Tuesday 1 December 2009

RINTIK YANG MENYUBURKAN

1 comments
Mukhammad N.F (eks Ketua Umum FLP Solo)

Hubungan yang lembab antara penulis, kesunyian dan Pencipta Sunyi menjadi bagian dari alur yang indah dalam sebuah tulisan kenangan. Saya menyebutnya kenangan karena tulisan-tulisan di dalam buku ini lebih sebagai fragmen yang menitipkan kenangan silam. Ingatan-ingatan lalu yang mengirimkan rindu dan cinta. Tidak... tidak hanya itu, tetapi ingatan yang membekaskan nafas, meniupkan bara dan melapukkan kesombongan. Nyanyian masa lampau yang masih terdengar indah karena berderet-deret nama Tuhan selalu –dan berkali– disebut dalam setiap kejadian.


Menghubungkan setiap kejadian pada nama-nama Tuhan bagi sebagian orang menjadi aktivitas yang buta dan sunyi. Tetapi bagi sebagian yang lain, tidak menghadirkan kemuliaan-Nya justru menjeratkan kepedihan dan keresahan. Memang tidak salah tatkala menyikapi masalah dengan ukuran logika dan kebesaran pikiran. Tetapi lebih indah, saat berbagai beban datang bertubi-hunjam maka nama-nama Tuhan menghias basah menjadi dzikir di bibir hamba. Mereka memaknai kejadian sebagai bagian kenikmatan, mencandai ‘beban’ sebagai rintik yang menyuburkan.

Sebagaimana disampaikan dalam Wahyul Qalam-nya Ar-Rafi’i, “Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamu lah yang sempit —bukan dunianya.”

Subhanallah...!


Lalu, manakah yang lebih indah jika hamba yang pandai itu (juga) seorang penulis? Pasti ia akan melekatkan pena yang menghubungkan kisah dengan sesungguh penghambaan. Hal itulah yang berusaha dilakukan oleh penulis muda ini dalam buku catatan kecilnya “Sedetik di Mata, Selamanya di Jiwa”. Sebagai karya pertama yang –akhirnya– dibukukan, layaklah jika usaha dan kerja kerasnya menjadi catatan tersendiri. Di samping kegigihan dan keinginannya untuk mengembalikan riak-riak kecil yang meriuh (beban) selalu pada kebesaran asma Tuhan.

Keseluruhan, ada 29 (duapuluh sembilan) kisah yang ditata dengan sederhana dalam buku kecil ini. Kisah-kisah yang oleh Fathim (panggilan untuk Fathimatul Azizah) diharapkan dapat menjadi ruang istirah dan meng’hisab’ diri. Semuanya adalah catatan nyata yang dikumpulkan dari ingatan-ingatan lapuk penuh warna. Fathim tidak hanya memindahkan warna itu mentah-mentah, tetapi ia menghadirkan dirinya tiap kali menuliskan catatan. Bahwa setiap catatan adalah kenangan dan setiap kenangan pasti membenamkan pelajaran, itulah kehidupannya. Seperti : subuh yang bergerak, pengamen yang santun, kematian yang tiba-tiba, jilbab yang ‘berongga’, air mata yang lindap di kesunyian, hingga nasyid (senandung islami) yang –kadang– melalaikan, pun persaudaraan para aktivis LDK yang pekat tak luput ia usapkan warna!

Sebagai seorang penulis perempuan, saya menangkap keseluruhan kisah Fathim hampir-hampir juga berwarna ‘perempuan’. Fathim melihat setiap kejadian dengan perasaannya sebagai seorang perempuan. Hingga dalam setiap kisah akan sering ditemukan catatan yang ‘basah’ karena bermuara air mata dan sendu kepedihan. Tetapi tidak semuanya! Sebab ada beberapa kisah yang justru memberontakkan ketegaran dan kekuatan. Justru di situlah saya menangkap kelebihan Fathim. Kisah-kisah yang dihadirkan terasa lebih lunak dan lembut karena ditulis oleh seorang perempuan. Maka tidak salah jika Fathim menginginkan buku ini menjadi ruang untuk istirah. Sebab, di ruang itu ia memantik api yang menghangatkan bukan yang membakar, ia meniupkan angin yang meneduhkan bukan yang menghancurkan. Seperti dzikir yang berulang-ulang di ujung malam, selalu mengingatkan.

Maka bacalah!

Sebab Anda tidak hanya diajak untuk berehat memintal jeda sejenak, tetapi Anda akan diajaknya pula untuk menyeberang malam hingga di ujung fajar.

Sampai ufuk semburat merahnya . . .

***

Solo, Syawal 1428 H

1 comments:

Post a Comment