Thursday 26 February 2009

BARA SHALIHAH

0 comments
Malam ini hatiku sedang gerimis. Kangen dengan orang-orang di rumah. Bersyukur pada Allah, aku masih punya mereka. Hanya ruang dan waktu yang memberi jarak. Ya! Kucoba membongkar ingatan bersama ayah dan ibu. Sudut mataku basah, ada aliran deras iringi munajatku. Tiada kata mulia kecuali doa untuk mereka. Kucoba telusuri rangkaian kebersamaan masa kecil. Benar: kasih sayang dan pengorbanan mereka tiada kan pernah terbeli di dunia ini. Ya Allah, kuingin membayar semua itu dengan kesholihahanku. Izinkan aku menjadi jariyah untuk mereka.*

“Adakah orang yang tak mempunyai beban dalam hidup ini? Jangan sekali-kali kau jawab ada : orang gila. Itu bukan jawaban yang kuminta.”


Pertanyaan Atiyatul Izzah, teman masa SMA, dua tahun silam tiba-tiba terngiang di telingaku. Hm...kini baru kusadari bahwa beban adalah sebuah kemestian yang harus ditanggung oleh manusia yang menjalani kehidupan. Kini kucoba menyemai harap akan hadirnya sejumput kekuatan untuk tetap tegak dalam menapaki hidup. Mungkin ini adalah episode yang menuntutku untuk mengaplikasikan beberapa ilmu yang hampir-hampir tak berbekas dalam keseharianku.

“When you said, when you blue, when you really2 blue, don’t forget that you have Allah!** My dear, be patient. I will always love you & support you. And be sure Allah protect and help you if you close to HIM. And our parents need your help. Please pray for them!”

Sms Mbak Eka dua tahun silam mengingatkanku akan tempat bersandar yang paling tepat. Ya, aku masih punya Allah. Diam-diam kuhapus bening-bening kristal yang tlah lama berjatuhan di pipi. Kupupuk segenap keyakinan bahwa Allah begitu mencintaiku. Meski kurasa kali ini ujian itu begitu berat. Ya Allah, help me please!

Di hati ini biarlah kusimpan segala dukaku rapat-rapat. Ah, andai saja berandai-andai itu boleh. Kuingin ada seorang saudara yang tahu dan mendamaikanku dengan untaian taushiyah. But what should I do? Aku tak ingin masalahku menambah beban mereka sedang dakwah yang mereka pikul pun tlah menguras energi yang besar.

“Senantiasa Qta ingat! Ats diri qta...ada hak u/ agama qta, u/diri qta sdr, u/ ortu, u/sahabat,...dst. Shg jngn smp qta spt lilin yg t’bakar. Mbrkn cahaya pd lingkungn tp mbiarkn drnya hancur. Smg qta bs tawadzun.”

Kubaca untuk kesekian kali kubaca taushiyah yang dikirim oleh seorang sahabat via SMS. Harusnya memang aku mampu memanaj diri. Menjadi seperti lilin bukanlah hal yang kuinginkan. Bahkan tak pernah terbesit sedikit pun menjadi seperti itu. Tapi apa yang terjadi saat ini padaku memang seperti lilin. Aku terbakar dan hampir hancur.

Kesedihan meraja di jiwaku. Bagaimana mungkin aku bisa tetap tinggal di Solo sementara di rumah begitu banyak masalah yang tak kunjung selesai. Ya Allah...betapa Kau tahu bahwa tak pernah terbesit niat di hatiku untuk mendzolimi siapapun.

Tugas-tugas kelembagaan yang selalu hadir tiap kali aku hendak pulang kadang kurasa begitu berat. Aku yang memang belum sepenuhnya faham akan fiqh prioritas seringkali bimbang. Kutunaikan tugas-tugas itu dengan hati yang meradang. Bayangan ibu senantiasa memenuhi pikiranku.

“Apakah kepulanganmu ke rumah begitu diperlukan?”

Pertanyaan yang hampir selalu sama. Dan aku hanya bisa mengangguk sedih tanpa penjelasan apapun. Teman-temanku telah begitu hapal kebiasaanku tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya kulakukan di rumah.

Tak banyak memang. Hanya saja aku tak akan pernah bisa tenang jika seminggu saja tak pulang. Bayangan ibu akan selalu lekat di keseharianku. Ibu yang hampir tak pernah mengeluh. Ibu yang selalu berusaha tampak tegar di hadapanku. Ibu yang tak henti-hentinya memompakan semangat kepadaku meski dalam dirinya seringkali tersimpan keletihan yang sangat.
ﺏﻱﺖ


Kabar baik, Bunda?
Smg malam ini penuh barokah.
& qta sll bsyukur kpd-Nya.
Doakan nanda bisa jd so2k yg shalihah
agar bs brmanfaat bgi smua
& bs mbuat Bunda trsenyum bangga.


Usai mengirim SMS, kukenakan jaket peninggalan Mbak Eka. Udara malam ini benar-benar dingin. Hujan yang seharian turun seperti tak memberiku jeda agar bisa sedikit menepis gundah. Hampir selalu begitu. Aku tak mengerti mengapa percikan air yang jatuh senantiasa menghadirkan romantika kenangan yang kini lebih cenderung menguras air mata. Kenangan indah yang tak akan terulang. Dan ternyata keindahan itu begitu mahal untuk kumiliki saat ini.

Desember yang basah tlah sampai ke penghujungnya. Biasanya di akhir tahun masehi ada Mbak Eka di sampingku, mengingatkanku untuk tidak larut dalam hingar bingar menyambut tahun baru. Kebiasaan jahiliyah, katanya. Lebih banyak menimbulkan mudharat. Sedangkan setiap 1 Muharram belum tentu kami, yang mengaku umat Islam, menyambutnya.

Aku pura-pura cuek ketika empat tahun yang lalu kakak perempuanku itu memaparkan argument yang jitu. Diam-diam aku sepakat dengannya : bahwa lebih baik pesta di penghujung tahun itu diganti dengan evaluasi diri saja. Setelah itu setiap dari kita hendaknya menata ulang planning setahun ke depan agar target berprestasi di setiap sisi kehidupan bisa tercapai.
Ayah dan Mas Dwi hanya tertawa ringan. Mereka sengaja membiarkan Mbak Eka berbicara panjang lebar.

“What it is to be, it is up to you, Eka,” begitu prolog yang digunakan Mas Dwi untuk menyatakan ketidaksepemahaman pendapat, “So, menjadilah dirimu dan janganlah kau mempengaruhi kami. Ingat, tahun baru hanya sekali setahun. Senang-senang sedikit nggak ada salahnya”

Ibu dan Catur, si bungsu yang saat itu masih kelas 5 SD, berada di pihak yang netral. Ya! Tak ada gunanya saling memaksakan pendapat bila tak ada titik yang bisa mempertemukan sudut pandang. Lebih baik pesta tahun baru tetap diadakan dengan masing-masing pemaknaan. Begitulah…tahun berikutnya kebiasaan begadang di pergantian tahun itu tetap berlaku sampai akhirnya terjadi insiden yang meluluhlantakkan jiwaku
ﺏﻱﺖ

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***?” Mbak Eka sengaja mengulang perkataan itu lantas ia pun membelai kepalaku yang hampir empat tahun tertutup selembar kain lebar, “Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”

Meski sangat terlambat, aku tergugu menyadari kalimat perpisahan kakak perempuanku. Ia pergi saat aku merasa benar-benar membutuhkan kehadirannya. Ibu, wanita yang sangat tegar itu, memelukku erat. Mengingatkanku bahwa Mbak Eka adalah titipan Allah.

“Ikhlaskan saja, Nak! Doakan mbak Eka-mu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.”
Mbak Eka pergi tepat setahun setelah ayah tak lagi ada di sisi kami. Hampir-hampir aku tak kuat menanggung beratnya ujian. Ya! Andai saja aku tak ingat janji-Nya di ayat terakhir surat Al-Baqoroh; bahwa Dia tak kan menguji hambanya di luar batas kesanggupan, mungkin aku sudah berganti haluan seperti Mas Dwi yang kini tinggal di bui.
ﺏﻱﺖ

Kami berpagi hari dan berpagi hari pula kerajaan milik Allah. Segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Ilah melainkan Dia, dan pada-Nya tempat kembali. Kami berpagi hari di atas fitrah Islam, di atas kata keikhlasan, di atas agama nabi kami : Muhammad saw., dan di atas millah bapak kami : Ibrahim yang hanif. Dan ia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik.

Kucoba memaknai wirid al-matsurat dengan hati yang bening, menghadirkan selalu semangat tiap pagi hingga petang. Mengikhlaskan segala kejadian yang tlah ditetapkan-Nya. Meyakini bahwa setiap apa yang tlah digariskan-Nya adalah yang terbaik.

Kenyataan pahit yang kualami seperti kisah-kisah yang ada dalam sinetron. Rasanya tragedi yang beruntun dalam keluargaku adalah rentetan kisah dalam sinetron yang di-skenario dengan sangat sempurna. Dan bukankah memang segalanya tak pernah bisa lepas dari skenario Allah, Tuhan Semesta Alam? Bila saja berandai-andai itu boleh; ingin sekali aku lari dari kenyataan. Tapi itu tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

Sedih yang begitu menghunjam. Seketika kurasa perih yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kubuka sms di HP ayah. Sms di tanggal 1 Syawal itu dikirim oleh seorang wanita.
Bah, di hari yang fitri ini aku minta maaf.
Ingin sekali aku ada di sampingmu
tapi apalah dayaku. Aku hanya wanita keduamu
Tapi aku sangat mencintaimu, Bah.


Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Astagfirullah….Kulantunkan istighfar berulang-ulang. Menepis dzon yang buruk tentang ayah. Bagaimana mungkin ayah, sosok yang senantiasa bijak di mataku, ternyata berkhianat. Ayah, seorang tokoh masyarakat yang kredibilitasnya sebagai seorang pendidik tak pernah kami ragukan, ternyata berselingkuh. Ayah, yang meyakinkan ibu bahwa jilbab yang menutup seluruh tubuhku tak akan menghalangiku untuk menjadi gadis lincah dan berprestasi, ternyata berpaling dari wanita yang telah melahirkanku.

Ingin sekali aku mencaci maki diriku sendiri yang terlambat mengetahui berita buruk itu. Aku yang dalam hati sering memproklamirkan diri sebagai aktivis dakwah kampus ternyata terlambat menyadari badai yang menghantam bahtera rumah tangga yang telah dibina lebih dari 23 tahun. Di mana kepekaanku? Di mana empatiku ketika tiap kali pulang kulihat ayah jarang di rumah. Bahkan aku tak sedikit pun menaruh curiga ketika ibu semakin kurus. Kupikir ayah sibuk dengan bisnis kayu jatinya sedangkan ibu semakin langsing karena diet dan rajin ikut senam kebugaran dua kali dalam seminggu.

Di mana tanggungjawabku? Aku yang kuliah hanya beberapa kilo dari rumah tak mampu memberikan perhatian yang lebih pada keluarga. Mana aplikasi dari materi birul walida’in yang beberapa kali kuberikan pada adik-adik mentorku di SMA? Mengenaskan sekali ketika agenda kampus yang padat membuatku jarang pulang. Padahal jarak Solo-Sragen tak ditempuh dalam waktu yang lama. Tidak seperti Mbak Eka yang kuliah di STAN. Tidak pula sama dengan Mas Dwi yang kuliah di ITB.
Ketika aku minta maaf pada Mbak Eka dan berkata bahwa aku-lah yang harus disalahkan dalam musibah yang membuat ayah akhirnya pergi dari rumah, Mbak Eka menggenggam erat tanganku.

“Segala yang terjadi tlah menjadi ketetapan Allah, Dik. Jangan pernah menyalahkan diri. Jadikan ujian ini kendaraan yang megah yang akan menghantarmu bermunajat, bermesraan dengan Allah Yang Maha Penyayang. Mbak tahu, kau sangat terpukul tapi mbak sangat yakin kau adalah gadis yang tegar.”


Mbak Eka, kakak yang selalu menjaga perasaanku, saat itu sudah menyelesaikan tugas akhirnya. Tinggal menunggu masa wisuda dan penempatan kerja.
ﺏﻱﺖ


Bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
meninggalkan dirimu….****


Entah bagaimana awal bermulanya. Mas Dwi tak mampu lagi menahan emosi. Melihat Retno, wanita pemicu nyala api di antara ayah dan ibu, hadir di sidang perceraian, kakak laki-lakiku yang gagah tiba-tiba berlari dan menghunjamkan pisau tajam ke dada wanita itu.
Wanita itu roboh. Ia segera dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak bisa diselamatkan. Sidang perceraian ditunda. Beberapa hari berikutnya memang ada persidangan, tapi tak lagi di pengadilan agama. Ya! Sidang pengadilan akhirnya memutuskan masku menghuni penjara atas tuduhan pembunuhan.

Masku memutuskan naik banding. Kutelepon Mbak Eka untuk segera pulang dan mencarikan pengancara. Tapi ternyata Allah punya skenario lain. Bus Patas yang ditumpangi kakakku bertabrakan dengan truk tronton saat hendak menyalib bus antar propinsi di tikungan. Tak banyak yang selamat. Masih beruntung Mbak Eka sempat di bawa ke rumah sakit. Masa koma telah lewat. Tapi ternyata itu adalah keadaan yang dihadiahkan-Nya agar kami bisa benar-benar mampu menyaksikan kepergiaannya yang tenang.

Ada haru yang senantiasa menitikkan butir-butir bening di mataku tiap kali aku mengingat kata-kata terakhirnya.

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***? Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”
ﺏﻱﺖ


“Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras yang tidak akan mengelak perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan.” (Q.S At-Tahrim : 6)

Desember yang basah tlah benar-benar sampai di penghujungnya. Terompet tahun baru tlah duabelas kali terdengar. Kulepas jaket Mbak Eka, membiarkan dingin menyapa kesendirianku.

“Ada tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir sampai mati.”
Tiba-tiba suara Mbak Eka saat aku menangis di pelukannya kembali terngiang.

“Amal jariyah, doa anak yang shalih dan ilmu yang bermanfaat.”
Kubuka jendela kamar kos perlahan. Refeks, tatapku menengadah menatap langit tak berbintang. Gelap pekat; terlihat awan menggumpal. Gerimis kecil masih berjatuhan.

“Dik Tri, dalam sebuah hadist riwayat Bukhari & Muslim, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”

“Bilakah aku menjadi sosok itu, Mbak?” retoris, tanyaku saat itu terucap sendu.

“Ya, bila saja kau punya tekad yang kuat. Lalu biarkan azzam itu menjadi bara. Jagalah bara shalihahmu agar terus menyala. Wanita yang didunianya shalihah akan menjadi cahaya bagi keluarganya, melahirkan keturunan yang baik dan jika wafat di akhirat akan menjadi bidadari****.”
ﺏﻱﺖ


Ayah & ibu, ………
Ini impianku :
ingin menjadi anak yang sholeh
Menolong ayah,
membantu ibu
Terus berbakti di negeri abadi…


O, Tuhan beri kekuatan iman….
Kepada kedua ayah dan ibuku
Kau ampunkan segala kelemahan
Senantiasa dalam bimbingan-Mu………
…******


Januari!
Awal bulan pertama dalam hitungan masehi kali ini berhasil kulewati tanpa hingar bingar. Tiada ayah di sisi. Tidak pula Mbak Eka, ibu, Mas Dwi, dan Dik Catur. Kebersamaan dengan mereka dalam satu waktu adalah kenangan yang akan selalu menyalakan bara di hatiku.
Hari ini aku pulang ke Sragen. Minggu tenang selama 7 hari sebaiknya kuhabiskan di rumah saja. Menemani Dik Catur belajar. Membantu ibu menjaga toko kelontong kami yang mulai berkembang. Usai Ujian Akhir Semester kan kutengok Mas Dwi di LP. Menyemangatinya untuk selalu berbenah.

Ya Rabb, sucikan selalu niatku
agar tiada lagi resah di jiwaku
Jaga asaku menggapai jannah-Mu
Maka : izinkan aku menyalakan bara shalihah sepanjang hayatku.

ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ

Ngawi: sebuah rumah yang sangat nyaman,
02 Januari 2006 : 12.02
Kado wisuda (yang telat tapi tulus) buat masku : maafkan aku tak hadir di wisudamu. Jazakumullah khoir untuk semangat yang selalu dipompakan; terkhusus untuk Bulik Hery & 2 mujahidah kecilku : Rohmah &Nahdah.
* : gubahan sms dari Mbak Ferriya, yang menyemangatiku menyelesaikan 3 tulisan.
** : bait nasyid dari SNADA
* ** : perkataan Mr. Kobayashi pada Toto-Chan yang sering ditirukan Dek Wiwit,dkk.
**** : bait dari “Bila Waktu Tlah Berakhir” (Opics)
***** : kata-kata di E-book Islami di CD hadiah kuis dari Humas SKI FKIP UNS.
******: bait nasyid di winamp, nggak tahu siapa yang menyenandungkan.











































0 comments:

Post a Comment