Berbekalah untuk hari yang sudah pasti
Sungguh kematian adalah muara manusia
Relakah dirimu menyertai segolongan orang
Mereka membawa bekal sedangkan tanganmu hampa....
(Suara Persaudaraan)
Malam itu, 26 Desember 2004, selepas Isya’ ada SMS yang masuk ke hp saya. Meski dengan mata yang terkantuk-kantuk, saya raih hp yang tergeletak di dekat bantal kemudian membukanya dengan segera. SMS dari Bude saya, “Nduk, tolong doakan masmu. Bude sangat sedih karena telp nggak bisa dihub.”
Saya tercenung sejenak. Apa yang terjadi? Refleks, tangan saya segera membuka kembali sms yang dikirim kakak sepupu pada tanggal 4 Desember 2004. Begini bunyinya,” Agi Siaga 1, Dek! Malam ini ulang tahun GAM. Dari kemarin Mas br tidur 1 jam, trus dibangunkan lg utk patroli, jangan sampai ada 1 pun bendera GAM yg berkibar. Klu kejadian kami semua kena tindak pimpinan. Emang sakit, Dek..? Doakan Mas, ya!”
Kemudian belum sempat membalas SMA ke Bude, saya yang kelelahan setelah mengikuti Islamic Leadership Training yang diadakan 2 hari penuh di Sragen, tak dapat menahan kantuk dan akhirnya tertidur. Paginya, selepas Subuh setelah membolak-balik terjemahan Al-Quran, saya kuatkan hati Bude dengan menuliskan salah satu penggalan Surat Al-Baqarah,”....Dan jika ada hamba-Ku yang bertanya tentang-Ku. Katakanlah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku akan mengabulkan doa hamba-Ku yang berdoa kepada-Ku...”
Jam 6 pagi sambil menikmati nasi kucing, saya menonton tayangan berita pagi bersama teman-teman kos. Saya baru “ngeh” dengan SMS Bude semalam. Ternyata gempa bumi dasyat telah terjadi di Aceh.
Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Selera makan pun hilang seketika. Sungguh!
Betapa memang jika ALLAH telah berkehendak, segalanya bisa terjadi. Mungkin tsunami yang terjadi di Aceh merupakan sebuah teguran akan kelalaian yang telah kita lakukan, bisa pula merupakan sebuah ujian ALLAH sebagai wujud tarbiyah dan kasih sayang-NYA kepada kita.
Begitu banyak fragmen yang berputar. Ingatan-ingatan di masa yang telah terlampaui kembali hadir menyapa kesendirian. Ya! Kesendirian yang benar-benar saya bangun. Kesendirian yang tidak lama. Saya diberi waktu limabelas menit untuk menyendiri. Saya diberi tugas untuk bermuhasabah; merenungi segala kealpaan diri. Ada satu problem statement yang harus saya jawab dengan sebenar kejujuran: kemaksiatan apa yang telah saya lakukan sehingga menimbulkan kekalahan dan hilangnya keberkahan dalam berdakwah?
Astaghfirullah… luka itu kembali berdarah bersama perih yang tiada terkira. Susah payah saya mencari sebabnya. Dan ketika kejujuran telah benar-benar menjadi raja, terungkaplah fakta. Sungguh, tak mungkin saya mengelak lagi. Tak mungkin saya menyembunyikannya. ALLAH Maha Melihat.
Astaghfirullah! Saya dihantui ketakutan. Apa jadinya bila saya tak punya kesempatan untuk menyembuhkan luka? Sebelum segalanya terlambat, saya harus segera menutupnya.
“Dik, doakan Mas Anton, ya! Kakinya diamputasi.”
Saya tak mampu berkata-kata lagi ketika Bunda menahan isak di telepon. Bayangan kakak sepupu saya yang gagah itu begitu lekat. Sepupu yang baik hati. Saya ingat sosok tulus yang dengan jiwa seninya membantu saya membuat maket rumah-rumahan untuk ujian akhir di SMP. Ia juga yang mendesign sendiri stiker yang saya pesan untuk acara Pondok Ramadhan masa SMA. Sepupu saya yang… selamat dari Tsunami di Aceh setahun yang lalu.
Tak lama berselang ia pun berpulang. Padahal sebentar lagi ia menikah. Ia dipanggil-NYA bukan saat Tsunami menerjang Aceh tapi saat hendak takziyah ke Rumah Sakit.
Rasanya tak bisa dipercaya. Namun siapa yang mampu melawan takdir-NYA?
Semua keluarga, sahabat dan tetangga berduka. Terlebih Bude. Untuk yang kedua kalinya ia harus melepas kepergian buah hatinya.
ALLAH! Kini saya menemukan jawabannya.
Ada kerinduan yang kembali hadir. Saya bersyukur ketika akhirnya luka dan perih yang ada membawa saya untuk kembali pada-NYA. Saya putuskan untuk menata ulang kembali visi hidup yang sempat berbelok arah. Tak ada kata terlambat untuk berbenah. Selagi napas ini masih diizinkan-NYA berhembus, saya masih mempunyai kesAempatan untuk bertaubat.
Betapapun begitu banyak kemaksiatan yang telah saya perbuat, ALLAH Maha Penerima Taubat.
Saya mamah kembali kata-kata yang dengan sadar ataupun tidak seringkali saya berikan untuk seorang saudara. Sebuah motivasi yang kini lebih tertuju untuk diri sendiri. Ya! Agar hanya kebaikan yang ada pada kita dalam setiap perjalanan waktu. Hanya ada dua pilihan: tetap baik atau lebih baik? Mana yang akan saya pilih? Sedang Rasul Saw. telah memberi rambu-rambu pada kita; bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari kemarin?
Bulan Syawal 1428 H memberikan kesan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di antara hiruk pikuk lebaran di rumah Mbah, Paklik mengumpulkan saya dan sepupu-sepupu yang masih lajang dalam sebuah forum saresehan. Ada taushiyah yang kemudian membawa kami pada sebuah refleksi diri. Apa yang dicari manusia dalam hidup yang tak lama ini?
Semua terdiam.
“Bahagia.”
Benarkah semua manusia menginginkannya?
Lantas mengalirlah taushiyah itu; taushiyah yang mengingatkan saya saat hidayah mulai menyapa; saat mata terbuka untuk mencari kesejatian; saat saya haus membaca buku dan majalah Islami dan saat saya beserta teman-teman mulai rutin berkumpul dalam halaqoh tarbawi.
Semua orang ingin bahagia. Dan di manakah bahagia itu ada? Harus bagaimana kita mencarinya?
Jika kita orang yang beriman kebahagiaan seperti apa yang semestinya kita miliki.
“Orang yang bahagia adalah orang yang beruntung. Dan ciri-ciri orang yang beruntung ada dalam Q.S Al-Mukminun ayat 1-11.”
Begitulah Paklik kembali mengingatkan kami tentang kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang ada dalam diri orang-orang yang beriman. Sebagaimana yang keyakinannya atas janji ALLAH bahwa orang yang beriman akan mewarisi firdaus; surga yang tentunya lebih indah dari dunia dan seisinya.
Berubah menjadi lebih baik.
Saya pun membiarkan kenangan masa SMP dan SMA kembali hadir. Saat itu memang tak pernah terulang. Semangat untuk hijrah saat itu begitu menggebu. Bersama teman-teman, saya belajar bagaimana ber-Islam secara kaffah; bagaimana mulai menginternalisasikan nila-nilai Islam dalam keseharian. Menjadi lebih baik adalah pilihan. Dan jalan menuju kebaikan terbentang lebar di hadapan. Tak ada yang bisa menghalanginya ketika tekad yang kuat benar-benar kita miliki. Saat itu saya disadarkan dengan tiga potensi yang diberikan ALLAH. Tiga potensi yang menjadikan kita berada pada puncak kejayaan bila ketiganya bisa bersinergi dalam ketawadzunan.
Menjadi pribadi yang tawadzun. Wow.. keren! Siapa tak ingin?
Tuhan kuatkan aku
lindungi aku dari putus asa
Bila kuharus mati
pertemukan aku dengan-Mu
Muhasabah cinta Edcoustic mengalun dari winamp. Saya dibawa hanyut dalam dzikrul maut. Apalagi Jum’at kemarin saya dan teman-teman nonton bareng film tentang sketsa siksa kubur. Ketakutan kini begitu menghantui. Betapa saya benar-benar tak punya cukup bekal bila sewaktu-waktu dipanggil-Nya.
Di usia kehamilan yang semakin bertambah, sulit sekali memejamkan mata dengan lelap. Hampir tiap malam saya dilanda gelisah. Sungguh, fantasi tentang kematian acapkali mengganggu ketenangan yang coba saya bangun. Emosi saya semakin kacau. Saya akui amal yaumi memang tak memenuhi target akhir-akhir ini.
Tuhan kuatkan aku
lindungi aku dari putus asa
Bila kuharus mati
pertemukan aku dengan-Mu…
Lalung Permai, 25 January 2009: 23:48
0 comments:
Post a Comment