Monday 6 December 2010

Pohon Talok Pohon Simalakama

0 comments

“Kalian mau talok? Tuh!” Kutunjuk buah kersen berwarna merah yang sebagian tersembunyi di bawah daun.

Tanpa komando, anak-anak membuka pagar dan masuk ke halaman rumah. Mereka berusaha menggapai buah kersen yang dirasa paling mudah dijangkau. Namun apa daya tongkat pramuka yang mereka pakai tidak mencukupi. Kutahan tawaku agar tidak menggoyahkan tekad mereka. Sampai akhirnya salah satu di antara mereka merajuk manja kepadaku, ”Bulik, petikan taloknya. Bulik, kan, lebih tinggi. Tolong, Bulik saja yang metik taloknya!”

Ho..ho.. kini saya menjadi korban. Baiklah anak-anak manis, saya mengalah. Demi senyum dan binar di mata mereka, saya memanjat kursi dan mulai beraksi dengan pipa panjang yang tidak terpakai. Kalau saja sore itu ada Abu Arkan mungkin akan lain kejadiannya. Doi, kan, lebih piawai memetik satu demi satu buah-buah yang bertebaran di ranting pohonnya.

***** *****


Sebenarnya keberadaan pohon talok di depan rumah, tepatnya kamar Arkan, membuat halaman rumah menjadi lebih teduh. Apalagi saat panas matahari begitu menyengat. Saya sering mengajak sulung kami, Arkan, berekspresi (baca: bermain) di bawah pohon talok. Kami begitu menikmati semilir angin yang begitu menyejukkan. Ranting dan dedahanan yang meliuk-liuk menarik perhatian Arkan.

Saya sering bertanya kepadanya, ”Buah apa ini, Nak?”

”Talo” jawabnya.

Kalau saya tak bertanya, ia yang ganti bertanya. Lantas ia tertawa-tawa. Kadang keluar usilnya, diinjaknya buah yang berjatuhan. Arkan juga sering memegang sapu dan berlagak membersihkan dedaunan yang jatuh sambil berkata , ”Capu.. capu.” Terkadang juga ia fasih, ”Sapu..sapu.”

Tak ada masalah dengan keberadaan pohon talok di depan rumah. Arkan dan Abu Arkan sangat menikmati keberadaannya. Sesekali anak-anak di perumahan juga menginginkan buahnya. Ada pula tetangga yang memetiknya untuk dijadikan obat asam urat atau sekedar sebagai pencuci mulut.

Tak ada masalah dengan rindangnya pohon talok di depan rumah. Hanya saja, daun-daunnya sering kali berguguran. Frekuensinya melebihi pepohonan rindang yang lain. Dan tentu saja, hal ini begitu menyibukkan saya. Bayangkan saja, belum selesai menyapu, daun-daunnya yang menguning sudah berjatuhan lagi. Capek, deh... Padahal saya nggak dapat gaji khusus untuk menyapunya setiap saat:D

Dedaunan yang berguguran itu tidak hanya menyibukkan diriku tetapi juga suamiku. Kalau langit mulai gelap, angin berhembus kencang, dan penampakan lain yang mengisyaratkan hujan segera turun, ia mulai sibuk beraksi. Mengambil tangga. Hup.. dalam hitungan detik sudah nangkring di atas atap membersihkan daun-daun talok. Kalau tidak, bisa kebanjiran kamar dan dapur kami.

Daun talok kering yang berguguran juga telah menyibukkan tetanggaku. Suatu hari, sepulang dari pengajian rutin, kami mendapati pohon talok di depan rumah sudah ramping. Usut punya usut, bapak-bapak yang hari itu kerja bakti, berinisiatif untuk memangkas beberapa dahan yang dirasa terlalu rindang. Tentu saja saya senang, daun-daun yang berguguran akan berkurang. Meski (tentu saja) di sisi lain, merasa nggak enak hati. Biasalah perasaan wong Jawa.

Sayangnya semakin dipangkas, pertumbuhan talok semakin menggila (He..he.. lebay.com). Tak lama berselang sudah rimbun lagi dan capeklah kami dibuatnya. Maka tak heran, salah satu tetangga kami yang baik hati (suka menolong dan tidak sombong:D), mengajak suami untuk mengurangi (lagi) dahan dan rantingnya.

Ketika Arkan mudik ke rumah Mbah di Ngawi, tetangga yang lain juga punya kesibukan baru. Menyapu jalan di depan rumah kami tiap pagi. Dan setelah genap seminggu Arkan kembali ke rumah, sampah daun talok di depan kamarnya sudah menggunung tinggi. Ola..la...

Talok tidak hanya menyibukkanku, suami, dan tetangga, tetapi mertuaku juga pernah sibuk karenanya. Saat saya hendak berangkat pagi (mau Ujian Akhir Semester ceritanya), beliau bela-belain menyapu jalan di depan rumah sebelum mengajak Arkan menuju kediamannya (Karanganyar). Saat itu saya baru sempat menyapu rumah, belum sampai ke halaman. Ya sudahlah...apa boleh baut?

***** *****


”Tebang aja, tuh pohon sampai ke akar-akarnya,” suatu ketika kuutarakan uneg-unegku pada suami.

Not responding.
Saya juga sadar diri. He..he.. bukan kami yang menanam pohon itu. Milik siempunya kontrakan. Mungkin suatu saat, jika rumah itu kami beli (^^), akan kami babat tuntas pohon itu dan menggantinya dengan tanaman lain. Kalau saya, sih, ingin pohon bambu hias saja. Semangat Go Green. Konon, bambu bisa menghasilkan 35% Oksigen lebih banyak daripada yang lain.

Pohon talok di depan kamar Arkan memang pohon simalakama. Kalau ditebang, pasti banyak juga yang kehilangan. Selain itu, kamar Arkan akan lebih terasa panas. Kalau tidak ditebang, kok, ya banyak yang repot dibuatnya. Gimana, nih?


Bukit Gading Indah, 26 November 2010:00.44


Pekan depan Arkan sekeluarga mau mudik ke Ngawi. Ada yang mau jadi relawan petugas kebersihan? Dikasih bonus metik talok sepuasnya, deh:D



Catatan tambahan dari Mbah Wiki:


Kandungan buah kersen (talok) setiap 100 gram kersen terkandung : air (77,8 gram),protein (0,384 gram), Lemak (1,56 Gram), karbohidrat (17,9 gram), serat (4,6 gram), abu (1,14 gram), kalsium (124,6 mg), fosfor (84mg), Besi (1,18 mg), karoten (0,019g), tianin (0,065g), ribofalin (0,037g), niacin (0,554 g) dan kandungan vitamin C (80,5 mg) nilai energi yang dihasilkan adalah 380KJ/100 gram. sedangkan daun kersen telah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional yang digunakan sebagai obat sakit kepala dan anti radang oleh masyarakat Peru.

0 comments:

Post a Comment