Monday 16 February 2009

HARUSNYA KUKEMBALI...!

1 comments


Cobalah lihat wajahmu di cermin! Adakah perubahan yang membuatmu merasa tak nyaman? Perhatikan baik-baik, apakah bias ketaqwaan masih terpancar dan tatapan matamu terjaga dari hal yang diharamkan? Masihkah dirimu mencoba untuk selalu menjadi penyejuk hati bagi siapapun yang memandang? Masihkah engkau pribadi muslimah yang terus bertekad untuk setia di jalan dakwah, untuk senantiasa tegar meniti jannah?

Nisa bermonolog dengan himpitan kepedihan yang mendalam. Dipandanginya wajah putihnya yang tak lagi berseri. Ada gurat kelelahan yang jelas terlihat. Matanya cekung dan semakin sayu. Senyumnya tiada menandakan ketulusan, ada keterpaksaan yang tak mampu disembunyikannya.
Jilbabnya masih sama. Warnanya saja yang semakin memudar. Tapi ia memang berniat mempertahankannya jilbab-jilbabnya yang hanya berjumlah tiga helai. Ketiganya berwarna putih. Ya, putih adalah warna netral yang menurutnya cocok untuk dipadukan dengan gamis warna apa saja yang dimilikinya.

Gaya berjilbabnya pun masih sama dengan gayanya semasa SMU. Sederhana tanpa accessories. Lebarnya menandakan kekhasan akhwat : tampak elegant dan ekslusif, panjang menjuntai dan memberikan kenyamanan. Performance akhwat memang masih dimilikinnya...tapi jelas ia kehilangan sesuatu sehingga membuatnya terkungkung dalam kehampaan.
Ke manakah kan kumuarakan segenap rasa yang selama ini terpendam. Bilakah ku kan mampu untuk menikmati hari-hariku sebagai seorang akhwat?

Akhwat? Ya, seorang muslimah yang perfect! Definisi yang kini terlalu berat dirasakannya. Definisi yang dulu pernah dilontarkan kepada Anang sewaktu mereka masih kelas 1 SMU itu kini disesalinya. Akhwat adalah sosok muslimah yang menampilkan performance Islam. Ia berjilbab dan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam kehidupannya1. Dalam hal sekecil apapun ia berusaha untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Ya, dalam hal sekecil apapun! Nisa menekankan klausa itu sembari menunjuk ensiklopednida sebagai referensinya. So?

“Akhwat itu harus cerdas menempatkan diri dalam hal dan kondisi seperti apapun, ” katanya mantap dan penuh kebanggaan saat itu. Maka tak heran, tiap mengisi lembar biodata atau formulir, tentang cita-citanya ia selalu menulis : kuingin menjadi akhwat mukminah yang kaffah, Insya Allah!

“Belum berangkat, Dek? Sudah, ndak usah terlalu lama mematut-matut diri di cermin. Dah cantik, kok! Cepat berangkat! Nanti nggak kebagian apa-apa lho...” teman sekamar yang juga kakak tingkatnya di kampus menegur dengan lembut.
Seketika ia tersentak dan menyudahi monolog paginya.
“Mbak Hesti ikut, yuk! Sekali-kali ikut kajian pagi biar...,” belum sempat ia selesaikan kalimatnya ketika tanpa izin sela terdengar tawa cekikikan dari kamar sebelah.
“ Hesti sedang tidak beriman, masih belum berminat untuk berkumpul dengan orang-orang beriman di dalam masjid, Nis! ” Hm..meski tahu suara yang menimpali itu hanya bercanda, ia merasa hatinya teriiris ribuan sembilu. Refleks, mulutnya langsung manyun 1,5 cm.
“Sudah, Dek, jangan diambil hati, berangkat sana gih!”
“I ya, deh Mbak! Assalamu’alaikum, ” pamitnya datar.
Nisa! Ia menyapa dirinya sendiri dalam hati. Mengapa kau jadi begini, Ukhti? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau jadi sensitif begini? Apa yang membuatmu berubah sedemikian drastis? Beruntun, ia menggeleng empat kali menandakan ketidakmengertiannya akan dirinya sendiri. Sesekali wajah yang dibiarkannya tertunduk pasrah itu terangkat, matanya mengawasi jalanan yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meski tak bersemangat, kakinya tetap melangkah cepat dan saling bersusulan antara kiri dan kanan. Tepat di gerbang belakang kampus, ia menyebrang.
Nurul Huda, masjid kampusnya sudah mulai dipenuhi jama’ah. Hamparan jilbab jelas terlihat di hadapan matanya. Dan kini, tinggal beberapa langkah lagi ia segera sampai dan bergabung dalam majelis ilmu.
Kajian Jum’at Pagi...Hm..kini diikutinya dengan setengah hati.



Hari ini Nisa bangun lebih dulu daripada alarm yang biasanya membangunkan dirinya tepat jam 03.30 pagi. Namun udara dingin yang menyapanya tidak dibalas dengan ramah. Hampir saja ia kembali berbaring kalau saja tidak ingat iqobnya yang akan semakin menumpuk jika ia kembali absent dari qiyamul lail. Hm.. Rp.500,00 per hari jika dikalkulasi selama sebulan sudah lumayan untuk ukuran anak kos. So? Apakah artinya ia melakukan QL karena takut tak sanggup membayar iqob? Entahlah ... terkadang ia merasa bosan juga. Kenapa dulu ia bersemangat sekali untuk mengiqob dirinya jika tak mampu memenuhi target amal yaumi yang dibuatnya sendiri.
Wudhu ...ayo bergegas, Nis! Ia mencoba menyemangati dirinya. Lantas, dibukanya pintu kamar dengan perlahan sekali.
Waktu hendak mengambil air wudhu tanpa sengaja matanya menatap ke atas. Subhanallah! Refleks, ia bertasbih. Sudah lama sekali ia tak menikmati kerlip-kerlip bintang yang menawan itu. Allah, kurindu pada-Mu! Bimbing daku untuk bertafakur dan memikirkan penciptaan-Mu agar aku mampu berma’rifah pada-Mu. Kembali dipandanginya gugusan bintang di langit. Ia bergumam penuh kekaguman.

”Nis, elingo aku yen kowe pas ngguyu! Bila kau rindu aku, Nis, pandanglah langit di malam hari. Perhatikan baik-baik bintang gemintang yang berlomba memamerkan kerlipnya. Carilah bintang yang paling terang dan tahukah kau, itulah semangatku. Itulah semangat Arkini yang besar dan akan senantiasa menyala untuk menapaki liku kehidupan yang penuh dengan ujian, ”
Terngiang kembali kata-kata perpisahan sahabatnya semasa SMU. Semangat! Ia pun menikmati wudhunya dan segera kembali ke kamar. Tidak, aku tidak boleh kehilangan 1/3 malam-Mu lagi Ya Rabb. Ia bertekad.


Jam 11.00 tepat Nisa meninggalkan kos tempat ia dan teman-temannya biasa ngaji. Ia mempercepat langkahnya menuju jalan raya di belakang kampus. Begitu angkot kuning bertulis ’03 muncul ia segera melambaikan tangannya.

“Sekar Pace, Pak!” ia setengah berteriak ketika angkot yang ditumpanginya sampai di perempatan daerah Sekar Pace. Terburu-buru ia menyerahkan uang Rp. 1500,00, lalu setengah berlari ia menuju halte yang berada di sebelah barat lampu lalu lintas untuk menunggu bus jurusan Jogja-Surabaya. Lega sekali rasanya ketika bus Sumber Kencono telah berhasil dinaikinya sebelum 2 menit ia menunggu di halte.

“Ngawi, Pak!” katanya seraya menyerahkan uang RP.5.500,00 ketika sang kondektur bus menghampirinya. Kemudian ia mulai asyik dalam diamnya dan tak mempedulikan seorang kakek yang memang tertidur di sebelahnya.

Selalu begini! Hatinya mulai bermonolog. Mengapa setelah selesai liqo’, penyakitku justru menjadi? Duhai, salahku-kah semua ini jika aku tak pernah lagi mampu menikmati segala sesuatu di lingkaran LQ-ku? Salahkah aku bila semangat untuk hadir dalam tiap pekan itu hanyalah paksaan diri, bukan refleks dari kebutuhan akan pentingnya siraman ruhiyah?Salahkah aku bila merasa terasing tiap kali berada di antara mereka. Salahkah aku bila akhirnya menganggap liqo’ itu hanya formalitas belaka agar tidak disebut sebagai akhwat futuris?
Akhwat? Andai saja dulu aku tak terlalu menggebu untuk mendapatkan status itu. Menyesal? Tidak! Nisa menggeleng. Ia berusaha untuk tetap yakin bahwa keputusannya untuk hijrah pada saat itu bukanlah suatu kesalahan.

Azzam! Akankah mampu ia hadirkan kembali syahdu di hatinya seperti saat tekad yang kuat untuk menggapai kemuliaan itu mulai ditanam? Duhai..ternyata istiqomah itu tidak mudah. Ia ingat betul siapa saja yang paling bersemangat di awal-awal hidayah itu menyapa. Ia ingat betul ketika pertama kali dimabuk cinta atas nama ALLAH, ketika ukhuwah dirasakannya benar-benar indah. Ia pun tak kan pernah lupa bagaimana ia mengendalikan hatinya agar jangan sampai menduakan-NYA, bagaimana ia menolak seseorang yang sebenarnya sungguh dikaguminya. Tapi mengapa kini justru ia menjadi kecewa? Mengapa? Ia bahkan tak tahu mengapa semangat yang pernah membara itu padam begitu saja.

Nisa! Ia masih sering menyapa dirinya kala perih itu takterperikan. Genap satu tahun sudah ia ada di Kampus Hijau, tapi mengapa ia justru merasa hidup di tempat yang panas. Muak. Itu yang lebih sering dirasakannya. Ia benar-benar dihimpit resah tiap kali melihat teman-temannya yang aktivis begitu bangga menceritakan agenda harian yang padat, yang lebih sering terisi dengan rapar dan rapat. Ia merasa lelah menghabiskan malamnya untuk mabit demi syuro’ dan syuro’. Ia merasa bosan tiap kali teman-teman mengajaknya untuk aksi dan meneriakkan yel-yel di jalan-jalan. Ia sungguh kecewa ketika mendengarkan perbincangan teman-teman di kos akhwat; yang tak pernah luput dari pokok bahasan: ikhwan!

“Mengapa kau nggak milih kos akhwat aja, Nis?” tanya Tante Wardah, adik kandung ibunya yang menemaninya membawa barang-barang ke kosnya yang baru.

“Nggak ah, males. Bosen.” Jawaban pendeknya yang ketus membuat tantenya terkejut.
“Kenapa? Bukannya di lingkungan yang kondusif kamu lebih bisa terjaga. Kalau pas lagi error ada yang bisa bantu ngebenerin. Kamu bisa langsung mengaplikasikan teori ukhuwah agar lebih membumi.”

“Iya, sih. Tapi pengalamanku membuktikan kalau kos akhwat tuh nggak seindah cerita Tante. Buktinya pas lagi kumpul yang dibicarain pasti ikhwan kalau nggak gitu ya seputar munakahat. Hm..sebel! Jadi nambah penyakit hati aja. Ngurus diri aja belum bisa udah ngomongin masalah begituan. “

“Nggak semua akhwat begitu khan, kamunya aja yang sensitif atau jangan-jangan...” Tante Wardah tersenyum melihat keponakannya yang semakin cemberut kuadrat menanggapi gurauannya.
Dan mulai saat itu entah kenapa ia pun bosan dengan vocabulary yang biasa digunakan dengan teman-temannya: ikhwan, akhwat, akhi, ukhti, ana, antum, anti, afwan, syukron, etc.

“Ngawi...Ngawi. Ayo persiapan..Ngawi akhir, terminal!”
Astaghfirullah! Dicobanya beristighfar untuk mengendalikan dzonnya. Ya ILLAHI, ampuni hambamu yang lemah ini!

Ngawi ..I am coming! Ia segera turun dari bus dan bersenandung lirih.

Di sini kita pernah bertemu..
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru


Kini terbayang jelas di pelupuk matanya indahnya kebersamaan bersama teman-teman di masa SMU.


Berdiri dalam yakin
Berpeganglah dalam hidup
Wahai Ukhti hiasi diri
Dengan dakwah ‘tuk Islammu3

Nisa menyapu butir-butir bening yang perlahan mengalir di pipinya. Haru! Rasa yang akan senantiasa mengisi relung hatinnya tiap kali nasyid dari Muplavoix itu terdengar. Seolah ada yang membisikkan semangat untuk memaknai hijrahnya dengan sebening pemaknaan. Tanpa sadar bibirnya melafalkan hadist Arba’in yang pertama kali dihafalnya. Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan rasul-NYA, ia akan sampai pada Allah dan Rasul-NYA...
Nisa terisak. Ada yang tidak beres dengan dirinya. Meski signal ketidakberesan itu sudah lama dirasakannya, baru kini disadarinya bahwa salah satu penyebabnya adalah niatnya yang sudah menyimpang. Wajar bila hanya kehampaan yang dirasakannya karena bukankah ruh dari tiap amalan adalah ikhlas dan kini ia tak menjaganya. Ada ambisi pribadi yang diam-diam menodai aktivitas yang berlabel dakwah.

Astaghfirullah...!
Ia pun mengerti atas rasa ketidaknyamanan yang kerap menyerangnya di setiap kajian rutin halaqohnya. Ia merasa tidak sekufu. Ya! Rasa itulah yang akhirnya mendominasinya. Membuatnya mendramatisir perbedaan yang ada. Ia merasa down tiapkali melihat semangat teman-temannya yang menggebu. Betapa tidak, mereka –teman-teman ngajinya- sebagian adalah akhwat siyasi yang dinilainya terlalu kelebihan energi. Aktivitas di BEM serta organisasi eksternal kampus yang padat masih dibawa dan diperbincangkan di sela-sela aktivitas halaqohnya. Dan terus terang ia merasa terganggu. Ia merasa didzolimi karena tak mendapatkan suplai energi yang sangat dibutuhkannya. Durasi pertemuan yang singkat dinilainya tidak efektif karena sebagian waktu terbuang hanya untuk pembicaraan yang tidak perlu.

Astaghfirullah...!
Dicobanya untuk mengulang istighfar, menetralisir segala kekecewaannnya. Satu tahun di kampus hijau dilaluinya begitu saja. Ia merasa benar- benar di ambang kritis....Akankah kau mampu bertahan agar tidak semakin terjatuh dan terpuruk di jurang kefuturan, Nis? Akankah kau biarkan dirimu menambah jumlah barisan yang berjatuhan di jalan dakwah? Pertanyaan yang itu-itu saja yang muncul dalam monolognya dan ia semakin tidak bersemangat untuk menjawabnya.

Jam di dinding kamarnya menunjukkan jam 15.30. Nisa menekan tombol ‘stop’ di tape recordernya lalu mengembalikan kaset Muplavoix pada tempatnya. Hm..ia ingat betapa bahagia hatinya saat pertama kali memutar kaset itu. Kaset yang didapatnya setelah pertanyaaan di Kafe Nida yang ia kirim dimuat. Betapa bahagia hatinya saat itu, selain menerima paket berisi 3kaset nasyid, ia pun menerima kiriman surat dari para muslimah yang sebaya. Saat itu ia masih kelas tiga SMP dan itulah saat pertama ia merasakan indahnya ukhuwah dalam bingkai Islam. Nisa tertegun sejenak, memperhatikan sampul kaset yang dibumbui tanda tangannya sendiri plus tahun ’ 99. Ia pun ingat di pertengahan tahun itu ia mulai rutin mengikuti kajian di rumah guru agamanya sebelum ditrasfer dan diserahkan pada seorang akhwat. Nisa tersenyum tipis mengingat manisnya saat pertama ia mengenakan jilbab kaosnya yang telah 3 tahun absent pasca ia lulus TPA. Diperhatikannya lagi tanda tangan itu untuk beberapa saat. Kemudian dalam hitungan detik segera diletakknya kaset Muplavoix di antara tumpukan nasyid-nasyidnya. Ia segera mengambil wudhu untuk shalat ashar.

Usai Ashar, ia menyapu halaman rumahnya dengan hati lapang. Rumahnya yang lebih mirip dengan villa meski tidak berada di kawasan pegunungan itu senantiasa mengingatkannya akan romantisme kenangan masa SMA yang belum lama ditinggalkannya. Dan memang benar kalau ia adalah orang yang suka terkenang dengan romantisme kenangan.4


An-Nisa Muthmainah. Mantan kabid kemuslimahan Rohis di SMU Permadani Hijau itu ingin menemukan dunianya kembali. Disadarinya bahwa ia tak mungkin menjadi seperti teman-temannya yang aktivis siyasi. Hari ini keputusannya sudah bulat: ia akan mengajukan proposal untuk pindah halaqoh.
Aku harus kembali...menjadi diriku tanpa bayang-bayang siapapun.
Biarlah aku dengan caraku yang sederhana dalam memaknai dakwah ini. Aku bukan kalian wahai teman-teman!
Ternyata proposal pindah halaqoh yang diajukannya ditolak mentah-mentah oleh murrabiyahnya. Terus terang ia kecewa.
Aku akan mengadakan boikot untuk tidak LQ. Ia membatin.
“Berpikirlah dewasa, Ukh! Pindah halaqoh bukanlah solusi terbaik. Belum tentu di halaqoh yang baru anti bisa lebih baik. Janganlah kita membebani dakwah ini dengan persoalan internal. Ana harap anti lebih bijak dalam menyikapi perbedaan yang ada.”
Terlalu teoritis. Itu yang dirasakan saat mendengar jawaban Mbak Sinta. Dan sungguh ia merasa tak mengerti dengan jawaban dari murrabiyahnya.


“Kau tahu Nis, Mas Cahyo, mantan ketua Rohis SMU kita sekarang nggak ngaji lagi. Ia hampir berubah 180 derajat. Dan Ukhti, kami tidak ingin hal ini terjadi padamu. I mis U, Ukh! Kembalilah...sebelum jauh engkau berbelok arah ” suara serak Tyas di telepon tadi malam kembali terngiang.
Tarbiyah memang bukan segala-galanya tapi segala-galanya tak kan bisa diraih kecuali melalui tarbiyah. Perkataan Musthafa Mansyur yang ditulis sebagai hiasan kamarnya kini dirasakan sangat dalam maknanya.
Sudah sebulan lebih ia absent dari halaqohnya. Ia yang semula yakin mampu mengandalkan tarbiyah dzatiyahnya, kini pun merasa kewalahan.
Ya Rabb ampuni keputusanku yang ternyata keliru!
Cahyo, Hida, Titik dan Tono. Disebutnya nama aktivis Rohis SMUnya yang kini berbalik arah. Akankah kau membiarkan dirimu mengikuti jejak mereka, Nis? Nisa tergugu...tangisnya pecah. Ya Illahi, izinkan aku kembali! Pintanya penuh harap.
Cahyo, mantan ketua RoHis yang prestasi akademiknya menonjol sejak di bangku SLTP, yang selalu juara pararel waktu SMU, yang mewakili SMUnya di Olimpiade Nasional; selain cerdas juga kritis, senang nulis, rajin ngisi mentoring adik-adik kelas, sering ngingetin aktivis Rohis via kertas taushiyah berantai, kok bisa-bisanya mencapai titik kuliminasi jenuh dalam urusan dakwah. Bahkan sudah setahun terakhir ini nggak ngaji lagi.
Hida, teman karibnya di SLTP, yang dulu begitu antusias untuk segera memenuhi kewajibannya dalam berhijab, yang gigih dalam berprinsip, yang dikagumi ketawadhu’annya kini pun sudah nggak ngaji lagi. Bahkan jilbab yang mulanya lebar perlahan-lahan mengecil dan akhirnya terbang entah ke mana.
Titik, maniak buku, yang sering meminjaminya majalah Sabili, yang memprovokasinya untuk bergabung dengan halaqoh tarbawi, toh akhirnya hilang di telan bumi.
Dan satu lagi dari sahabatnya yang kini mengubah peta hidupnya : Tono. Mantan ketua OSIS yang terkenal paling dingin dengan lawan jenis, yang begitu bersemangat kalau berdiskusi tentang khilafah Islamiyah, sekarang pun jadi aktivis sayap kiri.
Segalanya bisa terjadi bila Allah berkehendak. Akankah kulepas sgala keindahan hidayah-MU? Akankah kubiarkan hidayah itu pergi begitu saja? Ya Yang Maha Membolak-balikkan hati tetapkanlah aku dalam dien-Mu! Untuk kesekian kali bening-bening kristal berjatuhan di pipinya. Seiring istighfar yang menggema memenuhi lubuk hati, ia pun berjanji untuk kembali.

Bila dakwah ibarat pohon, ada saja daun-daunnya yang gugur berjatuhan. Tapi pohon dakwah itu tak kan pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Sementara pohon-pohon yang berguguran tak lebih hanya akan menjadi sampah sejarah5. Nisa tergugu. Kalimat yang tertulis di majalah Tarbawi yang tak sengaja dibukanya itu semakin membuatnya larut dalam penyesalan yang sangat. Bila-bila daun-daun dakwah banyak yang berguguran di terpa angin dan godaan maka izinkan aku menyembul menjadi tunas-tunas baru yang siap tumbuh di segala iklim dan kondisi.
Ya Rabb, kabulkan pintaku.

Hanya perbedaan karakter saja mengapa sudah membuatku lupa dengan segala keindahan yang ada dalam lingkaran tarbiyah? Bukankah perbedaan adalah rahmat yang mestinya dimaknai dengan bijak?

Nisa tersenyum. Ada azzam yang kini menyalakan bara di gulita jiwanya.

Allah………….
Kuseretkan langkahku
Hasung dosa kan kulebur
Kubasuh luka kuhempas nista
Izinkan aku kembali
Takkan lagi kusurutkan langkahku
Songsong fajar baru dalam cahya-Mu
Ya Rabbi teguhkan derap jiwaku
Tiap desir nadiku sebut asma-MU6




Bumi Gerih Permai, 280804:14.57
untuk: Pak Ali, Mbak Prih, Mbak Binti, Bu Iis, Mbak Eni, Wulan, dan smua nama yang tlah menerbitkan rindu untuk kembali di pangkuan tarbiyah.
Catatan:
1 : Kata-kata di Ensiklopenida
2 : bait nasyid dari Brother
3 : bait nasyid dari Muplavoix
4 : kata-kata seorang teman:Atiyatul Izzah
5 : dari majalah Tarbawi Edisi 8 Tahun 1 30 April
2000/25Muharram 1421 H
6 : bait nasyid dari Izzatul Islam

1 comments:

Post a Comment