Wednesday 25 March 2009

PANGGILAN DAN KENYAMANAN

0 comments

“Tidak suka dipanggil dengan sebutan ‘boss/pak..”

Saya tersenyum membaca profil salah seorang al-akh. Ia adalah salah satu anggota di sebuah ‘tim dakwah’ yang usia di kampusnya terpaut dua angkatan di bawah saya. Saya tidak menyangka ia akan menuliskan hal tersebut dalam form yang saya bagikan sebelumnya. Dan hari ini, setelah lima bulan berlalu, saya minta maaf kepada al-akh, anggota tim yang lain. Saya merasa bersalah karena beberapa waktu terakhir sering memanggilnya dengan ‘Dik’. Panggilan yang sebenarnya biasa saya gunakan untuk memanggil adik-adik saya, baik ikhwan/akhwat yang berasal dari tanah kelahiran saya, Ngawi.

Ada yang salah dengan panggilan tersebut?


Jawabannya tergantung dari masing-masing personal dan apa yang ada di dalam hatinya. Sebenarnya saya merasa nyaman saja memanggil teman-teman yang usianya terpaut beberapa tahun di bawah saya dengan panggilan ‘Dik’. Bagi saya, panggilan ‘Dik’ ke akhwat menimbulkan kedekatan, sedangkan memanggil ‘Dik’ pada ikhwan akan memperjelas batas; bahwa ia lebih muda daripada saya. Dengan begitu –awalnya- saya fikir lebih aman dalam berinteraksi. Saya tidak mempunyai maksud apa-apa.

Ketika ada teguran yang datang, ataupun ada pertanyaan yang terlontar dari seorang sahabat tentang alasan mengapa saya memanggil al-akh dengan panggilan tersebut, saya menjawabnya dengan alasan di atas. Meskipun seorang ukhti di Surabaya mengatakan bahwa memanggil ikhwan dengan panggilan ‘Dik’ adalah salah satu bentuk pelanggaran, saya tetap melakukannya. Menurut saya tak ada yang salah dengan panggilan tersebut.

Saya sadari bahwa panggilan yang kita berikan pada orang-orang di sekitar haruslah panggilan yang baik. Bukankah Rasulullah pun mengajarkan untuk memberikan panggilan yang baik pada orang lain? Jadi bukan asal kita merasa nyaman, tapi lebih dari itu kita pun harus memperhatikan perasaan orang yang kita panggil.

Di kalangan aktivis –ikhwan/akhwat-, mungkin panggilan yang paling aman adalah ‘Akhi/Ukhti’. Meskipun di beberapa tempat kebiasaan itu kadang tidak berlaku untuk semua usia. Daerah Jogja misalnya. Berdasarkan cerita dari teman-teman di UGM, mereka terbiasa memanggil ikhwan dengan sebutan ‘Pak’. Teman-teman Indonesia Timur –yang saya tahu akhwat Ternate- memanggil ikhwan yang lebih tua dengan panggilan ‘Kak’, sedangkan teman-teman di Padang mempunyai panggilan ‘Uda/Bang’. Jadi, memang tak ada keharusan memanggil apa pada ikhwan/akhwat. Pun memanggil dengan panggilan ‘Akhi/Ukhti’. Apalagi di khalayak ramai, panggilan tersebut cenderung kita minimalisasi.

Kembali ke masalah yang saya sampaikan di awal. Apakah ada yang salah dengan panggilan ‘Dik’ yang saya tujukan pada seorang al-akh? Kurang ahsan-kah panggilan tersebut? Entahlah...tiba-tiba saja saya merasa harus mengubah cara saja memanggil al-akh itu, meskipun secara usia ia terpaut beberapa tahun di bawah saya. Ya! Saya khawatir ia tidak ridha terhadap panggilan yang saya berikan. Saya masih ingat, dalam SMS terkadang ia masih sering memanggil saya dengan ‘Ukh’. Hanya sekali dua kali ia memanggil saya dengan ‘Mbak’. Saya kemudian berkesimpulan bahwa tidak semua ikhwan –yang secara usia lebih muda- senang dipanggil ‘Dik’, seperti halnya saudara saya yang tidak suka dipanggil ‘Boss/ Pak’

Adalah hal yang wajar memanggil orang dengan panggilan yang membuat kita merasa nyaman dengan panggilan tersebut. Namun, ada baiknya kita berfikir ulang dengan panggilan yang kita berikan. Saya khawatir panggilan yang kurang tepat bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Bagaimanapun kita harus menjaga diri dan tahu dengan siapa kita bergaul. Alhamdulillah, saya pun sedikit lega ketika akhirnya al-akh yang beberapa waktu terakhir saya panggil ‘Dik’ ternyata tidak keberatan dengan panggilan tersebut.
Kmrn sya ngk OL ki & jga blm bca psn mbk. IA sya ngk mslh dipnggil DIK, toh srg dpngl dik ma mbk Iin. Mlh lbh nyaman dipnggl dik. Tfdhli mbk bety mo mangl apa.


Wisma Kemuliaan, 6 Oktober 2007


0 comments:

Post a Comment