Thursday, 5 August 2010

GO GREEN

1 comments

Sore itu, saya menerima setumpuk undangan merah jambu. Dari setumpuk itu, ada nama saya dan suami yang tertulis dalam dua undangan. Ho..ho..kok nggak dijadikan satu aja, ya, biar hemat kertas dan bersahabat dengan alam. Go green-lah (ups, ikut latah suami yang lagi semangat dalam mengkampanyekan persahabatannya dengan alam ^^). Lebih go green lagi kalau undangan hanya via FB, email atau SMS [kalau dua yang terakhir ini rencana saya dulu sebelum nikah tapi dinilai calon suami, Akh Dian Kresna (begitu panggilan sebelum aqad), kurang sopan karena dalam list undangan ada nama beberapa ustadz].

Saya jadi teringat dengan majalah kesayangan saya, ANNIDA. Antara sedih dan bahagia ketika pertama kali mengetahui bahwa saya tidak dapat menjumpainya kembali dalam edisi cetak. Sampai sekarang, seringkali saya kangen meski tak sampai berharap ia terbit lagi. Majalah yang menemani saya untuk menggapai hidayah sejak bangku SMP itu telah go green sejak Juli 2009. Si Nida sudah bereinkarnasi menjadi Annida virtual melalui www.Annida-online.com. Annida Go Green benar-benar sebuah hal yang mengejutkan bagi saya. Bagaimanapun, terobosan untuk menjadi majalah virtual (tanpa edisi cetak) sempat membuat saya geleng-geleng kepala. Majalah yang sudah besar dan mengalami kejayaan, dengan kerelaan menghilang dari peredaraan dengan tujuan yang sangat mulia. Apalagi kalau demi menghemat kertas yang sebagian besar berasal dari illegal logging. Annida Go Green demi generasi kita di masa mendatang. Agar hutan kita tidak semakin gersang, agar kita tidak menghabiskan persediaan minyak, listrik dan air.

"Antara lingkungan dan ekonomi itu seringkali bertolak belakang," begitulah komentar MH, Abiyasa Dhian Kresnadipayana, mendapati istrinya masih terpekur karena kehilangan majalah kesayangannya.

“Bisa jadi kelak tidak banyak lagi buku yang terbit,” tambahnya.
Ho..ho.. saya masih belum percaya. Bagaimanapun beda rasanya memburu ilmu di perpustakaan nyata dan di DL (digital library). Dan saya tetap ngotot, kalau lebih asyik baca buku daripada via e-book atau virtual. Buku, kan, dapat dipegang,. Membacanya bisa dengan segala posisi: duduk di kursi, selonjoran, tiduran, bahkan bisa dengan guling sana-guling sini. Banyak variasi^^

“Baiklah, kalau begitu, buku-buku dicetak dengan kertas daur ulang,” suamii memberikan alternatif. Jujur, saya belum bisa menerima ini. What? Kertas daur ulang? Mending nanam pohon dari sekarang.Saya kan punya cita-cita mewariskan banyak buku pada anak-anak. Sekarang baru ada tiga buku.Hiks:(

Akhirnya setelah melakukan perenungan yang mendalam (cie..), saya bantu deh, untuk kampanye (meski super telat): Yuk, selamatkan bumi demi anak cucu kita di masa mendatang. Kita mulai dari hal-hal yang paling sederhana.

Berikut ini beberapa tips yang saya dapatkan dari tetangga sebelah:
1. Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
2. Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
3. Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
4. Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami. (http://id.shvoong.com/humanities/1779528-green-hadiah-termahal-untuk-anak/)

Wah-wah.. , saya yang terbiasa dengan hal-hal yang praktis jadi cengar-cengir. Meski demikian tetap saya coba, deh! Ya..ya..ya.. demi anak cucu, generasi terbaik di masa mendatang.

Saya semangati diri dengan sebuah hadist Rasulullah,
Sekiranya hari kiamat hendak terjadi, sedangkan di tangan salah seorang diantara kalian ada bibit kurma maka apabila dia mampu menanam sebelum terjadi kiamat, maka hendaklah dia menanamnya.”(HR. Imam Ahmad 3/183, 184, 191, Imam Ath-Thayalisi no.2078, Imam Bukhari di kitab Al-Adab Al-Mufrad no. 479 dan Ibnul Arabi di kitabnya Al-Mu’jam 1/21 dari hadits Hisyam bin Yazid dari Ana Rodhiyallohu ‘Anhu)

Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini menyiratkan pesan yang cukup dalam agar seseorang memanfaatkan masa hidupnya untuk menanam sesuatu yang dapat dinikmati oleh orang-orang sesudahnya, hingga pahalanya mengalir sampai hari kiamat tiba.

Oleh karena itu, sedikit-sedikit, pelan tapi pasti, dimulai dari diri sendiri, dan dari saat ini, cobalah kita pelihara kebiasaan-kebiasaan yang baik untuk menjaga bumi kita. Contoh real-nya (menurut referensi yang saya baca):

1.Bercocok Tanam

Selain untuk penghijauan, kegiatan ini juga sangat baik untuk kesehatan badan. Konon, jiwa yang tenang seimbang dengan tubuh yang ideal. Gerakan menyiram,menanam dan memberi pupuk selama 5 menit bisa merampingkan tangan lho!Dulu, sih sebelum hijrah ke Solo kegiatan ini sangat akrab dalam keseharian (meski lebih sering lihat^^). Di rumah (Ngawi) saya, dulu banyak sekali bonsai. Banyak banget. Tapi sekarang lebih banyak burung perkutut (pm ke saya kalau mau beli^^)

2.Menyuci Piring
Dengan menggunakan peralatan makan yang tidak sekali pakai, kita sudah mengurangi limbah plastik yang sulit dicerna. Meski terkadang terkesan tidak praktis dan merepotkan, gerakan mencuci piring bermanfaat untuk mengurangi lebih dari 50 kalori di dalam tubuh. Wah, kalau sehari nyuci piring tiga kali, bisa langsing, dunk. He..he.. kalau saya cukup saya rapel di malam hari sewaktu Arkan dan abinya sudah terlelap.

3.Bersepeda ria!
Selain tidak memproduksi poluttan, bersepeda juga bermanfaat untuk tubuh kita. Jantung sehat dan.. (ehem) badan yang lebih proporsional. Ada yang sudah membuktikan? Sayang sekarang saya nggak punya sepeda ontel.

4. Kurangi penggunaan Microwave
Selain memberikan kesempatan bernafas untuk bumi kita, microwave juga tidak baik untuk badan kita. Makanan yang sering dipanaskan dengan microwave memang tidak membuat kita menunggu lebih lama,tetapi hal ini membahayakan tubuh dikarenakan ultraviolet yang ikut terkonsumsi! Kalau saya sih, alhamdulillah nggak pernah pake microwave, nggak punya, sih. Ada yang mau ngasih (lho..lho.. jus mangga..just kidding^^)?


5.Kurangi plastik di rumah

Kurangi penggunaan plastik dan cari produk yang lebih ramah lingkungan.Green product is so rock! Maaf juga, ya, kemarin baru beli lemari plastik buat Arkan. He..he..secara harga lebih bersahabat, sih. But, lain kali saya pertimbangkan seribu kali, ya!

Baiklah ibu-ibu, bapak-bapak, mas/mbak, adik-adik, tunggu apalagi kita mulai dari sekarang, yuX! Go Green...GO.. GO..GO!

BGI, 5 Agustus 2010:09.06
Tahukah Anda? Global warming berdampak pada cucian saya yang terkadang nggak kering. Sudah kemarau masih sering hujan. Ada yang tahu musim apa ini?

Sunday, 1 August 2010

INDAH UKHUWWAH

0 comments


tulisan jadul,4 tahun yang lalu, hari ini belum selesai nulis. flu tuing2. O, ya sebenarnya ini mau dibikin serial tapi belum terlaksana. Selamat membaca, terkhusus adik2 JN UKMI UNS ^^..

Sambut pagi dengan seulas senyum simpulmu
Siapkan seutas tali SEMANGATMU
Sebut nama Rabb Penciptamu
Sehingga SUKSES seluruh ikhtiarmu
!*

Fajar barulah menjelang dan dzikir al-ma’tsurat baru saja terlantunkan. Nurul menerima sebuah SMS dari Huda. Sejenak ia pun tertegun, saudara kembarnya itu ternyata memang masih sempat membagi sarapan paginya. Kali ini sebuah taushiyah padat berisi, cukup untuk mengembalikan staminanya yang mulai menurun. Tadi malam ia lembur sampai malam untuk menggunting tulisan yang akan dipakai untuk background HAMASA (Sehari Bersama Nisaa’), sebuah acara yang dikemas khusus untuk pengurus akhwat. Kemarin malamnya ia pun tidur di atas jam malam karena usai rapat bidang laporan praktikumnya melambai-lambai untuk diselesaikan. Dua malam sebelumnya ia juga harus stand by di depan komputer, memenuhi deadline artikel sebuah majalah.


Waktu begitu cepat berlalu, tanpa disadari ia sudah berada di pertengahan akhir semester dua. Kesibukan kuliah dan aktivitasnya yang padat kadang membuatnya lupa bahwa ia adalah gadis yang teramat bangga dengan romantisme kenangan masa SMA. Barulah saat-saat ketika lelah mendominasi ruang rasa, ia rindu dengan masa itu kembali datang. Rindu dengan gelora semangat yang selalu digemakan oleh para rohiser, rindu dengan semua kebersamaan yang terbingkai atas nama ukhuwwah.

Dua kenikmatan yang sering manusia tertipu dengannya adalah nikmat sehat dan waktu luang. Entah mengapa ia seperti mendengar hadist itu kembali dibisikkan di telinga. Dan album kenangan di awal hidayah itu pun datang, seolah diputar. Ternyata semangat yang menyala itu ada di sana. Ternyata ikhlasun niat kala itu begitu beningnya.**

Jihad is still going on! Tiba-tiba Nurul terhenyak. Jam dinding di kamar menunjuk angka 6 dan duabelas. Ia pun bergegas merapikan kamar, bersih diri dan bersiap menuju GOR.

Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi laa haula walaa quwwata illabillah! Semoga acara HAMASA hari ini berjalan lancar, doanya sebelum melangkahkan kaki ke luar gerbang pondoknya.
*********

Akhi…
Ingin kulebur dosa yang pernah ada
Lewat medan jihad ini
Kuingin mendekapmu
Kuingin merengkuhmu untuk bersama
Kuingin membagi indahnya jihad bersamamu
Dan kuingin engkau berjanji saudaraku
Suatu saat kita bertemu karena ALLAH
***

Huda tersenyum membaca SMS dari Nurul. Kembarannya itu ternyata sudah kehabisan ide. Buktinya sarapan pagi yang diberikan kepadanya adalah kutipan dari tulisan seorang al-akh Ambon yang ada di Majalah Tarbawi. Bunyi tulisan itu sudah sangat di hapalnya sejak kelas satu SMA. Meskipun bukan menu baru, ia pun merasa mendapat supplai energi baru untuk memulai aktivitas hari ini. Tiba-tiba ia terharu. Duhai, inikah salah satu keindahan ukhuwwah?

AMBON! Peristiwa itu kembali menyapanya. Ah.., entah mengapa ia jadi teringat dengan tragedi yang terjadi tahun 1999. Huda pun ingat dengan cerita seniornya yang baru saja melakukan jaulah ke Ambon. Ternyata sampai detik ini, Ambon masih sangat kekurangan SDM dakwah.

“Bukan hanya Ambon, hampir seluruh wilayah di Indonesia timur saat ini masih membutuhkan kader dakwah. Ayo’, siapa mau ke sana?! Kalau sudah lulus, urusan pekerjaan gampang. Banyak channel di sana.”

Promosi seorang anggota tim BP FSLDK**** itu terdengar seperti sebuah tantangan. Ke Ambon? Kedengarannya indah. Ia tiba-tiba tersadar bahwa bekalnya belumlah cukup. Ia, seperti halnya Nurul, baru semester dua. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya di kampus hijau tercinta.

2009! Refleks, tangannya mulai menggambar peta masa depan. Di tahun itu aku harus sudah lulus dan menjadi kader dakwah yang kokoh dan mandiri, cerdas dan kreatif, spesialis berwawasan global,…ups, tiba-tiba ia menyebutkan karakteristik kader dakwah 2009. Wow! Bukan sekedar kata, tapi mewujudkannya adalah keniscayaan. Ya! Huda pun menerbitkan optimistis di hatinya. Ia sangat yakin bahwa dakwah adalah mega proyek yang membutuhkan banyak tenaga. Itulah mengapa ia ingin bersegera mengaplikasikan kurikulum dakwah berbasis kompetensi untuk menjawab tantangan dan peluang yang sama-sama terbuka lebar di masa depan.
*********

“Gimana HAMASAnya kemarin?” tanya Huda dalam perjalanan menuju ke rumah. Ahad pagi ini Si Kembar “eNHa” sengaja memilih bus Jurusan Jogja-Surabaya karena kondisi fisik. Capek motor-motoran alasan keduanya. Lagian di bus mereka bisa muroja’ah Quran bareng.

“Hmh,…yang datang sedikit.” Jawab Nurul sepertinya sedikit kecewa. Dialihkan pandangannya ke luar menembus kaca di sampingnya. Gadis berjilbab putih itu buru-buru menutupi setitik kecewanya, banyak ibrah yang didapatnya dari acara itu.

“Yang penting, kan bukan banyaknya peserta yang datang, Chay. By the way, temanya apa, sih?”

Nurul yang lebih senang dipanggil Chaya itu pun membenarkan ucapan Huda.

“Indahnya Ukhuwwah Dalam Kebersamaan. Ya! Kamu bener, aku jadi malu. Ternyata ta’aruf, tafahum, dan takaful itu memang tahapan yang harus dilalui dalam membina keindahan ukhuwwah. Aku baru nyadar kalau selama beberapa bulan jadi pengurus JN UKMI ini, aku belum terlalu ma’rifah dengan teman-teman yang lain. Aku baru tahu bahwa ternyata teman-teman di bidang lain juga punya banyak agenda yang padat.”

“JN UKMI itu ibarat keluarga. Antara bidang satu dengan yang lain adalah kesatuan. Jangan pernah terkotakkan oleh bidang. Jadikan dinamika dakwah kampus sebagai kawah candradimuka yang akan menggembleng kita sebelum terjun ke medan jihad yang lebih berat. Apapun yang terjadi, kita adalah da’i sebelum yang lain. Ingat ikrar kita, kan? Nahnu du’at qobla kulli syai’in

“ Ya tentu ingat, dong! O, ya…gimana Bakti Jama’ah? Katanya mau ngadain baksos, ya? Aku bisa bantu apa?”

“Pakaian pantas pakaimu kayaknya banyak, deh. Disumbangin aja daripada memenuhi lemari? Trus…”
“Tapi, Da. Aku masih suka semuanya.”
“Katanya indahnya ukhuwwah karena kita ibarat satu tubuh. Jangan egoistis, dong! Dakwah, kan butuh tadhiyyah. Lagian bagaimana bisa itsar kalo berbagi dengan saudara saja tidak mau…”
“I ya, deh..! Sekarang kita muroja’ah dulu, yuk. Gimana hapalanmu, Da?”
“Oke kita cek bareng-bareng, ya!” Huda pun mengawalinya dengan ta’awudz….
Bus jurusan Jogja-Surabaya masih melaju tenang.

Fathim, 140506:2.04

* : SMS seorang sekbid menjelang Subuh
** : Potongan email di milist muslim_smuda;published by nahdahalfauziya:090305
*** :Dirosat, Tarbawi Edisi 4 Th. 1 15 Oktober 1999
****:Badan Pekerja Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus



Tuesday, 13 July 2010

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami (No Sufor No Cry)

0 comments

Sebuah catatan kecil yang kubuat selama MH badminton:Rabu Malam, mengejar lomba menulis bunda tapi terlambat. Hitung2 stimulasi bikin buku baru: catatan rumah tangga muda! Lagi mengamankan ide. Doakan segera terlahir dengan selamat dan bahagia ^_^

Asi yang Terbaik untuk Buah Hati Kami

Subhanallah! Semua terjadi begitu cepat. Pernikahan saya hanya membutuhkan persiapan selama 3 pekan. Alhamdulillah, acara aqad dan walimatul ursy pun berjalan relatif lancar. Semua terasa seperti mimpi. Apalagi sebulan kemudian Allah memberi kami amanah yang baru. Saya tak mendapati haid lagi setelah pernikahan kami.
Saya hamil. Ya Allah! Sebagai perempuan normal, tentu saya bahagia. Saya merasa purna sebagai seorang istri. Di sisi lain, saya merasa gundah. Betapa cepat amanah baru ini diberikan. Saya menata hati, berbaik sangka pada Allah dan berdoa agar diberi kemampuan menunaikannya dengan sebaik mungkin.

Tiap bulan, suami mengantar saya ke rumah sakit. Tiap bulan pula dengan sabar, ia menunggu sampai tiba giliran kami untuk berjumpa buah hati via USG. Saya beruntung. Laki-laki yang berstatus calon ayah bayiku begitu peduli. Ia juga proaktif menjaga calon mujahid kami sejak dalam kandungan. Ia tak hanya ikut memperhatikan asupan gizi calon bayi kami tapi juga rajin mengajaknya berkomunikasi, mengelusnya, dan mengajaknya bicara tentang apa saja. Bila adzan masjid depan rumah kami berkumandang, ia pun berbisik ke perut saya, “Dede’, sudah adzan, dengarkan, ya!”


Sebagai calon ibu baru, saya juga rajin membaca perkembangan bayi dalam kandungan. Saya mengikuti perkembangan bayi kami dari bulan ke bulan dengan membaca buku “9 Bulan yang Menakjubkan” terbitan Ayahbunda dan rajin searching seputar kehamilan via internet.

Pada bulan ke-3 dan ke-4, atas anjuran suami, saya cuti dari sebagai editor sebuah penerbitan di Solo. Selain menjaga kehamilan pertama, dalam masa cuti itu saya berharap bisa menyelesaikan skripsi. Ternyata tak mudah. Saya sering teler dan tak juga bisa berkonsentrasi. Bulan ke-5 hingga menjelang bulan ke-9, saya kembali menikmati aktivitas di kantor. Tiap hari menempuh perjalanan 2 x 22 km. Jalan terasa begitu panjang. Alhamdulillah di bulan-bulan terakhir kehamilan suami bersikukuh untuk mengantar jemput saya.

Berdasarkan HPL, bayi kami lahir sekitar tanggal 20 April 2009. Pertengahan Maret 2009, saya diizinkan untuk membawa kerjaan kantor ke rumah. Saya mengedit naskah di rumah. Kemudian, akhir Maret, kami memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiran, Ngawi. Secara psikologis, saya ingin dekat dengan ibu dan ditunggui beliau saat persalinan. Alhamdulillah, suami mengerti dan tak sedikit pun keberatan untuk bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Begitu pula yang terjadi saat kesibukan menjelang dan pasca pemilu. Suami tetap bertekad pulang tiap akhir pekan.

HPL kurang seminggu lagi, akhir pekan tanggal 11 April, suami pulang ke Ngawi dalam kondisi capek pasca pemilu. Sudah feeling kali, ya, bayi kami akan lahir. Jadi tetap memilih pulang meskipun ada undangan pernikahan. Suamiku memang tipe suami siaga.

Tanggal 12 April tengah malam, saya merasa aneh. Ada semacam kontraksi. Rasanya seperti mau buang air besar. Saya belum ngeh juga kalau waktu persalinan telah tiba. Meski terasa sakit, saya terlelap sampai sepertiga malam terakhir. Saat terbangun, saya sudah merintih kesakitan. Tak lama kemudian, bersama ibu dan suami, saya menuju tempat persalinan terdekat. Tanpa banyak persiapan kami berangkat.

Menjelang Subuh kami sampai di Rumah Bersalin. Saat diperiksa baru pembukaan satu. Sekitar lima menit kemudian sudah pembukaan sembilan. Masya Allah, kontraksi terjadi seolah tanpa jeda. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Apalagi bidan masih menangani satu pasien yang terlebih dahulu datang. Saya harus menunggu giliran. Padahal bayi kami sudah hampir lahir. Suami tetap siaga di samping, ibu pun ada di kamar menunggui saya dengan harap-harap cemas.
Adzan Subuh terdengar begitu syahdu. Saya menahan sakit, menetralisir segala rasa dengan dzikrullah. Suami saya keluar ruangan bersalin untuk shalat Subuh berjama’ah di mushola. Ia tak menyia-nyikan kesempatan itu untuk mengulang doa agar saya diberi kemudahan saat melahirkan dan agar bayi kami terlahir dengan selamat.

Bidan yang seharusnya membantu persalinan saya ternyata merujuk pasien ke rumah sakit. Saya harus menunggu. Sungguh, saya nggak kuat : duh sampai kapan? Akhirnya proses kelahiran pertama saya dibantu oleh bidan muda. Usut punya usut, ia adik kelas saya di SMA. Alhamdulillah, hanya dengan dua-tiga kali mengejan, bayi kami lahir dengan selamat.

Suami saya menangis haru dan mencium kening saya saat tangis pertama bayi kami terdengar. Setelah dibersihkan, ia mengumandangkan adzan dan iqomah secara bergantian di kedua telinga.
*******

Kesedihan pertama yang saya rasakan pasca melahirkan adalah belum bisa memberikan ASI pada buah hatiku. Padahal sejak ia dalam kandungan, saya sudah bertekad untuk tidak memberi setetes pun susu formula pada bayiku. Tetapi apalah dayaku. ASI belum keluar walaupun pasca melahirkan ia diletakkan di dadaku untuk inisiasi menyusui dini. Sedih bukan kepalang menyaksikan suamiku menyuapi bayi kami susu formula sendok demi sendok.

Kutepis sedihku dengan banyak-banyak berdoa. Apapun akan kulakukan agar bisa memberikan ASI. Selain makan kacang-kacangan dan berbagai macam sayuran hijau, saya juga rajin melakukan massage untuk merangsang agar ASI segera keluar. Saya pun rajin memberikan puting susu meski asi belum keluar. Suami juga tak henti-hentinya memberikan support. Ia meyakinkan saya bahwa setiap ibu hamil Insya Allah bisa menyusui bayinya.

Alhamdulillah hari ke-6, ASI keluar. Saya pun segera memberikannya pada bayi kami. Asi pertama yang keluar mengandung kolustrum, jadi kami tak ingin melewatkannya.

Hari ke-7, saat aqiqah, saya sudah memberikan ASI pada mujahid kecil yang kami beri nama Arkan Dian Husnayan. Secara makna, namanya merupakan harapan agar ia menjadi anak pertama (awal) ~sebagai dasar~ dalam menggapai cahaya kemenangan agama (Islam). Alhamdulillah, di hari aqiqah banyak sekali yang datang memberi ucapan selamat dan doa.

Selama tujuh hari pertama, kami dibantu Bulik yang sudah berpengalaman dalam memandikan dan merawat bayi. Setelah pupak pusar, saya mulai belajar memandikan. Alhamdulillah, suami pun juga segera mahir sehingga kami bisa bergantian memandikan Arkan.

Suami masih harus bolak-balik Ngawi-Solo tiap akhir pekan. Saya sedih tiap kali ditinggal suami. Sepertinya sempat terjangkit baby blues syndrom. Biasalah ibu muda, masih butuh banyak support. Lebay kali, ya, hampir tiap hari saya mengirim foto perkembangan terbaru Arkan. Hal itu berlangsung sampai 2,5 bulan sampai kami boyongan ke Solo.

Saya yang masih rajin searching seputar bayi dan tumbuh kembang bayi. Setiap kali menemui hal baru yang belum saya ketahui saya menjadikan Mbah Google sebagai guru pertama. Hasilnya lumayan. Tak perlu konsultasi dokter atau bidan, saya mampu mengatasi problematika yang ada. Saya senantiasa memantau tumbuh kembang bayi. Memastikan bahwa tumbuh kembang Arkan sesuai dengan usianya.

Selain full ASI pada enam bulan pertama, saya dan suami rajin membawa bayi ke bidan untuk melihat grafik pertambahan berat badan dan memijatkannya sepekan sekali. Kalau terlambat, maka giliran suami saya yang memijatnya. Hal ini kami rasakan banyak sekali manfaatnya.

Alhamdulillah Arkan lulus ASI ekslusif versi saya (meski enam hari pertama terpaksa mencicipi sufor). Tepat enam bulan ia mulai menikmati MPASI yang orisinal buatan saya sendiri. Hanya sebulan saja ia mau mencicipi bubur susu instant. Selanjutnya, ia menolak dan sampai sekarang tidak mau mencicipi makanan bayi instant kecuali biskuit.

Kami bersyukur. ASI ekslusif terbukti tokcer. Arkan tumbuh sehat dan jarang sekali sakit. Ia juga lincah dan ceria. Sampai sekarang Arkan tetap minum ASI dan tidak beralih ke susu formula. Insya Allah kami akan mengupayakan ASI sampai Arkan berusia dua tahun. Tak mudah memang, banyak sekali yang menegur: Kenapa nggak dikenalkan dengan susu formula?
*******

Tumbuh kembang tiap bayi itu unik. Itulah mengapa kami tak pernah membandingkan Arkan dengan anak-anak usianya. Kami tak perlu khawatir, misalnya, ketika di usia satu tahun ini Arkan belum lancar berjalan sedangkan ada juga bayi 9 bulan sudah lancar berjalan. Arkan punya prestasi tersendiri dalam tahapan usianya. Sekarang ia sudah pandai cium tangan, dada, sayang Ummi-Abi, menyuapi Ummi-Abi, berlagak menyisir rambut sendiri, berlagak telp, bilang maem atau nenen jika merasa lapar atau haus, menyambut kedatangan Abi, dsb.

Kini sudah satu tahun usia sulungku. Begitu banyak hal yang menakjubkan yang membuat saya dan suami tak henti-hentinya bertasbih dan bersyukur. Sungguh jalan yang terbentang masih begitu panjang. Kami pun masih harus banyak belajar bagaimana menjadi orang tua yang baik. Menyaksikan tumbuh kembangnya dari hari ke hari adalah menuntun kami untuk senantiasa bersyukur. Pengalaman pertama menjadi orangtua menyadarkan kami betapa ia adalah anugerah terindah dari-Nya. Semoga ia menjadi cahaya mata, penyejuk hati kami selamanya, dan bermanfaat untuk agama dan ummat.

Solo, 15 April 2010:23.00
Kado milad buat Arkan Dian Husnayan.
Jazakallah buat MH atas semua support selama ini:)

Thursday, 8 April 2010

METAMORPHORIA

1 comments

”Perlahan tapi pasti manusia di sekitar Rasulullah mulai bermetamorfosis. Mereka mengisntal ulang visi dan pandangan hidupnya, tentang diri mereka sendiri, tentang Tuhan, tentang keberadaannya di dunia, dan tentang alam raya yang terbentang luas. Titik metamorfosis ini menjadi awal lahirnya manusia besar yang kelak memimpin dunia. Menjadikan mereka orang-orang yang luar biasa.*)”

Sungguh sebuah sentuhan akhir yang manis. Naisya tak menduga bahwa dengan sangat lancar ia berhasil mengucapkan kata-kata itu.

”Adik-adik Muslimah yang dirahmati Allah, Mbak berharap setelah bedah buku kali ini, kita menjadi manusia yang tercerahkan. Semoga kita mampu meresapi makna kehidupan yang sebenarnya. Marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan!”

Diam-diam Naisya menata hatinya. Rasa-rasanya closing statement itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri. Sungguh tiap kali ada permintaan untuk menjadi pembicara dalam berbagai kesempatan, ia berada pada dilema. Menolak berarti ia menyia-nyiakan kesempatan untuk dakwah bil lisan. Menerima berarti ia harus kembali berkaca pada dirinya sendiri: seberapa pantas ia mampu menginternalisasikan kebaikan yang disampaikannya pada diri sendiri? Pada akhirnya, ia lebih sering menerima tawaran menjadi pembicara dengan mencoba meluruskan niatnya. Segala amal itu tergantung niatnya, bukan?

Fuuih... akhirnya sampai di penghujung sesi tanya jawab. Muslimah yang hampir memasuki usia seperempat abad itu menarik nafas lega.

Setelah berpamitan dengan panitia, gadis berjilbab yang mempunyai nama lengkap Naisya Fathimatuzzakia itu bersiap meluncur ke kampus belahan utara kawasan Solo Raya. Ada kajian rutin bersama adik-adik kampus yang harus didatanginya.

*******

“Mbak Nais, bisa, kan? Ayolah, Mbak!” Suara di sebrang mulai merayu.
“Yang lain saja, ya, Dik. Mbak, kan belum menikah. Khawatir hanya omdo -ngomong doang- berdasarkan teori tanpa pengalaman sesungguhnya.”

”Tapi Mbak, ini mendesak. Ayolah, Mbak! Hitung-hitung memantapkan kesiapan setengah dien. Ayolah, Mbak! Mbak Nais sendiri, kan yang bilang kalo kita sedang berproses. Berubah menjadi baik itu menyenangkan. Begitu, kan? Metamorphoria, Mbak. Ingat METAMORPHORIA!”

”Masya Allah, Salma. Mbak Nais nggak bisa. Ini mendadak sekali. Mbak kan perlu persiapan. Mosok yo besok tho, Nduk? Mbak Nais carikan yang lebih ahli, ya?” Naisya mencoba untuk bernegosiasi.

”Baiklah, kalau begitu. Segera kabari Salma via SMS, ya, Mbak. Jazakillah. Assalamu’alaykum.”

Setelah menjawab salam, Naiya meletakkan HP-nya dengan asal. Ruang kamar berukuran 4x3 M ini terasa semakin sempit.

Salma ngaco banget. Masak nyuruh ngisi materi tentang fiqh Munakahat. Emang aku ini Ustadzah? Fuih... M U N A K AH A T?

Naisya uring-uringan sendiri. Meski hanya dalam hati, jilbaber yang mempunyai jam terbang tinggi itu merasa mangkel. Siapa yang harus dihubunginya? Acaranya besok. Catat: BESOK! TOR juga belum dikasih. Bagaimana mungkin ’menembak’ Ustadzah untuk mengisi acara dalam waktu yang cukup mepet. Malu, ah.

Akhirnya, Naisya mencoba menghubungi para senior dakwah kampus yang sudah lulus. Berulangkali ia memencet kotak unyilnya, mengirim SMS dan menelepon para kakak tingkat yang diseganinya. Hasilnya nihil. Tak ada satu pun yang menyatakan kesanggupan.

”Wah, mendadak sekali Dek Nais. Mbak dah ada acara.”
”Lho, masak besok. Mbak nggak bisa, Dek.”
”Coba hubungi Ustadzah Ely saja, Dek. Atau Ustadzah Lusi.”
Naisya menggeleng. Ia tidak punya muka menghadap Ustadzah. Satu hal yang menjadi masalah. TIME. Waktunya terlalu mendadak.

Dengan wajah ditekuk dan mulut manyun, Naisya keluar kamar. Warga kosnya sedang asyik ngerumpi di ruang tengah sambil melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Ada yang setrika, ada yang menyalin laporan praktikum, ada yang menyulam, ada yang mengiris sayuran untuk dimasak, ada pula yang nonton TV sambil facebook-an.

”Dear kru KEMULIAAN yang Mbak NICE Sayangi, Help me please!”
Kontan, anak-anak Wisma Kemuliaan menghentikan aktivitas mereka sejenak.
”Ada apa, Mbak Nais?” Tanya mereka kompak
”Siapa yang mau gantiin Mbak ngisi kajian besok di kampus sebrang kali. UNSA?”
”Haaa...Besok?” Eka menghentikan sulamannya.
”Temanya Apa, Mbak?” Tanya Win bersimpati
”Nikah.” jawab Naisya singkat.
”Nyak, Babe, aye mau nikah.” Yani yang sedang facebook-an menyahut.
”Kenapa nggak minta tolong Ustadzah aja.” Usul Eka.
”Hmh...”

Naisya pun ngeloyor pergi dengan tampang bete. Ia kembali ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Dimatikannya lampu kamar pertanda ia bersiap tidur. Begitulah kalau lagi suntuk. Naisya melampiaskannya dengan tidur. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Namun, setidaknya ia bisa meringankan kepalanya barang sejenak.

Hampir saja Naisya terlelap. Tiba-tiba saja mengalun ringtone dari HP-nya pertanda ada SMS yang masuk.

Sapa Mbak yang akan mengisi, besok?Makasih. Salma Hanifah
Naisya tersenyum getir dan me-replay: Naisya Fathimatuzzakia.

Huuuh.... Naisya mendengus tak percaya. Sayang, ia terlanjur menuliskan namanya. Mau tak mau ia pun menyalakan lampu kamarnya. Ia keluar kamar untuk mengambil laptopnya yang lagi dipakai online oleh salah satu adik kosnya.
”Mbak pinjam sebentar buat berselancar,ya? ”

Dalam hitungan menit mahasiswa tingkat akhir Universitas Nomor Satu itu sudah asyik berselancar lewat dunia maya. Apalagi kalau bukan mencari materi tentang pernikahan buat kajian Muslimah besok.

*******

”Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata–mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara farj atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan sekedar alasan tersebut. Akan tetapi lebih dari itu.**) ” Naisya mengawali pemaparannya dengan tenang. Sebelumnya ia telah meminta izin panitia untuk menyampaikan materi tentang persiapan menuju gerbang pernikahan.

”Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan. Pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari upaya perbaikan Ummat. Untuk itulah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas berbagai persiapan menjelang pernikahan. Apa saja itu?”

Khas Naisya. Ia melempar pertanyaan pada audience sambil mengingat-ingat kelanjutan materi yang akan disampaikan.

Materi seputar pernikahan memang selalu menarik bagi anak kampus. Tak terasa satu jam telah berlalu. Naisya tersenyum. Entah mengapa ia berbunga-bunga sendiri. Tak menyangka bahwa inilah materi yang disampaikannya adalah kebutuhannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Siapa tahu sebentar lagi married. Lho kok malah ngelantur, nih.

”Saya tak bisa banyak berkata-kata. Saya bukan pakar cinta atau pernikahan. Yang jelas saya meyakini bahwa secara sunatullah, laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, sejak saat ini tak ada salahnya kita mempersiapkan diri. Siapa tahu, besok telah ada laki-laki yang berhati cahaya yang disiapkan Allah untuk kita.”

Ya Allah, sungguh kalimat terakhir itu adalah doaku, Naisya membatin.
”Baiklah, marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan! ” Kembali Naisya mengkampayekan metamorphoria sebagai closing statement. Para muslimah di hadapannya pun mengangguk-angguk.

*******

METAMORPHORIA. Hampir setiap hari Naisya mengucapkan kata-kata itu lengkap dengan slogan kebanggaannya: KARENA BERUBAH MENJADI BAIK ITU MENYENANGKAN.***)

METAMORPHORIA sebenarnya adalah judul buku mentoring yang digunakan oleh kampus-kampus harapan di kawasan Solo Raya. Naisya sendiri pernah bergabung sebagai tim pendamping salah satu kampus harapan. Mereka menamai kampus-kampus swasta di kawasan Solo Raya dengan kampus harapan. Mereka meyakini satu hal: selama ada mahasiswa di sana maka ada harapan untuk melebarkan dakwah. Kampus bagi mereka selalu menyimpan harapan untuk menambah jumlah orang yang berafiliasi terhadap dakwah Islam.

Tim kampus harapan adalah tim solid yang berjibaku tak pernah lelah untuk mengembangkan sayap dakwah. Mereka mempunyai motto: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan. Maka tak heran bila sepak terjang mereka luar biasa. Sejalan dengan kinerja FSLDK****) Solo Raya mereka bergerilya dari kampus ke kampus hampir setiap hari.

*******

”Hari ini kita masak apa, Dik?”
Naisya terkejut dengan pertanyaan laki-laki berjanggut tipis di hadapannya.
”Ya, mau masak apa? Boros, kan kalau kita beli terus tiap hari. Bisa masak, kan, Dik?”

”He..he... bisa-bisa, masak air.” Jawab Naisya lesu.

”Kamu pasti bercanda. Tapi gak papa, soal rasa, lidah Abang ini cukup toleran, kok. Nggak usah khawatir. Ingat sloganmu waktu mendampingi kampus harapan, kan?”

”METAMORPHORIA.” pelan Naisya menjawab. Kali ini sungguh tanpa antusias seperti dulu yang biasa meledak-ledak.

”Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, ya Dik?” Ghazi menyambung kalimat kebanggaan istrinya.

”Baiklah, learning by doing aja. Abang berangkat dulu, ya. Jaga diri dan kehormatan suamimu baik-baik.”

Naisya mencium takzim tangan suaminya. Ini adalah hari keempat pernikahan mereka. Belum genap tujuh hari sudah ditinggal-tinggal. Namun, Naisya menyadari sepenuhnya konskuensi menikah dengan aktivis dakwah. Setelah mencari nafkah masih banyak hal yang harus dikerjakan. Bukankah mereka memang da’i sebelum menjadi yang lainnya?

Baiklah. Naisya pun menikmati status barunya sebagai seorang istri. Ia ingat, pertanyaan suaminya yang belum dijawab. Masak apa, ya? Bahannya apa?

Naisya pun menyalakan laptop. Ia pun bertanya kepada Mbah Google tentang menu masakan. Akhirnya pilihannya jatuh pada sayur bening. Sederhana. Tinggal masak air dengan bumbu bawang merah, bawang putih, temu hitam, dan 2 cm kencur yang diiris halus. Setelah mendidih, tinggal masukkan jagung manis, wortel, dan sayur bayam. Matang, tinggal angkat. Mudah, kan?

Naisya pun keluar rumah. Berjalan beberapa meter ke kios. Ia membeli beras, sayuran, dan kebutuhan untuk masak-memasak hari ini. Pengalaman pertama, Naisya terlihat masih malu-malu.

Sampai di rumah, nyonya muda itu tak bersegera memasak. Suaminya pulang sore. Jadi masaknya nanti sore aja. Siang ini makan mie instan. Duh kebiasaan anak kos itu masih melekat.

Usai shalat Ashar, Naisya bersiap memasak. Bismillah.... bantu aku ya Allah, bisiknya penuh harap. Ia memotong Jagung, wortel, bayam dan menyiapkan bumbu.

O, ya sebelum masak sayur mending nanak nasi dulu.

Naisya pun mencuci beras. Tak sampai bersih, takut vitaminnya hilang. Setelah itu dikasih air. Seberapa, ya? Husy... Naisya lupa pelajaran dari Widya dan adik-adik kosnya. Mau tanya via telepon gengsi. Akhirnya, beras yang sudah berada dalam panci itu dituanginya air menurut takarannya sendiri. Tinggal cup! Sudah nancep di listrik, nunggu mateng deh! Naisya tertawa-tawa sendiri.

Tak lama setelah sayur bening, tempe dan pindang goreng plus sambal tomat kreasinya siap dihidangkan, Naisya mandi. Bersiap menyambut suami dengan penampilan terbaik dan keceriaan penuh.

*******

Penantian Naisya sore ini berakhir. Deg-degan jantung Naisya waktu suaminya mengetuk pintu diiringi salam.
”Subhanallah, cantik sekali bidadari Abang ini.”
”Halah... Bang Ghozi mulai, deh ngegombal.”
”Nggak, kok. Ini tulus dari hati. Hmh... by the way, Abang lapar berat nih. Dari siang belum makan.”
“Tenang, Bang, makanan sudah siap, kok.”
Naisya menghidangkan kreasi istimewa perdananya.
“Wah, kelihatannya enak. Mana nasinya, Dik?”
“Ada di rice cooker, Bang.”
“Oh, baiklah giliran Abang yang mengambilkan, deh.”
Naisya mengiyakan.
“Masya Allah, Dik. Kok nasinya belum masak?”
Gubrrakkk!!!
Naisya terkejut. Ia ingat belum meng-On-kan rice cooker-nya. Astaghfirullah.

Ghozi tersenyum melihat kepanikan istrinya. Diam-diam, ia membawa panci dan membuang air.

”Airnya kebayakan, Dek. Sini Abang ajarin.”

Ghozi unjuk kebolehannya menanak nasi di rice cooker. Lha wong cuma masak nasi kok nggak bisa. Kebangetan deh!

METAMORPHORIA, learning by doing, karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, dan sederet slogan kebanggaan Naisya kini tak berarti lagi. Ternyata tak cukup slogan sebagai penyemangat. Namun, butuh aplikasi yang lebih. So, mari kita ber-METAMORPHORIA dengan sungguh-sungguh. Jangan instan, ya! Yoi: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan.

*******
*)Preface di buku METAMORPHORIA
**) http://cahaya05.wordpress.com
***) Preface di buku METAMORPHORIA
****) Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus, http://fsldkn.org

Monday, 21 December 2009

SURAT BUAT BUNDA

0 comments

Kubaca lagi surat buat bundaku dua tahun yang lalu
hanya biru mewarna hatiku
Maaf, Bunda, Adik belum mampu membuatmu tersenyum bangga
Maafkanlah anakmu..


kutemukan bening kristal berjatuhan
saat senyummu menjawab semua tanya
agar damai terjaga di singgasana rasa

Boleh, kan, Adik mengembarakan Cinta?
Boleh, ya, Bunda?


Ikhlasmu antar aku pada harapan
tentang indah keabadian
usai persinggahan yang hanya sebentar

Jangan...jangan terbuai pesona
dunia hanya fatamorgana!
(Menjadi Bidadari by Fathimatul Azizah)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sungguh, hanya bagi ALLAH segala puji. Semoga ditetapkan hati-hati kita di atas agama-NYA. Shalawat dan salam kepada junjungan tercinta. Semoga mampu kaki-kaki kita mengikuti sunnahnya.
Kabar baik, Bunda?



Selalu itu kalimat pertama yang Adik hadiahkan buat Bunda via telepon atau SMS. Hampir tiap hari Bunda mendapatkannya. Dan Bunda selalu meyakinkan Adik bahwa Bunda baik-baik saja meskipun keadaan Bunda tak selalu begitu. Bunda tak pernah tega mengabarkan hal-hal yang tidak baik karena Bunda tak mau Adik terlalu khawatir memikirkan keadaan Bunda. Baiklah, Bunda... Adik mengerti itulah salah satu bukti ketegaran yang engkau punya. Namun Bunda, di malam yang semakin larut ini entah mengapa mata enggan terpejam. Ada gundah yang masih terus berkecamuk dalam diri. Adik tak berhasil menepis gundah itu. Ya! Bagaimana mungkin Adik bisa tenang membiarkan Bunda sendirian di rumah; tak berkawan seorang pun di waktu malam.

Terbayang jelas di mata Adik, saat Bunda diam-diam menangis setelah shalat. Betapa memang hanya ALLAH muara segala rasa yang ada di jiwa. Bunda mengajariku lagi makna ketegaran dengan mengadukannya kepada Yang Maha Penyanyang. Adik tahu tak mudah menghadapi kenyataan pahit. Tak mudah bagi kita melepas kepergian orang yang kita cintai. Apalagi ia telah berpuluh-puluh tahun menjadi sandaran jiwa. Namun, Bunda telah buktikan ketegaran untuk melepasnya; merelakan kepergian Ayah meski sungguh tak terkira perihnya hati yang terluka. Bunda mencoba untuk ikhlas. Ya, Adik tahu...sangat tahu bahwa hal itu teramat berat bagi Bunda.

Bunda, kini Adik mengerti mengapa kita tak boleh mencintai sesuatu secara berlebihan. Rasul telah mengingatkan kita untuk bersikap proporsional; mencintai atau membenci sesuatu sewajarnya saja. Sesuatu yang kita cintai bisa menjadi sesuatu yang kita benci dan sebaliknya. ALLAH yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Bisa jadi apa yang menurut kita baik namun teramat buruk di hadapan ALLAH dan sesuatu yang kita anggap buruk ternyata justru baik bagi kita.

Bunda, sudah dua tahun lebih Ayah tak lagi bersama kita di rumah. Dalam rentang waktu itu, Adik mencoba memaknakan setiap peristiwa sebagai tanda kasih sayang-NYA. Sungguh ALLAH tak pernah menguji kita di luar batas kesanggupan. Dari Ayah dan Bunda, Adik semakin mengerti bahwa ternyata masih banyak bekal yang harus dipersiapkan sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum menikah. Sebelum saat itu tiba –-saat seorang lelaki yang berhati cahaya dihadirkan-NYA untuk meniti jalan bersama menuju surga-- Adik harus terus memperbaiki diri. Bukankah menggenapkan setengah dien adalah ibadah yang harus dipersiapkan dengan baik?

Apapun yang terjadi, selama nafas kita masih diizinkan-NYA berhembus, kita harus bersemangat untuk terus memperbaiki diri dan mempersiapkan bekal menuju kehidupan abadi. Adik berjanji untuk terus memperbaiki diri. Beberapa bulan terakhir ini, ALLAH menegur Adik dengan kepergian orang-orang hebat. Adik menganggap mereka sahabat perjuangan. Mereka adalah mujahid dan mujahidah masjid kampus. Tiga di antaranya -–Akh Bambang, Mbak Amal, Akh Joko Suseno-- pernah aktif di JN UKMI UNS –Lembaga Dakwah Kampus di tingkat universitas-. Ya! Meski tidak semuanya Adik kenal dari dekat tapi Adik belajar banyak dari mereka. Mereka adalah sosok-sosok yang amanah dalam dakwah.

Bunda, di satu sisi Adik merasa benar-benar kehilangan, namun di sisi lain Adik semakin tersadar betapa memang ALLAH Penggenggam jiwa semua makhluknya. DIA telah menentukan berapa jatah usia kita. Adik semakin takut, akankah dalam sisa usia yang masih diberikan-NYA mampu Adik gunakan untuk memberikan yang terbaik? Akankah Adik mampu menjadi anak yang berbakti pada Ayah dan Bunda? Mampukah Adik menjadi wanita shalihah di setiap sisi kehidupan? Menjadi sebaik-baik perhiasan dunia yang didamba para pencinta-NYA?

Dalam ketakutan itu, Adik berharap banyak dari doa Bunda. Doa agar ALLAH menjadikan Adik sebaik-baik perhiasan dunia; menjadi anak, istri, dan ibu yang shalihah –nantinya-. Adik percaya doa Bunda selalu menyertai langkah-langkah kaki Adik dalam menapak di jalan-NYA.

Bunda ,ingat, nasyid yang sering Adik putar waktu SMA? Nuansa; nasyid pinjaman dari perpus Rohis SMA. Entah mengapa akhir-akhir ini Adik sering menyandungkannya. Saat-saat Adik sendiri..saat-saat Adik rindu dengan Bunda.

Duhai ibuku..
Dengar nasyidku...
Putramu (i) yang kini dari sisimu
Tunaikan tugas emban amanah
Turut perjuangkan Dinul Islam tercinta..


Bunda, Adik ingin menjadi bagian dari barisan akhwat tangguh; menjadi seorang mujahidah yang tegar hadapi setiap ujian perjuangan. Adik tahu, Adik punya banyak keterbatasan namun bukankah ALLAH berikan kemampuan dan kesempatan untuk berusaha? Kemenangan atau kekalahan bukanlah hakekat yang diperjuangkan. Biarlah ALLAH, Rasul dan orang-orang beriman menjadi saksi dari tiap kerja keras yang kita lakukan. Bunda, doakan Adik ya... Adik ingin menjadi bagian pembela agama-NYA. Adik ingin menjadi bagian dari kebangkitan Islam.

Bunda, diakhir surat ini.. Adik ingin mengatakan bahwa Adik bangga terlahir sebagai seorang muslimah. Adik pun bangga memiliki Ibu sepertimu. Bunda telah banyak berkorban demi kami –-Adik dan Mas-- Bunda tak pernah membiarkan binar mata kami redup. Maka, tak ada yang bisa kami lakukan untuk membalas semua itu selain doa. Semoga ALLAH menjaga Bunda selalu, menyayangi Bunda seperti Bunda menyayangi kami di waktu kecil. Terimakasih Bunda... Hanya ALLAH yang bisa membalas semua pengorbananmu.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.



Wednesday, 2 December 2009

MUHASABAH BERSAMA SAHABAT PERJUANGAN

0 comments

Amanah yang terembankan
pada pundak yang semakin lemah
Bukan sebuah keluhan,
ketidakterimaan,...keputusasaan!
terlebih surut langkah ke belakang

Ini adalah awal pertempuran
Awal pembuktiaan
Siapa diri yang beriman.

Wahai diri, sambutlah seruannya
Orang-orang besar lahir karena beban perjuangan
Bukan menghindar dari peperangan*

SAHABAT,
Mari kita ambil istirah sejenak. Kita nikmati keheningan bersama kesendirian. Kita pintal kembali harapan yang pernah terkoyak. Mari bermonolog dengan kejujuran hati nurani. Benarkah diri ini masih selalu merindu indah jannah-NYA? Keindahan yang dihadiahkan-NYA untuk orang-orang yang beriman; orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan-NYA. Benarkah kita bertekad untuk terlibat dalam sebuah perniagaan yang dapat menyelamatkan kita dari adzab pedih-NYA? Ya! Tentu selalu kita damba keberuntungan besar itu. Namun, akankah mampu kita bayar pahitnya perjuangan, dengan semanis mahar berupa pengorbanan? Sanggupkah kita menebusnya dengan amal yang tidak seberapa? Dengan kerja-kerja yang masih tak sempurna.



SAHABAT, selagi belum terlambat mari luruskan kembali niat. Bukankah dari awal perjalanan kita telah diingatkan bahwa jalan dakwah yang akan kita tempuh adalah jalan panjang? Kita pun telah diingatkan betapa banyak aral dan cobaan yang menguji keistiqomahan kita dalam menempuhnya. Namun bukankah kita pun akhirnya sepakat untuk menghusungnya bersama-sama? Tak satu pun dari kita yang sanggup memikul berat bebannya. Dan bukankah ALLAH pun menyukai kita terhimpun dalam barisan yang teratur hingga kita laksana bangunan yang tersusun kokoh.

Sahabat, sudah saatnya kita mengambil peran dalam perjalanan panjang ini. Marilah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam amal dakwah ini. Lakukan apapun yang bisa kita lakukan tanpa melanggar nilai-nilai syar’i. Hal-hal yang kita anggap kecil bisa jadi nilainya sangat besar di sisi ALLAH. Yakinlah bahwa ALLAH tidak melihat hasil usaha kita akan tetapi sejauh mana keikhlasan, ikhtiar dan kesungguhan hamba-hamba-NYA. Maka mari iringi setiap usaha kita dengan doa-doa malam; doa yang dipenuhi rasa harap dan khauf atas pertolongan dan cobaan-NYA.

Ingatlah bahwa ALLAH tidak akan pernah mendzalimi hamba-NYA di luar batas kesunggupannya. Oleh karena itu amanah apapun yang dipercayakan pada kita, InsyaALLAH kita mampu menunaikannya. Ketika amanah dipikulkan pada kita berarti kita telah memenangkan proyek besar dari ALLAH: kita adalah orang-orang pilihan di antara yang lainnya.

“Dan berjihadlah kamu di jalan ALLAH dengan jihad yang sebenar-benarnya. DIA telah memilih kamu dan DIA tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...” (22:78)

Gelorakan semangat juangmu, wahai SAHABATku! Sudah bukan saatnya lagi perbedaan karakter menjadi hal yang menghalangi amal dakwah kita. Sudah bukan zamannya semangat dakwah kita bergantung pada mood dalam diri. Sudah bukan waktunya kita hanya memilih menjadi penonton atas perjuangan dan pengorbanan saudara-saudara kita menegakkan risalah ini.

Mempengaruhi orang itulah pekerjaan dakwah. Orang kaya lebih berpengaruh di mata masyarakat awam. Maka sudah semestinya kita menjadi orang-orang kaya ruhiyah, berjiwa besar dan berlapang dada, bersabar, dan tetap optimis akan pertolongan ALLAH SWT.

Bertahanlah meskipun beban dakwah ini begitu berat. Cukuplah keikhlasan menjadi saksi perjuangan kita. Berdoalah selalu agar ALLAH menjadikan kita pengemban amanah dakwah yg jiddiyah. Yg tidak saja membuat dakwah bersemi di lingkungan kita, melainkan mampu membangun semangat ikhwah kita yang sedang melemah.**

Muhasabah gado2, cuplikan dari file FSLDKN XII & taushiyah seorang mbak. (fa)
*dari tulisan “Mencari Energi yang Hilang Dalam Dakwah” taushiyah seorang mbak
** kata-kata di majalah Al-Izzah di sebuah edisi



Tuesday, 1 December 2009

RINTIK YANG MENYUBURKAN

1 comments
Mukhammad N.F (eks Ketua Umum FLP Solo)

Hubungan yang lembab antara penulis, kesunyian dan Pencipta Sunyi menjadi bagian dari alur yang indah dalam sebuah tulisan kenangan. Saya menyebutnya kenangan karena tulisan-tulisan di dalam buku ini lebih sebagai fragmen yang menitipkan kenangan silam. Ingatan-ingatan lalu yang mengirimkan rindu dan cinta. Tidak... tidak hanya itu, tetapi ingatan yang membekaskan nafas, meniupkan bara dan melapukkan kesombongan. Nyanyian masa lampau yang masih terdengar indah karena berderet-deret nama Tuhan selalu –dan berkali– disebut dalam setiap kejadian.


Menghubungkan setiap kejadian pada nama-nama Tuhan bagi sebagian orang menjadi aktivitas yang buta dan sunyi. Tetapi bagi sebagian yang lain, tidak menghadirkan kemuliaan-Nya justru menjeratkan kepedihan dan keresahan. Memang tidak salah tatkala menyikapi masalah dengan ukuran logika dan kebesaran pikiran. Tetapi lebih indah, saat berbagai beban datang bertubi-hunjam maka nama-nama Tuhan menghias basah menjadi dzikir di bibir hamba. Mereka memaknai kejadian sebagai bagian kenikmatan, mencandai ‘beban’ sebagai rintik yang menyuburkan.

Sebagaimana disampaikan dalam Wahyul Qalam-nya Ar-Rafi’i, “Jika engkau menghadapi dunia dengan jiwa lapang, engkau akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Engkau harus tahu bahwa bila duniamu terasa sempit, sebenarnya jiwamu lah yang sempit —bukan dunianya.”

Subhanallah...!


Lalu, manakah yang lebih indah jika hamba yang pandai itu (juga) seorang penulis? Pasti ia akan melekatkan pena yang menghubungkan kisah dengan sesungguh penghambaan. Hal itulah yang berusaha dilakukan oleh penulis muda ini dalam buku catatan kecilnya “Sedetik di Mata, Selamanya di Jiwa”. Sebagai karya pertama yang –akhirnya– dibukukan, layaklah jika usaha dan kerja kerasnya menjadi catatan tersendiri. Di samping kegigihan dan keinginannya untuk mengembalikan riak-riak kecil yang meriuh (beban) selalu pada kebesaran asma Tuhan.

Keseluruhan, ada 29 (duapuluh sembilan) kisah yang ditata dengan sederhana dalam buku kecil ini. Kisah-kisah yang oleh Fathim (panggilan untuk Fathimatul Azizah) diharapkan dapat menjadi ruang istirah dan meng’hisab’ diri. Semuanya adalah catatan nyata yang dikumpulkan dari ingatan-ingatan lapuk penuh warna. Fathim tidak hanya memindahkan warna itu mentah-mentah, tetapi ia menghadirkan dirinya tiap kali menuliskan catatan. Bahwa setiap catatan adalah kenangan dan setiap kenangan pasti membenamkan pelajaran, itulah kehidupannya. Seperti : subuh yang bergerak, pengamen yang santun, kematian yang tiba-tiba, jilbab yang ‘berongga’, air mata yang lindap di kesunyian, hingga nasyid (senandung islami) yang –kadang– melalaikan, pun persaudaraan para aktivis LDK yang pekat tak luput ia usapkan warna!

Sebagai seorang penulis perempuan, saya menangkap keseluruhan kisah Fathim hampir-hampir juga berwarna ‘perempuan’. Fathim melihat setiap kejadian dengan perasaannya sebagai seorang perempuan. Hingga dalam setiap kisah akan sering ditemukan catatan yang ‘basah’ karena bermuara air mata dan sendu kepedihan. Tetapi tidak semuanya! Sebab ada beberapa kisah yang justru memberontakkan ketegaran dan kekuatan. Justru di situlah saya menangkap kelebihan Fathim. Kisah-kisah yang dihadirkan terasa lebih lunak dan lembut karena ditulis oleh seorang perempuan. Maka tidak salah jika Fathim menginginkan buku ini menjadi ruang untuk istirah. Sebab, di ruang itu ia memantik api yang menghangatkan bukan yang membakar, ia meniupkan angin yang meneduhkan bukan yang menghancurkan. Seperti dzikir yang berulang-ulang di ujung malam, selalu mengingatkan.

Maka bacalah!

Sebab Anda tidak hanya diajak untuk berehat memintal jeda sejenak, tetapi Anda akan diajaknya pula untuk menyeberang malam hingga di ujung fajar.

Sampai ufuk semburat merahnya . . .

***

Solo, Syawal 1428 H

Saturday, 13 June 2009

Arkan Dian Husnayan

0 comments

Kusenandungkan ini untuk mengantar anakku tidur:
Tidurlah-tidur anakku..tidurlah sayang
umi selalu menjaga dan berdoa
agar kelak kau dijadikan manusia
pembebas durjana pelepas duka lara

Puji syukur pada-Mu ya Illahi Rabbi
tercipta buah hati dambaan insani
Kuserahkan jiwa raga sebagai bukti
sang ibu dan ayah bersatu dalam janji...


Wednesday, 25 March 2009

CAHAYA YANG TERUS MENYALA*

0 comments
Inilah resensi Buku Pedoman Asistensi (BPA)UNS yang kini telah direvisi. Saya melihat tampilannya kini sudah berubah namun muatan di dalamnya tak jauh berbeda dari sebelumnya.

DATA BUKU
Judul : Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi
Penyusun : Yeceu Ekajaya, dkk.
Penerbit : Nurul Huda Press
Edisi :Edisi keempat, September 2005
Tebal : xvii + 166 halaman

Kita tentu sudah sangat faham bahwa masa muda adalah masa yang paling berharga dalam fase kehidupan manusia. Di masa mudalah kekuatan fisik menyatu dengan berbadai ide dan cita-cita serta tekad yang kuat membaja. Benarlah apa yang dikatakan Hasan Al-Banna bahwa pemuda adalah pilar kebangkitan, karena memang dalam setiap kebangkitan pemuda adalah pengibar panji-panjinya. Tidaklah mengherankan jika banyak pihak yang berusaha untuk memanfaatkan pemuda untuk memenuhi tuntutan ambisinya.

Menyadari kondisi umat Islam yang jauh melangkah dan terjebak dalam kondisi kejahiliyahan maka Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi, Buku Panduan Asistensi (BPA) Agama Islam UNS, disusun oleh Tim BPA. Buku ini adalah persembahan istimewa untuk menyambut mahasiswa baru yang masih bersemangat dalam menemukan jati dirinya.



BPA disusun dengan sistematis. Hal itu dapat kita lihat dari penyusunan bab demi bab. Bab 1 mengajak kita, khususnya mahasiswa baru, untuk mengenal diri kita sebagai manusia individu. Tiga unsur manusia, akal, jasad dan ruh, membentuk senyawa kepribadian sehingga membedakan kita dengan makhluk yang lain. Dengan memahami Manusia Dalam Perspektif Islam kita diharapkan mampu menyadari potensi dan keistimewaan kita sebagai manusia. Dengan pemahaman yang benar manusia diharapkan mampu melaksanakan misi penciptaan yang diembannya.

Setelah mengenal eksistensi kita sebagai manusia dalam perspektif Islam, dalam 3 bab selanjutnya, bab 2, 3, dan 4, kita diajak untuk berma’rifah (mengenal) Allah, Rasul, dan Islam. Ma’rifatullah, Ma’rifatul Rasul, dan Ma’rifatul Islam adalah 3 hal penting yang harus difahami oleh seluruh umat Islam. Pemahaman yang benar akan 3 hal tersebut sesungguhnya berkolerasi dengan lurusnya aqidah seorang muslim.

Setelah mengenal Allah, Rasul, dan Islam, mata kita dibuka untuk melihat
Problematika Umat Islam yang kini telah melanda. Realitas individu (lemahnya komitmen aqidah, wawasan, spiritual, kemauan dan cita-cita serta harga diri individu muslim) dan realitas masyarakat (lemahnya kepemimpinan, persaudaraan, jaringan, dan lemahnya perencanaan dakwah) sesungguhnya adalah penyakit yang semakin menyurutkan kekuatan umat Islam dalam menghadapi tantangan masa kini, baik invasi fisik maupun invansi pemikiran (ghazwul fikri) yang berupaya untuk menjauhkan umat Islam dari fitrahnya. Dalam bab ke-5 ini kita disadarkan bahwa kebangkitan Islam adalah sebuah kemestian. Diperlukan dakwah Islamiyah yang syamilah (komprehensif) untuk menyingkirkan penyakit dari dalam tubuh umat Islam.

Dalam menyongsong kebangkitan umat Islam dan menjalankan dakwah Islam yang menyeluruh maka Tarbiyah Islamiyah yang ada dalam bab ke-6 adalah perangkat yang ditawarkan. Bab ini membahas pengertian, urgensi, dan karekteristik tarbiyah Islamiyah. Secara umum, tarbiyah Islamiyah adalah proses penyiapan menumbuhkan dan membentuk manusia yang shalih pada setiap sisinya sehingga tercipta keseimbangan dalam potensi, tujuan, ucapan dan tindakannya. Bab ini meyakinkan kita bahwa tarbiyah adalah solusi yang tepat untuk mencapai tujuan mulia. Diperlukan kesungguhan dalam proses tarbiyah karena, seperti yang dikatakan Musthafa Masyur, tarbiyah memang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya takkan bias diraih kecuali dengan tarbiyah.

Manusia membutuhkan pedoman hidup yang jelas agar tidak tersesat. Dalam bab terakhir, bab ke-7, kita diingatkan bahwa pedoman hidup seorang muslim adalah Al-Quran. Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Bab ini menjelaskan tentang fungsi, keistimewaan, dan kewajiban kita terhadap Al-Quran.

Buku Panduan Asistensi ini cukup lengkap dan mampu menutupi kekurangan materi dalam Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam. Susunannya yang sistematis memudahkan kita untuk memahami bab demi bab. Kita seolah diajak berpetualang dengan rute yang menarik. Bab demi bab yang telah terbaca memudahkan kita untuk memahami bab selanjutnya. Sisi kemanusiaan kita disentuh dengan cara yang sangat lembut lewat jeda yang ada di antara bab satu dengan bab yang lain. Sejenak Merenung adalah jeda yang menuntun kita untuk mengambil untaian hikmah yang sarat akan pembelajaran dalam memaknakan kehidupan.

Buku ini memang sistematis. Namun akan lebih menarik jika gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa ringan, mengingat buku ini ditujukan untuk mahasiswa muslim yang baru saja lulus SMA. Tidak ada salahnya jika dalam edisi selanjutnya, buku ini ditulis dengan bahasa gaul yang santun dan mudah difahami. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kejemuan mahasiswa baru dalam membaca keseluruhan isi buku yang cukup berat. Kosa kata bahasa arab memang tetap diperlukan. Meskipun sudah ada glossary untuk kata-kata sulit tersebut, namun pemilihan kata yang sesuai dengan karakteristik anak muda tetap diperlukan.

Dari edisi pertama sampai edisi keempat ini tidak ada revisi yang signifikan. Buku ini memang masih relevan jika digunakan untuk beberapa tahun mendatang. Namun dalam edisi selanjutnya haruslah diupayakan revisi dan inovasi yang menarik. Setting dan lay out buku ini bisa dipercantik, dan font yang digunakan tidaklah harus Times New Roman yang kesannya sangat formal. Tidak ada salahnya jika ditambahkan ilustrasi lucu (gambar kartun misalnya) dalam setiap babnya.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, Di Bawah Naungan Cahaya Ilahi, diharapkan mampu menjadi sarana untuk mendukung kembalinya generasi Islam pada jalan yang sesungguhnya dan sebagai sarana untuk menggapai cahaya-Nya. Semoga buku ini mampu menjadi sumber rujukan bagi setiap muslim yang mencari jalan kebenaran. Semoga buku ini benar-benar mampu menunjukkan cahaya. Cahaya yang membuka hati manusia untuk menggapai hidayah-Nya. Ya! Karena cahaya itu akan terus menyala!
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah akan tetap menyempurnakan agamanya meskipun orang-orang kafir benci.” (Ash-Shaff:8)

*resensi kecil masa kecil,juara III lomba resensi perpus ukmi di masanya.

PANGGILAN DAN KENYAMANAN

0 comments

“Tidak suka dipanggil dengan sebutan ‘boss/pak..”

Saya tersenyum membaca profil salah seorang al-akh. Ia adalah salah satu anggota di sebuah ‘tim dakwah’ yang usia di kampusnya terpaut dua angkatan di bawah saya. Saya tidak menyangka ia akan menuliskan hal tersebut dalam form yang saya bagikan sebelumnya. Dan hari ini, setelah lima bulan berlalu, saya minta maaf kepada al-akh, anggota tim yang lain. Saya merasa bersalah karena beberapa waktu terakhir sering memanggilnya dengan ‘Dik’. Panggilan yang sebenarnya biasa saya gunakan untuk memanggil adik-adik saya, baik ikhwan/akhwat yang berasal dari tanah kelahiran saya, Ngawi.

Ada yang salah dengan panggilan tersebut?


Jawabannya tergantung dari masing-masing personal dan apa yang ada di dalam hatinya. Sebenarnya saya merasa nyaman saja memanggil teman-teman yang usianya terpaut beberapa tahun di bawah saya dengan panggilan ‘Dik’. Bagi saya, panggilan ‘Dik’ ke akhwat menimbulkan kedekatan, sedangkan memanggil ‘Dik’ pada ikhwan akan memperjelas batas; bahwa ia lebih muda daripada saya. Dengan begitu –awalnya- saya fikir lebih aman dalam berinteraksi. Saya tidak mempunyai maksud apa-apa.

Ketika ada teguran yang datang, ataupun ada pertanyaan yang terlontar dari seorang sahabat tentang alasan mengapa saya memanggil al-akh dengan panggilan tersebut, saya menjawabnya dengan alasan di atas. Meskipun seorang ukhti di Surabaya mengatakan bahwa memanggil ikhwan dengan panggilan ‘Dik’ adalah salah satu bentuk pelanggaran, saya tetap melakukannya. Menurut saya tak ada yang salah dengan panggilan tersebut.

Saya sadari bahwa panggilan yang kita berikan pada orang-orang di sekitar haruslah panggilan yang baik. Bukankah Rasulullah pun mengajarkan untuk memberikan panggilan yang baik pada orang lain? Jadi bukan asal kita merasa nyaman, tapi lebih dari itu kita pun harus memperhatikan perasaan orang yang kita panggil.

Di kalangan aktivis –ikhwan/akhwat-, mungkin panggilan yang paling aman adalah ‘Akhi/Ukhti’. Meskipun di beberapa tempat kebiasaan itu kadang tidak berlaku untuk semua usia. Daerah Jogja misalnya. Berdasarkan cerita dari teman-teman di UGM, mereka terbiasa memanggil ikhwan dengan sebutan ‘Pak’. Teman-teman Indonesia Timur –yang saya tahu akhwat Ternate- memanggil ikhwan yang lebih tua dengan panggilan ‘Kak’, sedangkan teman-teman di Padang mempunyai panggilan ‘Uda/Bang’. Jadi, memang tak ada keharusan memanggil apa pada ikhwan/akhwat. Pun memanggil dengan panggilan ‘Akhi/Ukhti’. Apalagi di khalayak ramai, panggilan tersebut cenderung kita minimalisasi.

Kembali ke masalah yang saya sampaikan di awal. Apakah ada yang salah dengan panggilan ‘Dik’ yang saya tujukan pada seorang al-akh? Kurang ahsan-kah panggilan tersebut? Entahlah...tiba-tiba saja saya merasa harus mengubah cara saja memanggil al-akh itu, meskipun secara usia ia terpaut beberapa tahun di bawah saya. Ya! Saya khawatir ia tidak ridha terhadap panggilan yang saya berikan. Saya masih ingat, dalam SMS terkadang ia masih sering memanggil saya dengan ‘Ukh’. Hanya sekali dua kali ia memanggil saya dengan ‘Mbak’. Saya kemudian berkesimpulan bahwa tidak semua ikhwan –yang secara usia lebih muda- senang dipanggil ‘Dik’, seperti halnya saudara saya yang tidak suka dipanggil ‘Boss/ Pak’

Adalah hal yang wajar memanggil orang dengan panggilan yang membuat kita merasa nyaman dengan panggilan tersebut. Namun, ada baiknya kita berfikir ulang dengan panggilan yang kita berikan. Saya khawatir panggilan yang kurang tepat bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Bagaimanapun kita harus menjaga diri dan tahu dengan siapa kita bergaul. Alhamdulillah, saya pun sedikit lega ketika akhirnya al-akh yang beberapa waktu terakhir saya panggil ‘Dik’ ternyata tidak keberatan dengan panggilan tersebut.
Kmrn sya ngk OL ki & jga blm bca psn mbk. IA sya ngk mslh dipnggil DIK, toh srg dpngl dik ma mbk Iin. Mlh lbh nyaman dipnggl dik. Tfdhli mbk bety mo mangl apa.


Wisma Kemuliaan, 6 Oktober 2007


Thursday, 26 February 2009

(masih) Belajar Menjadi Aktivis

0 comments

Engkau bahkan masih memberi penjelas, penegas bahwa kita harus berbagi tugas. Tidak semua harus terjun ketika agenda dakwah begitu memadat. Banyak ruang kosong di sana sini yang harus diisi oleh sebaran kader yang harus terbagi. Dan engkau yang membagi sebaran itu, dan engkau yang memilih ruang lain itu.1

“af1, Akh. Da amanah lain yg hrus sgra ditunaikan. ane g bs syuro bidang nanti mlm.


Huda tersenyum getir membaca SMS dari stafnya. Izin lagi. Izin lagi. Kapan seluruh staf bisa kumpul dalam syuro bidang? Padahal undangan syuro dah dikirim jauh-jauh hari yang lalu. Bukan sekedar via SMS tapi juga undangan tertulis plus taushiyah telah disampaikannya secara langsung. Semua usaha untuk menghadirkan seluruh personel bidang sudah dilakukan. Bahkan sebagai ketua bidang, ia rela bergerilya dari kos ke kos, dari fakultas ke fakultas, dan dari basecamp ke basecamp agar bisa menemukan anak buahnya. Memastikan agar syuro special kali ini bisa dihadiri oleh seluruh personel. Minimal kali ini saja.

Nurul, kembaran sekaligus sekretaris bidangnya, juga telah melakukan hal yang sama. Tapi memang manusia hanya bisa berencana.

“Akhwat hanya separuh yang bisa. Yang lain izin.” Laporan Nurul via interkom membuat Huda jadi kehilangan semangat. Kalau begini terus bagaimana bidangnya bisa solid? Padahal targetan syuro bidang malam nanti adalah membahas the big event yang membutuhkan banyak pemikiran. Bagaimana mungkin hanya mengandalkan kabid dan sekbidnya?

Masih dengan akumulasi kekecewaan Huda menuruni tangga masjid NH. Segera ditujunya tempat wudhu. Kesejukan air kran membuat kepala ikhwan berjenggot tipis itu sedikit lebih ringan. Pelan, istighfar pun terlantun dari bibirnya. Hatinya kini menjadi lebih lapang.

Kini ia bersiap untuk shalat ashar. Usai ashar ia harus meluncur ke kampus sebelah untuk mengisi kajian sore.



Nurul berjalan berjingkat-jingkat. Hujan selepas maghrib menemani perjalanannya menuju masjid kampus. Payung mungilnya tak mampu melindungi tubuhnya dari guyuran air dari langit. Jaket UKMI yang dikenakannya sudah basah. Kaos kakinya apalagi. Namun gadis itu mencoba menikmatinya. Ia ingat taushiyah sang murrabiyah.

“Hujan adalah tentara ALLAH. Dan antunna percaya bahwa sesama tentara ALLAH tak akan saling menyakiti, bukan?”

Gadis itu pun tersenyum. Kalaupun habis kehujanan ia jatuh sakit biasanya sebuah isyarat staminanya sedang menurun. Mudah-mudahan kali ini tidak begitu. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum. Ia percaya hal itu.

“Mbak Nurul, tunggu!” Sebuah suara yang tidak asing menghentikan langkahnya. Nurul menengok ke belakang. Ada Ajeng yang berlari-lari kecil mendekat ke arahnya. Keduanya pun bergegas menuju eNHa, masjid perjuangan tercinta.

“Mbak afwan sebelumnya. Ajeng capek banget. Tadi habis muter-muter cari sponshorship untuk acara HMJ. Semisal nanti nggak terlalu loading dalam syuro harap dimaklumi, ya?” sebuah pinta dari Ajeng baru saja diterimanya.

Melihatmu datang saja, mbak sudah senang. Nurul berucap dalam hati. Senyumnya yang masih mengembang membuat Ajeng jadi salah tingkah.

“I ya, deh mbak, ntar Ajeng tetap berusaha connect.”

“Begitu lebih baik. You can if you think you can!.” Kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja. Semangat yang lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.



Nurul masuk rumah sakit. Typus-nya kambuh. Huda segera meminta bantuan seorang al-akh untuk meneruskan proposal kegiatan bidang yang sebenarnya sudah didelegasikan ke stafnya, lebih tepatnya menjadi tanggung jawab sekretaris kegiatan. Deadline sudah lewat, proposal itu belum juga dikerjakan. Terpaksa ia mengambil alih pekerjaan itu untuk kesekian kali. Namun kali ini ia terpaksa meminta tolong pada teman sekamarnya di eNHa.

Huda segera meluncur ke PKU Muhammadiyah, tempat Nurul dirawat inap.
“Syafakillah, Dik,” bisik Huda di cuping saudara kembarnya.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Nggak usah khawatir. Ini bukan yang pertama, kan?”

Dalam kondisi lemah, Nurul masih saja bercanda. Mau nggak mau Huda pun tersenyum. Dua akhwat yang membawa Nurul ke rumah sakit pamit untuk sementara waktu. Huda pun segera mengiyakan. Tak lupa ia berterimakasih pada keduanya.

“Tawadzun itu nggak mudah, ya?” Nurul masih saja berceloteh.

“Sudah nggak usah mikir yang macam-macam. Istirahat aja.”

“Tapi, Da... deadline laporanku....?”

“Sudah...Insya ALLAH kubantu.”

Ups! Tak sengaja ia berjanji. Tapi Huda bertekad akan membantu saudara kembarnya.

Kasihan Nurul. Tadi malam ia masih berapi-api dalam syuro bidang bersamanya. Meski dari 15 personel hanya tujuh yang hadir, gadis itu masih berusaha membantunya mengkondisikan forum agar muntijah. Saudara kandung sekaligus teman seperjuangan yang tak pernah bosan menyemangatinya.

Jam di dinding kamar rumah sakit menunjukkan pukul dua dini hari. Huda masih terjaga. Dipandanginya wajah tirus sang adik kembar. Hanya iba yang kini mewarna di benaknya. Iba itu menimbulkan sesak di dada, men-stimulus bening-bening kristal mengalir di pipi.

Astaghfirullah! Ia kembali mengulang istighfarnya. Lantas diraihnya mushaf kecil di meja. Dibacanya kalam suci dengan tartil. Sepenuh hati dicobanya mentadabburi ayat-ayat cinta Illahi. Ada ketenangan yang tak berhingga.

Huda me-review kembali perjalanannya di kampus hijau. Betapa ternyata kesibukan demi kesibukan tak diimbangi dengan suplai energi yang sepadan. Betapa ternyata ‘kokoh dan mandiri dalam maknawiyah, fikriyah dan jasadiyah’ masih sebatas slogan. Amal yauminya akhir-akhir ini seolah hanya mengejar target tanpa pemaknaan. Buku-buku pergerakan dan sains yang dibacanya sama sekali tak berbekas. Pola makan dan istirahatnya belumlah memenuhi standar kesehatan. Huda mendesah pelan. Ia yakin Nurul pun demikian. Mungkin lebih parah.

“Aina anta ya jundullah?” kini pertanyaan itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Aina ana?”


Ternyata lagi-lagi ia (masih) harus belajar untuk menjadi seorang aktivis. Semangat saja memang tidak cukup.

Dibentangkannya sajadah kecil di samping tempat tidur Nurul. Sepertiga malam ini dilaluinya dengan syahdu. Di hadapkan wajahnya dengan hati yang penuh rindu. Betapa ia merasa sangat lemah.

Apa jadinya diri ini tanpa pertolonganmu, Ya Rabb?

Huda tersungkur dalam sujud panjangnya.

9 Juli 2007:01.30 untuk adik2 eNHA

*Dikutip dari “Aina Anta Ya Jundullah?Refleksi seorang Murrabi: Fajar el-Shahwah)



RINDU DAMAI SENYUMMU, BUNDA !

0 comments

SELEPAS membaca Al-Matsurat bersama teman-teman sepondok, aku segera kembali ke kamar. Adzan Isya’ sepertinya masih beberapa menit lagi. Kuraih mushaf yang ada di meja kecilku. Masih ada waktu untuk tilawah barang satu dua lembar.

Baru dua ayat yang kubaca, terdengar SMS masuk ke ‘kotak unyil’ yang lupa ku-non-aktifkan. Meski sedikit malas, kubuka SMS itu. Siapa tahu memang penting.


Assmlkm. M’Ita, bsk ba’da Ashar syuro’ di masjid kampus. Mbk, anti stiap minggu plg da acr, ya? Usul:bgmn jk bsk tdk plg, mndampingi adik2? Sampun diSMS U’Wati, tho? Fahma

Entah sudah berapa kali kuterima permintaan yang sama. Permintaan agar akhir pekan aku tidak pulang. Kali ini giliran Fahma, mahasiswa semester empat yang jadi koordinator majalah ‘English Sisters’ yang memintaku mendampingi mereka syuro’. Di pekan-pekan sebelumnya permintaan yang sama tak sekali dua kali ditujukan padaku.

“Tak selalu kita mesti mengatakan pada orang lain apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.” tegas Mbak Ais ketika aku mengeluhkan protes beberapa orang akan kepulanganku tiap Sabtu sore.
Segera kuhapus SMS dari Fahma tanpa membalasnya. Pulsaku sudah habis sejak tadi pagi. Belum ada anggaran untuk mengisi.

Kemarin juga ada telepon yang minta kesediaanku untuk rapat di malam hari.

“Sudah ana tegaskan: ana nggak bisa mabit malam Ahad.”

“Anti selalu pulang? Kenapa?”

“Ada alasan.”

“Ya sudah.”

Akhirnya menyerah juga. Aku pun segera menutup gagang telepon. Dalam hati aku merasa bersalah namun bukankah setiap orang bebas menentukan apa yang terbaik menurutnya. Begitu pun aku.
Aku sudah berjanji untuk selalu pulang, minimal sepekan sekali. Tak ada yang bisa menghalangiku kecuali ada agenda yang menuntut tanggungjawab penuhku. Kukira syuro’ atau rapat tanpaku tetap bisa berjalan.
☺


“Bunda nggak masak apa-apa. Adanya cuma soto ayam dari warung.”

“Ah, Bunda! Selalu begitu! Nggak pa-pa, kok. Tenang aja.”

Kutatap sekilas wajah perempuan yang telah melahirkanku. Kutemukan gurat kelelahan di sana. Ya, bahkan masih kujumpai kesedihan yang belum juga hilang.

“Ita, Bunda sudah lupa untuk memasakkan makanan kesukaanmu.” Ujarnya penuh rasa bersalah.

“Sudahlah, Bunda. Tsabita tak pernah mempermasalahkan tentang makanan yang kita makan.”

“Syukurlah kalau begitu. Bunda ke depan dulu, ya!”

Bunda, perempuan yang baru menginjak usia 45 tahun itu, segera meninggalkanku. Tiap sore beliau selalu meluangkan waktunya untuk menyirami bunga-bunga, bonsai, dan rumput di taman depan bila hujan tidak turun. Sudah setahun lebih Bunda melakukan rutinitas itu, terhitung sejak ayah pergi meninggalkan kami dan menikah dengan perempuan lain.

“Dik, jaga Bunda baik-baik, ya!”

Selalu terngiang di telinga pesan dari Mas Ikhlas, kakak semata wayangku, sebelum merantau ke Kalimantan.

“Mas, aku juga seorang perempuan.” jawabku waktu itu.

“Aku mengerti perasaannya dan pasti akan menjaganya. Memastikan beliau baik-baik saja.”

“Janji pulang tiap pekan, ya!”

“Insya Allah.”

Begitulah! Mulai saat itu aku pulang ke rumah tiap pekan untuk memastikan kondisi bunda baik-baik saja. Minimal Bunda tidak sakit dan masih melakukan rutinitas seperti biasa.
☺


Rintik-rintik air hujan
jatuh ke bumi membawa rizki
hilangkan dahaga ini
hapus semua keluh kesah kita*


Gerimis kecil mulai berjatuhan. Segera kupercepat langkahku menuju pondok sederhana, tempatku melepas penat setelah seharian beraktivitas. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai.

“Assalamu’alaikum.” Ucapku riang sesampai di depan pintu.

“Wa’alaikumussalaam… Wah, kehujanan, ya Mbak? Ada yang bisa dibantu?”

Suara khas Ayu dari dalam kamar terdengar riang. Teman sekamarku itu memang gadis yang teramat baik. Hampir-hampir aku tak pernah melihatnya berdiam diri sekiranya ada yang bisa dilakukan untuk membantu orang lain. Sungguh, aku masih harus banyak belajar darinya.

“Mbak, kubuatkan teh hangat, ya?” lagi-lagi ia menawarkan kebaikan.

“Sudah nggak usah. Nanti aja usai mandi, mbak buat sendiri. Lanjutkan aja pekerjaanmu, Dek.”
Kutinggalkan Ayu yang sedang asyik di depan komputer. Kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat cucian. Ada dua pasang gamis, kerudung dan kaos kaki yang harus segera kucuci. Mumpung masih ada waktu luang. Ya! Jangan sampai ada kejadian seorang Tsabita kehabisan baju dengan alasan terlalu sibuk dengan seabrek agenda. Sama sekali nggak nyeni, kan? Apalagi membawa baju kotor ke laundry, jangan pernah, deh kecuali dalam kondisi darurat.

Nyuci itu menyenangkan, kok! Setidaknya itulah yang diajarkan ayah ketika kami –aku dan Mas Ikhlas- mulai belajar mencuci baju sendiri. Ketika itu kami baru pindah dari Jakarta ke sebuah desa kecil di kabupaten Ngawi. Dalam kondisi ekonomi yang masih belum mapan, segala pekerjaan rumah tangga kami lakukan bersama. Bahkan sampai sekarang, ketika segalanya telah teraih, dalam hal ini lebih pada perekonomian yang semakin mapan, aku dan Mas Ikhlas pun masih selalu melakukan pekerjaan rumah tangga; nyuci, nyapu, ngepel sendiri.

Tanpa sengaja kupandangi tetes-tetes air dari langit yang semakin berjatuhan.
Ayah! Hujan hari ini mengingatkanku akan memori masa lalu. Hujan yang menghadirkanmu dalam monologku. Kutahu, ayah, hujan yang dianugerahkannya juga tentara Allah. Kedatangannya selalu mengingatkanku; betapa kita pernah bersama; betapa kita pernah bahagia. Kini apa yang kau rasakan tiap rintik-rintik itu turun?

Astaghfirullah!
Kuulang istighfar dalam-dalam. Tiba-tiba aku begitu merindukan ayah. Aku baru sadar bahwa aku tak benar-benar bisa melupakannya. Ternyata bunda benar; bahwa apapun yang terjadi; ayah tetaplah ayah dan tak pernah ada yang akan mampu memutuskan ikatan itu.

Ah, Bunda. Semoga sore yang basah ini pun, putrimu masih selalu mampu menjaga bara shalihahnya hingga menjadi secantik bidadari, sebaik-baik perhiasan dunia.
Bidadari? Ah, kukira terlalu berlebihan gelar itu kudapatkan saat ini. Ya! Masih terlalu jauh.
☺


“Gimana Tsabita? Kau sudah siap untuk menggenapkan setengah dienmu, bukan?”

Pertanyaan mbak Ais hanya kubalas dengan senyum. Aku tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Bukankah saat ini masih banyak yang lebih berhak ketimbang diriku? Atau jangan-jangan Mbak Ais hanya mencoba menjajaki sejauh mana kesiapan adik-adik binaannya. Setahuku, baru Mbak Ami yang telah mengisi biodata ‘hijau’ untuk diproses. Ya! Idealnya memang Mbak Ami lebih dulu.

“Maksud Mbak Ais?” aku balik bertanya.

Kini ganti mbakku yang tersenyum.

“Setahu Ita, pernikahan itu menyatukan dua kekuatan. Siap menikah artinya juga siap menjanda.

Bukankah begitu, Mbak?”

“Maksudmu apa, Tsabita?”

“Orang bilang menikah itu mengumpulkan dua kekuatan menjadi interdepent, kumpulan dua orang yang independent, masing-masing tidak bergantung dengan yang lain. Ita merasa belum siap kehilangan, Mbak.”

“Astaghfirullah, Tsabita...”

Mbak Ais meraih tanganku.

Sejujurnya aku masih trauma dengan kepergian ayah. Aku tidak siap bila kelak mengalami kejadian yang sama dengan apa yang telah terjadi pada bunda. Aku tahu menikah itu ibadah, namun aku tak yakin telah benar-benar siap.

“Bukankah tak pernah ada yang abadi di dunia, Ukhti? Mbak rasa sudah saatnya kau mengaplikasikan ilmu yang kau pelajari selama di pondok dan majelis ilmu yang lain; tarbiyatul aulad, tafsir wanita, fiqh dakwah muslimah, shirah sahabat, juga teori-teori praktis kehidupan, setidaknya akan membantumu untuk memasuki kehidupan pasca pernikahan.”

“Tapi, Mbak sepertinya Ita belum siap. Ita masih...”

“Baiklah. Semua mbak kembalikan padamu. Dalam sepekan ini, kuatkan maknawiyahmu. Mbak percaya padamu, Tsabita. Kau boleh pulang sekarang.”

Kutinggalkan rumah Mbak Ais dengan ragu. Aku ingin mengatakan bahwa aku masih gamang. Namun hari sudah terlalu sore untuk tinggal. Sebentar lagi adzan Maghrib sepertinya berkumandang.
Kukendalikan motor dengan kecepatan sedang. Sungguh aku tak tahu apakah ini jawaban dari doa-doaku; agar ALLAH menjagaku untuk tetap teguh menapaki kehidupan? DIA datangkan teman perjalanan ketika langkahku mulai terasa berat.
☺


Malam yang indah. Bintang-bintang bertaburan meski tanpa cahaya bulan. Kutengadahkan wajah melihat bentang luas cakrawala. Dulu aku dan Mas Ikhlas sering menghabiskan malam dengan melihat bintang bersama ayah. Masa kecil yang tak kan terulang. Saat itu aku merasa menjadi anak yang beruntung. Punya ayah yang hebat, mas yang baik, dan bunda yang selalu memanjakanku. Aku menyangka keutuhan keluarga kami akan terjaga selamanya. Takdir berkata lain. Ayah pergi dari rumah di tahun ketiga aku duduk di bangku kuliah. Kepergian yang tiba-tiba itu sungguh menggoncang kami.

Bunda bilang mestinya aku bersyukur. Ayah pergi ketika aku telah punya pegangan yang kuat; aku telah belajar agama dan punya banyak teman berbagi. Meski tergoncang, aku mencoba memaknai hal itu sebagai ujian. Ayah memang tak ada lagi di samping kami namun ia tak pernah benar-benar pergi dari hati. Selalu kususun jemari, menyebut namanya dalam doa yang tiada putusnya.

“Percayalah Tsabita, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan sebaliknya. Bunda yakin kau adalah gadis yang tegar. Tak perlu larut dalam kesedihan panjang. Belajarlah dari ayah dan bunda agar kelak bahtera rumah tanggamu tenang menghadapi karang dan gelombang kehidupan.”
Tiba-tiba aku jadi kangen dengan Bunda. Apakah beliau akan bahagia bila putri semata wayangnya menikah? Apakah bebannya akan berkurang? Selama ini kutahu Bunda selalu mencemaskanku. Sejak ayah pergi, kami jadi semakin dekat.

Selalu ada damai di senyum Bunda. Selalu kutemukan kekuatan dari senyum itu. Senyum yang mengisyaratkan ketegaran; bahwa hidup akan terus berlanjut dengan atau tanpa pasangan yang kita cintai. Baiklah Bunda, izinkan putrimu belajar meniti ketegaran dengan damai senyum itu.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, masih belum mampu kuhitung bintang. Tak akan pernah memang. Namun tahukah engkau, Bunda? Bila memang sudah tiba masanya kan kusambut dia yang berhati cahaya untuk meniti jalan bersama menuju surga.

Ngawi, 21 April 2007:21.41
Bingkisan di bulan kelahiran ayah.
Thanks untuk mbak Er lis atas inspirasinya.
*petikan senandung dari Harmoni Voice.













BARA SHALIHAH

0 comments
Malam ini hatiku sedang gerimis. Kangen dengan orang-orang di rumah. Bersyukur pada Allah, aku masih punya mereka. Hanya ruang dan waktu yang memberi jarak. Ya! Kucoba membongkar ingatan bersama ayah dan ibu. Sudut mataku basah, ada aliran deras iringi munajatku. Tiada kata mulia kecuali doa untuk mereka. Kucoba telusuri rangkaian kebersamaan masa kecil. Benar: kasih sayang dan pengorbanan mereka tiada kan pernah terbeli di dunia ini. Ya Allah, kuingin membayar semua itu dengan kesholihahanku. Izinkan aku menjadi jariyah untuk mereka.*

“Adakah orang yang tak mempunyai beban dalam hidup ini? Jangan sekali-kali kau jawab ada : orang gila. Itu bukan jawaban yang kuminta.”


Pertanyaan Atiyatul Izzah, teman masa SMA, dua tahun silam tiba-tiba terngiang di telingaku. Hm...kini baru kusadari bahwa beban adalah sebuah kemestian yang harus ditanggung oleh manusia yang menjalani kehidupan. Kini kucoba menyemai harap akan hadirnya sejumput kekuatan untuk tetap tegak dalam menapaki hidup. Mungkin ini adalah episode yang menuntutku untuk mengaplikasikan beberapa ilmu yang hampir-hampir tak berbekas dalam keseharianku.

“When you said, when you blue, when you really2 blue, don’t forget that you have Allah!** My dear, be patient. I will always love you & support you. And be sure Allah protect and help you if you close to HIM. And our parents need your help. Please pray for them!”

Sms Mbak Eka dua tahun silam mengingatkanku akan tempat bersandar yang paling tepat. Ya, aku masih punya Allah. Diam-diam kuhapus bening-bening kristal yang tlah lama berjatuhan di pipi. Kupupuk segenap keyakinan bahwa Allah begitu mencintaiku. Meski kurasa kali ini ujian itu begitu berat. Ya Allah, help me please!

Di hati ini biarlah kusimpan segala dukaku rapat-rapat. Ah, andai saja berandai-andai itu boleh. Kuingin ada seorang saudara yang tahu dan mendamaikanku dengan untaian taushiyah. But what should I do? Aku tak ingin masalahku menambah beban mereka sedang dakwah yang mereka pikul pun tlah menguras energi yang besar.

“Senantiasa Qta ingat! Ats diri qta...ada hak u/ agama qta, u/diri qta sdr, u/ ortu, u/sahabat,...dst. Shg jngn smp qta spt lilin yg t’bakar. Mbrkn cahaya pd lingkungn tp mbiarkn drnya hancur. Smg qta bs tawadzun.”

Kubaca untuk kesekian kali kubaca taushiyah yang dikirim oleh seorang sahabat via SMS. Harusnya memang aku mampu memanaj diri. Menjadi seperti lilin bukanlah hal yang kuinginkan. Bahkan tak pernah terbesit sedikit pun menjadi seperti itu. Tapi apa yang terjadi saat ini padaku memang seperti lilin. Aku terbakar dan hampir hancur.

Kesedihan meraja di jiwaku. Bagaimana mungkin aku bisa tetap tinggal di Solo sementara di rumah begitu banyak masalah yang tak kunjung selesai. Ya Allah...betapa Kau tahu bahwa tak pernah terbesit niat di hatiku untuk mendzolimi siapapun.

Tugas-tugas kelembagaan yang selalu hadir tiap kali aku hendak pulang kadang kurasa begitu berat. Aku yang memang belum sepenuhnya faham akan fiqh prioritas seringkali bimbang. Kutunaikan tugas-tugas itu dengan hati yang meradang. Bayangan ibu senantiasa memenuhi pikiranku.

“Apakah kepulanganmu ke rumah begitu diperlukan?”

Pertanyaan yang hampir selalu sama. Dan aku hanya bisa mengangguk sedih tanpa penjelasan apapun. Teman-temanku telah begitu hapal kebiasaanku tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya kulakukan di rumah.

Tak banyak memang. Hanya saja aku tak akan pernah bisa tenang jika seminggu saja tak pulang. Bayangan ibu akan selalu lekat di keseharianku. Ibu yang hampir tak pernah mengeluh. Ibu yang selalu berusaha tampak tegar di hadapanku. Ibu yang tak henti-hentinya memompakan semangat kepadaku meski dalam dirinya seringkali tersimpan keletihan yang sangat.
ﺏﻱﺖ


Kabar baik, Bunda?
Smg malam ini penuh barokah.
& qta sll bsyukur kpd-Nya.
Doakan nanda bisa jd so2k yg shalihah
agar bs brmanfaat bgi smua
& bs mbuat Bunda trsenyum bangga.


Usai mengirim SMS, kukenakan jaket peninggalan Mbak Eka. Udara malam ini benar-benar dingin. Hujan yang seharian turun seperti tak memberiku jeda agar bisa sedikit menepis gundah. Hampir selalu begitu. Aku tak mengerti mengapa percikan air yang jatuh senantiasa menghadirkan romantika kenangan yang kini lebih cenderung menguras air mata. Kenangan indah yang tak akan terulang. Dan ternyata keindahan itu begitu mahal untuk kumiliki saat ini.

Desember yang basah tlah sampai ke penghujungnya. Biasanya di akhir tahun masehi ada Mbak Eka di sampingku, mengingatkanku untuk tidak larut dalam hingar bingar menyambut tahun baru. Kebiasaan jahiliyah, katanya. Lebih banyak menimbulkan mudharat. Sedangkan setiap 1 Muharram belum tentu kami, yang mengaku umat Islam, menyambutnya.

Aku pura-pura cuek ketika empat tahun yang lalu kakak perempuanku itu memaparkan argument yang jitu. Diam-diam aku sepakat dengannya : bahwa lebih baik pesta di penghujung tahun itu diganti dengan evaluasi diri saja. Setelah itu setiap dari kita hendaknya menata ulang planning setahun ke depan agar target berprestasi di setiap sisi kehidupan bisa tercapai.
Ayah dan Mas Dwi hanya tertawa ringan. Mereka sengaja membiarkan Mbak Eka berbicara panjang lebar.

“What it is to be, it is up to you, Eka,” begitu prolog yang digunakan Mas Dwi untuk menyatakan ketidaksepemahaman pendapat, “So, menjadilah dirimu dan janganlah kau mempengaruhi kami. Ingat, tahun baru hanya sekali setahun. Senang-senang sedikit nggak ada salahnya”

Ibu dan Catur, si bungsu yang saat itu masih kelas 5 SD, berada di pihak yang netral. Ya! Tak ada gunanya saling memaksakan pendapat bila tak ada titik yang bisa mempertemukan sudut pandang. Lebih baik pesta tahun baru tetap diadakan dengan masing-masing pemaknaan. Begitulah…tahun berikutnya kebiasaan begadang di pergantian tahun itu tetap berlaku sampai akhirnya terjadi insiden yang meluluhlantakkan jiwaku
ﺏﻱﺖ

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***?” Mbak Eka sengaja mengulang perkataan itu lantas ia pun membelai kepalaku yang hampir empat tahun tertutup selembar kain lebar, “Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”

Meski sangat terlambat, aku tergugu menyadari kalimat perpisahan kakak perempuanku. Ia pergi saat aku merasa benar-benar membutuhkan kehadirannya. Ibu, wanita yang sangat tegar itu, memelukku erat. Mengingatkanku bahwa Mbak Eka adalah titipan Allah.

“Ikhlaskan saja, Nak! Doakan mbak Eka-mu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.”
Mbak Eka pergi tepat setahun setelah ayah tak lagi ada di sisi kami. Hampir-hampir aku tak kuat menanggung beratnya ujian. Ya! Andai saja aku tak ingat janji-Nya di ayat terakhir surat Al-Baqoroh; bahwa Dia tak kan menguji hambanya di luar batas kesanggupan, mungkin aku sudah berganti haluan seperti Mas Dwi yang kini tinggal di bui.
ﺏﻱﺖ

Kami berpagi hari dan berpagi hari pula kerajaan milik Allah. Segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Ilah melainkan Dia, dan pada-Nya tempat kembali. Kami berpagi hari di atas fitrah Islam, di atas kata keikhlasan, di atas agama nabi kami : Muhammad saw., dan di atas millah bapak kami : Ibrahim yang hanif. Dan ia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik.

Kucoba memaknai wirid al-matsurat dengan hati yang bening, menghadirkan selalu semangat tiap pagi hingga petang. Mengikhlaskan segala kejadian yang tlah ditetapkan-Nya. Meyakini bahwa setiap apa yang tlah digariskan-Nya adalah yang terbaik.

Kenyataan pahit yang kualami seperti kisah-kisah yang ada dalam sinetron. Rasanya tragedi yang beruntun dalam keluargaku adalah rentetan kisah dalam sinetron yang di-skenario dengan sangat sempurna. Dan bukankah memang segalanya tak pernah bisa lepas dari skenario Allah, Tuhan Semesta Alam? Bila saja berandai-andai itu boleh; ingin sekali aku lari dari kenyataan. Tapi itu tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

Sedih yang begitu menghunjam. Seketika kurasa perih yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kubuka sms di HP ayah. Sms di tanggal 1 Syawal itu dikirim oleh seorang wanita.
Bah, di hari yang fitri ini aku minta maaf.
Ingin sekali aku ada di sampingmu
tapi apalah dayaku. Aku hanya wanita keduamu
Tapi aku sangat mencintaimu, Bah.


Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Astagfirullah….Kulantunkan istighfar berulang-ulang. Menepis dzon yang buruk tentang ayah. Bagaimana mungkin ayah, sosok yang senantiasa bijak di mataku, ternyata berkhianat. Ayah, seorang tokoh masyarakat yang kredibilitasnya sebagai seorang pendidik tak pernah kami ragukan, ternyata berselingkuh. Ayah, yang meyakinkan ibu bahwa jilbab yang menutup seluruh tubuhku tak akan menghalangiku untuk menjadi gadis lincah dan berprestasi, ternyata berpaling dari wanita yang telah melahirkanku.

Ingin sekali aku mencaci maki diriku sendiri yang terlambat mengetahui berita buruk itu. Aku yang dalam hati sering memproklamirkan diri sebagai aktivis dakwah kampus ternyata terlambat menyadari badai yang menghantam bahtera rumah tangga yang telah dibina lebih dari 23 tahun. Di mana kepekaanku? Di mana empatiku ketika tiap kali pulang kulihat ayah jarang di rumah. Bahkan aku tak sedikit pun menaruh curiga ketika ibu semakin kurus. Kupikir ayah sibuk dengan bisnis kayu jatinya sedangkan ibu semakin langsing karena diet dan rajin ikut senam kebugaran dua kali dalam seminggu.

Di mana tanggungjawabku? Aku yang kuliah hanya beberapa kilo dari rumah tak mampu memberikan perhatian yang lebih pada keluarga. Mana aplikasi dari materi birul walida’in yang beberapa kali kuberikan pada adik-adik mentorku di SMA? Mengenaskan sekali ketika agenda kampus yang padat membuatku jarang pulang. Padahal jarak Solo-Sragen tak ditempuh dalam waktu yang lama. Tidak seperti Mbak Eka yang kuliah di STAN. Tidak pula sama dengan Mas Dwi yang kuliah di ITB.
Ketika aku minta maaf pada Mbak Eka dan berkata bahwa aku-lah yang harus disalahkan dalam musibah yang membuat ayah akhirnya pergi dari rumah, Mbak Eka menggenggam erat tanganku.

“Segala yang terjadi tlah menjadi ketetapan Allah, Dik. Jangan pernah menyalahkan diri. Jadikan ujian ini kendaraan yang megah yang akan menghantarmu bermunajat, bermesraan dengan Allah Yang Maha Penyayang. Mbak tahu, kau sangat terpukul tapi mbak sangat yakin kau adalah gadis yang tegar.”


Mbak Eka, kakak yang selalu menjaga perasaanku, saat itu sudah menyelesaikan tugas akhirnya. Tinggal menunggu masa wisuda dan penempatan kerja.
ﺏﻱﺖ


Bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
meninggalkan dirimu….****


Entah bagaimana awal bermulanya. Mas Dwi tak mampu lagi menahan emosi. Melihat Retno, wanita pemicu nyala api di antara ayah dan ibu, hadir di sidang perceraian, kakak laki-lakiku yang gagah tiba-tiba berlari dan menghunjamkan pisau tajam ke dada wanita itu.
Wanita itu roboh. Ia segera dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak bisa diselamatkan. Sidang perceraian ditunda. Beberapa hari berikutnya memang ada persidangan, tapi tak lagi di pengadilan agama. Ya! Sidang pengadilan akhirnya memutuskan masku menghuni penjara atas tuduhan pembunuhan.

Masku memutuskan naik banding. Kutelepon Mbak Eka untuk segera pulang dan mencarikan pengancara. Tapi ternyata Allah punya skenario lain. Bus Patas yang ditumpangi kakakku bertabrakan dengan truk tronton saat hendak menyalib bus antar propinsi di tikungan. Tak banyak yang selamat. Masih beruntung Mbak Eka sempat di bawa ke rumah sakit. Masa koma telah lewat. Tapi ternyata itu adalah keadaan yang dihadiahkan-Nya agar kami bisa benar-benar mampu menyaksikan kepergiaannya yang tenang.

Ada haru yang senantiasa menitikkan butir-butir bening di mataku tiap kali aku mengingat kata-kata terakhirnya.

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***? Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”
ﺏﻱﺖ


“Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras yang tidak akan mengelak perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan.” (Q.S At-Tahrim : 6)

Desember yang basah tlah benar-benar sampai di penghujungnya. Terompet tahun baru tlah duabelas kali terdengar. Kulepas jaket Mbak Eka, membiarkan dingin menyapa kesendirianku.

“Ada tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir sampai mati.”
Tiba-tiba suara Mbak Eka saat aku menangis di pelukannya kembali terngiang.

“Amal jariyah, doa anak yang shalih dan ilmu yang bermanfaat.”
Kubuka jendela kamar kos perlahan. Refeks, tatapku menengadah menatap langit tak berbintang. Gelap pekat; terlihat awan menggumpal. Gerimis kecil masih berjatuhan.

“Dik Tri, dalam sebuah hadist riwayat Bukhari & Muslim, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”

“Bilakah aku menjadi sosok itu, Mbak?” retoris, tanyaku saat itu terucap sendu.

“Ya, bila saja kau punya tekad yang kuat. Lalu biarkan azzam itu menjadi bara. Jagalah bara shalihahmu agar terus menyala. Wanita yang didunianya shalihah akan menjadi cahaya bagi keluarganya, melahirkan keturunan yang baik dan jika wafat di akhirat akan menjadi bidadari****.”
ﺏﻱﺖ


Ayah & ibu, ………
Ini impianku :
ingin menjadi anak yang sholeh
Menolong ayah,
membantu ibu
Terus berbakti di negeri abadi…


O, Tuhan beri kekuatan iman….
Kepada kedua ayah dan ibuku
Kau ampunkan segala kelemahan
Senantiasa dalam bimbingan-Mu………
…******


Januari!
Awal bulan pertama dalam hitungan masehi kali ini berhasil kulewati tanpa hingar bingar. Tiada ayah di sisi. Tidak pula Mbak Eka, ibu, Mas Dwi, dan Dik Catur. Kebersamaan dengan mereka dalam satu waktu adalah kenangan yang akan selalu menyalakan bara di hatiku.
Hari ini aku pulang ke Sragen. Minggu tenang selama 7 hari sebaiknya kuhabiskan di rumah saja. Menemani Dik Catur belajar. Membantu ibu menjaga toko kelontong kami yang mulai berkembang. Usai Ujian Akhir Semester kan kutengok Mas Dwi di LP. Menyemangatinya untuk selalu berbenah.

Ya Rabb, sucikan selalu niatku
agar tiada lagi resah di jiwaku
Jaga asaku menggapai jannah-Mu
Maka : izinkan aku menyalakan bara shalihah sepanjang hayatku.

ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ

Ngawi: sebuah rumah yang sangat nyaman,
02 Januari 2006 : 12.02
Kado wisuda (yang telat tapi tulus) buat masku : maafkan aku tak hadir di wisudamu. Jazakumullah khoir untuk semangat yang selalu dipompakan; terkhusus untuk Bulik Hery & 2 mujahidah kecilku : Rohmah &Nahdah.
* : gubahan sms dari Mbak Ferriya, yang menyemangatiku menyelesaikan 3 tulisan.
** : bait nasyid dari SNADA
* ** : perkataan Mr. Kobayashi pada Toto-Chan yang sering ditirukan Dek Wiwit,dkk.
**** : bait dari “Bila Waktu Tlah Berakhir” (Opics)
***** : kata-kata di E-book Islami di CD hadiah kuis dari Humas SKI FKIP UNS.
******: bait nasyid di winamp, nggak tahu siapa yang menyenandungkan.