Monday 6 December 2010

Man jadda wa jadda: Kesungguhanmu benar-benar Diuji!

0 comments


Tahun 2003, saya diterima di sebuah kampus negeri di Surakarta (Solo). Kami menyebutnya kampus hijau. Bukan hanya karena masih banyak pohon hijau di dalamnya tapi lebih karena dakwah kampus dan sepak terjang para aktivisnya.

Tahun 2004, saya berniat hengkang dari kampus. Sungguh, saya belum merasa nyaman tinggal di Solo. Saya masih belum sreg dengan jurusan. Saya mencoba mengikuti ujian masuk sebuah sekolah tinggi negeri dengan semangat yang menyala-nyala. Sayang sekali tidak lolos. Manusia hanya mampu berencana, dan saya selalu berhuznudzon atas semua takdir-Nya. Maka, meski sempat disorientasi, saya mencoba menikmati kuliah saya di Solo.

Sejak awal, saya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan (khususnya aktivitas dakwah kampus). Saya tidak ingin menjadi mahasiswa triple K yang aktivitasnya hanya berkutat pada tiga hal: kuliah-kantin-kos. Saya juga rajin menghadiri seminar, talkshow dan pelatihan-pelatihan. Banyak bekal yang saya perlukan untuk menghadapi kehidupan pasca kampus. Saya sadar bahwa kuliah yang saya jalani bukanlah satu-satunya jalan untuk mencari pekerjaan.

Tahun 2005, saya memutuskan untuk menjadi bagian dari santriwati sebuah pesantren mahasiswa. Kesibukan saya bertambah banyak. Rutinitas saya dimulai dari jam setengah enam pagi: dirosah (kuliah pagi di pesantren mahasiswa). Kemudian dilanjutkan aktivitas kampus: kuliah, rapat-rapat keorganisasian, dan kegiatan-kegiatan yang seolah tanpa jeda. Meski begitu, di akhir pekan saya tetap menyempatkan diri untuk pulang ke tanah kelahiran, Ngawi.

Di tahun ini, keinginan untuk pindah jurusan semakin menggebu. Namun, hal itu tidak mungkin saya lakukan. Saya tak ingin menambah beban bunda. Di tahun itu, tragedi memilukan terjadi kembali dalam keluargaku. Hubungan ayah dan bunda semakin memburuk. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Sungguh saat itu saya merasa tak berguna karena tak mampu untuk menyegahnya.

Bagaimana mungkin saya keluar kuliah, sedang saat itu bunda menyemangati saya untuk terus bertahan, ”Dik, walaupun ayah sudah tidak bersama kita lagi, kita harus bisa buktikan bahwa kita bisa. Adik tidak boleh lemah. Harus tetap semangat kuliah.”

Rupanya motivasi bunda memang berpengaruh dalam kestabilan semangat belajarku. Di tahun itu, IPK semester berhasil menyentuh angka 3. Padahal, sebelumnya berkisar antara 2,8-2,9.

Tahun 2006, kakak semata wayangku merantau ke Kalimantan. Saya semakin tidak tenang tinggal di Solo. Di sisi lain, amanah kelembagaan saya sedang berada dalam puncaknya. Saat itu saya juga praktik mengajar di sebuah SMP. Konsentrasi saya terpecah antara Ngawi-Solo. Setelah ujian PPL (Program Pengalaman Lapangan), saya semakin yakin bahwa kompetensi saya bukan di bidang yang selama ini saya geluti dengan perasaan berdarah-darah.
***** *****


Saat awan semakin bergelayut di langit hatiku, ada kabar gembira yang sedikit menjadi pelipur lara. Naskah bukuku diterima sebuah penerbit. Saya tersentak: bukankah itu satu di antara cita-cita yang kuidam-idamkan sejak SD? Alhamdulillah, satu demi satu lomba menulis yang saya ikuti juga membuahkan hasil. Meskipun hadiah yang saya terima tidak seberapa, setidaknya saya makin bersemangat untuk terus belajar menulis.

Tahun 2007, saya tidak lagi tinggal di asrama santriwati. Saya pindah ke sebuah kos muslimah di belakang kampus. Di tahun itu, saya baru mulai mengambil skripsi. Dan tahun itu saya habiskan dengan menyusun proposal skripsi dan menunaikan amanah dakwah. Selain itu, saya juga belajar mencari penghasilan sendiri ( menjadi guru les privat dan penjaga toko). Sebelumnya saya pernah jualan baju dan kerudung. Hasilnya lumayan. Setidaknya ujicoba saya berhasil; kelak tak harus menggunakan ijazah untuk mendapatkan penghasilan.

Saya percaya bahwa setiap manusia telah telah ditetapkan rizkinya oleh Allah. Tinggal bagaimana ia menjemputnya. Sebab rizki memang harus diupayakan (dijemput bukan sekedar dicari). Di penghujung tahun 2007, saya mendapat job menulis cergam untuk anak. Hasilnya membuat saya terpukau. Hanya semalam nglembur tapi honor yang saya terima cukup fantastis untuk ukuran mahasiswa (menyentuh angka satu juta). Hal ini semakin membuat saya bersemangat untuk segera lulus dan banting setir ke dunia tulis menulis. Meskipun honor bukanlah tujuan utama, setidaknya bisa menjadi penyemangat tersendiri bagi saya.

Gayung bersambut. Tahun 2008, saya mendapat tawaran untuk menjadi editor sebuah penerbitan Islam. Dengan senang hati, saya menerimanya. Aktivitas saya bertambah: kuliah, kerja, dan dakwah.

Bulan Mei 2008 saya bersiap-siap melakukan penelitian. Bagaimanapun, masa kuliah saya harus segera disudahi. Namun, ternyata pembimbing kedua saya belum memberikan lampu hijau. Beliau meminta saya untuk memperbaiki Bab I terlebih dahulu. Ya Allah, lemas rasanya persendianku. Mengulang dari awal lagi?!
***** *****

Bulan Juni 2008, seorang pemuda datang ke rumah bersama keluarganya. Antara percaya dan tidak, khitbah (lamaran) itu berlanjut dengan pernikahan sebulan kemudian. Kini status saya berubah menjadi seorang istri. Kesibukan saya juga bertambah. Kuliah, kerja, nikah, dan dakwah.

Skripsi saya jalan di tempat. Ternyata tak mudah bagi saya untuk fokus menyelesaikannya. Apalagi sebulan setelah menikah Allah menambah amanah baru. Saya hamil. Pada trimester pertama, saya minta izin atasan untuk cuti dua bulan. Selain menjaga kehamilan pada trimester pertama, saya berharap masa cuti bisa saya manfaatkan untuk benar-benar konsentrasi mengerjakan tugas akhir saya sebagai mahasiwa. Sayang, tak ada perkembangan yang berarti dalam dua bulan itu. Akhirnya, saya masuk kantor lagi sampai usia kehamilan memasuki usia 9 bulan.
***** *****

Tahun 2009, tepatnya tanggal 13 April, anak pertama kami lahir dengan proses normal. Alhamdulillah, saya dan suami mendapat amanah baru menjadi orang tua. Kami berjanji dalam hati untuk memberikan yang terbaik untuknya. Salah satunya dengan memberikan ASI sebagai surga dunia pertama untuknya. ASI tanpa sufor sampai dua tahun. Insya Allah.

Suami memberi dukungan penuh kepada saya. Bagaimanapun manajemen ASI juga berbanding lurus dengan kondisi psikis. Setelah beberapa kali mencoba untuk bangkit memulai kembali skripsi, akhirnya pertahanan saya roboh. Saya mengambil jeda. Saya tak ingin gagal dalam memberikan ASI karena pikiran yang bercabang-cabang membuat saya mudah lelah. Emosi saya fluktuatif.
***** *****

Menjadi ibu rumah tangga putus kuliah adalah beban yang membuatku terpenjara dalam perasaan bersalah. Tentu saja stress berkepanjangan itu harus segera berakhir. Tak ada pilihan selain bangkit dari keterpurukan. Setelah lebih dari dua tahun skripsi jalan di tempat, dengan dukungan penuh dari suami dan ibu, saya memulai aktivitas sebagai mahasiswa lagi. Saya memutuskan untuk transfer ke Universitas Terbuka (UT). Di waktu yang sama, suami juga sedang menyelesaikan kuliah S2-nya.

We are never old to learn. Tak ada kata terlambat. Kuluruskan kembali niat. Di tengah kesibukan sebagai guru untuk sulung kami, Arkan (19 bulan), yang sedang berada dalam masa emasnya dan aktivitas ibu rumahtangga yang seolah tiada habisnya, saya bulatkan tekad untuk menyelesaikan kuliah. Sudah kepalang tanggung. Tinggal selangkah lagi: bismillah bantu hambamu yang dhaif ini, ya Allah!
***** *****

Saya mulai membangun pikiran positif dalam diri, saya ingat kembali episode masa sekolah. Dari SD sampai SMA, saya tak menemui hambatan yang berarti dalam masalah studi. Selalu lulus dengan hasil sangat memuaskan. Mengingat hal itu menjadi penyemangat dalam diri. Saya pasti BISA!

Di UT, saya kuliah tanpa beban. Mahasiswa UT yang majemuk dalam hal usia dan pekerjaan juga menambah motivasi saya. Waktu ujian, saya melihat banyak ibu yang sedang hamil. Bahkan ada yang hari itu HPLnya. Ada pula yang membawa anaknya yang masih bayi agar di sela-sela waktu ujian bisa tetap memberikan ASI langsung. Subhanallah, hal ini juga menimbulkan semangat baru: saya bisa melewati masa-masa kuliah di UT dengan lebih baik. Ya, saya PASTI BISA!

Saya percaya setiap manusia tak akan diberi beban di luar batas kesanggupan. Saya pelihara terus pikiran-pikiran positif: you can if you think you can. Bagaimanapun,
apapun yang kita pikirkan, pikiran kita akan selalu berusaha mewujudkannya. Man jadda wa jadda. Dan kali ini kesungguhan saya benar-benar diuji. Saya yakin Allah tak akan menyia-nyiakan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya. Jadi, tak ada pilihan lain kecuali TETAP SEMANGAT and NEVER GIVE UP! Masa depan yang terbentang di hadapan, marilah kita sambut dengan hati riang, kesungguhan, dan penuh keyakinan.

Solo, 3 Desember 2010:06.11

Pohon Talok Pohon Simalakama

0 comments

“Kalian mau talok? Tuh!” Kutunjuk buah kersen berwarna merah yang sebagian tersembunyi di bawah daun.

Tanpa komando, anak-anak membuka pagar dan masuk ke halaman rumah. Mereka berusaha menggapai buah kersen yang dirasa paling mudah dijangkau. Namun apa daya tongkat pramuka yang mereka pakai tidak mencukupi. Kutahan tawaku agar tidak menggoyahkan tekad mereka. Sampai akhirnya salah satu di antara mereka merajuk manja kepadaku, ”Bulik, petikan taloknya. Bulik, kan, lebih tinggi. Tolong, Bulik saja yang metik taloknya!”

Ho..ho.. kini saya menjadi korban. Baiklah anak-anak manis, saya mengalah. Demi senyum dan binar di mata mereka, saya memanjat kursi dan mulai beraksi dengan pipa panjang yang tidak terpakai. Kalau saja sore itu ada Abu Arkan mungkin akan lain kejadiannya. Doi, kan, lebih piawai memetik satu demi satu buah-buah yang bertebaran di ranting pohonnya.

***** *****


Sebenarnya keberadaan pohon talok di depan rumah, tepatnya kamar Arkan, membuat halaman rumah menjadi lebih teduh. Apalagi saat panas matahari begitu menyengat. Saya sering mengajak sulung kami, Arkan, berekspresi (baca: bermain) di bawah pohon talok. Kami begitu menikmati semilir angin yang begitu menyejukkan. Ranting dan dedahanan yang meliuk-liuk menarik perhatian Arkan.

Saya sering bertanya kepadanya, ”Buah apa ini, Nak?”

”Talo” jawabnya.

Kalau saya tak bertanya, ia yang ganti bertanya. Lantas ia tertawa-tawa. Kadang keluar usilnya, diinjaknya buah yang berjatuhan. Arkan juga sering memegang sapu dan berlagak membersihkan dedaunan yang jatuh sambil berkata , ”Capu.. capu.” Terkadang juga ia fasih, ”Sapu..sapu.”

Tak ada masalah dengan keberadaan pohon talok di depan rumah. Arkan dan Abu Arkan sangat menikmati keberadaannya. Sesekali anak-anak di perumahan juga menginginkan buahnya. Ada pula tetangga yang memetiknya untuk dijadikan obat asam urat atau sekedar sebagai pencuci mulut.

Tak ada masalah dengan rindangnya pohon talok di depan rumah. Hanya saja, daun-daunnya sering kali berguguran. Frekuensinya melebihi pepohonan rindang yang lain. Dan tentu saja, hal ini begitu menyibukkan saya. Bayangkan saja, belum selesai menyapu, daun-daunnya yang menguning sudah berjatuhan lagi. Capek, deh... Padahal saya nggak dapat gaji khusus untuk menyapunya setiap saat:D

Dedaunan yang berguguran itu tidak hanya menyibukkan diriku tetapi juga suamiku. Kalau langit mulai gelap, angin berhembus kencang, dan penampakan lain yang mengisyaratkan hujan segera turun, ia mulai sibuk beraksi. Mengambil tangga. Hup.. dalam hitungan detik sudah nangkring di atas atap membersihkan daun-daun talok. Kalau tidak, bisa kebanjiran kamar dan dapur kami.

Daun talok kering yang berguguran juga telah menyibukkan tetanggaku. Suatu hari, sepulang dari pengajian rutin, kami mendapati pohon talok di depan rumah sudah ramping. Usut punya usut, bapak-bapak yang hari itu kerja bakti, berinisiatif untuk memangkas beberapa dahan yang dirasa terlalu rindang. Tentu saja saya senang, daun-daun yang berguguran akan berkurang. Meski (tentu saja) di sisi lain, merasa nggak enak hati. Biasalah perasaan wong Jawa.

Sayangnya semakin dipangkas, pertumbuhan talok semakin menggila (He..he.. lebay.com). Tak lama berselang sudah rimbun lagi dan capeklah kami dibuatnya. Maka tak heran, salah satu tetangga kami yang baik hati (suka menolong dan tidak sombong:D), mengajak suami untuk mengurangi (lagi) dahan dan rantingnya.

Ketika Arkan mudik ke rumah Mbah di Ngawi, tetangga yang lain juga punya kesibukan baru. Menyapu jalan di depan rumah kami tiap pagi. Dan setelah genap seminggu Arkan kembali ke rumah, sampah daun talok di depan kamarnya sudah menggunung tinggi. Ola..la...

Talok tidak hanya menyibukkanku, suami, dan tetangga, tetapi mertuaku juga pernah sibuk karenanya. Saat saya hendak berangkat pagi (mau Ujian Akhir Semester ceritanya), beliau bela-belain menyapu jalan di depan rumah sebelum mengajak Arkan menuju kediamannya (Karanganyar). Saat itu saya baru sempat menyapu rumah, belum sampai ke halaman. Ya sudahlah...apa boleh baut?

***** *****


”Tebang aja, tuh pohon sampai ke akar-akarnya,” suatu ketika kuutarakan uneg-unegku pada suami.

Not responding.
Saya juga sadar diri. He..he.. bukan kami yang menanam pohon itu. Milik siempunya kontrakan. Mungkin suatu saat, jika rumah itu kami beli (^^), akan kami babat tuntas pohon itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Kalau saya, sih, ingin pohon bambu hias saja. Semangat Go Green. Konon, bambu bisa menghasilkan 35% Oksigen lebih banyak daripada yang lain.

Pohon talok di depan kamar Arkan memang pohon simalakama. Kalau ditebang, pasti banyak juga yang kehilangan. Selain itu, kamar Arkan akan lebih terasa panas. Kalau tidak ditebang, kok, ya banyak yang repot dibuatnya. Gimana, nih?


Bukit Gading Indah, 26 November 2010:00.44


Pekan depan Arkan sekeluarga mau mudik ke Ngawi. Ada yang mau jadi relawan petugas kebersihan? Dikasih bonus metik talok sepuasnya, deh:D



Catatan tambahan dari Mbah Wiki:


Kandungan buah kersen (talok) setiap 100 gram kersen terkandung : air (77,8 gram),protein (0,384 gram), Lemak (1,56 Gram), karbohidrat (17,9 gram), serat (4,6 gram), abu (1,14 gram), kalsium (124,6 mg), fosfor (84mg), Besi (1,18 mg), karoten (0,019g), tianin (0,065g), ribofalin (0,037g), niacin (0,554 g) dan kandungan vitamin C (80,5 mg) nilai energi yang dihasilkan adalah 380KJ/100 gram. sedangkan daun kersen telah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional yang digunakan sebagai obat sakit kepala dan anti radang oleh masyarakat Peru.

Thursday 5 August 2010

GO GREEN

1 comments

Sore itu, saya menerima setumpuk undangan merah jambu. Dari setumpuk itu, ada nama saya dan suami yang tertulis dalam dua undangan. Ho..ho..kok nggak dijadikan satu aja, ya, biar hemat kertas dan bersahabat dengan alam. Go green-lah (ups, ikut latah suami yang lagi semangat dalam mengkampanyekan persahabatannya dengan alam ^^). Lebih go green lagi kalau undangan hanya via FB, email atau SMS [kalau dua yang terakhir ini rencana saya dulu sebelum nikah tapi dinilai calon suami, Akh Dian Kresna (begitu panggilan sebelum aqad), kurang sopan karena dalam list undangan ada nama beberapa ustadz].

Saya jadi teringat dengan majalah kesayangan saya, ANNIDA. Antara sedih dan bahagia ketika pertama kali mengetahui bahwa saya tidak dapat menjumpainya kembali dalam edisi cetak. Sampai sekarang, seringkali saya kangen meski tak sampai berharap ia terbit lagi. Majalah yang menemani saya untuk menggapai hidayah sejak bangku SMP itu telah go green sejak Juli 2009. Si Nida sudah bereinkarnasi menjadi Annida virtual melalui www.Annida-online.com. Annida Go Green benar-benar sebuah hal yang mengejutkan bagi saya. Bagaimanapun, terobosan untuk menjadi majalah virtual (tanpa edisi cetak) sempat membuat saya geleng-geleng kepala. Majalah yang sudah besar dan mengalami kejayaan, dengan kerelaan menghilang dari peredaraan dengan tujuan yang sangat mulia. Apalagi kalau demi menghemat kertas yang sebagian besar berasal dari illegal logging. Annida Go Green demi generasi kita di masa mendatang. Agar hutan kita tidak semakin gersang, agar kita tidak menghabiskan persediaan minyak, listrik dan air.

"Antara lingkungan dan ekonomi itu seringkali bertolak belakang," begitulah komentar MH, Abiyasa Dhian Kresnadipayana, mendapati istrinya masih terpekur karena kehilangan majalah kesayangannya.

“Bisa jadi kelak tidak banyak lagi buku yang terbit,” tambahnya.
Ho..ho.. saya masih belum percaya. Bagaimanapun beda rasanya memburu ilmu di perpustakaan nyata dan di DL (digital library). Dan saya tetap ngotot, kalau lebih asyik baca buku daripada via e-book atau virtual. Buku, kan, dapat dipegang,. Membacanya bisa dengan segala posisi: duduk di kursi, selonjoran, tiduran, bahkan bisa dengan guling sana-guling sini. Banyak variasi^^

“Baiklah, kalau begitu, buku-buku dicetak dengan kertas daur ulang,” suamii memberikan alternatif. Jujur, saya belum bisa menerima ini. What? Kertas daur ulang? Mending nanam pohon dari sekarang.Saya kan punya cita-cita mewariskan banyak buku pada anak-anak. Sekarang baru ada tiga buku.Hiks:(

Akhirnya setelah melakukan perenungan yang mendalam (cie..), saya bantu deh, untuk kampanye (meski super telat): Yuk, selamatkan bumi demi anak cucu kita di masa mendatang. Kita mulai dari hal-hal yang paling sederhana.

Berikut ini beberapa tips yang saya dapatkan dari tetangga sebelah:
1. Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
2. Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
3. Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
4. Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami. (http://id.shvoong.com/humanities/1779528-green-hadiah-termahal-untuk-anak/)

Wah-wah.. , saya yang terbiasa dengan hal-hal yang praktis jadi cengar-cengir. Meski demikian tetap saya coba, deh! Ya..ya..ya.. demi anak cucu, generasi terbaik di masa mendatang.

Saya semangati diri dengan sebuah hadist Rasulullah,
Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang diantara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat, maka hendaklah dia menanamnya.”(HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2078, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Ana Rodhiyallohu ‘Anhu)

Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menyiratkan pesan yang cukup dalam agar seseorang memanfaatkan masa hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati oleh orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya mengalir sampai hari kiamat tiba.

Oleh karena itu, sedikit-sedikit, pelan tapi pasti, dimulai dari diri sendiri, dan dari saat ini, cobalah kita pelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk menjaga bumi kita. Contoh real-nya (menurut referensi yang saya baca):

1.Bercocok Tanam

Selain untuk penghijauan, kegiatan ini juga sangat baik untuk kesehatan badan. Konon, jiwa yang tenang seimbang dengan tubuh yang ideal. Gerakan menyiram,menanam dan memberi pupuk selama 5 menit bisa merampingkan tangan lho!Dulu, sih sebelum hijrah ke Solo kegiatan ini sangat akrab dalam keseharian (meski lebih sering lihat^^). Di rumah (Ngawi) saya, dulu banyak sekali bonsai. Banyak banget. Tapi sekarang lebih banyak burung perkutut (pm ke saya kalau mau beli^^)

2.Menyuci Piring
Dengan menggunakan peralatan makan yang tidak sekali pakai, kita sudah mengurangi limbah plastik yang sulit dicerna. Meski terkadang terkesan tidak praktis dan merepotkan, gerakan mencuci piring bermanfaat untuk mengurangi lebih dari 50 kalori di dalam tubuh. Wah, kalau sehari nyuci piring tiga kali, bisa langsing, dunk. He..he.. kalau saya cukup saya rapel di malam hari sewaktu Arkan dan abinya sudah terlelap.

3.Bersepeda ria!
Selain tidak memproduksi poluttan, bersepeda juga bermanfaat untuk tubuh kita. Jantung sehat dan.. (ehem) badan yang lebih proporsional. Ada yang sudah membuktikan? Sayang sekarang saya nggak punya sepeda ontel.

4. Kurangi penggunaan Microwave
Selain memberikan kesempatan bernafas untuk bumi kita, microwave juga tidak baik untuk badan kita. Makanan yang sering dipanaskan dengan microwave memang tidak membuat kita menunggu lebih lama,tetapi hal ini membahayakan tubuh dikarenakan ultraviolet yang ikut terkonsumsi! Kalau saya sih, alhamdulillah nggak pernah pake microwave, nggak punya, sih. Ada yang mau ngasih (lho..lho.. jus mangga..just kidding^^)?


5.Kurangi plastik di rumah

Kurangi penggunaan plastik dan cari produk yang lebih ramah lingkungan.Green product is so rock! Maaf juga, ya, kemarin baru beli lemari plastik buat Arkan. He..he..secara harga lebih bersahabat, sih. But, lain kali saya pertimbangkan seribu kali, ya!

Baiklah ibu-ibu, bapak-bapak, mas/mbak, adik-adik, tunggu apalagi kita mulai dari sekarang, yuX! Go Green...GO.. GO..GO!

BGI, 5 Agustus 2010:09.06
Tahukah Anda? Global warming berdampak pada cucian saya yang terkadang nggak kering. Sudah kemarau masih sering hujan. Ada yang tahu musim apa ini?

Sunday 1 August 2010

INDAH UKHUWWAH

0 comments


tulisan jadul,4 tahun yang lalu, hari ini belum selesai nulis. flu tuing2. O, ya sebenarnya ini mau dibikin serial tapi belum terlaksana. Selamat membaca, terkhusus adik2 JN UKMI UNS ^^..

Sambut pagi dengan seulas senyum simpulmu
Siapkan seutas tali SEMANGATMU
Sebut nama Rabb Penciptamu
Sehingga SUKSES seluruh ikhtiarmu
!*

Fajar barulah menjelang dan dzikir al-ma’tsurat baru saja terlantunkan. Nurul menerima sebuah SMS dari Huda. Sejenak ia pun tertegun, saudara kembarnya itu ternyata memang masih sempat membagi sarapan paginya. Kali ini sebuah taushiyah padat berisi, cukup untuk mengembalikan staminanya yang mulai menurun. Tadi malam ia lembur sampai malam untuk menggunting tulisan yang akan dipakai untuk background HAMASA (Sehari Bersama Nisaa’), sebuah acara yang dikemas khusus untuk pengurus akhwat. Kemarin malamnya ia pun tidur di atas jam malam karena usai rapat bidang laporan praktikumnya melambai-lambai untuk diselesaikan. Dua malam sebelumnya ia juga harus stand by di depan komputer, memenuhi deadline artikel sebuah majalah.


Waktu begitu cepat berlalu, tanpa disadari ia sudah berada di pertengahan akhir semester dua. Kesibukan kuliah dan aktivitasnya yang padat kadang membuatnya lupa bahwa ia adalah gadis yang teramat bangga dengan romantisme kenangan masa SMA. Barulah saat-saat ketika lelah mendominasi ruang rasa, ia rindu dengan masa itu kembali datang. Rindu dengan gelora semangat yang selalu digemakan oleh para rohiser, rindu dengan semua kebersamaan yang terbingkai atas nama ukhuwwah.

Dua kenikmatan yang sering manusia tertipu dengannya adalah nikmat sehat dan waktu luang. Entah mengapa ia seperti mendengar hadist itu kembali dibisikkan di telinga. Dan album kenangan di awal hidayah itu pun datang, seolah diputar. Ternyata semangat yang menyala itu ada di sana. Ternyata ikhlasun niat kala itu begitu beningnya.**

Jihad is still going on! Tiba-tiba Nurul terhenyak. Jam dinding di kamar menunjuk angka 6 dan duabelas. Ia pun bergegas merapikan kamar, bersih diri dan bersiap menuju GOR.

Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illabillah! Semoga acara HAMASA hari ini berjalan lancar, doanya sebelum melangkahkan kaki ke luar gerbang pondoknya.
*********

Akhi…
Ingin kulebur dosa yang pernah ada
Lewat medan jihad ini
Kuingin mendekapmu
Kuingin merengkuhmu untuk bersama
Kuingin membagi indahnya jihad bersamamu
Dan kuingin engkau berjanji saudaraku
Suatu saat kita bertemu karena ALLAH
***

Huda tersenyum membaca SMS dari Nurul. Kembarannya itu ternyata sudah kehabisan ide. Buktinya sarapan pagi yang diberikan kepadanya adalah kutipan dari tulisan seorang al-akh Ambon yang ada di Majalah Tarbawi. Bunyi tulisan itu sudah sangat di hapalnya sejak kelas satu SMA. Meskipun bukan menu baru, ia pun merasa mendapat supplai energi baru untuk memulai aktivitas hari ini. Tiba-tiba ia terharu. Duhai, inikah salah satu keindahan ukhuwwah?

AMBON! Peristiwa itu kembali menyapanya. Ah.., entah mengapa ia jadi teringat dengan tragedi yang terjadi tahun 1999. Huda pun ingat dengan cerita seniornya yang baru saja melakukan jaulah ke Ambon. Ternyata sampai detik ini, Ambon masih sangat kekurangan SDM dakwah.

“Bukan hanya Ambon, hampir seluruh wilayah di Indonesia timur saat ini masih membutuhkan kader dakwah. Ayo’, siapa mau ke sana?! Kalau sudah lulus, urusan pekerjaan gampang. Banyak channel di sana.”

Promosi seorang anggota tim BP FSLDK**** itu terdengar seperti sebuah tantangan. Ke Ambon? Kedengarannya indah. Ia tiba-tiba tersadar bahwa bekalnya belumlah cukup. Ia, seperti halnya Nurul, baru semester dua. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya di kampus hijau tercinta.

2009! Refleks, tangannya mulai menggambar peta masa depan. Di tahun itu aku harus sudah lulus dan menjadi kader dakwah yang kokoh dan mandiri, cerdas dan kreatif, spesialis berwawasan global,…ups, tiba-tiba ia menyebutkan karakteristik kader dakwah 2009. Wow! Bukan sekedar kata, tapi mewujudkannya adalah keniscayaan. Ya! Huda pun menerbitkan optimistis di hatinya. Ia sangat yakin bahwa dakwah adalah mega proyek yang membutuhkan banyak tenaga. Itulah mengapa ia ingin bersegera mengaplikasikan kurikulum dakwah berbasis kompetensi untuk menjawab tantangan dan peluang yang sama-sama terbuka lebar di masa depan.
*********

“Gimana HAMASAnya kemarin?” tanya Huda dalam perjalanan menuju ke rumah. Ahad pagi ini Si Kembar “eNHa” sengaja memilih bus Jurusan Jogja-Surabaya karena kondisi fisik. Capek motor-motoran alasan keduanya. Lagian di bus mereka bisa muroja’ah Quran bareng.

“Hmh,…yang datang sedikit.” Jawab Nurul sepertinya sedikit kecewa. Dialihkan pandangannya ke luar menembus kaca di sampingnya. Gadis berjilbab putih itu buru-buru menutupi setitik kecewanya, banyak ibrah yang didapatnya dari acara itu.

“Yang penting, kan bukan banyaknya peserta yang datang, Chay. By the way, temanya apa, sih?”

Nurul yang lebih senang dipanggil Chaya itu pun membenarkan ucapan Huda.

“Indahnya Ukhuwwah Dalam Kebersamaan. Ya! Kamu bener, aku jadi malu. Ternyata ta’aruf, tafahum, dan takaful itu memang tahapan yang harus dilalui dalam membina keindahan ukhuwwah. Aku baru nyadar kalau selama beberapa bulan jadi pengurus JN UKMI ini, aku belum terlalu ma’rifah dengan teman-teman yang lain. Aku baru tahu bahwa ternyata teman-teman di bidang lain juga punya banyak agenda yang padat.”

“JN UKMI itu ibarat keluarga. Antara bidang satu dengan yang lain adalah kesatuan. Jangan pernah terkotakkan oleh bidang. Jadikan dinamika dakwah kampus sebagai kawah candradimuka yang akan menggembleng kita sebelum terjun ke medan jihad yang lebih berat. Apapun yang terjadi, kita adalah da’i sebelum yang lain. Ingat ikrar kita, kan? Nahnu du’at qobla kulli syai’in

“ Ya tentu ingat, dong! O, ya…gimana Bakti Jama’ah? Katanya mau ngadain baksos, ya? Aku bisa bantu apa?”

“Pakaian pantas pakaimu kayaknya banyak, deh. Disumbangin aja daripada memenuhi lemari? Trus…”
“Tapi, Da. Aku masih suka semuanya.”
“Katanya indahnya ukhuwwah karena kita ibarat satu tubuh. Jangan egoistis, dong! Dakwah, kan butuh tadhiyyah. Lagian bagaimana bisa itsar kalo berbagi dengan saudara saja tidak mau…”
“I ya, deh..! Sekarang kita muroja’ah dulu, yuk. Gimana hapalanmu, Da?”
“Oke kita cek bareng-bareng, ya!” Huda pun mengawalinya dengan ta’awudz….
Bus jurusan Jogja-Surabaya masih melaju tenang.

Fathim, 140506:2.04

* : SMS seorang sekbid menjelang Subuh
** : Potongan email di milist muslim_smuda;published by nahdahalfauziya:090305
*** :Dirosat, Tarbawi Edisi 4 Th. 1 15 Oktober 1999
****:Badan Pekerja Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus



Tuesday 13 July 2010

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami (No Sufor No Cry)

0 comments

Sebuah catatan kecil yang kubuat selama MH badminton:Rabu Malam, mengejar lomba menulis bunda tapi terlambat. Hitung2 stimulasi bikin buku baru: catatan rumah tangga muda! Lagi mengamankan ide. Doakan segera terlahir dengan selamat dan bahagia ^_^

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami

Subhanallah! Semua terjadi begitu cepat. Pernikahan saya hanya membutuhkan persiapan selama 3 pekan. Alhamdulillah, acara aqad dan walimatul ursy pun berjalan relatif lancar. Semua terasa seperti mimpi. Apalagi sebulan kemudian Allah memberi kami amanah yang baru. Saya tak mendapati haid lagi setelah pernikahan kami.
Saya hamil. Ya Allah! Sebagai perempuan normal, tentu saya bahagia. Saya merasa purna sebagai seorang istri. Di sisi lain, saya merasa gundah. Betapa cepat amanah baru ini diberikan. Saya menata hati, berbaik sangka pada Allah dan berdoa agar diberi kemampuan menunaikannya dengan sebaik mungkin.

Tiap bulan, suami mengantar saya ke rumah sakit. Tiap bulan pula dengan sabar, ia menunggu sampai tiba giliran kami untuk berjumpa buah hati via USG. Saya beruntung. Laki-laki yang berstatus calon ayah bayiku begitu peduli. Ia juga proaktif menjaga calon mujahid kami sejak dalam kandungan. Ia tak hanya ikut memperhatikan asupan gizi calon bayi kami tapi juga rajin mengajaknya berkomunikasi, mengelusnya, dan mengajaknya bicara tentang apa saja. Bila adzan masjid depan rumah kami berkumandang, ia pun berbisik ke perut saya, “Dede’, sudah adzan, dengarkan, ya!”


Sebagai calon ibu baru, saya juga rajin membaca perkembangan bayi dalam kandungan. Saya mengikuti perkembangan bayi kami dari bulan ke bulan dengan membaca buku “9 Bulan yang Menakjubkan” terbitan Ayahbunda dan rajin searching seputar kehamilan via internet.

Pada bulan ke-3 dan ke-4, atas anjuran suami, saya cuti dari sebagai editor sebuah penerbitan di Solo. Selain menjaga kehamilan pertama, dalam masa cuti itu saya berharap bisa menyelesaikan skripsi. Ternyata tak mudah. Saya sering teler dan tak juga bisa berkonsentrasi. Bulan ke-5 hingga menjelang bulan ke-9, saya kembali menikmati aktivitas di kantor. Tiap hari menempuh perjalanan 2 x 22 km. Jalan terasa begitu panjang. Alhamdulillah di bulan-bulan terakhir kehamilan suami bersikukuh untuk mengantar jemput saya.

Berdasarkan HPL, bayi kami lahir sekitar tanggal 20 April 2009. Pertengahan Maret 2009, saya diizinkan untuk membawa kerjaan kantor ke rumah. Saya mengedit naskah di rumah. Kemudian, akhir Maret, kami memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran, Ngawi. Secara psikologis, saya ingin dekat dengan ibu dan ditunggui beliau saat persalinan. Alhamdulillah, suami mengerti dan tak sedikit pun keberatan untuk bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Begitu pula yang terjadi saat kesibukan menjelang dan pasca pemilu. Suami tetap bertekad pulang tiap akhir pekan.

HPL kurang seminggu lagi, akhir pekan tanggal 11 April, suami pulang ke Ngawi dalam kondisi capek pasca pemilu. Sudah feeling kali, ya, bayi kami akan lahir. Jadi tetap memilih pulang meskipun ada undangan pernikahan. Suamiku memang tipe suami siaga.

Tanggal 12 April tengah malam, saya merasa aneh. Ada semacam kontraksi. Rasanya seperti mau buang air besar. Saya belum ngeh juga kalau waktu persalinan telah tiba. Meski terasa sakit, saya terlelap sampai sepertiga malam terakhir. Saat terbangun, saya sudah merintih kesakitan. Tak lama kemudian, bersama ibu dan suami, saya menuju tempat persalinan terdekat. Tanpa banyak persiapan kami berangkat.

Menjelang Subuh kami sampai di Rumah Bersalin. Saat diperiksa baru pembukaan satu. Sekitar lima menit kemudian sudah pembukaan sembilan. Masya Allah, kontraksi terjadi seolah tanpa jeda. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Apalagi bidan masih menangani satu pasien yang terlebih dahulu datang. Saya harus menunggu giliran. Padahal bayi kami sudah hampir lahir. Suami tetap siaga di samping, ibu pun ada di kamar menunggui saya dengan harap-harap cemas.
Adzan Subuh terdengar begitu syahdu. Saya menahan sakit, menetralisir segala rasa dengan dzikrullah. Suami saya keluar ruangan bersalin untuk shalat Subuh berjama’ah di mushola. Ia tak menyia-nyikan kesempatan itu untuk mengulang doa agar saya diberi kemudahan saat melahirkan dan agar bayi kami terlahir dengan selamat.

Bidan yang seharusnya membantu persalinan saya ternyata merujuk pasien ke rumah sakit. Saya harus menunggu. Sungguh, saya nggak kuat : duh sampai kapan? Akhirnya proses kelahiran pertama saya dibantu oleh bidan muda. Usut punya usut, ia adik kelas saya di SMA. Alhamdulillah, hanya dengan dua-tiga kali mengejan, bayi kami lahir dengan selamat.

Suami saya menangis haru dan mencium kening saya saat tangis pertama bayi kami terdengar. Setelah dibersihkan, ia mengumandangkan adzan dan iqomah secara bergantian di kedua telinga.
*******

Kesedihan pertama yang saya rasakan pasca melahirkan adalah belum bisa memberikan ASI pada buah hatiku. Padahal sejak ia dalam kandungan, saya sudah bertekad untuk tidak memberi setetes pun susu formula pada bayiku. Tetapi apalah dayaku. ASI belum keluar walaupun pasca melahirkan ia diletakkan di dadaku untuk inisiasi menyusui dini. Sedih bukan kepalang menyaksikan suamiku menyuapi bayi kami susu formula sendok demi sendok.

Kutepis sedihku dengan banyak-banyak berdoa. Apapun akan kulakukan agar bisa memberikan ASI. Selain makan kacang-kacangan dan berbagai macam sayuran hijau, saya juga rajin melakukan massage untuk merangsang agar ASI segera keluar. Saya pun rajin memberikan puting susu meski asi belum keluar. Suami juga tak henti-hentinya memberikan support. Ia meyakinkan saya bahwa setiap ibu hamil Insya Allah bisa menyusui bayinya.

Alhamdulillah hari ke-6, ASI keluar. Saya pun segera memberikannya pada bayi kami. Asi pertama yang keluar mengandung kolustrum, jadi kami tak ingin melewatkannya.

Hari ke-7, saat aqiqah, saya sudah memberikan ASI pada mujahid kecil yang kami beri nama Arkan Dian Husnayan. Secara makna, namanya merupakan harapan agar ia menjadi anak pertama (awal) ~sebagai dasar~ dalam menggapai cahaya kemenangan agama (Islam). Alhamdulillah, di hari aqiqah banyak sekali yang datang memberi ucapan selamat dan doa.

Selama tujuh hari pertama, kami dibantu Bulik yang sudah berpengalaman dalam memandikan dan merawat bayi. Setelah pupak pusar, saya mulai belajar memandikan. Alhamdulillah, suami pun juga segera mahir sehingga kami bisa bergantian memandikan Arkan.

Suami masih harus bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Saya sedih tiap kali ditinggal suami. Sepertinya sempat terjangkit baby blues syndrom. Biasalah ibu muda, masih butuh banyak support. Lebay kali, ya, hampir tiap hari saya mengirim foto perkembangan terbaru Arkan. Hal itu berlangsung sampai 2,5 bulan sampai kami boyongan ke Solo.

Saya yang masih rajin searching seputar bayi dan tumbuh kembang bayi. Setiap kali menemui hal baru yang belum saya ketahui saya menjadikan Mbah Google sebagai guru pertama. Hasilnya lumayan. Tak perlu konsultasi dokter atau bidan, saya mampu mengatasi problematika yang ada. Saya senantiasa memantau tumbuh kembang bayi. Memastikan bahwa tumbuh kembang Arkan sesuai dengan usianya.

Selain full ASI pada enam bulan pertama, saya dan suami rajin membawa bayi ke bidan untuk melihat grafik pertambahan berat badan dan memijatkannya sepekan sekali. Kalau terlambat, maka giliran suami saya yang memijatnya. Hal ini kami rasakan banyak sekali manfaatnya.

Alhamdulillah Arkan lulus ASI ekslusif versi saya (meski enam hari pertama terpaksa mencicipi sufor). Tepat enam bulan ia mulai menikmati MPASI yang orisinal buatan saya sendiri. Hanya sebulan saja ia mau mencicipi bubur susu instant. Selanjutnya, ia menolak dan sampai sekarang tidak mau mencicipi makanan bayi instant kecuali biskuit.

Kami bersyukur. ASI ekslusif terbukti tokcer. Arkan tumbuh sehat dan jarang sekali sakit. Ia juga lincah dan ceria. Sampai sekarang Arkan tetap minum ASI dan tidak beralih ke susu formula. Insya Allah kami akan mengupayakan ASI sampai Arkan berusia dua tahun. Tak mudah memang, banyak sekali yang menegur: Kenapa nggak dikenalkan dengan susu formula?
*******

Tumbuh kembang tiap bayi itu unik. Itulah mengapa kami tak pernah membandingkan Arkan dengan anak-anak usianya. Kami tak perlu khawatir, misalnya, ketika di usia satu tahun ini Arkan belum lancar berjalan sedangkan ada juga bayi 9 bulan sudah lancar berjalan. Arkan punya prestasi tersendiri dalam tahapan usianya. Sekarang ia sudah pandai cium tangan, dada, sayang Ummi-Abi, menyuapi Ummi-Abi, berlagak menyisir rambut sendiri, berlagak telp, bilang maem atau nenen jika merasa lapar atau haus, menyambut kedatangan Abi, dsb.

Kini sudah satu tahun usia sulungku. Begitu banyak hal yang menakjubkan yang membuat saya dan suami tak henti-hentinya bertasbih dan bersyukur. Sungguh jalan yang terbentang masih begitu panjang. Kami pun masih harus banyak belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Menyaksikan tumbuh kembangnya dari hari ke hari adalah menuntun kami untuk senantiasa bersyukur. Pengalaman pertama menjadi orangtua menyadarkan kami betapa ia adalah anugerah terindah dari-Nya. Semoga ia menjadi cahaya mata, penyejuk hati kami selamanya, dan bermanfaat untuk agama dan ummat.

Solo, 15 April 2010:23.00
Kado milad buat Arkan Dian Husnayan.
Jazakallah buat MH atas semua support selama ini:)

Thursday 8 April 2010

METAMORPHORIA

1 comments

”Perlahan tapi pasti manusia di sekitar Rasulullah mulai bermetamorfosis. Mereka mengisntal ulang visi dan pandangan hidupnya, tentang diri mereka sendiri, tentang Tuhan, tentang keberadaannya di dunia, dan tentang alam raya yang terbentang luas. Titik metamorfosis ini menjadi awal lahirnya manusia besar yang kelak memimpin dunia. Menjadikan mereka orang-orang yang luar biasa.*)”

Sungguh sebuah sentuhan akhir yang manis. Naisya tak menduga bahwa dengan sangat lancar ia berhasil mengucapkan kata-kata itu.

”Adik-adik Muslimah yang dirahmati Allah, Mbak berharap setelah bedah buku kali ini, kita menjadi manusia yang tercerahkan. Semoga kita mampu meresapi makna kehidupan yang sebenarnya. Marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan!”

Diam-diam Naisya menata hatinya. Rasa-rasanya closing statement itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri. Sungguh tiap kali ada permintaan untuk menjadi pembicara dalam berbagai kesempatan, ia berada pada dilema. Menolak berarti ia menyia-nyiakan kesempatan untuk dakwah bil lisan. Menerima berarti ia harus kembali berkaca pada dirinya sendiri: seberapa pantas ia mampu menginternalisasikan kebaikan yang disampaikannya pada diri sendiri? Pada akhirnya, ia lebih sering menerima tawaran menjadi pembicara dengan mencoba meluruskan niatnya. Segala amal itu tergantung niatnya, bukan?

Fuuih... akhirnya sampai di penghujung sesi tanya jawab. Muslimah yang hampir memasuki usia seperempat abad itu menarik nafas lega.

Setelah berpamitan dengan panitia, gadis berjilbab yang mempunyai nama lengkap Naisya Fathimatuzzakia itu bersiap meluncur ke kampus belahan utara kawasan Solo Raya. Ada kajian rutin bersama adik-adik kampus yang harus didatanginya.

*******

“Mbak Nais, bisa, kan? Ayolah, Mbak!” Suara di sebrang mulai merayu.
“Yang lain saja, ya, Dik. Mbak, kan belum menikah. Khawatir hanya omdo -ngomong doang- berdasarkan teori tanpa pengalaman sesungguhnya.”

”Tapi Mbak, ini mendesak. Ayolah, Mbak! Hitung-hitung memantapkan kesiapan setengah dien. Ayolah, Mbak! Mbak Nais sendiri, kan yang bilang kalo kita sedang berproses. Berubah menjadi baik itu menyenangkan. Begitu, kan? Metamorphoria, Mbak. Ingat METAMORPHORIA!”

”Masya Allah, Salma. Mbak Nais nggak bisa. Ini mendadak sekali. Mbak kan perlu persiapan. Mosok yo besok tho, Nduk? Mbak Nais carikan yang lebih ahli, ya?” Naisya mencoba untuk bernegosiasi.

”Baiklah, kalau begitu. Segera kabari Salma via SMS, ya, Mbak. Jazakillah. Assalamu’alaykum.”

Setelah menjawab salam, Naiya meletakkan HP-nya dengan asal. Ruang kamar berukuran 4x3 M ini terasa semakin sempit.

Salma ngaco banget. Masak nyuruh ngisi materi tentang fiqh Munakahat. Emang aku ini Ustadzah? Fuih... M U N A K AH A T?

Naisya uring-uringan sendiri. Meski hanya dalam hati, jilbaber yang mempunyai jam terbang tinggi itu merasa mangkel. Siapa yang harus dihubunginya? Acaranya besok. Catat: BESOK! TOR juga belum dikasih. Bagaimana mungkin ’menembak’ Ustadzah untuk mengisi acara dalam waktu yang cukup mepet. Malu, ah.

Akhirnya, Naisya mencoba menghubungi para senior dakwah kampus yang sudah lulus. Berulangkali ia memencet kotak unyilnya, mengirim SMS dan menelepon para kakak tingkat yang diseganinya. Hasilnya nihil. Tak ada satu pun yang menyatakan kesanggupan.

”Wah, mendadak sekali Dek Nais. Mbak dah ada acara.”
”Lho, masak besok. Mbak nggak bisa, Dek.”
”Coba hubungi Ustadzah Ely saja, Dek. Atau Ustadzah Lusi.”
Naisya menggeleng. Ia tidak punya muka menghadap Ustadzah. Satu hal yang menjadi masalah. TIME. Waktunya terlalu mendadak.

Dengan wajah ditekuk dan mulut manyun, Naisya keluar kamar. Warga kosnya sedang asyik ngerumpi di ruang tengah sambil melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Ada yang setrika, ada yang menyalin laporan praktikum, ada yang menyulam, ada yang mengiris sayuran untuk dimasak, ada pula yang nonton TV sambil facebook-an.

”Dear kru KEMULIAAN yang Mbak NICE Sayangi, Help me please!”
Kontan, anak-anak Wisma Kemuliaan menghentikan aktivitas mereka sejenak.
”Ada apa, Mbak Nais?” Tanya mereka kompak
”Siapa yang mau gantiin Mbak ngisi kajian besok di kampus sebrang kali. UNSA?”
”Haaa...Besok?” Eka menghentikan sulamannya.
”Temanya Apa, Mbak?” Tanya Win bersimpati
”Nikah.” jawab Naisya singkat.
”Nyak, Babe, aye mau nikah.” Yani yang sedang facebook-an menyahut.
”Kenapa nggak minta tolong Ustadzah aja.” Usul Eka.
”Hmh...”

Naisya pun ngeloyor pergi dengan tampang bete. Ia kembali ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Dimatikannya lampu kamar pertanda ia bersiap tidur. Begitulah kalau lagi suntuk. Naisya melampiaskannya dengan tidur. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Namun, setidaknya ia bisa meringankan kepalanya barang sejenak.

Hampir saja Naisya terlelap. Tiba-tiba saja mengalun ringtone dari HP-nya pertanda ada SMS yang masuk.

Sapa Mbak yang akan mengisi, besok?Makasih. Salma Hanifah
Naisya tersenyum getir dan me-replay: Naisya Fathimatuzzakia.

Huuuh.... Naisya mendengus tak percaya. Sayang, ia terlanjur menuliskan namanya. Mau tak mau ia pun menyalakan lampu kamarnya. Ia keluar kamar untuk mengambil laptopnya yang lagi dipakai online oleh salah satu adik kosnya.
”Mbak pinjam sebentar buat berselancar,ya? ”

Dalam hitungan menit mahasiswa tingkat akhir Universitas Nomor Satu itu sudah asyik berselancar lewat dunia maya. Apalagi kalau bukan mencari materi tentang pernikahan buat kajian Muslimah besok.

*******

”Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata–mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara farj atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan sekedar alasan tersebut. Akan tetapi lebih dari itu.**) ” Naisya mengawali pemaparannya dengan tenang. Sebelumnya ia telah meminta izin panitia untuk menyampaikan materi tentang persiapan menuju gerbang pernikahan.

”Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan. Pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari upaya perbaikan Ummat. Untuk itulah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas berbagai persiapan menjelang pernikahan. Apa saja itu?”

Khas Naisya. Ia melempar pertanyaan pada audience sambil mengingat-ingat kelanjutan materi yang akan disampaikan.

Materi seputar pernikahan memang selalu menarik bagi anak kampus. Tak terasa satu jam telah berlalu. Naisya tersenyum. Entah mengapa ia berbunga-bunga sendiri. Tak menyangka bahwa inilah materi yang disampaikannya adalah kebutuhannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Siapa tahu sebentar lagi married. Lho kok malah ngelantur, nih.

”Saya tak bisa banyak berkata-kata. Saya bukan pakar cinta atau pernikahan. Yang jelas saya meyakini bahwa secara sunatullah, laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, sejak saat ini tak ada salahnya kita mempersiapkan diri. Siapa tahu, besok telah ada laki-laki yang berhati cahaya yang disiapkan Allah untuk kita.”

Ya Allah, sungguh kalimat terakhir itu adalah doaku, Naisya membatin.
”Baiklah, marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan! ” Kembali Naisya mengkampayekan metamorphoria sebagai closing statement. Para muslimah di hadapannya pun mengangguk-angguk.

*******

METAMORPHORIA. Hampir setiap hari Naisya mengucapkan kata-kata itu lengkap dengan slogan kebanggaannya: KARENA BERUBAH MENJADI BAIK ITU MENYENANGKAN.***)

METAMORPHORIA sebenarnya adalah judul buku mentoring yang digunakan oleh kampus-kampus harapan di kawasan Solo Raya. Naisya sendiri pernah bergabung sebagai tim pendamping salah satu kampus harapan. Mereka menamai kampus-kampus swasta di kawasan Solo Raya dengan kampus harapan. Mereka meyakini satu hal: selama ada mahasiswa di sana maka ada harapan untuk melebarkan dakwah. Kampus bagi mereka selalu menyimpan harapan untuk menambah jumlah orang yang berafiliasi terhadap dakwah Islam.

Tim kampus harapan adalah tim solid yang berjibaku tak pernah lelah untuk mengembangkan sayap dakwah. Mereka mempunyai motto: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan. Maka tak heran bila sepak terjang mereka luar biasa. Sejalan dengan kinerja FSLDK****) Solo Raya mereka bergerilya dari kampus ke kampus hampir setiap hari.

*******

”Hari ini kita masak apa, Dik?”
Naisya terkejut dengan pertanyaan laki-laki berjanggut tipis di hadapannya.
”Ya, mau masak apa? Boros, kan kalau kita beli terus tiap hari. Bisa masak, kan, Dik?”

”He..he... bisa-bisa, masak air.” Jawab Naisya lesu.

”Kamu pasti bercanda. Tapi gak papa, soal rasa, lidah Abang ini cukup toleran, kok. Nggak usah khawatir. Ingat sloganmu waktu mendampingi kampus harapan, kan?”

”METAMORPHORIA.” pelan Naisya menjawab. Kali ini sungguh tanpa antusias seperti dulu yang biasa meledak-ledak.

”Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, ya Dik?” Ghazi menyambung kalimat kebanggaan istrinya.

”Baiklah, learning by doing aja. Abang berangkat dulu, ya. Jaga diri dan kehormatan suamimu baik-baik.”

Naisya mencium takzim tangan suaminya. Ini adalah hari keempat pernikahan mereka. Belum genap tujuh hari sudah ditinggal-tinggal. Namun, Naisya menyadari sepenuhnya konskuensi menikah dengan aktivis dakwah. Setelah mencari nafkah masih banyak hal yang harus dikerjakan. Bukankah mereka memang da’i sebelum menjadi yang lainnya?

Baiklah. Naisya pun menikmati status barunya sebagai seorang istri. Ia ingat, pertanyaan suaminya yang belum dijawab. Masak apa, ya? Bahannya apa?

Naisya pun menyalakan laptop. Ia pun bertanya kepada Mbah Google tentang menu masakan. Akhirnya pilihannya jatuh pada sayur bening. Sederhana. Tinggal masak air dengan bumbu bawang merah, bawang putih, temu hitam, dan 2 cm kencur yang diiris halus. Setelah mendidih, tinggal masukkan jagung manis, wortel, dan sayur bayam. Matang, tinggal angkat. Mudah, kan?

Naisya pun keluar rumah. Berjalan beberapa meter ke kios. Ia membeli beras, sayuran, dan kebutuhan untuk masak-memasak hari ini. Pengalaman pertama, Naisya terlihat masih malu-malu.

Sampai di rumah, nyonya muda itu tak bersegera memasak. Suaminya pulang sore. Jadi masaknya nanti sore aja. Siang ini makan mie instan. Duh kebiasaan anak kos itu masih melekat.

Usai shalat Ashar, Naisya bersiap memasak. Bismillah.... bantu aku ya Allah, bisiknya penuh harap. Ia memotong Jagung, wortel, bayam dan menyiapkan bumbu.

O, ya sebelum masak sayur mending nanak nasi dulu.

Naisya pun mencuci beras. Tak sampai bersih, takut vitaminnya hilang. Setelah itu dikasih air. Seberapa, ya? Husy... Naisya lupa pelajaran dari Widya dan adik-adik kosnya. Mau tanya via telepon gengsi. Akhirnya, beras yang sudah berada dalam panci itu dituanginya air menurut takarannya sendiri. Tinggal cup! Sudah nancep di listrik, nunggu mateng deh! Naisya tertawa-tawa sendiri.

Tak lama setelah sayur bening, tempe dan pindang goreng plus sambal tomat kreasinya siap dihidangkan, Naisya mandi. Bersiap menyambut suami dengan penampilan terbaik dan keceriaan penuh.

*******

Penantian Naisya sore ini berakhir. Deg-degan jantung Naisya waktu suaminya mengetuk pintu diiringi salam.
”Subhanallah, cantik sekali bidadari Abang ini.”
”Halah... Bang Ghozi mulai, deh ngegombal.”
”Nggak, kok. Ini tulus dari hati. Hmh... by the way, Abang lapar berat nih. Dari siang belum makan.”
“Tenang, Bang, makanan sudah siap, kok.”
Naisya menghidangkan kreasi istimewa perdananya.
“Wah, kelihatannya enak. Mana nasinya, Dik?”
“Ada di rice cooker, Bang.”
“Oh, baiklah giliran Abang yang mengambilkan, deh.”
Naisya mengiyakan.
“Masya Allah, Dik. Kok nasinya belum masak?”
Gubrrakkk!!!
Naisya terkejut. Ia ingat belum meng-On-kan rice cooker-nya. Astaghfirullah.

Ghozi tersenyum melihat kepanikan istrinya. Diam-diam, ia membawa panci dan membuang air.

”Airnya kebayakan, Dek. Sini Abang ajarin.”

Ghozi unjuk kebolehannya menanak nasi di rice cooker. Lha wong cuma masak nasi kok nggak bisa. Kebangetan deh!

METAMORPHORIA, learning by doing, karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, dan sederet slogan kebanggaan Naisya kini tak berarti lagi. Ternyata tak cukup slogan sebagai penyemangat. Namun, butuh aplikasi yang lebih. So, mari kita ber-METAMORPHORIA dengan sungguh-sungguh. Jangan instan, ya! Yoi: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan.

*******
*)Preface di buku METAMORPHORIA
**) http://cahaya05.wordpress.com
***) Preface di buku METAMORPHORIA
****) Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus, http://fsldkn.org