram), abu (1,14 gram), kalsium (124,6 mg), fosfor (84mg), Besi (1,18 mg), karoten (0,019g), tianin (0,065g), ribofalin (0,037g), niacin (0,554 g) dan kandungan vitamin C (80,5 mg) nilai energi yang dihasilkan adalah 380KJ/100 gram. sedangkan daun kersen telah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional yang digunakan sebagai obat sakit kepala dan anti radang oleh masyarakat Peru.