Monday 16 February 2009

MELATI MEWANGI HATI

1 comments
Ibu kulo nyuwun arto
Ing njawi wonten kere
Kere lumpuh lan wuto
Sambat ngelak lan luwe

Iki angger wenehno
Sega iwak lan banyu
Kerene kandanono
Kongkon rene saben minggu


ENTAH mengapa bayangan nenek selalu berkelebat di hadapannya tiap kali ia melewati bolevard kampus hijaunya. Bahkan ia pun tak mengerti mengapa telinganya seolah menangkap tembang yang seringkali dinyanyikan bersama ibu di masa kecilnya. Kenangan manis itu menyapanya tanpa diminta, membuatnya terpaku sejenak. Kemudian baik dengan lapang dada atau pun terpaksa ia akan merogoh saku tasnya lalu mengambil beberapa koin logam. Sebentuk senyumnya akan mengembang beriringan dengan perpindahan beberapa koin logam ke topi caping yang diletakkan tepat di hadapan perempuan-perempuan tua yang selalu duduk di trotoar jalan hampir setiap waktu dhuha.

Sedikitnya ada tiga orang perempuan tua yang menengadahkan tangan, menampakkan wajah penuh harap akan belas kasihan para pejalan kaki yang berjalan menuju ke bagian dalam kampus. Dan ia adalah salah seorang yang tak pernah tidak memperhatikan para perempuan tua seumur neneknya.

Bagaimana mungkin aku membiarkan nenek itu berhampa tangan sedang Ibu selalu membekaliku uang berlebih setiap aku berangkat dari rumah. Sisi batinnya selalu memprotes rasa jemu yang kadang hinggap dan mengeruhkan dzonnya. Kadang hatinya mengatai mereka sebagai orang-orang malas yang senang menggantungkan nasib pada orang lain. Kadang ia pun jengkel mendengar rengekan yang sangat dihapalnya, “Den Ayu, kula nyuwun paring-paring.”

Tapi toh ia akan tetap memberi mereka tidak kurang dari dua ratus rupiah per orang. Kalkulasi matematika atas sejumlah uangnya yang begitu saja berpindah tangan tak pernah diingatnya. Karena memang ia menyadari bahwa dalam setiap harta yang dimilikinya ada bagian untuk orang lain. Tiada pilihan selain melafalkan istighfar yang akan mengembalikan ikhlasun niatnya. Bukankah ia sudah bertekad untuk berbagi dengan siapa saja yang memerlukan baik diminta maupun tidak?

“Nduk, bagaimana perasaanmu jika kau ada dalam posisi mereka?” pertanyaan retoris Ibu membuat dadanya lapang dan ia akan sekuat tenaga menyingkirkan prasangka yang mengganggu benaknya.

“Analogikan saja mereka dengan dirimu yang selalu menengadahkan tangan pada Ibu tiap pekan!” Nasehat yang dinilainya sangat bijak. Mengingatnya sama halnya dengan memutar kenangan masa kanak-kanaknya. Begitu mulia apa pernah yang diteladankan ibu kepadanya.

“Bu, Min Gesot datang!” lapornya jika pengemis ‘langganan’nya telah nampak di pelataran rumahnya dengan pakaian compang-camping plus wajah memelas. Rutinitas yang menghiasi hari minggu masa kanak-kanaknya membuatnya senang menyanyikan lagu tentang kere yang datang ke rumahnya karena lapar dan haus.

Ibu kulo nyuwun arto
Ing njawi wonten kere
Kere lumpuh lan wuto
Sambat ngelak lan luwe

Iki angger wenehno
Sega iwak lan banyu
Kerene kandanono
Kongkon rene saben minggu


Ibu akan tersenyum, memberinya bungkusan nasi dan plastik berisi air putih. Dan seperti yang diajarkan ibu di hari-hari sebelumnya ia segera membawa bungkusan itu lalu menyerahkannya pada pengemis dengan wajah ceria. Ibu pernah menasehatinya; bahwa tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Ia tak mengerti. Baru setelah duduk di bangku SD dan belajar peribahasa, ia mulai belajar mencerna kebenaran dari nasehat ibu; bahwa memberi itu lebih baik daripada menerima.



“Yas, kamu ada uang?” bisik Vika, teman sekosnya usai sholat duhur.

Ia hanya tersenyum. Vika masih berhutang sepuluh ribu rupiah. Jika ia mau meminjam kepadaku lagi berarti rencanaku untuk membeli buku Agar Bidadari Cemburu Padamu-nya Salim A.Fillah akan tertunda lagi. Ia membantin. Angin yang menerobos dengan leluasa ke Masjid Nurul Huda tak mampu menularkan kedamaian. Ada bimbang yang berkecamuk di hatinya. Penting mana antara membeli buku atau menolong teman? Itsar, Yas! Ia berusaha untuk menepis keegoaannya.

“Yasmin!” Vika mengeraskan suaranya.

“Eh...i ya..i ya.... kenapa Vik?” Ia tergagap.

“Aku lupa bawa uang. Padahal harus membayar uang fotokopian ke Ayu. Kamu bisa tolong aku, nggak? Please deh...Yas! Insya Allah besok aku kembalikan.”

“Berapa?” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutnya.

“Dua puluh ribu. Kamu punya, nggak?”

“Aku hanya bawa uang sepuluh ribu. Kekurangannya pinjam teman yang lain ya! Afwan, aku harus ke kampus sekarang. Ada kuliah . Yuk, assalamu’alaikum.” Ia menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan pada Vika. Dengan terburu-buru ia segera menuruni tangga masjid dan membawa langkahnya menuju kampus yang hanya berjarak beberapa meter dari masjid Nurul Huda. Tapi baru beberapa langkah dari pintu masjid, Ivan, seorang bocah usia lima tahunan telah menantinya.

“Mbak, minta uangnya untuk beli nasi!” rengekan yang sangat dihapalnya. Hm...selalu begitu. Dan kali ini ia tidak berkomentar apa-apa. Biasanya ia akan menasehati bocah kecil itu dengan beberapa kalimat tapi kali ini ia hanya berlalu dengan kesedihan yang mendalam. Siapa orang tua bocah kecil itu? Siapa yang mengajarinya untuk ‘bekerja’ di kompleks masjid kampus? Ia hanya mengeluh dengan pertanyaan yang masih juga sama dengan hari-hari kemarin.



Di sepanjang jalan, di sela-sela kota, kulihat tangan tengadah
Wajah lelah resah, tubuh lusuh berpeluh, menunggu para penderma
Jalan hidup tlah meredup, ujian dari Allah
Ladang cinta sang penderma, Sbagian tanda taqwa


Balada Dhu’afa dari Mupla mengalun lirih di kamar kosnya yang sempit. Diletakkannya diktat kuliah yang belum juga sempat dibacanya. Bayangan Min Gesot yang datang ke rumahnya dengan pakaian compang-camping kembali mengusiknya. Di mana rasa empati yang pernah diinternalisasikan dalam jiwanya? Di mana kepedulian yang dulu mewarnai hari-harinya? Di mana tekadnya untuk senantiasa memberi, baik dalam keadaan ringan atau berat.

“Nduk, kamu tahu kenapa Ibu memberimu nama Yasmin Rizki Ramadhani?”
Ia menggeleng ketika tiba-tiba ibu menyodori pertanyaan tentang sejarah nama uniknya.

“Yasmin itu melati. Bapak suka sekali dengan bunga itu karena meski kecil dan kadang tersembunyi tapi wanginya mampu mengikat hati. Putihnya suci dan nggak menyolok hingga tak pernah membuat jemu orang yang memandangnnya. Rizki Ramadhani karena kau lahir di bulan Ramadhan.”

Hm...nama yang cantik sekali. Pasti bapak orang yang romantis. Pikirnya sederhana.
“Kau tahu, Nduk, nama adalah do’a. Ibu dan bapak berharap kau mampu menjadi seperti melati.”
Astaghfirullah! Tiba-tiba rasa bersalah memenuhi ruang hatinya. Akankah ia mampu untuk mewujudkan pencitraan melati pada dirinya? Akankah ia mampu mencerna kata-kata yang sering diberikan pada adik-adik asistensinya? Bahwa sebaik-baik mukmin adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya.

“Setiap muslim adalah bersaudara Ibarat tubuh, kita adalah satu. Jika ada satu bagian saja yang sakit yang lain ikut merasakan.” Kalimat yang diucapkannya sebagai prolog waktu menasehati adik tingkatnya yang cenderung apatis dalam setiap masalah di LDK kembali terngiang.

Mengapa kau mengatakan apa yang tidak kamu perbuat, Yasmin?
Ia menyudutkan dirinya sendiri. Ternyata teori tentang ukhuwah yang sering diagung-kannya masih sangat sempit dalam pemahamannya. Ia hanya berpikir, bagaimana mengaplikasikan teori itu sebatas pada orang-orang yang dicintainya? Setiap muslim adalah bersaudara. Meski tidak saling mengenal. Jadi selama ini aku belum mampu memenuhi hak saudara-saudaraku. Kesimpulan yang sungguh dengan terpaksa tak dibantahnya.



Ketika diriku bercermin di kaca akau jadi malu
Melihat bayangan yang berjilbab putih itulah diriku
Tapi nyatanya hati dan tingkah lakuku
Belum sesuai dengan pakaianku.....


Tanpa sadar bibirnya menyenandungkan bait nasyid dari Bestari yang dihapalnya bersama teman-teman masa SMP-nya. Seperti hari-hari yang lain, ia mengenakan jilbab warna putih. Ia tampak bahagia hari ini. Mungkin efek dari supplai energi mabiru yang diikutinya semalam.
Hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang menjadi seputih melati. Menghilangkan segala tuntutannya untuk diperhatikan. Ia berjanji untuk menjadi muslimah yang baik, yang mampu memberi manfaat bagi siapapun. Ia berjanji untuk lebih peka terhadap lingkungan. Ia berjanji untuk membumikan teori tentang ukhuwah yang telah dipelajari sejak ia masih kelas tiga SMP.

“Yas, mau berangkat ke kampus lagi, ya?” Pertanyaan Vika sedikit mengejutkannya. Ia melirik sahabatnya dari cermin.

“I ya, Vik. Abis kuliah nanti aku langsung pulang ke rumah lho... Insya Allah Senin pagi aku kembali ke sini.”

“Pulang lagi? Apa nggak capek?”

“Kamu mau ikut?” tawarnya tulus.

“Hm..lain kali aja. Tugasku menumpuk. Jangan lupa bawa oleh-oleh ya!”
“Insya Allah.” Jawabnya serius.


Tresno iki dudu mung dolanan
Kabeh mau amargo kahanan
Sing tak jaluk amung kesabaran
Mogo Gusti paring kesempatan


Ia tersenyum mendengar suara bocah usia SD yang berdiri tak jauh dari joknya. Kenapa bocah ingusan juga senang dengan lagu campur sari macam itu? Wajahnya seketika berubah. Kasihan sekali .bocah itu. Ya Allah....berikan kasih sayang dan cinta-Mu kepadanya. Ia berdoa tulus. Lalu bunga-bunga empati yang dikejawantahkan melalui kepingan koin lima ratusan pun diberikannya.

Bus Sumber Kencono jurusan Jogja-Surabaya melaju cepat. Sampai di daerah Pilang Sari, Sragen, bus berhenti menurunkan beberapa penumpang dan mengganti- kannya dengan penumpang baru plus pedagang asongan.

“Buah...buah.” seorang ibu menawarkan dagangannya.
Ia segera menyiapkan selembar uang bergambar Kapitan Pattimura.

“Buahnya...Mbak. Semangka, nanas, melon...”

“Melon Bu’, kaleh.” Ia ingat Mbah Putri yang kadang kesulitan mencari buah untuk menurunkan darah tingginya. Dan bukankah melon adalah salah satu buah ‘favorit’ Mbah Putrinya?

“Buahnya...Mas! Semangka, nanas, melon, kates, bengkoang, jeruk....”
Diperhatikannya sejenak ibu penjual buah yang berusaha menjaga keseimbangan. Ia berpindah dari bus demi bus untuk menawarkan dagangannya. Subhanallah. Betapa kerasnya kehidupan ini hingga seorang ibu pun turut membanting tulang demi menghidupi diri dan mungkin anak-anak yang dicintai. Ya...Allah ampuni aku bila selama ini kurang menghargai tiap tetesan keringat kedua orang tuaku. Batinnya bergemuruh...kemudian air yang menggenang di pelupuk matanya terasa begitu panas.

Bus Sumber Kencono masih melaju kencang. Ia mencoba memperbaiki posisi duduknya. Disandarkan tubuh letihnya pada sandaran jok. Ia mencoba untuk menikmati perjalanannya dengan memejamkan mata. Jarak Sragen-Ngawi tinggal beberapa kilometer. Bayangan Ibu di rumah yang menunggu kedatangannya terlihat begitu jelas. Bait-bait yang disenandungkan Salsabila Rafflesia tiba-tiba terngiang di telinganya.

Hari demi hari dilalui
Isak tangis terkadang menyayat hati
Namun ia tetap tabahkan diri
Moga syurga kan selalu menanti
Derita demi derita
Dilaluinya dengan tabah
Tak pernah ia rasakan lelah
Demi untuk membesarkan kita semua



“Ukhuwah itu degup penuh makna yang m’ngalir indah b’sama darah b’awankan ketsiqohan m’nembus kuras prasangka dlm hati”

U-khu-wah! Ia mengeja kata itu berkali-kali. SMS dari kakak kelas SMA yang kini kuliah di Surabaya itu coba dipahaminya. Ukhuwah itu indah. Ya betul, ukhuwah itu indah. Paling tidak, jalinan yang terjaga atas nama cinta karena-NYA itu mampu membuatnya percaya bahwa keindahan itu memang ada dan akan terus tumbuh tanpa tendensi apa-apa. Ia adalah salah satu di antara orang yang merasa beruntung karena ‘dibesarkan’ dalam media tumbuh yang sehat. Ya, ukhuwah memang ada karena kasih sayang-Nya.

Betapa ia tak pernah memungkiri bahwa dalam bingkai ukhuwah ia mampu belajar banyak hal. Cinta, perhatian, dan kasih sayang mungkin adalah hal yang biasa ia temukan. Dalam bingkai ukhuwah ia pun menjadi mengerti; bagaimana cara memanagemen hati agar senantiasa lapang menerima segala kenyataan yang kadang di luar perkiraan; bagaimana menyampaikan kritik agar tidak tidak menjadi sayatan yang menyakitkan; bagaimana cara bersikap itsar dan memenuhi hak-hak saudara sebagai sesama muslim.

Hm...ukhuwah itu indah. Sungguh! Tanpa ukhuwah, mungkin ia sudah tercebur dalam dunia kelam. Secuil perhatian dari saudara-saudaranya yang jauh di seberang adalah pompa semangat yang membuatnya tetap optimistis memandang masa depan. Ketika ia merasa putus asa, seringkali Allah menegurnya via taushiyah seorang ikhwah. Ada haru yang segera membuatnya tersadar bahwa masih banyak orang yang menerima ujian yang lebih berat. Kemudian ia pun kembali yakin bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Ukhuwah itu indah! Ia pun bertekad untuk membagi keindahannya dengan siapa saja. Dengan para anak jalanan; pengamen, pedagang asongan dan saudara yang belum dikenalnya. Ia ingin merasakan segala suka duka yang mewarnai hari-hari mereka di sepanjang jalan.
Ukhuwah itu indah. Maka di pertengahan Sya’ban ini pun ia tlah menyiapkan kado untuk kaum dhu’afa yang sering dijumpainya. Meski mungkin kecil, ia tlah menyisihkan uang sakunya demi sembako yang akan diberikannya pada beberapa orang yang secara tidak sengaja mengajarkannya makna perjuangan. Ya, mereka adalah para ibu yang sering dilihatnya menyapu dan membersihkan kawasan Kampus Hijaunya.

Ukhuwah itu indah. Itulah mengapa ia dan teman-teman kampusnya akan menggelar baksos di kawasan kritis yang menjadi target pemurtadan. Ia dan teman-temannya akan berjuang untuk menyelamatkan akidah yang tergadai karena kemiskinan.

Ukhuwah itu indah! Karenanya ia ingin membiaskan keyakinan kepada setiap orang yang merasa terbebani oleh ujian hidup dengan kata-kata yang pernah dihadiahkan seorang ikhwah,

“Sbnrnya ktk 4JJI mmbr mslh, itu a/ bukti cinta-NYA pd hamba-NYA. Mk jk qta ttp huznudzon, Isy a/ byk hal yg akn qta dpt. KEIMANN, KSBRN, KDWSAAN, & KECINTAAN-NYA. Hny pd 4JJI qta bsrh dr.” 
.Ukhuwah itu indah! Ingin sekali ia membisikkan kata itu kepada siapa saja yang ditemuinya.



Tiada kata indah seindah kata ukhuwah
Dalam sebuah jalinan persaudaraan Islam
Jalinan abadi di sisi Tuhan
Berawal dari sebuah perkenalan


UKHUWAH dari Suara Persaudaraan mengalun lirih di kamar kos Yasmin. Gadis 20 tahun itu mengenakan jilbab putih berbodir bunga sederhana. Senandung tentang Ukhuwah dari SP kini membuatnya mencium wangi melati. Yasmin ingin memiliki kesucian dari kuntum-kuntum mungilnya. Ingin benar ia segera membagi rizki yang dimilikinya di bulan ramadhan ini. Ya! Agar melati mewangi hati di syahrul tarbiyah ini. 


Ngawi, 2 Oktober 2004:11.22
Bingkisan buat Bundaku di Villa Gerih Permai
Seputih Cintaku yg mewarna melati ‘tuk Ivan Cs dan API di bus Jurusan Surabaya-Jogja
Untuk teman-teman di SIMPATI : yo yo ayo’ terus nulis tapi jangan lupa baca baca & baca
To : Mbak En & A’Hendra : Jazakumullah atas  &nya.

1 comments:

Post a Comment