Monday 16 February 2009

KADO-KADO Ke-15

0 comments


”Wah jubahnya bagus lho, Bu! Makin cantik aja ! “ Aku mengomentari penampilan ibu yang sore ini lain dari biasanya.

“ I ya, benar ya, Na! apalagi kalo’ ditambah jilbab biru dongker yang dibelikan Budhe Dyah sepulang dari Mekkah kemarin,” sambung Mas Doni sambil tersenyum nakal.

“Sekalian pake penutup muka biar kaya’ ninja hatori. Oalah..mau jadi apa ibu nanti. Kalian tahu kan yen ibu ndak suka dengan penampilan yang ribet dan ndak praktis seperti itu. Makanya Na, kowe ojo terpengaruh dengan mereka. Bisa-bisa kamu terpengaruh alirannya. Aliran sesat, Nduk!” Ibu menanggapi gurauan kami dengan muka masam.

Aku dan Mas Doni hanya bisa bertemu pandang dengan senyum kesepakatan. Kesepakatan untuk menggoda ibu maksudnya. Eh...nggak nding kesepakatan untuk menggurauinya aja.

“Pokoknya, kowe rasah nganggo jilbab. Wis ngono kuwi wae. Ibu lebih suka kalo’ kamu berpenampilan wajar. Seperti layaknya manusia.”

“Apa? Ibu menganggap para jilbaber itu bukan manusia?!”
Astaghfirullah! Aku prihatin dengan pendapat ibu. Bahkan tak pernah kusangka kalau ternyata ibu sangat phobia dengan jilbab.

“Bu, Dona sudah besar. Dan kalau toh memang ingin segera berjilbab bukankah itu adalah pilihan yang harusnya kita dukung. Karena adalah suatu kewajiban bagi tiap muslimah yang sudah baliq untuk menutup semua tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.” Mas Doni mencoba untuk memberi penjelasan kepada ibu dengan hati-hati takut disangka bermaksud menggurui.

“Siapa yang bilang begitu, Don? Ustadz kamu, ya? Mbok yo kowe iki ojo sok keminter tho...Le! Baru ngaji kemarin aja sudah berani bilang yang enggak-enggak. Mbok..ya kamu jangan ikutan fanatik begitu. Coba kamu lihat Pak Ibnu dan guru-guru agama yang lain. Mereka pandai tentang Islam, pengetahuannya banyak, bacaan Qur’an-nya juga bagus, mereka juga sering jadi khotib dan sering diundang untuk ngisi pengajian dan resepsi pernikahan tapi toh mereka tetap bersikap moderat. Mereka nggak menuntut istrinya untuk berjilbab. Buktinya rata-rata istri mereka hanya berjilbab kalau pas ada pengajian dan kadang di resepsi pernikahan.”

Mulut Mas Doni terbungkam mendengar penuturan ibu. Aku pun demikian adanya. Kami belum tahu cara apalagi yang akan kami pakai agar ibu mau menerima kebenaran yang tlah kami yakini; bahwa berjilbab adalah kewajiban bagi muslimah yang sudah baligh sepertiku.

“Don, Na, manusia hidup itu yang penting kelakuannya bukan penampilannya. Yang penting kalian sopan dan tahu tata karma. Penampilan tidak menjamin kuat lemahnya keimanan seseorang. Kalian mau bukti?” Seperti biasa ibu mencoba memancing kami untuk mengukuhkan ‘kemenangan’ dari argumennya.

“Kamu kenal Meli, kan? Sudah dua tahun ini memakai jilbab. Tapi masih suka jalan bareng dengan anak laki. Berjilbab tapi bajunya ketat. Dan sekarang kalian pun tahu apa akibatnya, Meli dikeluarkan dari SMAnya karena ketahuan hamil. Dengan siapa pun..masih belum jelas karena dia tu suka sekali gonta-ganti pacar.”

Ibu mengambil jeda sejenak demi melihat reaksi kami, “Yang penting kalian sopan dan jadi anak yang berbakti, ibu sudah senang.”

Mas Doni mencoba tersenyum. Lalu diilihatnya jam dinding tua yang terpasang di ruang tengah ini seolah ingin segera mengakhiri pembicaraan yang tak kunjung mencapai titik temu.
“Bu, Doni mau ke Baiturrrahman dulu, ada janji dengan teman-teman. Kapan-kapan bisa kita lanjutkan pembicaraan ini dengan topik yang sama”

“Rapat lagi? Atau kajian...?” Introgasi singkat ibu hanya dibalas dengan senyuman. Dan wajah ibu pun kembali seperti sedia kala. Padam sudah emosi yang sempat menyala. Aku bisa bernapas lega.

“Eh..Don..anter ibu dulu, ya! Kamu mau, kan? Ibu mau arisan ke tempat Bu Surti. Rumahnya sebelah utara Masjid Baiturrahman, kok!”

Mas Doni mengangguk.

“Na, jangan lupa siapkan hidangan untuk berbuka Masmu, ya! Ibu mungkin sampai rumah agak malam soalnya mau njenguk Bu Titi di RS Widodo bareng ibu-ibu yang ikut arisan. Jangan lupa tutup pintu begitu ibu dan masmu keluar. Dan satu lagi : jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa telepon masmu di hp!”

Hampir selalu begitu. Pesan yang 2panjang+2lebar alias berkeliling itu akan ditinggalkan untukku seolah aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan kalau tinggal di rumah sendirian. Over protetective benar ibuku.

“See you again, Honey! Assalamu’alaikum” Mas Doni melambaikan tangan padaku.

“Alaikumussalam Mas. TitiDi J ya..”

“Apa?”

“Hati-hati di jalan” jawabku sedikit berteriak.

Beberapa saat kupandangi hujan rintik-rintik di luar di sela-sela pandang melepas kepergian ibu dan kakak semata wayangku. Setelah Kijang yang menyimpan banyak kenanganku dengan Ayah itu hilang ditelan tikungan segera kututup pintu dan menguncinya.

Aku terpaku sejenak dalam bimbang. Ya Allah bukalah pintu hati ibuku agar aku diizinkan untuk segera menunaikan kewajibanku. Seindah pintu hidayah yang terbuka melalui Mas Doni, kini pendirianku mulai berangsur tetap.


Ingat wahai adikku
tuk menghormati ayah ibu
mereka tlah berjasa membesarkan kita semua....
saat kau berdoa doakan pula mereka
saat kau bahagia bahagiakan mereka


Lirih kusandungkan bait nasyid dari Harmoni Voice sambil memandang bunga flamboyan yang menghiasi taman halaman SLTPku. Mas Doni sering mengeraskan tapenya kalo’ aku keasyikan nonton TV di ruang tengah.

“Pagi Dona! Assalamu’alaikum. Lho..kok murung. Ada masalah apa?”

Aku menggeleng ketika Wulan menegurku.

“Cantik sekali..!” aku bergumam ketika sosok berjilbab itu mendekatiku.

“Apa?” seolah ia tak mendengarkanku.

“Ngggak.. pa-pa kok. Hm.. by the way, semua keluargamu berjilbab ya? Sejak kapan kamu memakainya?” ada iri yang menyelinap di hati apabila tanpa sengaja kuperhatikan jilbabnya yang berbordir bunga sederhana.

“He...tentu saja tidak dong, Na! Hanya Mbak Ita, Mbak Nanik, aku dan keponakan kecilku yang memakainya.” Jawabnya sambil membetulkan tali sepatunya yang lepas.

“Yang lain?” tanyaku penasaran.

“Hmm..semua kakakku yang lain laki-laki jadi nggak mungkinlah kalau pakai jilbab.”
Aku hanya ber’O panjang mendengar jawabannya. Andaikan aku punya kakak perempuan yang berjilbab satu saja..mungkin sekarang aku telah mengikuti jejaknya.

“Na, aku ke kelas dulu ya! Ada PR-ku yang belum selesai. Insya Allah nanti tak jemput ke rumah sebelum berangkat kajian. Sudah jangan murung gitu...! Assalamu’alaikum”

Terburu-buru agaknya Wulan menuju kelasnya yang terletak di ujung timur. Dengan langkah yang kurang bersemangat, aku pun segera masuk ke kelas 3A yang berada persis di samping ruang TU. Kelasku yang kata orang kelas jalur cepat ini sudah dipenuhi penghuninya yang rajin-rajin. Teman-temanku memang maniak buku. Tuh, pagi-pagi aja sudah berkutat dengan buku....Aku juga nggak boleh ketinggalan. Time is time, time isn’t money ,kata Mas Doni. He..he....


“Mungkin ini terakhir kali kalian ngaji di sini ! “ Asli aku terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan Pak Ali. Kuperhatikan Sita, Rahma, Endang, dan Wulan yang sama terkejutnya denganku.

“Karena kalian nampaknya serius dan antusias di tiap pertemuan maka kalian akan saya transfer kepada seorang Mbak. Beliau masih muda, baru lulus dari Brawijaya. Insya Allah bisa lebih intents dalam membimbing kalian.”

Akhirnya kami bisa tersenyum lega. Mungkin Pak Ali sibuk , tapi nggak pa-pa deh, mungkin Mbak yang baru lulus kuliah itu lebih punya waktu menemani kami.

Minggu-minggu berikutnya di hari yang sama -Sabtu- aku dan teman-teman bertemu dengan itu (Mbak Sa’adah, namanya) di sebuah rumah kontrakan yang sederhana. Mbak itu cerdas, terlihat dari retorikanya yang teratur. Aku jadi semakin bersemangat untuk mengkaji Islam dengannya. Kami membahas masalah apa aja. Hm..memperhatikan jilbabnya yang lebar, hatiku semakin dilanda rindu...apakah harus menunggu kelas 1 SMU dulu untuk mengenakan jilbab itu.

Hari ini aku harus bilang ke Mas Doni bahwa aku sudah nggak tahan membiarkan rambut hitamku ini tanpa pelindung. Mas Doni harus bisa membujuk ibu. Harus!Perlu senjata apa untuk meluluhkan hati ibu, dosen STKIP yang kritis itu?


Kumandang adzan Subuh menghentikan mimpiku. Lagi-lagi aku tertidur berbantal buku. Maksud hati pingin niru Mas Doni yang suka belajar usai shalat lail tapi ternyata aku lebih sukses menuju alam bawah sadar...belajar sambil tidur atau tidur sambil belajar, ya?

“Na, bangun! Ayo’ shalat! Dah adzan lho..!” suara Mas Doni membuatku segera beranjak. Buru-buru aku mengambil air wudhu dan menyusulnya ke musholla keluarga yang terletak persis di depan kamarku. Kulihat Ibu dan Mas Doni sudah khusyu’ dalam Qobliyahnya. Aku segera menyusul. Jangan sampai aku kehilangan kesempatan yang sangat berharga ini.

Subuhku lebih panjang dari biasanya. Kali ini di rakaat pertama Mas Doni membaca Surat Ar-Rahman dan rakaat kedua Masku membaca surat An-Nur. Bacaannya jernih dan makhrojnya jelas. Meski tak sepenuhnya tahu artinya, toh air mataku meleleh. Mas Doni pernah mengajakku untuk mentaddaburi kedua surat itu.

Syahdu menyusup ke ruang hatiku dan semakin kurasa tatkala kusambung doaku usai salam. Tertunduk aku menatap sajadah yang terhampar. Kucurahkan semua beban yang menghimpit jiwa. Berharap kutemukan titik terang untuk segera keluar dari duka yang membebani kepala. Ya Illahi..bimbing dan tuntun.hamba menuju pada-MU dengan segenap bekal dan keridhoan!
Tiba-tiba ibu menyentuh punggungku Aku terkejut. Tapi aku tak berani memandang wajahnya. Tatapku masih tertuju pada sajadah. Mas Doni masih tak bersuara, entah apa yang dilakukannya. Mungkin masih khusyu’ di dalam doa.

“Na, Ibu mau bicara!”
“Inggih, Bu. Sakniki?”
“Iya, saiki.”

Setelah melipat mukena kuikuti langkah ibuku menuju ruang tengah. Aku menurut ketika ibu mengisyaratkanku untuk duduk di sofa, tepat di sampingnya.

“Dona, apa betul kamu pingin berjilbab? Kamu serius, Nduk?”

Ibu membuka pembicaraan dengan nada tenang.

“Insya Allah, Bu!” mantap sekali aku menjawab.

“Sudah kau pikirkan konsekuensinya?”

“Insya Allah Dona sudah berkomitmen. Jadi apa pun yang akan terjadi nanti Dona siap untuk menghadapinya.”

“Sebenarnya ibu tak berkeberatan. Hanya saja ibu masih khawatir...”

“Khawatir?”

“Ya, ibu khawatir kalau keinginan itu hanya letupan emosi sesaat karena kebetulan kau masih dekat dengan Masmu. Apa i ya nantinya kamu mampu untuk tetap menjaga niatmu itu agar tidak menyimpang? Kau lihat fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa jilbab mulai menjamur bukan karena produk idiologi tetapi sekedar trend. Jika kamu yakin dengan pilihanmu, ibu pun akan mendukung. Satu hal yang harus kau ingat : jangan sampai jilbab membatasi gerakmu. Buktikan dengan jilbab itu kau pun mampu berprestasi!”

Alhamdulillah...segala puji hanyalah untuk-Mu Ya Rahman atas rizki dan pertolongan-Mu yang datang tanpa pernah bisa disangka. Apa saja ya....yang dikatakan Mas Doni pada ibu kemarin ?

“Maafkan, Dona ya Bu kalo’ ternyata kurang bisa menangkap kekhawatiran ibu. Dona mengira ibu sangat anti dengan jilbab.”

“Ibu juga minta maaf, Nduk kalo’ sempat emosional menghadapi kalian. Sebenarnya itu lakukan karena ibu sayang sama kamu dan Mas Donimu. Ibu nggak ingin kalian jadi bahan gunjingan karena kefanatikan yang tanpa pemikiran.”

“Ceileh...da pa nih, nama Doni disebut-sebut? Siapa yang jadi bahan gunjingan?” tanpa permisi Mas doni nyelonong dan duduk di sampingku. Aku dan ibu tertawa tapi hanya sebentar kemudian entah kenapa kami terdiam hingga suasana menjadi hening. Kulirik Mas Doni, eh... Mas Doni juga meliriku. Jadilah suasana penuh lirikan. He...he.....

“Kamu udah gedhe ya.. Na, padahal rasanya baru kemarin kita maen kejar-kejaran di rumah Si Mbah.”

“Apa hubungannya Mas?” aku sama sekali nggak ngerti.

“Kamu udah hampir 15 tahun, Na. Udah remaja. Orang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah. So, jangan siakan masa remajamu. Mulailah belajar untuk menjadi sebaik-baik perhiasan.Mudeng?”

Aku menggeleng. 15 tahun? Masih beberapa bulan lagi. Masak Si Mas lupa sih dengan hari kelahiranku. Dasar Mas Doni jelek!

“Na, nggak terasa ya..beberapa hari lagi dah Ramadhan. Waktu begitu cepat berlalu. Kamu tahu , Na dalam hitungan tahun Hijriah usiamu genap 15 tahun karena lahirmu tepat 1 Ramadhan 15 tahun yang lalu.” Ibu membelai sayang rambutku sementara Mas Doni hanya cengar-cengir mendengarkan.

“Kamu tahu siapa yang memberimu nama?”

Refleks aku menggeleng padahal aku ingat kalau ayah pernah bercerita tentang namaku yang bersejarah itu.

“Ibu yang ngasih nama karena ayah sudah ngasih nama masmu. Dwi Anugerah Ramadhona. Artinya kamu itu anak kedua yang dianugerahkan oleh Allah pada ayah dan ibu di bulan Ramadhan. “

“Trus kenapa nama Mas Doni juga ada embel-embel Ramadhon-nya?” tanyaku asal karena aku pun juga pernah menanyakan pertanyaan yang sama pada ayah.

“Eka Al-Fauzan Ramadhoni. Kata ayahmu, Eka itu satu atau anak pertama. Fauzan itu kemenangan. Ramadhoni karena lahir di akhir Ramadhan.”

“Jadi Mas Doni itu anak pertama yang akan mencapai kemenangan setelah ditempa Allah di bulan Ramadhan?” Aku mengambil kesimpulan sendiri.

“Jam berapa sekarang, Na?” Mas Doni selalu begitu. Tanya jam berarti ada jadwal di agendanya. Masku ini memang aktivis sejak SMU..tapi nggak masyalah. Meski jam terbangnya tinggi tetapi tetap ada waktu untukku jika aku mau.

“Jam enam kurang sepuluh, Don.” Tanpa diminta ibu melihat jam tua peninggalan kakek.

“Ada Kajian Ahad Pagi di Al-Qomariah, kamu mau ikut nggak? Kalo’ ikut mandi dulu. Pakai jilbabmu yang paling rapi.” Masku mulai suka mendikte tapi kali ini aku senang kok.

“Al-Qomariah? Masjid di jalan Kartini itu, ya?”

“I ya, Bu. Emang kenapa?”

“Nggak pa-pa, kok! Hanya saja dulu ibu dan ayah melakukan ahad nikah di situ....Ngomong-ngomong ayahmu sedang apa ya di Jerman?”

“ Ya, sedang belajarlah, Bu atau mungkin menyelesaikan risetnya.” Jawabku mengira-ngira saja.

” Ah, nanti ibu mau telepon ah... ngabarin Dona mau pakai jilbab. Jam sepuluh pagi berarti di sana jam berapa, ya?”Ibu seolah bertanya pada dirinya sendiri.


Senin yang kutunggu akhirnya datang juga. Ingin segera kukabarkan pada Wulan bahwa sebentar lagi aku mau menyusulnya untuk berjilbab. Aku akan belajar menjadi akhwat mukminat yang shalihah ...Yes!

Tapi kenapa badanku terasa lemah sekali....ILLAHI, ada apa ini? Napasku terasa berat, sesak maksudku. Susah payah aku mencapai pintu kamar tapi begitu pintu kubuka mataku berkunang-kunang. Ingin rasanya kupanggil Mas Doni tapi entah mengapa suaraku hanya menggema di hati.
Syahdu! Kudengar suara orang membaca Qur’an di dekatku. Mas Doniku.....

Kucoba membuka mata. Memastikan itu suara Masku.

“Dona sudah sadar. Alhamdulillah” suara ibuku.
“Alhamdulillah.” Masku mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan aku, Dek. Kemarin kau kecapekan ya tak ajak muter-muter pake sepeda? Aku lupa kalau kau ndak boleh terlalu lelah.”

Digenggamnya jemariku. Hangat! Kulihat genangan air itu mengalir dan sebagian jatuh di tanganku. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi.

“Sabar, ya Dek! Moga Allah segera memberi kesembuhan untukmu.” Bisiknya pelan di telingaku.

“Don, sebaiknya kamu istirahat di rumah dulu. Biar ibu yang jaga adikmu. Ayo! Kemarin kamu bilang pada Ibu bahwa tubuh kita punya hak untuk istirahat.”

Dikecupnya keningku hati-hati sekali. Lalu tanpa kata-kata Mas Doni meninggalkanku. Ada apa ya? Kalau Mas memanggilku ‘Dek’ artinya sedang terjadi apa-apa padaku yang membuatnya khawatir. Entahlah....

“Cepat sembuh, Sayang!” Ibu membelai rambutku yang kusut.

Kupejamkan mataku. Illahi, apa yang terjadi padaku? Apakah asma dan jantungku kambuh lagi? Kalau memang itu yang terbaik untukku, hamba ikhlas ya Allah! Apabila sakit ini mampu menggugurkan sebagian dosa-dosaku, hamba ridho ya Rabb!

“Na, kamu baik-baik saja, kan?” Ibu sepertinya khawatir melihat mataku yang terpejam. Demi melihat ibu tersenyum kubuka kembali mataku meski sebenarnya terasa berat.

“Insya Allah..Ndak pa-pa, kok! Bu, tolong telfonkan Wulan, Dona ingin ketemu. Dona ingin...”

“Wulan sudah di sini, Nduk. Sekarang ada di luar. Sebentar ya Ibu panggilkan!”
Wulandari Safitri. Sosok yang kukagumi benar ketawadhu’annya itu menghampiriku. Hari ini jilbabnya biru laut serasi sekali dengan warna gamisnya. Hm..masihkah ada waktu untukku untuk belajar menjadi tawadhu’ sepertinya.

“Assalamu’alaikum, Na. Kaifa haluki ya..Ukhti?”

“Ana bikhoir. Alhamdulillah.” Aku tersenyum. Hm..Ukhti, baru ia yang memanggilku demikian.

“Besok tanggal berapa?” pertanyaan yang mungkin tak diduganya

“Bulan Hjiriah?” kutegaskan pertanyaanku.

“ 1 Ramadhan, Na. Hari lahir anti, ya? Tadi pagi Ibumu bercerita.”

“Sekarang jam berapa?”

“Jam setengah empat, Na. Da apa?”
“Sore?”
“Ya”
“Aku belum shalat”
“Orang pingsan gugur kewajibab shalatnya.”
“Sekarang sudah masukl Ashar, ya?”
“I ya”
“Aku mau shalat. Bantu ke kamar mandi ya! Aku wudhu dulu”
“Tayamum aja! Anti belum boleh banyak gerak dan nggak boleh kena air”
“Caranya?”

Wulan membantuku bertayamum. Lalu aku mengerjakan shalat dengan berbaring. Jujur, aku takut sekali...takut ini shalat terakhirku. Ya Allah bilakah kau izinkan aku untuk menyiapkan perbekalan yang cukup sebelum menuju pada-Mu?



Tadi malam aku ngotot minta pulang tapi rupanya dokter belum mengizinkan. Hasil diagnosa penyakitku pun belum keluar. Entahlah...aku menduga bukan hanya jantung dan asmaku yang kambuh tapi ada yang lain. Tapi aku pasrah! Mas Doni pernah bilang kalau nikmat seorang muslim yang tidak pernah dimiliki umat lain adalah ketika ditimpa musibah ia bersabar dan ketika mendapat nikmat ia bersyukur. Mungkin ini adalah saatnya aku belajar untuk menyelami ujian sekaligus nikmat yang diberikan oleh tuhanku.

“Sudah bangun, Dek.” Mas Doni menyibak tirai putih yang menghalangi pandanganku keluar. Ialah yang paling tahu kalo’ aku nggak suka berada di ruang tertutup. Dibukanya jendela mungil yang berada kurang lebih 1 meter dari pintu. Kulihat mawar merah yang masih kuncup menyapaku dari kejauhan. Seolah mawar di taman mini itu menyuruhku untuk menyambut ramadhan pagi ini dengan ceria.

“Subhanallah udara pagi ini sejuk sekali, ya Dek!”

Hm..Dek? Sejak kemarin masku memanggilku demikian. Kedengarannya romantis sekali. Ada apa ya?

“Dek, kemarin ada titipan dari teman-temanmu yang ke sini. Sorry ya... nggak ku bangunkan...habisnya...”
Aku manyun. Mas Doni jelek!

“Eh, marah ya...tuan putri...? Nih, Mas bawakan something special from Solo...jangan manyun gitu jadi jelek lho..”

“Apaan Mas?”
“Coba tebak!”
Aku menggeleng. Males! Akhirnya Mas Doni membukanya tanpa kuminta.

Subhanallah...Alhamdulillah. Masku memang paling baik sedunia. Kupegang jilbab-jilbab halus dari kain pilihan...(aku nggak tahu jenis-jenis kain, mungkin katun). Manis sekali....ada warna-warna favoritku: biru dongker, putih, dan coklat susu, putih, dan hijau lumut. Ukurannya sama :130, pas dengan seleraku.

Hm..hatiku langsung berbunga-bunga. Bahagia dan haru jadi satu. Pokoknya aku merasa tersanjung. “Mas beli di mana? Kok bordirannya bagus banget, sih! Thanks ya, eh..syukron jazakallah!” Ucapku tulus.

“Hm...nitip akhwat yang kuliah di Solo. Jilbab-jilbab ini diproduksi sendiri. Semacam industri rumah tangga-lah . Tapi nggak kalah dengan yang di toko-toko, kan?”
“Boleh dong lain kali aku ke sana. Mborong yang banyak sekalian nanti di jual ke teman-teman. Ongkos Ngawi-Solo berapa ya..Mas?”

“Ih, dasar tukang jualan. Sakit-sakit masih mikir keuntungan.”

“Eh..jangan salah! Insya Allah sebentar lagi akan ada hijrah masal. Teman-temanku bikin kesepakatan mau pake jilbab begitu masuk SMU. Pasti asyik deh! Mas, SMU 2 tu Rohisnya bagus lho..” Tanpa sadar aku mulai menerawang, membayangkan betapa bahagianya jadi anak SMU.
“Sudah, Na. Jangan ngelantur ke mana-mana dulu. Nih lihat hadiah dari teman-temanmu! Ada nasyidnya lho..,buku, Annida edisi terbaru dan... apaan ini?”

He..he..masku menimang-nimang sepasang manset berwarna krem.

Ya Allah terimakasih untuk semua nikmat yang Engkau limpahkan di awal Ramadhan ini. Di hari kelahiranku ini Kau hadiahkan padaku kado-kado istimewa melalui orang-orang yang kucintai. Ya Allah...hantarkan aku bersama orang-orang yang teguh berjuang di jalan-Mu. Ya Rahman terimakasih tlah Kau hadirkan untukku orang-orang yang mencintaiku karena-Mu; untuk ibu yang ikhlas membesarkan kami dengan segala pengorbanan, untuk seorang Mas Doni yang baik, Pak Ali, Mbak Sa’adah, Wulan, dan teman-teman yang senantiasa memberi dukungan padaku untuk belajar dan berma’rifat pada-Mu. Ya Rahim, dengan apa aku akan membalas mereka? Ya Rabb, balaslah cinta mereka kepadaku dengan cinta-MU.”


“Lho..Na, kok nangis, sih? Don, kau apakan adikmu..?” Ibu terkejut mendapatiku tlah berlinang air mata.

“Biasa: anak cengeng!Nunggu Ibu nggak datang-datang...katanya lama sekali. Dah keburu pingin pulang dan pakai jilbab..” mulai deh Mas Doni menggodaku.

“Nih, dah ibu bawakan jilbab babat. Langsung dipakai sekarang nih?”

“I yalah, Bu ini kan sudah 1 Ramadhan...masak mau ditunda lagi.”
Lagi-lagi Masku yang menjawab. Aku hanya berteriak dalam hati: SURPRISE! 

Rindu yang selalu ada u/ nama-nama yang kupinjam tanpa izin, ikhlaskan saja ya!
Ngawi, 1 November 1999 dengan perubahan alur & nama2 tokoh 4tahun kemudian.

0 comments:

Post a Comment