Monday 16 February 2009

BATU KALI BATU BATA

0 comments


’’Jangan lupa, jam sembilan rapat sie pelayanan sambut maru dan ba’da Ashar nanti ada rapat bidang! Bisa, kan, Dek?!”

Nisa mencoba tersenyum, menyembunyikan resah yang semakin bertambah di dadanya. Matanya tertunduk ke bawah, ia tak berani menatap Mbak Eliza, Kabid Nisaa’nya.

“Nisa usahakan, tapi untuk rapat bidangnya kali ini izin dulu, ya Mbak? Mungkin siang ini ke Jogja, mo’ lihat pengumuman STAN.”

“Lewat internet, kan bisa, Dek.”

“I ya, sih tapi...” suaranya mengambang.

“I ya, deh. Mudah-mudahan diberikan yang terbaik.”

“Amien....Nisa pamit dulu, ya Mbak. Assalamu’alaikum.”

Nisa menyeret langkahnya, meninggalkan masjid kampus. Kajian Jumat Pagi yang baru saja diikutinya terasa benar-benar hambar. Degup di jantungnya semakin terasa ketika jarak MannaWaSalwa, kosnya yang terletak di Jalan Surya, tinggal beberapa meter lagi. Ya Allah...bagaimana hasil Ujian Masuk STAN-ku? Batinnya mulai lagi bertanya-tanya.



“Assalamu’alaikum.” Salamnya hampir tak terdengar. Ia segera menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

“Belum beli maem, ya, Nis?” Nikmah yang tengah sarapan melihatnya berhampa tangan. Biasanya sepulang kajian pagi memang ada plastik yang berisi bungkusan nasi di tangannya.

“Nggak sarapan, nggak ada selera.” Jawabnya lesu.

“Lho, katanya mau ke Jogja. Baiknya sarapan dulu. Yo’ sama aku, kelihatannya aku juga nggak habis, kok.”


“Makasih, nanti aja kalo’ habis rapat aku mampir beli nasi.” Ditampiknya tawaran Nikmah dengan halus. Ia segera masuk ke dalam kamarnya. Entahlah...hati-nya benar-benar nggak bisa tenang. Padahal dulu waktu menunggu pengumuman SPMB ia nggak setegang ini.

Dihidupkannya HP yang sejak tadi malam dinon-aktifkan. Tak lama kemudian ada SMS masuk. Hatinya bergetar. Perlahan-lahan sekali ia membacanya.

“Ass, gmn dah da pgmn? Klo sulit hrs ke jogja, krm aja no BPU anti. Nnti biar tmn2 JKT yg mlihatkn. Apapun hsilnya, serahkn pd 4JJI.”

SMS itu berasal dari mahasiswa STAN yang sebentar lagi lulus.
Bismillah...ia mengetik nomor BPUnya dan segera mengirimkannya pada kakak kelas SMUnya yang kini di sedang magang di Jakarta.



“Gmn jd dftr STAN? Mau nyari apa smp pngn ksna?He..2 Anti akhwat, kn?”

SMS dari murrabiyahnya di SMU membuatnya sempat ragu. Tapi toh ia pun menyempatkan diri untuk mendaftar ke Jogja di sela-sela semester pendeknya. Jujur, apa yang dilakukannya hanya pelarian. Ia merasa kulminasi jenuh sudah mencapai puncaknya.Ia sudah merasa tidak kuat untuk bertahan di Kampus Hijaunya.

Mencari lingkungan yang baru. Mungkin itu alasan yang sangat tidak masuk akal. Ada hal yang tidak beres yang lama ditutupinya. Tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya tanpa sengaja Tyas menemukan kartu peserta Ujian Saringan Masuk STAN di tasnya.

Aneh. Mungkin itu yang kemudian ditangkap oleh teman sehalaqohnya. Kemudian entah bagaimana murrabiyahnya di SMU pun tahu tentang hal itu. Ragu ia mereply sms yang datang tanpa diduga.
“Doakn klo itu yg t’baik tuk dunia akherat, proses ke sna kn dpmudah. Di sini ada virus. Nisa ingin hijrah. Nisa nggak mau jadi lilin yg t’bakar.”

“Ane dah ngerasa da yg g’ beres pd anti. Biasanya klo dah tbina mlh hndri STAN. Di sna kbykn putra, putri plg byk 3-4. Apa anti kuat? Blm lg da ikatn dinas, nnti klo dah kerja plg sore2 bhkn smp jam 4. Tlg dpkrkn lg. Klo g’ co2k di LQ, sgr mnt gnti halaqoh&mrrbyh. Hijrah ksna bkn kptsn yg tpat. Klo da pa2 telp ane or sgr ksni klo da waktu. Cerita da apa dng anti! Mau, kn?”

Nisa tergugu. Semangatnya untuk bertempur di ujian STAN surut seketika. Ia memang nggak berniat untuk kuliah di sana. Tapi hanya itu satu-satunya jalan yang bisa ditempuhnya. Mau ikut SPMB lagi jelas tidak mungkin. Ayah tidak akan mengijinkannnya apalagi kalau ngambil UGM. Selain jauh dari rumah, biaya kuliah dan biaya hidup di sana lebih mahal. Biaya dari mana? Kalau ngambil jurusan lain di Kampus Hijau itu sama aja ia harus tetap tinggal di Solo. Hm.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Solo. TIDAK ADA! Apa yang dicarinya ada di sini. Tapi ...ia merasa menjadi manusia planet. Serasa tidak menginjak bumi. Eksistensinya tak terdeteksi. Ia merasa menjadi orang asing yang numpang sementara waktu di kota pusat berkembangnya beberapa harakah ini. Ia bukan Nisa yang periang seperti dulu. Ia bukan Nisa yang selalu bersemangat dengan aktivitas berlabel ‘dakwah’. Ia bukan lagi Nisa yang siap memenuhi panggilan jihad.

Ya, semua perubahan itu memang bukan tanpa alasan. Tapi ia sama sekali tak yakin bahwa alasannya itu dipandang syar’i oleh teman-teman dan murrabiyahnya. Pingin tahu alasan sebenarnya?

Kompleks. Awalnya ada sedikit keraguan ketika ia memutuskan untuk registrasi ke kampus hijau. Alasan klasik: pilihan kedua yang juga pilihan ortu. Jadi ia agak gamang, bisakah kuliah dengan sepenuh hati. Kemudian ketidaknyamaan yang dirasakannnya di prodi semakin bertambah. Kenapa? Belum ada seorang teman pun yang tertarbiyah, intinya ia belum menemukan teman seperjuangan yang nyambung kalo’ diajak ngomong dan berdiskusi tentang dakwah dan harakah, nggak bisa nyaman di kelas. Parahnya, ia merasa tidak cocok dengan halaqohnya. Ia merasa kurang sreg teman-teman ngajinya yang kebayakan ‘aktivis siyasi’. Di kos-annya yang ammah, teman-teman nggak ada yang berstatus sebagai ADK. Ketika kondisi ruhiyahnya terpuruk dan ke-error-an kumat, nggak ada yang mengingatkan. Ia merasa tertekan. Nggak ada yang bisa diajak sharing apalagi menyemangatinya untuk berfastabiqul khairat.

Semester pertama dilalui begitu saja. IPnya nggak sampai 3 bahkan ada satu mata kuliah yang nggak lulus. Ia semakin tidak kerasan tinggal di Solo. Capek lahir batin. Ia semakin mendramatisir keadaan. Ketika tersadar...ia telah jauh tertinggal dengan teman-teman sehalaqoh. Mereka tlah berakselerasi dan melesat jauh meninggalkannya sendirian dalam ambiguitas. Kondisinya kian hari bertambah kritis. Maka dalam batas kesadaran ia pun memutuskan untuk segera pergi dan mencari lingkungan yang baru.

Kuliah di STAN? Mungkinkah? Konon, bi’ah di sana kondusif untuk percepatan diri. Tapi .....? Anti akhwat, kan? Pertanyaan retoris via sms itu begitu menggoreskan luka di hatinya. Ia takut tak bisa mempertahankan status itu.

“Memang peluang masuk STAN lebih besar putra daripada putri tapi yg penting kn the best ikhtiar. Sukses, ya...Ukh!Smg 4JJI mbrkn yg t’baik”

Mungkin SMS dari ikhwan ini pun sekedar bentuk simpati. Tapi sekedar mencoba, kenapa tidak?



Rapat sie pelayanan penyambutan mahasiswa baru di Nurul Huda, masjid kampusnya, diikutinya tanpa konsentrasi. Berkali-kali SMS masuk. Nisa hanya menghela nafas tiap kali mendapati SMS yang menanyakan tentang pengumuman STAN. Jujur ia pun ingin segera mengetahuinya.

“Jangan lupa saat penyambutan pakai jaket almamater, cocard dan jilbab putih untuk akhwat.” Pesan dari koordinator sie dari balik hijab hanya mampir sebentar di telinganya. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.00, ia pun izin meninggalkan rapat yang sebenarnya sudah hampir usai.

Resah itu masih bersarang di hatinya. Akankah aku mampu menerima ketentuan Allah dengan ikhlas? Mampukah aku mengambil ibrah dari semua ini dengan sebening pemaknaan?
Mengapa aku jadi putus asa begini? Illahi...kuatkan aku menjalani semua ini!

Nisa mencoba mengusir ketakutan yang membisik di telinganya. Bukankah rizki Allah yang telah ditetapkan untuknya tak kan mungkin diberikan kepada orang lain. Begitu pun sebaliknya. Jadi? Sabar, Nis. Tunggu aja sms dari Jakarta. Nggak usah repot-repot pergi ke Jogja. Banyak hal yang harus kau selesaikan di sini.

Kuliah Semester Pendeknya pun belum selesai. Nanti siang kuliah terakhir Cross Culture Understanding. Ya, sebaiknya aku tinggal di sini. Akhirnya ia membelokkan langkahnya ke jalan Surya menuju kosnya, MannaWaSalwa.



“Afwan, ana nggak mnemukn no BPU anti. Coba dicek via web. Klo trnyt tidak diterima mungkin 4JJI lbh ridho anti berdakwah di Solo. Laa Tahzan, Ukh! Smg sll ISTIQOMAH.” begitu isi SMS yang ditunggu-tunggunya.

Nisa menghapus air matanya.

Laa Tahzan?

“Bukankah kesedihan adalah hal yang sangat manusiawi untuk saat-saat seperti ini?” sebuah suara menggema di hatinya. Ia menggeleng dan segera beranjak untuk mengambil wudhu.

“Ini adalah sebuah episode yang harus kuhadapi.”

Ucapnya tertuju pada sosok berjilbab putih di kaca almari yang mencoba menyunggingkan senyum manis kepadanya.

Jalan masih panjang ...Sayang! Ia menghibur dirinya sendiri.


Usai Ujian Semester Pendek dan penyambutan mahasiswa, Nisa memutuskan untuk pulang kampung, Sidolaju. Kampung yang terletak di tengah hutan ini menyimpan banyak kenangan. Pagi ini ada Ikhwan yang mengajaknya melakukan perjalanan tapak tilas masa kecilnya.

“Berdua saja, nggak usah ngajak adik-adik”

Begitu tawaran via SMS yang tanpa pertimbangan langsung disetujuinya.
He..he..tenang aja! Ikhwan Kelana Mujahid adalah kakak sulungnya.
Gemericik air mengalir dari mbelik yang melewati celah-celah bebatuan sungai begitu merdu di telinganya. Nisa membiarkan kaos kakinya basah. Ia meniti sungai di dekat mbaon dengan hati yang riang. Sesekali bibirnya bertasbih. Ia pun mengakui kekerdilannya. Duhai...Maha Besar Allah dalam setiap pencintaan-NYa.

“Dek, istirahat dulu ya. Duduk di batu besar itu sepertinya nyaman.” Ajak Ikhwan seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Batu-batu besar di bawah grojogan itu sepertinya memang nyaman untuk istirahat.

Nisa mengiyakan. Dipilihnya batu yang paling besar seukuran tempat tidurnya di kos. He...mungkin nggak perlu ranjang jika batu ini ada di kamar. Pikirnya usil.

“Main tebak-tebakan yuk!” laki-laki berkaos oblong yang duduk di sampingnya mengeluarkan secarik kertas dan pulpen.

Nisa nyengir, “MALES! Maen aja sama ikan mujair,” jawabnya asal.

“Eh..kalo’ kamu menang, besok tak anterin ke Solo pakai motor.”

“Mending juga naik bis.” Jawabnya sadis.

“Apa bedanya batu kali dengan batu bata?”

“Gitu aja ditanyakan. Ih..dasar arsitek ...nggak punya nilai seni?”

“Justru inilah bagian dari seni. Nih jawab 3 pertanyaanku!”
Tanpa semangat dibacanya 3 pertanyaaan dari sang kakak. Fuih...benar-benar nggak ilmiah. Tapi ia pun bingung juga menjawabnya.

“Bandingkan antara batu kali dan batu bata, lihat perbedaan yang mendasar antara keduanya; bagaimana proses tarbiyah keduanya, ciri-ciri dan kegunaannya dalam kehidupan.”
Ikhwan tersenyum senang melihat wajah adiknya yang berubah serius. Diperhatikannya detail wajah gadis berkerudung yang beberapa bulan ini kehilangan binar kebahagiaan.

“Sudah, Dek?”

“Ya....tapi jawaban ini nggak nyeni blas. Habis...”

Ikhwan membaca tulisan adiknya.

“Batu kali melalui proses tarbiyah yang sangat panjang. Ia berasal dari dalam bumi yang kemudian keluar melalui letusan dasyat gunung berapi. Perubahan suhu lingkungan yang signifikan membuatnya menjadi kuat dan nggak mudah rapuh. Cocok digunakan sebagai pondasi bangunan dan bisa juga untuk dinding.”

“Sedangkan batu bata melalui proses tarbiyah yang cepat. Berasal dari tanah liat pilihan yang dicampur dengan air hingga menjadi adonan yang proporsional. Setelah dicetak dikeringkan dibawah terik matahari lalu dibakar. Cirinya mudah rapuh, membawanya harus hati-hati sekali. Ia cocok digunakan sebagai dinding bangunan.”

“By the way, lagi nyindir aku ya....”
Ikhwan tersentak. Astaghfirullah.

“Bukan. Sama sekali tak ada maksud untuk itu.”

“Bohong.”

Ditinggalkannya Ikhwan dengan penuh kecewa. Nisa nggak habis pikir : duhai tega nian menambah luka yang belum-lah tuntas ia sembuhkan. Agak terburu-buru, ia kembali meniti sungai menuju dangau yang terletak di tengah mbaon Mbah Kungnya.


Adikku Sayang,
semoga Allah snantiasa mengizinkan kita untuk meniti jalan panjang ini. Memang ujian dan rintangan akan selalu mengiringi perjalanan kita. Tapi percayalah Sayang, di balik itu semua banyak hikmah yang dapat kita petik. Yakinlah bahwa pertolongan Allah begitu dekat!

Adikku generasi Aisyah ra,
jangan bosan dengan tarbiyah. Belajarlah dari batu kali dan batu bata. Mana yang lebih baik? Itu bukan pertanyaan yang harus kau jawab. Masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Tapi adikku, bukankah batu kali lebih kuat. Ia sanggup di tempatkan di mana-mana. Sebagai pondasi yang diletakkan paling bawah hingga tak kelihatan., sebagai campuran bahan cor, sebagai dinding atau sebagai apapun. Maka jangan pernah berharap kau akan menempati kedudukan yang strategis, yang kelihatan ‘wah’ dari luar tapi ternyata tak lebih seperti batu bata yang rapuh. Banyak orang memujinya tapi ia tak cukup kuat menghadapi terpaan badai atau angin kencang.

Adikku,
jangan kau larut dalam pilu berkepanjangan! Syukuri tiap nikmat yang tlah Allah berikan. Laa Tahzan! Semoga kau mampu setangguh batu. Di mana pun kau ditempatkan, berikanlah yang terbaik. Jangan sedih tidak diterima di STAN, di sini pun kau mampu melesat tinggi menggapai harap dan impian. Jangan kecewa dengan lingkungan yang belum kondusif, di sini kaulah pioneer yang diharapkan memulai penghijauan. Jangan menyalahkan keadaan tapi tancapkan azzam untuk segera bergerak menyongsong kegemilangan!!! Teriring doa untukmu, Adikku! Selalu.
Sepenuh cinta karena-NYA
Ikhwan Kelana Mujahid


“Sbnrnya ktk 4JJI mmbr mslh, itu a/ bukti cinta-NYA pd hamba-NYA. Mk jk qta ttp huznudzon, Isy a/ byk hal yg akn qta dpt. KEIMANN, KSBRN, KDWSAAN, & KECINTAAN-NYA. Hny pd 4JJI qta bsrh dr.” 

’’Kla jenuh mnerpa&jubah mujahadah tlahlusuh t’kulai usang. Mk biarkan AZZAM m’jejak langkah m’napak syukur&sabar dalam keikhlasan krn-Nya. Krn qta hanyalah jiwa yg lahir dr secuil masa” 

’’Ikhlaskanlah tubuhmu…pikiranmu…dan hatimu untuk ALLAH. Slmt Bjuang Smoga Sukses’’ 

Nisa tersedu. Perhatian yang tulus ternyata tak hanya datang dari kakaknya tapi juga dari saudara-saudaranya yang berada jauh di seberang sana. Meski via sms tapi ia merasa taushiyah itu begitu mengena di hatinya. Maka ia pun berjanji untuk mengeringkan luka dengan segera. Jangan biarkan jiwa rapuh seperti batu bata.
Duhai Nisa, tataplah ke depan!


Ngawi, 28 Ramadhan 1425 H : 21.19
Untuk yang masih setengah hati di kampus hijau, jangan larut dalam kecewa berkepanjangan.
‘Tuk Akh Hendra, Mbak Eni, & Rifai : jazakumullah khairan jaza’ atas smsnya ()
‘Tuk Aisyah Crew: luv u all coz of ALLAH! Afwan atas sgl kesalahan.

0 comments:

Post a Comment