Monday 21 December 2009

SURAT BUAT BUNDA

0 comments

Kubaca lagi surat buat bundaku dua tahun yang lalu
hanya biru mewarna hatiku
Maaf, Bunda, Adik belum mampu membuatmu tersenyum bangga
Maafkanlah anakmu..


kutemukan bening kristal berjatuhan
saat senyummu menjawab semua tanya
agar damai terjaga di singgasana rasa

Boleh, kan, Adik mengembarakan Cinta?
Boleh, ya, Bunda?


Ikhlasmu antar aku pada harapan
tentang indah keabadian
usai persinggahan yang hanya sebentar

Jangan...jangan terbuai pesona
dunia hanya fatamorgana!
(Menjadi Bidadari by Fathimatul Azizah)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sungguh, hanya bagi ALLAH segala puji. Semoga ditetapkan hati-hati kita di atas agama-NYA. Shalawat dan salam kepada junjungan tercinta. Semoga mampu kaki-kaki kita mengikuti sunnahnya.
Kabar baik, Bunda?



Selalu itu kalimat pertama yang Adik hadiahkan buat Bunda via telepon atau SMS. Hampir tiap hari Bunda mendapatkannya. Dan Bunda selalu meyakinkan Adik bahwa Bunda baik-baik saja meskipun keadaan Bunda tak selalu begitu. Bunda tak pernah tega mengabarkan hal-hal yang tidak baik karena Bunda tak mau Adik terlalu khawatir memikirkan keadaan Bunda. Baiklah, Bunda... Adik mengerti itulah salah satu bukti ketegaran yang engkau punya. Namun Bunda, di malam yang semakin larut ini entah mengapa mata enggan terpejam. Ada gundah yang masih terus berkecamuk dalam diri. Adik tak berhasil menepis gundah itu. Ya! Bagaimana mungkin Adik bisa tenang membiarkan Bunda sendirian di rumah; tak berkawan seorang pun di waktu malam.

Terbayang jelas di mata Adik, saat Bunda diam-diam menangis setelah shalat. Betapa memang hanya ALLAH muara segala rasa yang ada di jiwa. Bunda mengajariku lagi makna ketegaran dengan mengadukannya kepada Yang Maha Penyanyang. Adik tahu tak mudah menghadapi kenyataan pahit. Tak mudah bagi kita melepas kepergian orang yang kita cintai. Apalagi ia telah berpuluh-puluh tahun menjadi sandaran jiwa. Namun, Bunda telah buktikan ketegaran untuk melepasnya; merelakan kepergian Ayah meski sungguh tak terkira perihnya hati yang terluka. Bunda mencoba untuk ikhlas. Ya, Adik tahu...sangat tahu bahwa hal itu teramat berat bagi Bunda.

Bunda, kini Adik mengerti mengapa kita tak boleh mencintai sesuatu secara berlebihan. Rasul telah mengingatkan kita untuk bersikap proporsional; mencintai atau membenci sesuatu sewajarnya saja. Sesuatu yang kita cintai bisa menjadi sesuatu yang kita benci dan sebaliknya. ALLAH yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Bisa jadi apa yang menurut kita baik namun teramat buruk di hadapan ALLAH dan sesuatu yang kita anggap buruk ternyata justru baik bagi kita.

Bunda, sudah dua tahun lebih Ayah tak lagi bersama kita di rumah. Dalam rentang waktu itu, Adik mencoba memaknakan setiap peristiwa sebagai tanda kasih sayang-NYA. Sungguh ALLAH tak pernah menguji kita di luar batas kesanggupan. Dari Ayah dan Bunda, Adik semakin mengerti bahwa ternyata masih banyak bekal yang harus dipersiapkan sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menikah. Sebelum saat itu tiba –-saat seorang lelaki yang berhati cahaya dihadirkan-NYA untuk meniti jalan bersama menuju surga-- Adik harus terus memperbaiki diri. Bukankah menggenapkan setengah dien adalah ibadah yang harus dipersiapkan dengan baik?

Apapun yang terjadi, selama nafas kita masih diizinkan-NYA berhembus, kita harus bersemangat untuk terus memperbaiki diri dan mempersiapkan bekal menuju kehidupan abadi. Adik berjanji untuk terus memperbaiki diri. Beberapa bulan terakhir ini, ALLAH menegur Adik dengan kepergian orang-orang hebat. Adik menganggap mereka sahabat perjuangan. Mereka adalah mujahid dan mujahidah masjid kampus. Tiga di antaranya -–Akh Bambang, Mbak Amal, Akh Joko Suseno-- pernah aktif di JN UKMI UNS –Lembaga Dakwah Kampus di tingkat universitas-. Ya! Meski tidak semuanya Adik kenal dari dekat tapi Adik belajar banyak dari mereka. Mereka adalah sosok-sosok yang amanah dalam dakwah.

Bunda, di satu sisi Adik merasa benar-benar kehilangan, namun di sisi lain Adik semakin tersadar betapa memang ALLAH Penggenggam jiwa semua makhluknya. DIA telah menentukan berapa jatah usia kita. Adik semakin takut, akankah dalam sisa usia yang masih diberikan-NYA mampu Adik gunakan untuk memberikan yang terbaik? Akankah Adik mampu menjadi anak yang berbakti pada Ayah dan Bunda? Mampukah Adik menjadi wanita shalihah di setiap sisi kehidupan? Menjadi sebaik-baik perhiasan dunia yang didamba para pencinta-NYA?

Dalam ketakutan itu, Adik berharap banyak dari doa Bunda. Doa agar ALLAH menjadikan Adik sebaik-baik perhiasan dunia; menjadi anak, istri, dan ibu yang shalihah –nantinya-. Adik percaya doa Bunda selalu menyertai langkah-langkah kaki Adik dalam menapak di jalan-NYA.

Bunda ,ingat, nasyid yang sering Adik putar waktu SMA? Nuansa; nasyid pinjaman dari perpus Rohis SMA. Entah mengapa akhir-akhir ini Adik sering menyandungkannya. Saat-saat Adik sendiri..saat-saat Adik rindu dengan Bunda.

Duhai ibuku..
Dengar nasyidku...
Putramu (i) yang kini dari sisimu
Tunaikan tugas emban amanah
Turut perjuangkan Dinul Islam tercinta..


Bunda, Adik ingin menjadi bagian dari barisan akhwat tangguh; menjadi seorang mujahidah yang tegar hadapi setiap ujian perjuangan. Adik tahu, Adik punya banyak keterbatasan namun bukankah ALLAH berikan kemampuan dan kesempatan untuk berusaha? Kemenangan atau kekalahan bukanlah hakekat yang diperjuangkan. Biarlah ALLAH, Rasul dan orang-orang beriman menjadi saksi dari tiap kerja keras yang kita lakukan. Bunda, doakan Adik ya... Adik ingin menjadi bagian pembela agama-NYA. Adik ingin menjadi bagian dari kebangkitan Islam.

Bunda, diakhir surat ini.. Adik ingin mengatakan bahwa Adik bangga terlahir sebagai seorang muslimah. Adik pun bangga memiliki Ibu sepertimu. Bunda telah banyak berkorban demi kami –-Adik dan Mas-- Bunda tak pernah membiarkan binar mata kami redup. Maka, tak ada yang bisa kami lakukan untuk membalas semua itu selain doa. Semoga ALLAH menjaga Bunda selalu, menyayangi Bunda seperti Bunda menyayangi kami di waktu kecil. Terimakasih Bunda... Hanya ALLAH yang bisa membalas semua pengorbananmu.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



Wednesday 2 December 2009

MUHASABAH BERSAMA SAHABAT PERJUANGAN

0 comments

Amanah yang terembankan
pada pundak yang semakin lemah
Bukan sebuah keluhan,
ketidakterimaan,...keputusasaan!
terlebih surut langkah ke belakang

Ini adalah awal pertempuran
Awal pembuktiaan
Siapa diri yang beriman.

Wahai diri, sambutlah seruannya
Orang-orang besar lahir karena beban perjuangan
Bukan menghindar dari peperangan*

SAHABAT,
Mari kita ambil istirah sejenak. Kita nikmati keheningan bersama kesendirian. Kita pintal kembali harapan yang pernah terkoyak. Mari bermonolog dengan kejujuran hati nurani. Benarkah diri ini masih selalu merindu indah jannah-NYA? Keindahan yang dihadiahkan-NYA untuk orang-orang yang beriman; orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan-NYA. Benarkah kita bertekad untuk terlibat dalam sebuah perniagaan yang dapat menyelamatkan kita dari adzab pedih-NYA? Ya! Tentu selalu kita damba keberuntungan besar itu. Namun, akankah mampu kita bayar pahitnya perjuangan, dengan semanis mahar berupa pengorbanan? Sanggupkah kita menebusnya dengan amal yang tidak seberapa? Dengan kerja-kerja yang masih tak sempurna.



SAHABAT, selagi belum terlambat mari luruskan kembali niat. Bukankah dari awal perjalanan kita telah diingatkan bahwa jalan dakwah yang akan kita tempuh adalah jalan panjang? Kita pun telah diingatkan betapa banyak aral dan cobaan yang menguji keistiqomahan kita dalam menempuhnya. Namun bukankah kita pun akhirnya sepakat untuk menghusungnya bersama-sama? Tak satu pun dari kita yang sanggup memikul berat bebannya. Dan bukankah ALLAH pun menyukai kita terhimpun dalam barisan yang teratur hingga kita laksana bangunan yang tersusun kokoh.

Sahabat, sudah saatnya kita mengambil peran dalam perjalanan panjang ini. Marilah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam amal dakwah ini. Lakukan apapun yang bisa kita lakukan tanpa melanggar nilai-nilai syar’i. Hal-hal yang kita anggap kecil bisa jadi nilainya sangat besar di sisi ALLAH. Yakinlah bahwa ALLAH tidak melihat hasil usaha kita akan tetapi sejauh mana keikhlasan, ikhtiar dan kesungguhan hamba-hamba-NYA. Maka mari iringi setiap usaha kita dengan doa-doa malam; doa yang dipenuhi rasa harap dan khauf atas pertolongan dan cobaan-NYA.

Ingatlah bahwa ALLAH tidak akan pernah mendzalimi hamba-NYA di luar batas kesunggupannya. Oleh karena itu amanah apapun yang dipercayakan pada kita, InsyaALLAH kita mampu menunaikannya. Ketika amanah dipikulkan pada kita berarti kita telah memenangkan proyek besar dari ALLAH: kita adalah orang-orang pilihan di antara yang lainnya.

“Dan berjihadlah kamu di jalan ALLAH dengan jihad yang sebenar-benarnya. DIA telah memilih kamu dan DIA tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (22:78)

Gelorakan semangat juangmu, wahai SAHABATku! Sudah bukan saatnya lagi perbedaan karakter menjadi hal yang menghalangi amal dakwah kita. Sudah bukan zamannya semangat dakwah kita bergantung pada mood dalam diri. Sudah bukan waktunya kita hanya memilih menjadi penonton atas perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara kita menegakkan risalah ini.

Mempengaruhi orang itulah pekerjaan dakwah. Orang kaya lebih berpengaruh di mata masyarakat awam. Maka sudah semestinya kita menjadi orang-orang kaya ruhiyah, berjiwa besar dan berlapang dada, bersabar, dan tetap optimis akan pertolongan ALLAH SWT.

Bertahanlah meskipun beban dakwah ini begitu berat. Cukuplah keikhlasan menjadi saksi perjuangan kita. Berdoalah selalu agar ALLAH menjadikan kita pengemban amanah dakwah yg jiddiyah. Yg tidak saja membuat dakwah bersemi di lingkungan kita, melainkan mampu membangun semangat ikhwah kita yang sedang melemah.**

Muhasabah gado2, cuplikan dari file FSLDKN XII & taushiyah seorang mbak. (fa)
*dari tulisan “Mencari Energi yang Hilang Dalam Dakwah” taushiyah seorang mbak
** kata-kata di majalah Al-Izzah di sebuah edisi



Tuesday 1 December 2009

RINTIK YANG MENYUBURKAN

1 comments
Mukhammad N.F (eks Ketua Umum FLP Solo)

Hubungan yang lembab antara penulis, kesunyian dan Pencipta Sunyi menjadi bagian dari alur yang indah dalam sebuah tulisan kenangan. Saya menyebutnya kenangan karena tulisan-tulisan di dalam buku ini lebih sebagai fragmen yang menitipkan kenangan silam. Ingatan-ingatan lalu yang mengirimkan rindu dan cinta. Tidak... tidak hanya itu, tetapi ingatan yang membekaskan nafas, meniupkan bara dan melapukkan kesombongan. Nyanyian masa lampau yang masih terdengar indah karena berderet-deret nama Tuhan selalu –dan berkali– disebut dalam setiap kejadian.


Menghubungkan setiap kejadian pada nama-nama Tuhan bagi sebagian orang menjadi aktivitas yang buta dan sunyi. Tetapi bagi sebagian yang lain, tidak menghadirkan kemuliaan-Nya justru menjeratkan kepedihan dan keresahan. Memang tidak salah tatkala menyikapi masalah dengan ukuran logika dan kebesaran pikiran. Tetapi lebih indah, saat berbagai beban datang bertubi-hunjam maka nama-nama Tuhan menghias basah menjadi dzikir di bibir hamba. Mereka memaknai kejadian sebagai bagian kenikmatan, mencandai ‘beban’ sebagai rintik yang menyuburkan.

Sebagaimana disampaikan dalam Wahyul Qalam-nya Ar-Rafi’i, “Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamu lah yang sempit —bukan dunianya.”

Subhanallah...!


Lalu, manakah yang lebih indah jika hamba yang pandai itu (juga) seorang penulis? Pasti ia akan melekatkan pena yang menghubungkan kisah dengan sesungguh penghambaan. Hal itulah yang berusaha dilakukan oleh penulis muda ini dalam buku catatan kecilnya “Sedetik di Mata, Selamanya di Jiwa”. Sebagai karya pertama yang –akhirnya– dibukukan, layaklah jika usaha dan kerja kerasnya menjadi catatan tersendiri. Di samping kegigihan dan keinginannya untuk mengembalikan riak-riak kecil yang meriuh (beban) selalu pada kebesaran asma Tuhan.

Keseluruhan, ada 29 (duapuluh sembilan) kisah yang ditata dengan sederhana dalam buku kecil ini. Kisah-kisah yang oleh Fathim (panggilan untuk Fathimatul Azizah) diharapkan dapat menjadi ruang istirah dan meng’hisab’ diri. Semuanya adalah catatan nyata yang dikumpulkan dari ingatan-ingatan lapuk penuh warna. Fathim tidak hanya memindahkan warna itu mentah-mentah, tetapi ia menghadirkan dirinya tiap kali menuliskan catatan. Bahwa setiap catatan adalah kenangan dan setiap kenangan pasti membenamkan pelajaran, itulah kehidupannya. Seperti : subuh yang bergerak, pengamen yang santun, kematian yang tiba-tiba, jilbab yang ‘berongga’, air mata yang lindap di kesunyian, hingga nasyid (senandung islami) yang –kadang– melalaikan, pun persaudaraan para aktivis LDK yang pekat tak luput ia usapkan warna!

Sebagai seorang penulis perempuan, saya menangkap keseluruhan kisah Fathim hampir-hampir juga berwarna ‘perempuan’. Fathim melihat setiap kejadian dengan perasaannya sebagai seorang perempuan. Hingga dalam setiap kisah akan sering ditemukan catatan yang ‘basah’ karena bermuara air mata dan sendu kepedihan. Tetapi tidak semuanya! Sebab ada beberapa kisah yang justru memberontakkan ketegaran dan kekuatan. Justru di situlah saya menangkap kelebihan Fathim. Kisah-kisah yang dihadirkan terasa lebih lunak dan lembut karena ditulis oleh seorang perempuan. Maka tidak salah jika Fathim menginginkan buku ini menjadi ruang untuk istirah. Sebab, di ruang itu ia memantik api yang menghangatkan bukan yang membakar, ia meniupkan angin yang meneduhkan bukan yang menghancurkan. Seperti dzikir yang berulang-ulang di ujung malam, selalu mengingatkan.

Maka bacalah!

Sebab Anda tidak hanya diajak untuk berehat memintal jeda sejenak, tetapi Anda akan diajaknya pula untuk menyeberang malam hingga di ujung fajar.

Sampai ufuk semburat merahnya . . .

***

Solo, Syawal 1428 H