Monday 16 February 2009

BILAKAH KUGAPAI KEMBALI

0 comments


“Gus, aku mo’ pulang dulu. Yuk, assalamu’alaikum,”

Sosok berjilbab putih itu terlihat terburu-buru mengendarai sepeda mininya. Aku hanya diam melepas kepergiannya tanpa ekspresi yang tegas. Bahkan bibirku masih terkatup ketika salam yang selalu dihadiahkannya dengan penuh ketulusan itu terucap.

Ia memang bukan siap-siapa bagiku. Ia hanyalah seorang teman. Ya, seorang teman yang keberadaannya kadangkala mempengaruhi keseharianku. Tapi kali ini ia benar-benar membuatku marah.

“Gus, sesama muslim aku masih boleh mengingatkanmu, kan?”

Hmm, kuakui ia memang pandai mengambil prolog lalu merangkai kata demi kata dengan retorika yang bagus. Sayangnya ia terlalu mengedepankan egonya, ia terlalu membawa ‘ekslusivitas’nya dalam menasehatiku. Ia benar-benar mengintegrasikan semua pengetahuan yang ia dapat ke dalam tindakan nyata , yang dinamainya sebagai ‘amal’.

“Gus, apakah besok kau akan benar-benar merayakan hari lahirmu?

Entahlah, sebenarnya aku masih ragu tapi rasanya sulit untuk mencegah ‘pasukan’ku dalam mengembangkan kreativitasnya yang kalau dilihat dengan kacamata Islam memiliki simbol sebagai kemubadziran.

“Gus, kau masih mendengarkanku, kan?”
Ia selalu senang dengan pertanyaan yang seharusnya nggak perlu ditanyakan. Dan seperti biasa aku pun menjawab dengan ‘deheman’ yang khas,”Ehm!”

“Aku harap, kau bisa mengondisikan teman-teman sebaik mungkin. Paling tidak, insiden setahun yang lalu nggak terulang kembali. OK, do your best! Dan maaf jika kau merasa terganggu dengan kehadiranku. Yah, aku ngerti kalau berbicara itu mudah. Tapi Insya Allah kalo’ kita mau benar-benar berusaha maka kemungkinan terciptanya keadaan yang terkondisi akan terbuka lebar.”

Aku hanya diam, mencoba mencerna kata-katanya meski wajahku menyiratkan ketidaksimpatian atas semua nasehatnya. Aku tak butuh uraian panjang lebarnya dan aku yakin sebenarnya ia pun tahu bahwa manusia bisa berubah. Jadi aku punya hak, kan untuk menemukan dinamika hidup yang lebih kusuka dan sesuai trend?


Namanya Melatiningtyas. Aku lebih suka memanggilnya Mela meskipun teman-teman di sekolah kami lebih sering menyapanya Bunga. Aku mengenalnya secara tidak sengaja di perpus umum waktu kami masih sama-sama duduk di bangku SLTP.

Bunga cantik! Begitu pujian yang sering kudengar dari temab-teman. Dan untuk hal seperti itu aku sama sekali nggak berminat untuk memberi komentar. Bahkan memperhatikan wajah seorang wanita, apalagi yang memakai jilbab merupakan sebuah pelanggaran dan termasuk dalam katagori tabu dalam kamus keseharianku. Tapi itu dulu. Lantas sekarang? Sudah nggak berlaku lagi sebab bukankah wajah cantik memang untuk dilihat? Ya, hitung-hitung vitamin A-lah. Meski demikian tetapi tetap ada pengecualian dalam bersikap kepada Bunga alias Si Mela itu.

Aku belum pernah memandangnya. Sungguh! Jadi kalo’ ada yang bilang ia cantik aku sih percaya aja. Bukankah cantik tidaknya seorang wanita itu relatif? Dan sebenarnya kriteria cantik tidaknya seorang wanita menurutku tuh nggak hanya dari segi fisik, kepribadiannya lebih utama. Juga ia harus nyambung kalo’ diajak bicara, nggak cerewet-cerewet amat, bisa ngerti en maklum dengan perbedaan di sekitarnya, etc. Ih.., kaya’ ngomong kriteria istri idaman, ya! Jadi malu nih....

Malu? Apakah laki-laki yang sekarang jadi play boy kelas kakap seperti aku ini masih punya malu? Aku sendiri jadi nggak yakin dengan keimanan yang setiap saat sering kuikrarkan. Padahal aku ingat betul lho...hadist Rasulullah yang artinya malu itu sebagiam dari iman. Em, sebenarnya aku juga nggak begitu ngeh dengan keadaanku sekarang ini. Apa yang menyebabkanku berubah 180 derajat?

Lingkungan pergaulan? Meski udah nggak deket lagi ama komunitas jenggoter alias anak-anak yang nge-team di Rohis, aku masih sering diingetin. Terlalu sering malah. Dan satu-satunya akhwat (ih, aku masih inget lho sebutan itu) yang paling sering ngingetin aku ya Si Mela itu. Nggak tahu, tuh akhwat perhatian banget (GeeR kali ya aku?). Dulu memang aku yang minta untuk dikasih kritik, masukan, saran, nasehat atau taushiyah-lah biar kalo’ agak bengkok bisa lebih mudah ngelursinnya. Sekarang udah terlanjur bengkok beneran, eh ia masih belum kapok buat ngasih teguran ke aku.

Agaknya ia benar, bahwa semuanya pasti mengalami proses, dan seperti metamorfosisku dari ‘itong’(ikhwan sepotong) menjadi ikhwan beneran, kini penjelmaanku menjadi mantan ikhwan pun juga mengalami proses meski sebenarnya sangat perlahan-lahan. Dan sebenarnya aku pun merasakan sekali proses perubahan itu. Ada rasa gelisah yang menyeretku pada sebuah tanda tanya besar. Mengapa... mengapa tak bisa kurasakan kenikmatan antara dua kenikmatan sekaligus? Mengapa harus ada rasa kehilangan yang sangat ketika aku berlari dan mengejar kenikmatan yang lain?
Aku masih ingat, Mela pernah mengingatkanku untuk meluruskan niat. Yah, tak pernah terlintas sedikitpun di dalam benakku untuk menikmati posisi itu. Ketua OSIS! Aku menerima musyawarah itu juga atas dorongan Mela juga. Ia yang menguatkanku untuk menempati posisi yang menjadi incaran berbagai elit organisasi di sekolah. Katanya itu peluang yang harus diambil, paling tidak merupakan sebuah wasilah dakwah.

“Gus, aku yakin kau bisa pegang amanah. Menjadi ketua memang tidak mudah. Tapi siapa lagi yang bisa diharapkan untuk membuka jalan bagi kami agar lebih leluasa dalam bergerak. Berazzamlah Gus! Untuk semaksimal mungkin menunaikan tanggungjawab. Kewajiban kita, maksudku tugas kita untuk mengarungi samudera dakwah ini tak kan pernah usai.”

“Tapi Mel, aku takut bila nanti tak mampu mencapai ketawadzunan. Aku takut bila langkahku nanti cenderung mengikuti arus. Aku takut...menjadi sekuler!” tenggorokanku seperti tercekat dan aku tak mampu berkata-kata lagi. Entahlah..yang pasti aku pun mengangguk perlahan-lahan. Dan sepertinya Mela bisa bernapas lega.

Segala sesuatu itu tergantung pada niat. Meski berat, kucoba untuk selalu meluruskan niat itu. Laa ghayata illallah. Allah ghayatuna. Kucoba memaknai tujuan hidup itu. Hanya untuk Allah!
Tapi apa yang terjadi padaku saat ini? Futur???


“Tit...tit...tit...” suara alarm dari hp itu memecah kesunyianku.

Jam 24.00 atau 00.00, aku tak mempedulikannya. Yang ada di pikiranku hanya kesedihan. Aku nggak tahu...kenapa. Sepertinya aku telah sampai pada titik kejenuhan yang sangat. Puncak kejenuhan ini membuatku benar-benar nggak bersemangat. Aku lelah!

Kucoba memejamkan mata kembali. Masih ada waktu untuk memulihkan energiku di kasur empuk yang disediakan ibu kosku. Tapi malam ini kurasa begitu panjang...kurasakan kesendirianku di dunia ini.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran.

Seperti ada yang membacakan surat Al-‘Asr di telingaku. Lalu bayangan anak-anak Rohis hadir menyapaku. Aku tak mengerti...ada Susilo, Habib, Awan, Sakti, Nugroho dan Agung yang membawakanku spanduk. Membentangkannya tepat di hadapanku.
BE A GOOD FIGHTER & Let’s join with us: Ash-Sholihiin crew!!!
“Apa yang kau ragukan lagi, Akhi? Bukankah surga Allah lebih indah daripada dunia dan seisinya? Apa yang kau risaukan? Apakah keindahan dunia lebih menarik di hatimu?” Habib mendekat, duduk di sampingku dan mengintrogasiku dengan pertanyaan retoris. Aku diam, tak tahu hendak menjawab apa.
“Kau masih ingat akan ikrar di awal perjuangan kita, kan?” kali ini suara Susilo yang juga teman sekelasku pun ber-retoris.
Aku masih membisu, menunggu barangkali ada yang akan mereka tanyakan lagi. Aku masih menunggu...dan ketika sedang kupilih kata untuk balik mengintrogasi mereka, Nugroho yang menjadi lead vocal dari Ash-Sholiihin Voice mendendangkan penggalan nasyid dari SP yang sangat kuhapal.
Allah Ghayatuna
Muhammad Qudwatuna
Al-Qur’an Dusturuna
Jihad Sabiluna
Syahid asma amanina

“Apa mau kalian?” akhirnya hanya itu kalimat yang mampu kuucapkan.
Mereka pun diam dan memberiku seulas senyum secara bersamaan lalu tanpa kata perpisahan menghilang. Kulihat diriku sendirian di padang yang luas. Panas tiada atap perlindungan. Duhai tempat apakah ini?
“Tit...tit.. Ar-ruhul jadid fii jasadil ummah. Hai Mujahid luluhlantakkan jiwa pendosa.. Ar-ruhul jadid fii jasadil ummah...” Seketika aku terbangun. Ringtone ini sengaja kutambahkan bila panggilan anak-anak Rohis itu menghubungiku. Dan nyatanya memang benar. Ada miscalled dan sebuah sms masuk.

“SMT Hri Lahir!
Gusti Agung Setya Asmara,bangunlh u/ qiyamul lail.
Ingat 5 sblm 5, mg ALLAH mengizinkn qta u/ b’benah!
JIHAD IS STILL GOING ON, Akhi!”


Aku terhenyak. Habib, ketua Rohis yang merangkap sebagai koordinator bidang I OSIS mengingatkanku untuk qiyamul lail. Kulihat jam dinding di kamar menunjukkan 03.15. Kukira Habib sudah bosan mengingatkanku.

Angin sepertiga malam terakhir berhembus melewati jendela kamar yang sengaja kubuka kali ini sangatlah sejuk. Dingin tapi benar-benar menggiringku untuk menemui ketenangan. Bayangan Habib cs memenuhi benakku. Mereka pasti sudah khusyu’ dalam shalat malam. Pasti mereka sudah larut dalam isakan-isakan keinsyafan. Ah, sedang aku? Sudah berbulan-bulan melupakan kebiasaan untuk menjalin kemesraan itu. Dan apakah ini momentum yang tepat untuk memulainya kembali?

Meski masih enggan akhirnya kuambil air wudhu dan memulai rakaat demi rakaat. Tapi aku tak tahu mengapa tiada kurasakan kenikmatan seperti dulu. Sungguh, aku pun tak mengerti, ketenangan yang tadinya sempat kutangkap lewat hembusan angin dari jendela tiba-tiba hilang.
Aku capek! Kembali kurebahkan diriku di ranjang. Sayup-sayup sampai kudengar adzan Subuh. Aku tak peduli. Kurapatkan selimut karena rasa ngantuk menyerangku sedemikian hebat.
Ash-sholaatu khoirun minan naum... Sholat lebih baik darupada tidur, tapi aku benar-benar ngantuk!


“Gus, bangun! Sudah hampir setengah tujuh lho..Le! Ayo, gek ndang ...mengko telat lho!
Ah! Kalau saja nggak sungkan dengan ibu kosku yang baik hati itu mungkin aku nggak akan beranjak. Setengah tujuh? Hah? Berarti Ajeng sudah menungguku di teras depan. Aku harus super kilat nih: mandi, nyiapin buku, pakai seragam!

Benar seperti dugaanku. Gadis manis, putri tunggal ibu kos itu terlihat gelisah, kulihat ia mondar-mandir menungguku. Ketika kustarter Supra X-ku, tanpa berkata-kata, ia segera duduk di boncengan.

Dengan kecepatan 75km/jam, aku meluncur ke SMA Klitik Jaya. Tepat 5 menit, aku dah sampai di pelataran SMA dan tentu saja bersamaan dengan bunyi bel. Hm..belum terlambat. Aku bisa bernapas lega menuju kelasku di 3IPA 4 tanpa kata-kata perpisahan atau hanya say good by pada Ajeng. Kubiarkan gadis itu dalam kejengkelen. Biarlah! Kalaulah dia mau marah, silakan saja dan aku tak kan peduli!

Sampai di kelas kudapati wajah-wajah tegang. What’s happened? O, aku baru ingat! Hari ini ulangan Matematika, pantas saja! Segera kuletakkan tas dan duduk setenang mungkin meski secara materi aku belum siap.

“ Gus, sudah siap?” Habib menepuk pundakku pelan.

“Eh...anu...” Aku tergagap. Refleks, aku berpaling melihat wajahnya. Tanpa sengaja kurasakan pancaran ketenangan di balik tatapan matanya. Ada perasaan haru atas perhatiannya.

Entahlah..., kenapa aku jadi sentimental begini. Padahal aku kan laki-laki.
“Kamu masih punya kesempatan untuk belajar, kok! Yah, semoga besok kamu benar-benar siap.”
“Maksudmu?’
Ulangannya dicancel. Hari ini mulai jam pertama sampai ke tiga guru-guru akan rapat tentang...” belum selesai Habib memaparkan informasinya, terdengar sorak bahagia dari penjuru kelas.
“Yes..yes...yes!”
Dasar anak-anak norak. Ada jam kosong saja senangnya bukan main, bagaimana bangsa ini bisa maju?
“Gus, aku ke Ash-Sholiihin dulu ya! Sekalian yuk!” tawarnya. Aku menggeleng.
“Nantilah kalau pas Dhuhur.”
“Ya sudah! Assalamu’alaikum”

Kuperhatikan sosok itu berlalu. Langkahnya mantap menuju ke musholla. Ah, sebenarnya aku juga ingin ke sana tapi gengsi. Udah lama aku nggak sholat dhuha. Ironis sekali...padahal dulu aku yang paling sering koar-koar ngajak teman sekelas shalat dhuha bila istirahat pertama tiba. Tepat sekali kalo’ dikatakan bahwa degradasi ruhiyahku tlah mencapai stadium empat. Ah, biarlah...aku capek membahas masalah begituan. Mending belajar matematika saja.
Belum genap lima menit aku mengotak-atik soal-soal logika tiba-tiba kurasakan ada yang

“Plok...plok..plok..” lemparan itu semakin menjadi dari kiri kanan depan belakang. Kemudian

“Byuuur...” ada yang menyiramku dengan cairan kental. Baunya sangat tidak sedap sekali. Pasti ini perpaduan yang proporsional dari air comberan, telur busuk, dan aneka makanan basi yang telah dilembutkan.

Astaga! Aku nggak bawa ganti. Padahal hampir setiap bulan insiden seperti ini terjadi. Dan sebenarnya kemarin Mela juga sudah mengingatkanku.

“Teman-teman yang budiman, adek-adek kelas 1&2 yang cantik dan ganteng, hari ini sebelum reorganisasi OSIS berlangsung, ketua OSIS kita tercinta akan memberi sambutan. Marilah kita dengar pidatonya di hari ultahnya yang ke-18 ini.”

Mulai lagi! Si Gayuh yang kukerjain sebulan yang lalu ternyata menyimpan dendam kusumat. Dan ia memilih hari ini sebagai hari pembalasan.
Plok..plok...terdengar tepuk tangan yang membahana. Aku diseret ke luar kelas menuju lapangan volley yang letaknya persis di samping musholla. Kemudian tanpa karcis, anak-anak sableng dari kelas 1, 2, & 3 menuju ke arahku. Aku jadi tontonan gratis kali ini.

“Ayo’ Gus, ngomong dong! Tuh udah ditunggu fansmu.” Gayuh berbisik di telingaku. Wajahku seketika memerah bak udang rebus.
“satu..dua..tiga..” kudengar sebuah suara yang memberi komando. Ya Allah, apa yang akan terjadi. Aku terduduk lemas dan pasrah dengan surprise-surprise yang sebenarnya kampungan dan sangat tidak edukatif sekali.

“Mas Gusti, happy birthday !” tanpa kusadari Ajeng mendekat lalu menaburiku tepung terigu dan bunga-bunga mawar. Astagfirullah, aku bergidik. Mengerikan sekali. Apa lagi yang akan dilakukan putri ibu kosku itu? Ya Allah lindungi aku!
Aku harus berbuat sesuatu sebelum kejadian yang lebih buruk menimpaku. Tiba-tiba aku seperti mendapat pertolongan. Dengan tenang yang kupaksakan aku tersenyum dan mencoba untuk berbicara baik-baik. Memberi sambutan? Konyol sekali!

“Assalamu’alaikum Wr. Wb...Terimakasih atas kebaikan teman-teman 3IPA4 yang dengan sukses mempermalukan saya di depan adik-adik kelas 1 & 2. Dan terimakasih atas kesediaan adik-adik yang telah menyempatkan diri untuk melihat tontonan gratis yang sebenarnya nggak bermutu ini. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas keikhlasan dari semua pihak yang ada di sini. Wassalamu’alaikum.”

Aku segera berlari menuju musholla Ash-Sholiihin. Aku nggak tahu harus menyelamatkan diri ke mana lagi. Banyak yang mencoba mengejar dan menghalangiku. Tapi begitu tahu aku menuju ke sekretariat Rohis, mereka lebih memilih untuk melepasku dengan tatapan kecewa.
Dari pintu yang sedikit terbuka, kulihat anak-anak Rohis sedang asyik berdiskusi. Mungkin rapat atau membicarakan masalah pelajaran. Aku tak tahu. Hampir saja kuurungkan niat untuk mengetuk pintu tetapi Habib lebih dulu membukanya.

Aku mencoba membalas sernyumnya ketika ia menghampirku dengan tatapan yang menawarkan ketulusan. Ada getar yang tiba-tiba muncul di hatiku. Hm..rasa sentimentil itu kambuh lagi. Ya Allah apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Assalamu’alaikum Akhi.” Ia menghulurkan tangannya terlebih dulu. Aku menyambutnya kaku. Dipandanginya rambutku yang kusut, bajuku yang belepotan dengan telur busuk, air comberam, tepung, etc.

“Sebentar ya!”

Ia segera masuk ke dalam ruang sekretariat lalu keluar dengan bungkusan di tangannya.

“Nih, pake! Insya Allah bersih. Itu sebenarnya seragam yang sengaja kutinggal di base camp untuk persiapan kalo’ nanti malam jadi mabit di sini dan besok nggak sempat pulang ke rumah.”

“Thanks ya!”

Buru-buru kubawa langkahku menuju kamar ganti yang terletak persis di depan kantor sekretariat Rohis alias base camp mereka. Untung saja ukuran baju ini tidak begitu kekecilan karena sebenarnya badanku lebih besar darinya.

“Nanti sore ada acara?” Habib langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku selesai ganti pakaian. Aku malas untuk menjawabnya. Acara apa? Yang pasti nanti sore aku punya banyak agenda yang mesti kuselesaikan.

“Sebenarnya kami, aku dan teman-teman sudah lama ingin berbicara denganmu. Tapi entahlah...mungkin belum ada kesempatan yang pas. Seperti terbentang jarak...”
Jarak itu memang sengaja kubuat. Tiap kali ada di antara kalian yang mencoba mengajakku untuk kembali. Bahkan untuk sekedar ngobrol dan berbasa-basi pun aku lebih sering menghindar.

“Gus, kami mau minta maaf!”
Seperti ada petir yang menyambar tiba-tiba tapi aku hanya diam.

“Untuk segala kesalahan yang tanpa sengaja telah melukaimu, membuatmu merasa tak nyaman bahkan untuk sekedar berada di tempat ini.”

Habib cs ternyata punya pikiran seperti itu. Benarkah mereka masih memperhatikanku sama seperti dulu meskipun aku telah terlalu sering mengacuhkan mereka.
“Dah shalat Dhuha?” tanyanya ringan, mungkin mencoba memecah dinding kekakuan antara dia dan aku.

“Belum tuh” jawabku santai

“Buruan sana! Mumpung masih ada kesempatan. Nanti kalau dah selesai jemput ane di base camp ya! Kita ke kelas bareng. Sekarang ane mau nyelesain proposal untuk seminar bulan depan. Eh, ente mau kan jadi panitia...koordinator sie sponsorship, ya?” Ditepuknya pundakku cukup keras sebelum ia kembali ke ruang sekretariat. Kalau sudah kumat dengan ane ente-nya itu berarti ada udang di balik rempeyek.

Asli aku bingung! Sebenarnya kalau mau jujur, ini adalah momentum untuk kembali bergabung dengan komunitas mereka. Tapi bagaimana dengan Ajeng? Bagaimana dengan janjiku untuk setia padanya, paling tidak sampai aku lulus nanti. Hm..setia? Harusnya untuk Allah saja.

Ah...aku mumet.

Allah bilakah kugapai hidayah-MU kembali sedang hati ini masih sibuk memikirkan urusan duniawi? Bilakah kan kudapatkan cinta-MU , sedang masih saja kuharap cinta lain selain cinta-MU?


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada ALLah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada ALLAH, sesungguhnya ALLAH mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada ALLAH, lalu ALLAH menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik. Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, maka pasti kamu akan melihatnya tunduk terpacah belah disebabkan takut kepada ALLAh. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.


Isakan tangis tak mampu kutahan ketika Habib membaca surat AL-Hasyr ayat 18-21 yang masih kuhapal artinya. Di sini, di bumi Perkemahan Sidorejo pula kami pernah bersama-sama menghapal dan mentadaburrinya. Syahdu memenuhi ruang hatiku. Ya Allah terimakasih atas lembut tegurmu melalui hadirnya sahabat yang mengingatkanku untuk kembali menggapai indah hidayah-MU.

Hari ini cerah sekali. Hawa pegunungan yang sejuk menemani kami berpetualang, mentafakuri penciptaan-NYA. Akhirnya setelah melewati pergulatan batin yang melelahkan kuputuskan untuk kembali mengikrarkan janji setia di jalan-Nya. Kututup lembar-lembar yang hitamku. Ku tak ingin hidup dalam kehampaan jiwa.

Kemarin dengan bantuan Habib cs, kubawa barang-barang dari rumah Ajeng. Untuk sementara aku tinggal di markas mereka. Kontrakan yang sederhana yang kupilih untuk melakukan terapi ruhiyah. Masih ada luka yang harus kusembuhkan. Luka yang belumlah kering karena kesilauan pada fatamorgana.

Kuputuskan Ajeng dengan alasan yang mudah diterimanya. Karena kutahu hingga kini ia masih belum mengerti akan cinta yang lebih membiusku, membawaku mengembara di rimba-NYA.

“Maafkan aku yang telah salah memilihmu. Dan mungkin sangat menyakitkan jika aku memutuskanmu begitu saja. Ada hubungan yang lebih pantas untuk kita: ukhuwah. Karena hubungan ini tak mempunyai tendensi apa-apa. Mari berbenah agar masa depan mampu kita jelang dengan kegemilangan.”

“Mas Gusti takut kalau aku mengganggu konsentrasi belajar Mas ya?”

“Bukan itu. Tapi memang Mas butuh konsentrasi karena sebentar lagi UAN. Mas juga perlu mempersiapkan SPMB dengan baik. Sekali lagi maafkan aku, Jeng. Semoga kau temukan labuhan cinta yang tepat. Kau percaya Allah, kan?”

Kutahu hatinya hancur tapi ia terlihat tidak emosi.

“Semoga sukses dan diterima di Kedokteran.” Ucapnya sebelum berlari meninggalkanku. Suaranya serak seperti menahan tangis.

Minggu depan reorganisasi OSIS. Aku harus melaporkan pertanggung jawabanku di hadapan Majelis Perwakilan Sekolah. Dan di sana pasti ada Mela yang siap menyerangku dengan pertanyaan.

“Gus, jangan ngelamun aja! Bentar lagi kita mulai perjalanan. Perbekalan di tasmu sudah lengkap, kan? Jangan sampai ada yang ketinggalan lho! Coba cek dah ada semuanya kan: korek api, air minum, roti, gunting, tali rafia!” Kali ini Susilo yang menegurku.

“ Siap bos!” jawabku mantap.
“Lupakan sejenak beban yang menghimpitmu. Mari kita nikmati simulasi dari perjalanan panjang kita. Inilah The Real Moslem Adventure. Pasukan siap? Are you ready? ” Nugroho memberi komando.

“Yes, we are!” Serentak semua anak-anak Rohis menjawab kompak.

Aku kembali asyik dengan pikiranku ketika Habib mengingatkanku untuk bersiap.

“Subhanallah” akhirnya hanya kata itu yang senantiasa terucap di sepanjang perjalanan out bond melewati hutan pinus bukit Selondo yang sebenarnya tak jauh dari kampungku.

Ya Allah bilakah keindahan ini kan terus mewarna di esok hari?

  

Bumi Gerih Permai, 300804:10.45 setelah lebih setahun kutinggalkan.
Untuk Lukky, Amalia &Akhi Putra Chilup: bilakah kembali merentas di jalan ini?

0 comments:

Post a Comment