Monday, 16 February 2009

BATU KALI BATU BATA

0 comments


’’Jangan lupa, jam sembilan rapat sie pelayanan sambut maru dan ba’da Ashar nanti ada rapat bidang! Bisa, kan, Dek?!”

Nisa mencoba tersenyum, menyembunyikan resah yang semakin bertambah di dadanya. Matanya tertunduk ke bawah, ia tak berani menatap Mbak Eliza, Kabid Nisaa’nya.

“Nisa usahakan, tapi untuk rapat bidangnya kali ini izin dulu, ya Mbak? Mungkin siang ini ke Jogja, mo’ lihat pengumuman STAN.”

“Lewat internet, kan bisa, Dek.”

“I ya, sih tapi...” suaranya mengambang.

“I ya, deh. Mudah-mudahan diberikan yang terbaik.”

“Amien....Nisa pamit dulu, ya Mbak. Assalamu’alaikum.”

Nisa menyeret langkahnya, meninggalkan masjid kampus. Kajian Jumat Pagi yang baru saja diikutinya terasa benar-benar hambar. Degup di jantungnya semakin terasa ketika jarak MannaWaSalwa, kosnya yang terletak di Jalan Surya, tinggal beberapa meter lagi. Ya Allah...bagaimana hasil Ujian Masuk STAN-ku? Batinnya mulai lagi bertanya-tanya.



“Assalamu’alaikum.” Salamnya hampir tak terdengar. Ia segera menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

“Belum beli maem, ya, Nis?” Nikmah yang tengah sarapan melihatnya berhampa tangan. Biasanya sepulang kajian pagi memang ada plastik yang berisi bungkusan nasi di tangannya.

“Nggak sarapan, nggak ada selera.” Jawabnya lesu.

“Lho, katanya mau ke Jogja. Baiknya sarapan dulu. Yo’ sama aku, kelihatannya aku juga nggak habis, kok.”


“Makasih, nanti aja kalo’ habis rapat aku mampir beli nasi.” Ditampiknya tawaran Nikmah dengan halus. Ia segera masuk ke dalam kamarnya. Entahlah...hati-nya benar-benar nggak bisa tenang. Padahal dulu waktu menunggu pengumuman SPMB ia nggak setegang ini.

Dihidupkannya HP yang sejak tadi malam dinon-aktifkan. Tak lama kemudian ada SMS masuk. Hatinya bergetar. Perlahan-lahan sekali ia membacanya.

“Ass, gmn dah da pgmn? Klo sulit hrs ke jogja, krm aja no BPU anti. Nnti biar tmn2 JKT yg mlihatkn. Apapun hsilnya, serahkn pd 4JJI.”

SMS itu berasal dari mahasiswa STAN yang sebentar lagi lulus.
Bismillah...ia mengetik nomor BPUnya dan segera mengirimkannya pada kakak kelas SMUnya yang kini di sedang magang di Jakarta.



“Gmn jd dftr STAN? Mau nyari apa smp pngn ksna?He..2 Anti akhwat, kn?”

SMS dari murrabiyahnya di SMU membuatnya sempat ragu. Tapi toh ia pun menyempatkan diri untuk mendaftar ke Jogja di sela-sela semester pendeknya. Jujur, apa yang dilakukannya hanya pelarian. Ia merasa kulminasi jenuh sudah mencapai puncaknya.Ia sudah merasa tidak kuat untuk bertahan di Kampus Hijaunya.

Mencari lingkungan yang baru. Mungkin itu alasan yang sangat tidak masuk akal. Ada hal yang tidak beres yang lama ditutupinya. Tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya tanpa sengaja Tyas menemukan kartu peserta Ujian Saringan Masuk STAN di tasnya.

Aneh. Mungkin itu yang kemudian ditangkap oleh teman sehalaqohnya. Kemudian entah bagaimana murrabiyahnya di SMU pun tahu tentang hal itu. Ragu ia mereply sms yang datang tanpa diduga.
“Doakn klo itu yg t’baik tuk dunia akherat, proses ke sna kn dpmudah. Di sini ada virus. Nisa ingin hijrah. Nisa nggak mau jadi lilin yg t’bakar.”

“Ane dah ngerasa da yg g’ beres pd anti. Biasanya klo dah tbina mlh hndri STAN. Di sna kbykn putra, putri plg byk 3-4. Apa anti kuat? Blm lg da ikatn dinas, nnti klo dah kerja plg sore2 bhkn smp jam 4. Tlg dpkrkn lg. Klo g’ co2k di LQ, sgr mnt gnti halaqoh&mrrbyh. Hijrah ksna bkn kptsn yg tpat. Klo da pa2 telp ane or sgr ksni klo da waktu. Cerita da apa dng anti! Mau, kn?”

Nisa tergugu. Semangatnya untuk bertempur di ujian STAN surut seketika. Ia memang nggak berniat untuk kuliah di sana. Tapi hanya itu satu-satunya jalan yang bisa ditempuhnya. Mau ikut SPMB lagi jelas tidak mungkin. Ayah tidak akan mengijinkannnya apalagi kalau ngambil UGM. Selain jauh dari rumah, biaya kuliah dan biaya hidup di sana lebih mahal. Biaya dari mana? Kalau ngambil jurusan lain di Kampus Hijau itu sama aja ia harus tetap tinggal di Solo. Hm.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Solo. TIDAK ADA! Apa yang dicarinya ada di sini. Tapi ...ia merasa menjadi manusia planet. Serasa tidak menginjak bumi. Eksistensinya tak terdeteksi. Ia merasa menjadi orang asing yang numpang sementara waktu di kota pusat berkembangnya beberapa harakah ini. Ia bukan Nisa yang periang seperti dulu. Ia bukan Nisa yang selalu bersemangat dengan aktivitas berlabel ‘dakwah’. Ia bukan lagi Nisa yang siap memenuhi panggilan jihad.

Ya, semua perubahan itu memang bukan tanpa alasan. Tapi ia sama sekali tak yakin bahwa alasannya itu dipandang syar’i oleh teman-teman dan murrabiyahnya. Pingin tahu alasan sebenarnya?

Kompleks. Awalnya ada sedikit keraguan ketika ia memutuskan untuk registrasi ke kampus hijau. Alasan klasik: pilihan kedua yang juga pilihan ortu. Jadi ia agak gamang, bisakah kuliah dengan sepenuh hati. Kemudian ketidaknyamaan yang dirasakannnya di prodi semakin bertambah. Kenapa? Belum ada seorang teman pun yang tertarbiyah, intinya ia belum menemukan teman seperjuangan yang nyambung kalo’ diajak ngomong dan berdiskusi tentang dakwah dan harakah, nggak bisa nyaman di kelas. Parahnya, ia merasa tidak cocok dengan halaqohnya. Ia merasa kurang sreg teman-teman ngajinya yang kebayakan ‘aktivis siyasi’. Di kos-annya yang ammah, teman-teman nggak ada yang berstatus sebagai ADK. Ketika kondisi ruhiyahnya terpuruk dan ke-error-an kumat, nggak ada yang mengingatkan. Ia merasa tertekan. Nggak ada yang bisa diajak sharing apalagi menyemangatinya untuk berfastabiqul khairat.

Semester pertama dilalui begitu saja. IPnya nggak sampai 3 bahkan ada satu mata kuliah yang nggak lulus. Ia semakin tidak kerasan tinggal di Solo. Capek lahir batin. Ia semakin mendramatisir keadaan. Ketika tersadar...ia telah jauh tertinggal dengan teman-teman sehalaqoh. Mereka tlah berakselerasi dan melesat jauh meninggalkannya sendirian dalam ambiguitas. Kondisinya kian hari bertambah kritis. Maka dalam batas kesadaran ia pun memutuskan untuk segera pergi dan mencari lingkungan yang baru.

Kuliah di STAN? Mungkinkah? Konon, bi’ah di sana kondusif untuk percepatan diri. Tapi .....? Anti akhwat, kan? Pertanyaan retoris via sms itu begitu menggoreskan luka di hatinya. Ia takut tak bisa mempertahankan status itu.

“Memang peluang masuk STAN lebih besar putra daripada putri tapi yg penting kn the best ikhtiar. Sukses, ya...Ukh!Smg 4JJI mbrkn yg t’baik”

Mungkin SMS dari ikhwan ini pun sekedar bentuk simpati. Tapi sekedar mencoba, kenapa tidak?



Rapat sie pelayanan penyambutan mahasiswa baru di Nurul Huda, masjid kampusnya, diikutinya tanpa konsentrasi. Berkali-kali SMS masuk. Nisa hanya menghela nafas tiap kali mendapati SMS yang menanyakan tentang pengumuman STAN. Jujur ia pun ingin segera mengetahuinya.

“Jangan lupa saat penyambutan pakai jaket almamater, cocard dan jilbab putih untuk akhwat.” Pesan dari koordinator sie dari balik hijab hanya mampir sebentar di telinganya. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.00, ia pun izin meninggalkan rapat yang sebenarnya sudah hampir usai.

Resah itu masih bersarang di hatinya. Akankah aku mampu menerima ketentuan Allah dengan ikhlas? Mampukah aku mengambil ibrah dari semua ini dengan sebening pemaknaan?
Mengapa aku jadi putus asa begini? Illahi...kuatkan aku menjalani semua ini!

Nisa mencoba mengusir ketakutan yang membisik di telinganya. Bukankah rizki Allah yang telah ditetapkan untuknya tak kan mungkin diberikan kepada orang lain. Begitu pun sebaliknya. Jadi? Sabar, Nis. Tunggu aja sms dari Jakarta. Nggak usah repot-repot pergi ke Jogja. Banyak hal yang harus kau selesaikan di sini.

Kuliah Semester Pendeknya pun belum selesai. Nanti siang kuliah terakhir Cross Culture Understanding. Ya, sebaiknya aku tinggal di sini. Akhirnya ia membelokkan langkahnya ke jalan Surya menuju kosnya, MannaWaSalwa.



“Afwan, ana nggak mnemukn no BPU anti. Coba dicek via web. Klo trnyt tidak diterima mungkin 4JJI lbh ridho anti berdakwah di Solo. Laa Tahzan, Ukh! Smg sll ISTIQOMAH.” begitu isi SMS yang ditunggu-tunggunya.

Nisa menghapus air matanya.

Laa Tahzan?

“Bukankah kesedihan adalah hal yang sangat manusiawi untuk saat-saat seperti ini?” sebuah suara menggema di hatinya. Ia menggeleng dan segera beranjak untuk mengambil wudhu.

“Ini adalah sebuah episode yang harus kuhadapi.”

Ucapnya tertuju pada sosok berjilbab putih di kaca almari yang mencoba menyunggingkan senyum manis kepadanya.

Jalan masih panjang ...Sayang! Ia menghibur dirinya sendiri.


Usai Ujian Semester Pendek dan penyambutan mahasiswa, Nisa memutuskan untuk pulang kampung, Sidolaju. Kampung yang terletak di tengah hutan ini menyimpan banyak kenangan. Pagi ini ada Ikhwan yang mengajaknya melakukan perjalanan tapak tilas masa kecilnya.

“Berdua saja, nggak usah ngajak adik-adik”

Begitu tawaran via SMS yang tanpa pertimbangan langsung disetujuinya.
He..he..tenang aja! Ikhwan Kelana Mujahid adalah kakak sulungnya.
Gemericik air mengalir dari mbelik yang melewati celah-celah bebatuan sungai begitu merdu di telinganya. Nisa membiarkan kaos kakinya basah. Ia meniti sungai di dekat mbaon dengan hati yang riang. Sesekali bibirnya bertasbih. Ia pun mengakui kekerdilannya. Duhai...Maha Besar Allah dalam setiap pencintaan-NYa.

“Dek, istirahat dulu ya. Duduk di batu besar itu sepertinya nyaman.” Ajak Ikhwan seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Batu-batu besar di bawah grojogan itu sepertinya memang nyaman untuk istirahat.

Nisa mengiyakan. Dipilihnya batu yang paling besar seukuran tempat tidurnya di kos. He...mungkin nggak perlu ranjang jika batu ini ada di kamar. Pikirnya usil.

“Main tebak-tebakan yuk!” laki-laki berkaos oblong yang duduk di sampingnya mengeluarkan secarik kertas dan pulpen.

Nisa nyengir, “MALES! Maen aja sama ikan mujair,” jawabnya asal.

“Eh..kalo’ kamu menang, besok tak anterin ke Solo pakai motor.”

“Mending juga naik bis.” Jawabnya sadis.

“Apa bedanya batu kali dengan batu bata?”

“Gitu aja ditanyakan. Ih..dasar arsitek ...nggak punya nilai seni?”

“Justru inilah bagian dari seni. Nih jawab 3 pertanyaanku!”
Tanpa semangat dibacanya 3 pertanyaaan dari sang kakak. Fuih...benar-benar nggak ilmiah. Tapi ia pun bingung juga menjawabnya.

“Bandingkan antara batu kali dan batu bata, lihat perbedaan yang mendasar antara keduanya; bagaimana proses tarbiyah keduanya, ciri-ciri dan kegunaannya dalam kehidupan.”
Ikhwan tersenyum senang melihat wajah adiknya yang berubah serius. Diperhatikannya detail wajah gadis berkerudung yang beberapa bulan ini kehilangan binar kebahagiaan.

“Sudah, Dek?”

“Ya....tapi jawaban ini nggak nyeni blas. Habis...”

Ikhwan membaca tulisan adiknya.

“Batu kali melalui proses tarbiyah yang sangat panjang. Ia berasal dari dalam bumi yang kemudian keluar melalui letusan dasyat gunung berapi. Perubahan suhu lingkungan yang signifikan membuatnya menjadi kuat dan nggak mudah rapuh. Cocok digunakan sebagai pondasi bangunan dan bisa juga untuk dinding.”

“Sedangkan batu bata melalui proses tarbiyah yang cepat. Berasal dari tanah liat pilihan yang dicampur dengan air hingga menjadi adonan yang proporsional. Setelah dicetak dikeringkan dibawah terik matahari lalu dibakar. Cirinya mudah rapuh, membawanya harus hati-hati sekali. Ia cocok digunakan sebagai dinding bangunan.”

“By the way, lagi nyindir aku ya....”
Ikhwan tersentak. Astaghfirullah.

“Bukan. Sama sekali tak ada maksud untuk itu.”

“Bohong.”

Ditinggalkannya Ikhwan dengan penuh kecewa. Nisa nggak habis pikir : duhai tega nian menambah luka yang belum-lah tuntas ia sembuhkan. Agak terburu-buru, ia kembali meniti sungai menuju dangau yang terletak di tengah mbaon Mbah Kungnya.


Adikku Sayang,
semoga Allah snantiasa mengizinkan kita untuk meniti jalan panjang ini. Memang ujian dan rintangan akan selalu mengiringi perjalanan kita. Tapi percayalah Sayang, di balik itu semua banyak hikmah yang dapat kita petik. Yakinlah bahwa pertolongan Allah begitu dekat!

Adikku generasi Aisyah ra,
jangan bosan dengan tarbiyah. Belajarlah dari batu kali dan batu bata. Mana yang lebih baik? Itu bukan pertanyaan yang harus kau jawab. Masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Tapi adikku, bukankah batu kali lebih kuat. Ia sanggup di tempatkan di mana-mana. Sebagai pondasi yang diletakkan paling bawah hingga tak kelihatan., sebagai campuran bahan cor, sebagai dinding atau sebagai apapun. Maka jangan pernah berharap kau akan menempati kedudukan yang strategis, yang kelihatan ‘wah’ dari luar tapi ternyata tak lebih seperti batu bata yang rapuh. Banyak orang memujinya tapi ia tak cukup kuat menghadapi terpaan badai atau angin kencang.

Adikku,
jangan kau larut dalam pilu berkepanjangan! Syukuri tiap nikmat yang tlah Allah berikan. Laa Tahzan! Semoga kau mampu setangguh batu. Di mana pun kau ditempatkan, berikanlah yang terbaik. Jangan sedih tidak diterima di STAN, di sini pun kau mampu melesat tinggi menggapai harap dan impian. Jangan kecewa dengan lingkungan yang belum kondusif, di sini kaulah pioneer yang diharapkan memulai penghijauan. Jangan menyalahkan keadaan tapi tancapkan azzam untuk segera bergerak menyongsong kegemilangan!!! Teriring doa untukmu, Adikku! Selalu.
Sepenuh cinta karena-NYA
Ikhwan Kelana Mujahid


“Sbnrnya ktk 4JJI mmbr mslh, itu a/ bukti cinta-NYA pd hamba-NYA. Mk jk qta ttp huznudzon, Isy a/ byk hal yg akn qta dpt. KEIMANN, KSBRN, KDWSAAN, & KECINTAAN-NYA. Hny pd 4JJI qta bsrh dr.” 

’’Kla jenuh mnerpa&jubah mujahadah tlahlusuh t’kulai usang. Mk biarkan AZZAM m’jejak langkah m’napak syukur&sabar dalam keikhlasan krn-Nya. Krn qta hanyalah jiwa yg lahir dr secuil masa” 

’’Ikhlaskanlah tubuhmu…pikiranmu…dan hatimu untuk ALLAH. Slmt Bjuang Smoga Sukses’’ 

Nisa tersedu. Perhatian yang tulus ternyata tak hanya datang dari kakaknya tapi juga dari saudara-saudaranya yang berada jauh di seberang sana. Meski via sms tapi ia merasa taushiyah itu begitu mengena di hatinya. Maka ia pun berjanji untuk mengeringkan luka dengan segera. Jangan biarkan jiwa rapuh seperti batu bata.
Duhai Nisa, tataplah ke depan!


Ngawi, 28 Ramadhan 1425 H : 21.19
Untuk yang masih setengah hati di kampus hijau, jangan larut dalam kecewa berkepanjangan.
‘Tuk Akh Hendra, Mbak Eni, & Rifai : jazakumullah khairan jaza’ atas smsnya ()
‘Tuk Aisyah Crew: luv u all coz of ALLAH! Afwan atas sgl kesalahan.

KARENA QTA EMANG BEDA!

0 comments



Tak terasa 6 bulan telah berlalu. Ini berarti aku harus menjalankan aktivitas yang menjemukan : Ujian semester. Aku belum siap. Bukan karena harus belajar dalam seminggu penuh melainkan menyaksikan pemandangan yang membuatku kecewa. Aku tak ingin mengundang kekecewaan yang menjadikan aku enggan belajar. Aku tak pernah menginginkan kekecewaan itu menghadirkan prasangka buruk. Akan tetapi kekecewaan itu terlanjur berpadu dan menyatu erat denganku tiap kali mengikuti ujian semester.

“Bang, sebelum belajar berdoa dulu biar nggak diganggu setan!” Hani menepuk bahuku. Aku tersentak sesaat dan cepat-cepat mengarahkan pandangan pada buku yang ada di tangan.

“Kamu sudah siap mengikuti ujian semester, Dik?” tanyaku sambil menutup buku yang baru terbaca judulnya saja. Yang kutahu selama ini Hani nggak jauh beda denganku. Sistem kebut semalam itu pasti berlaku jika hari-hari ujian semester sudah di hadapan mata.

“Entahlah, Bang. Yang pasti seminggu lagi bebas.” Jawabnya asal.

“Hmm..sama dong!” batinku

“Bang Ihsan di ruang berapa? Satu, ya?” tanyanya menyelidik.
Aku mengangguk. Adikku yang superusil itu tersenyum dan meninggalkanku sendirian dalam tanya. Apa maksud senyumannya?

Ah! Peduli amat. Kulangkahkan kaki ke kamar karena belajar di ruang tengah memang nggak nyaman. Ada saja yang nggganggu konsentrasi tapi di kamar pun belum tentu aku bisa menahan keinginan untuk mengembarakan angan.
Aku harus belajar! Bismillah....



Kulirik adik kelas yang duduk di sampingku. Seorang jilbaber lagi. Buru-buru kubawa tatapku menekuni kolong meja sambil menunggu soal dibagikan. Mengapa aku selalu duduk di samping jilbaber tiap kali mengikuti ujian semester?

Sebenarnya pakai jilbab atau tidak, aku tak begitu mempermasalahkannya. Tapi kalau dia tidak menunjukkan eksistensi kepercayaan diri seorang muslimah alias menunjukkan gelagat ketidaksopanan seperti suka ngerpek or cari bala bantuan pada yang lain, menurutku itu sangat mengganggu pemandangan. Aku tersinggung. Apa bedanya dengan yang lain? Mudah-mudahan ia tidak begitu.

“Ihsan, cepetan. Cuma satu jam waktunya!” Slamet mengoyang-goyangkan kursiku. Refleks, segera kuberikan dua lembar soal ke belakang.

Bismillah...kupenuhi lembar jawab pilihan ganda satu-satu. Tanpa pikir panjang kukerjakan soal seadanya, tanpa penghayatan, tanpa pemahaman, dan tentu saja penuh ketidakmengertian.

Jam di dinding depan, dekat papan tulis menunjukkan waktu masih tersisa setengah jam. Aku malas meneliti jawaban walaupun kuyakin masih banyak yang harus dibenahi. Aku ceroboh, sifat yang sudah kusadari dari dulu tapi entah mengapa aku tak pernah berusaha untuk hati-hati. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, untuk memahami soal saja nggak bisa 100 persen benar.
Semenit kemudian suasana kelas agak gaduh. Ada yang lempar-lemparan kertas, ada yang berbisik-bisik, ada juga yang menggunakan isyarat dengan sandi-sandi yang sudah menjadi kesepakatan.

Uh...benar-benar menjemukan.
Kutatap tajam dua orang pengawas yang asyik ngobrol tentang masalah kriminal. Aku tak habis pikir mengapa mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik; mengapa mereka membiarkan murid-muridnya bekerjasama saat ulangan. Jangan-jangan mereka sengaja memberikan kesempatan ‘istimewa’ agar tercapai hasil yang maksimal. Bagaimana ujian semester mampu dijadikan tolak ukur keberhasilan siswa dalam belajar kalau praktik di lapangan sudah hancur seperti ini?

Astaghfirullah!
Kulirik adik kelas yang duduk di sampingku. Tampaknya ia masih tenang meneliti lembar jawabnya. Untuk kedua kalinya kembali kutekuni kolong meja. Kali ini dengan ditumbuhi malu yang teramat sangat.

Allah, ampuni aku! Kucoba memanfaatkan sedikit tenaga yang tersisa untuk mengembalikan kekuatan yang hampir saja hilang tertelan kedongkolan. Waktu masih tersisa limabelas menit, saat kuputuskan untuk membaca ulang soal lalu mencocokannya dengan jawaban, sama seperti kebiasaanku di semester awal kelas satu. Masih setengah soal lagi, ini berarti aku harus melawan kejenuhan, mengganti jawaban yang kuyakin di kunci benar tetapi bertentangan dengan hati nuraniku. PPKN, entah mengapa aku tak menyukaimu. Siapa suruh kau terlalu mengagung-agungkan Pancasila? Siapa bilang Pancasila itu sakti? Huuh...

“Lima menit lagi,” seorang pengawas mengingatkan. Lirih kudengar teman-temanku mengucap ‘aduh’. Salah siapa pakai lirik kiri kanan, teriak batinku kesal. Astaghfirullah.

“Tet...tet...tet....” Suara bel yang kutunggu-tunggu akhirnya terdengar juga.
Tanpa pikir panjang segera kutinggalkan lembar soal di meja. Bersama Yusuf kuayunkan langkah ke musholla Ash-Sholihiin. Kuambil wudhu, shalat dhuha, dan memohon keimanan yang tak kan pudar di setiap keadaan, memohon kemudahan di setiap urusan, memohon ampunan di setiap kesalahan, memohon dan memohon....

Tak terasa bening kaca berjatuhan di tengadah tanganku. Aku tak pantas berharap banyak sementara aku tak pernah berjuang untuk mempermudah diri dalam menyikapi setiap urusan. Allah...ampuni aku. Beri kesempatan padaku untuk memperbaiki diri. Agar aku tak hanya memohon tapi juga berjuang menggapai kemenangan yang Kau janjikan.

Jam kedua, pelajaran matematika kulewati dengan biasa saja. Tak ada yang istimewa, pun ketika ada 5 soal yang tak mampu kuselesaikan dengan sebenar yakin. Aku tak mempunyai ganjalan sama sekali dan itu yang membuatku merasa perlu untuk mencaci maki diriku sendiri.

Untuk ketiga kalinya kulirik jilbaber yang ada di sampingku. Ia masih tenang dan kelihatan penuh percaya diri mengerjakan. Padahal banyak di antara teman-temannya menjalankan aksi persekutua. Alhamdulillah, tiba-tiba aku merasa bangga dengannya. Ia mengingatkanku pada adik semata wayangku : Hanifah. Kuperhatikan kerudung yang menutup kepalanya, selebar kerudung

Hani. Jangan...jangan ia memang Hani?

Kuingin meliriknya sekali lagi.Tidak! Sudah berapa lirikan yang kutujukan untuknya. Aku harus menahan keingintahuanku tentang dirinya. Aku harus menjaga pandangan, gadhul bashar.He..he, jaim, Ok! Mungkin Allah mengingatkanku untuk bersikap tenang sepertinya dan bersungguh-sungguh dalam menunaikan pekerjaan yang baik dan rapi, jangan memalsu, seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna.


Hari ke-2, ke-3, dan ke-4 kulewati dengan baik. Kubertekad untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Walaupun tak seluruh materi sempat terbaca, aku yakin siap. Aku jadi sedikit lebih tenang dan tidak terlalu mempedulikan lingkungan yang mengelilingiku. Biarlah kubuktikan pada diriku sendiri bahwa aku mampu menjadi diriku tanpa terpengaruh faktor luar yang sebenarnya cukup dominan membawaku pada tradisi ngerpek dan nyontek yang sudah menjadi kebiasaan. Tradisi yang memuakkan, mengikis habis rasa percaya diri generasi muda yang harusnya bermental baja. Dan aku nggak boleh ikut-ikutan memanipulasi jawaban alias terperangkap ke dalam kepalsuan. Aku bukan mereka dan mereka bukan diriku. So, menjadi diriku sendiri meski beda adalah tuntutan. Betul, tidak? He..he....

Hari ke-5, aku tak tahu mengapa kembali dilanda kejenuhan. Aku tak siap untuk bertempur dengan baik. sejarah dan geografi benar-benar membuatku tak bisa berkutik. Semalam penyakit malasku kambuh lagi karena sejujurnya aku memang paling alergi kalau disuruh menghapalkan. So, what should I do?

Tiba-tiba keinginanku untuk memperhatikan adik kelas yang duduk di sampingku muncul kembali. Allah...ampuni aku bila rasa penasaran tentang dirinya mengusik ketenanganku. Siapa dia sebenarnya? Mengapa kerudungnya mirip sekali dengan kerudung Hani? Apakah ia memang benar adikku?

Ya Allah...izinkan aku melihat wajahnya! Aku ingin memastikan kalau dia benar-benar Hani.
Hampir lima menit aku memperhatikannya. Berharap gadis itu menoleh ke arahku untuk beberapa saat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mungkin ia benar-benar menyukai geografi sehingga terlihat serius mengerjakannya.

“Hani?” akhirnya suaraku mengambang memanggilnya. Meski setengah berbisik, aku yakin volume suaraku masih mampu terdengar oleh telinganya. Kalau ternyata ia bukan Hani aku tinggal mencari akal untuk untuk menanyakan apakah ia kenal Hani atau tidak.

“Ya, ada Bang?” ia pun menoleh ke arahku.

Ya Allah....ia benar-benar Hani-ku.

“O, tidak! Nggak da apa-apa kok. Ngetest aja, kok kayaknya serius banget, sih!” jawabku asal. Dan Hani pun kembali asyik dengan soalnya. Aku malu-semalunya. Kuakui ia memang adik yang paling manis, ya...karena ia memang satu-satunya adikku.

Waktu masih tersisa lima belas menit ketika kuputuskan untuk ke luar kelas lebih dulu. Mungkin aku bisa memanfaatkan sisa waktu plus istirahatku untuk mempersiapkan ujian jam ke-2 alias sejarah yang tidak menarik sama sekali. Hm..terlalu banyak hapalan tentang tanggal dan peristiwa.

Saat kutinggalkan mejaku, kulihat Bu Farah, guru sekaligus sepupuku, mendekati adikku.



He...apa yang terjadi dengan Hani. Tak biasanya ia cemberut. Di mana senyum dan canda yang biasanya selalu mewarnai kebersamaan kami? Kuacak sayang rambutnya, tapi ia masih mempertahankan wajah cemberutnya. Bahkan tersenyum tipis pun tidak.

“Ada apa, Han?” tanyaku lembut.

“Ah, tidak!” Hani menyambar kerudung kaos yang tersampir di kursi dan melangkah ke serambi.

“Ada apa, sih dengan Adik Kecil,” kugunakan panggilan kesayangannya. Mudah-mudahan ia mau bercerita. Hani masih setia dalam diamnya. Ia berjalan ke taman dan mendekati tanaman favoritnya, palem botol yang terletak di dekat kolam ikan. Tak lama kemudian ditinjuinya bagian yang menggembung.

“Hani kecewa, Bang. Udah lama Hani memendamnya. Hani ingin menerima setiap keadaan dengan ikhlas, tapi nyatanya nggak bisa, Bang. Hani gagal melakukannya padahal Hani, kan sudah berusaha.”

Kecewa, gagal, berusaha? Aku nggak ngerti arah pembicaraannya. Yang kutahu aku pernah mengalaminya dalam seminggu ini dan mungkin sampai besok aku masih harus merasakan ketersiksaan batin yang akan sembuh dengan sendirinya seiring perjalanan waktu. Dan jika ujian semester ganjil tiba, rasa itu pasti menyerangku kembali.

“Pertama kali masuk SMA, Hani merasa senang sekali. Bukan hanya karena banyak teman-teman yang hijrah dan berjilbab tetapi juga sambutan dari kakak-kakak kelas yang hangat dan menawarkan berjuta keindahan dalam ikatan ukhuwah. Hani seperti menemukan dunia baru yang menjanjikan solusi yang benar dan tepat untuk semua problematika yang nantinya akan Hani hadapi. Hani sangat kagum dengan para aktivis Rohis yang mengajarkan ketawadzunan. Selain aktif di organisasi-organisasi lain, nilai akademik pun selalu memuaskan. Sejujurnya Hani bangga dan ingin belajar untuk menjadi seperti mereka. Tapi, Bang mengapa kekaguman itu harus luntur manakala Hani melihat kenyataan lain yang tidak sesuai dengan yang Hani sangkakan.”

“Siapa sebenarnya yang kau maksud, Han?” tanyaku bodoh padahal aku sudah tahu benar siapa saja aktivis Rohis yang dikaguminya.

“Siapa lagi kalau bukan Bang Ihsan dan teman-teman abang yang pernah ke sini, juga mbak-mbak yang tidak perlu Hani sebutkan namanya satu-satu.”
Deg! Aku tersentak. Bagaimana mungkin aku digolongkan orang yang menghilangkan rasa simpati? Tidak! Kali ini adik kecilku pasti salah.

“Kau tak berhak memvonisku sekejam itu, Han!”

“Abang tersinggung?” tanyanya datar tanpa rasa bersalah.

“Abang memang tidak melakukan kecurangan selama lima hari terakhir ini. Tapi Hani cukup kecewa melihat Abang membiarkan teman Abang yang juga aktif di Rohis melakukan hal yang benar-benar memalukan. Apa kata dunia kalau aktivis Rohis nyontek dan kerjasamaa saat ujian. Bagaimana bisa mengajak orang lain melakukan perbaikan sedang ia tidak mampu memberi keteladanan?”
Sedapat mungkin kupaksakan diri untuk tersenyum.

“Han, segalanya butuh proses. Teman-teman yang aktif di Rohis memang belum semuanya mampu untuk menginternalisasikan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya, termasuk dalam hal kejujuran. Bukan Abang nggak mau mengingatkan tapi....”

“Kalau begitu apa wujud esensi dari ilmu yang tlah kita pelajari selama ini?”
Belum selesai aku memaparkan pembelaanku, Hani kembali menyerangku. Dengan wajah yang semakin kecewa ia berjalan meninggalkanku.



Seminggu lewat begitu saja. Aku benar-benar tertipu. Tujuh hari kulewati tanpa adanya perubahan yang berarti. Aku tak mampu menyelesaikan masalah kecil yang membebani kepala. Yang lebih parah, Hani sepertinya menuntutku untuk bertindak sebelum masa reorganisasi Rohis tiba.

“Bang Ihsan mencalonkan diri sebagai ketua saja.” Ucapnya polos.
Emangnya jadi qiyadah itu mudah? Huh...dasar gadis kecil. Padahal satu tahun kepengurusan ke depan aku berniat untuk bergabung dengan Divisi Jurnalistik yang merupakan bagian dari Departement PSDM.

“Kalau Abang jadi ketua, kan penetapan AD ART bisa dilakukan setelah proses penggodokan yang ketat. Jadi bab yang mengatur tentang hak dan kewajiban pengurus bisa diterima oleh semua pihak dengan penuh kesadaran dan rasa tanggungjawab.”
Duh, Hani sudah mulai pintar ngomong sekarang. He..he...mungkin imbas dari kedekatannya dengan anak scout yang hobi debat.

“Bang, pokoknya Hani pingin semua anak Rohis itu jujur, termasuk dalam ulangan atau ujian semester. Dan harus ada kartu monitoring yang ngontrol pelanggaran apa saja yang dibuat oleh pengurus. So, biar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab merasa jera karena sekali melanggar peraturan kena iqob dan kalau pointnya sudah sampai batas yang tidak bisa ditoleransi bisa langsung di back list atau di-PHK dari Rohis.”

Hmm...adikku yang lagi jadi ABG (akhwat baru ghirah) terlihat menggebu. Biasalah...kalau anak lagi semangat idealismenya terjaga. Mudah-mudahan dia bisa mempertahankan apa yang baru dikatakannya. Hmm...tapi membentuk suatu kepengurusan yang benar-benar solid dan mampu bertanggungjawab terhadap diri dan umat tidaklah semudah mengatakannya. Butuh kesadaran dari semua pihak.



Seleksi pengurus Rohis tahun ini benar-benar ketat. Setiap calon pengurus wajib mengikuti test tulis, wawancara dan orasi. Pengurus lama yang sudah kelas tiga sebentar lagi berstatus demisioner.

Hani tampak semangat sekali mengikuti seleksi. Apalagi pas orasi, dia sampai bela-belain kursus kilat kepadaku. Dia masih belum mampu melupakan kesedihannya pasca ujian semester. Sebagai rasa prihatin yang mendalam ia mengambil tema kejujuran yang dikemas dengan judul ‘Honesty where are you’. Selepas test tulis ia mengeluh kepadaku.

“Lho kok test masuk Rohis aja pakai test akademik. Kok ada matematika, bahasa inggris dan pengetahuan umum, sih, Bang? Aku mumet apalagi pas penalaran ada bagian yang mirip test IQ.”

“Karena dakwah nggak sekedar memerlukan semangat tetapi kader yang militan; yang bisa menyeimbangkan dzikir, fikir dan ikhtiar....”

Kutangkap rasa was-was dalam diri adikku selama masa tenggang menunggu hasil pengumuman. Tapi hari ini dari kejauhan kulihat ia begitu menikmati LDKR (Latihan Dasar Kepemimpinan Rohis) yang diadakan di Tawangmangu.

Sejujurnya aku salut juga melihat Hani dan teman-temannya. Saat pelantikan kulihat dia mengucapkan ‘Ikrar Mujahid’ dengan sungguh-sungguh.



“Bang Ihsan!” panggil Hani sambil menimang-nimang raport yang baru diambil ibu dari sekolah. Ia tampak begitu bahagia. Meski merasa kurang optimal tapi toh ia masih duduk dalam tiga besar di kelasnya.

“Hm...” jawabku kurang bersemangat. Meski masih peringkat 1 di kelas tapi gelar juara umum lepas dari tanganku.

“Bang jangan bilang siapa-siapa, ya!” setengah berbisik ia meletakkan telunjuknya di atas hidung,”Tahu, nggak kalau Mbak...Eh Bu Farah membantuku saat ujian geografi. Masak jawabanku yang salah diketuk-ketuk dengan jari telunjuk. Padahal seumur-umur belum pernah lho...Hani minta bantuan. Trus mau nggak mau ya...jawaban yang salah itu Hani ganti. Tolong katakan pada Bu Farah : nggak usah repot-repot ngebantu Hani.”
“Katakan saja sendiri..., ternyata kamu juga nggak PeDe. Apa bedanya dengan mereka?”

“Ye...Bang Ihsan jahat!” Aku segera berlari ketika Hanifah bersiap-siap menyerangku. Kelihatannya ia sudah tidak marah lagi padaku.

“Berbuat ihsanlah! Lihatlah Allah dalam setiap tindakkanmu. Jika kau tak melihat-NYA maka ketahuilah bahwa Allah melihat setiap tindakanmu.” Terngiang kembali akan pesan Ayah -yang juga ada dalam hadist arbain- sebelum pergi menghadap-Nya.

Hm...jadi mengapa harus sedih jika lingkungan tidak seperti yang kita harapkan. Bukankah yang terpenting bagi kita adalah berusaha mempersiapkan ‘amunisi’ yang terbaik dalam setiap peperangan.

“Kalau kita nggak bisa mengubah tradisi, minimal kita memulainya dari diri sendiri. Karena memang kita berbeda. Keberhasilan yang kita raih bukan hanya dinilai dari segi hasil tapi lebih dari itu Allah melihat pekerjaan kita. Untuk itulah kita hanya menggunakan cara yang baik untuk mendapatkan hasil yang terbaik...waspadalah dengan keberhasilan yang datang dengan tiba-tiba!” jawaban yang diberikan Mas Cahyo saat Hani mengeluh di forum diskusi tentang fenomena oknum anak Rohis yang masih nggak jujur pada saat ulangan masih membekas dalam ingatanku. Semoga aku pun bisa memberi keteladanan bagi teman-temanku untuk mulai mandiri dan jujur dalam setiap langkah.


Ngawi, Akhir Oktober2000, pasca ulangan Cawu1 kelas 1 SMU dengan sedikit penyesuaian 3 tahun kemudian. Maksud hati protes pada ‘oknum TAMA’ yang kerjasama saat ulangan; mudah-mudahan nggak terulang lagi.

THE SAME PEOPLE

0 comments



9 Mei 2001

Kemarin tanpa sengaja kulihat Awan bersama Hari dan beberapa teman SMPku berbelok ke arah jalan Kutilang. Ini berarti Awan tidak berbohong. Dia sudah ngaji lagi. Alhamdulillah, akhirnya kecemasanku terhadapmu berkurang sudah, Wan. Kalau selama ini aku selalu memantau perkembanganmu, memperhatikan sepak terjangmu, itu karena aku masih peduli padamu meski mungkin tak ada alasan untuk melakukan itu. Aku menyayangimu meski sebenarnya tak ada benang merah yang dapat mempersaudarakan kita, aku tak bisa menganggapmu sebagai adik kandung. Kau tak pernah sepersusuan denganku walaupun masa kecil kita lewati dalam kebersamaan. Kau....


Bhara menutup diarynya. Ia menggeleng berulang-ulang. Meski sedikit ragu, diary bersampul hijau muda itu diletakkannya di antara buku-buku di rak. Ada bening kaca yang tiba-tiba berjatuhan di pipinya. Bhara semakin gelisah. Belum ada jawaban yang tepat atas berbagai pertanyaan yang berkecamuk. Bhara tahu selama ini dirinya masih diselimuti oleh ketidakjujuran.

“Awan itu terlalu istimewa, Ra. Meski berulang kali kucoba menepis rasa yang semestinya bisa dikendalikan dengan iman, aku tetap kewalahan. Aku tak mungkin membunuh rasa cinta itu. Awan memang bukan cinta pertamaku. Tapi, Ra dia adalah sosok yang paling memberikan warna lain dalam keseharianku.”

Astaghfirullah! Bhara hanya beristighfar mendengar pengakuan Caya.

“For example?” Akhirnya ia pun memancing Caya untuk memberikan contoh konkret dari alasan mengapa ia begitu dimabuk cinta pada Awan.

“Secara tidak langsung ia memotivasiku untuk lebih rajin belajar. Aku kan harus nyambung kalau diajak diskusi soal pelajaran. Catatanku jadi rapi, aku malu jika ia sampai meminjam catatanku yang semrawut. Aku jadi ....”

Bhara menghela napas. Caya yang dulunya dianggap sebagai sosok yang tomboy saja bisa kepincut dengan Awan. Jadi apakah salah bila Bhara pun menjatuhkan harap pada Awan? Salahkah bila ia melakukan ‘PeDeKaTe’ dengan Awan demi menjaganya agar tidak tertular virus yang kini hinggap pada Caya dan mungkin juga menjangkit teman-temannya. Salahkah ia berharap : Awan bisa tegak melangkah pada jalan yang kini mulai disusurinya?

Lagi-lagi Bhara menggeleng. Bukankah hidayah Allah akan diberikan pada siapapun yang dikehendaki-Nya? Jadi cukuplah ia membantu teman di masa kecilnya itu dengan doa. Ya..semoga Allah..senantiasa memberikan petunjuk-Nya!
Benarkah ia bisa tulus di dalam doanya? Sepertinya Bhara sendiri pun masih ragu.



Bhara melipat mukena lalu memasukkannya ke dalam tas. Sebenarnya ia ingin lebih lama lagi singgah di Ash-Sholihiin, musholla sekolahnya. Menikmati udara pagi di serambi musholla adalah kenikmatan yang tidak akan ia temukan di tempat lain di lingkungan sekolahnya yang terletak di kawasan persawahan. Tapi kemarin Caya sudah mewanti-wantinya untuk berangkat sekolah lebih awal, tentunya dengan harapan sampai kelas pun lebih awal.

“Jam berapa, Mbak?” tanyanya pada kakak kelas yang tengah menalikan sepatu di sampingnya.

“Duh, aku juga nggak bawa jam. Coba adik lihat ke dalam musholla. Mungkin bentar lagi jam tujuh. Mbak ke kelas dulu ya! Assalamu’alaikum.” Kakak kelas itu pun berlalu.

Malas! Ia membatin. Tapi toh akhirnya ia beranjak ke dalam musholla. Jam yang terpasang pada dinding belakang itu menunjukkan pukul tujuh kurang sedikit. Bhara kembali ke serambi dan mengecek buku-bukunya yang ada di dalam tas, takut ada yang ketinggalan habisnya tadi berangkat terburu-buru.

Sekedar memastikan tidak salah melihat jam, Bhara menengok ke dalam musholla untuk yang kedua kalinya. Tapi..upps, ia melihat Awan baru bangun dari I’tidalnya. Ia masih shalat Dhuha. O..ya..kemarin Caya bilang kalo’ jam pertama dan kedua kosong. Pantas Awan tidak terburu-buru.

Sebentuk senyum kini menghiasi wajahnya. Kini tak ada alasan untuk menyisakan kekhawatiran terhadap Awan. Bhara yakin, Awan masih terjaga. Allah masih menyayangimu, Wan! Istiqomah, ya Akh! Bhara membisikkan harap di hatinya sambil melangkah tenang menuju kelas. Tak henti-hentinya ia bertakbir dalam hati.

“Assalamu’alaikum...” sapanya riang pada seisi kelas.

“Wa’alaikumussalam Waa Rahmatullahi Wa Barakatuuh..” terdengar balasan kompak persis dengan koor adik-adik TPA yang diajarnya. Ia meletakkan tas di bangkunya dan mendekat pada segerombol anak yang membentuk lingkaran dan sibuk menyalin jawaban.

“Tumben kalian kompak..” Bhara berkomentar melihat kesibukan teman-temannya.

“I ya-lah Ra. Namanya aja PR alias Pekerjaan Rame-rame jadi harus dikerjakan secara berjama’ah, dong! Wah... untung jam pertama kosong kalau tidak pasti kamu sudah disindir Bu Umi dengan majas ironinya : Ra, sepagi ini kau berangkat, teman-temanmu sudah pada pulang tahu..!” Anggi menimpali komentar Bhara dengan seni bermajasnya.

Bhara hanya tersenyum mendengar jawaban konyol dari Anggi. Dasar nih anak memang terkesan dengan Bu Umi yang biasanya mengajar Bahasa Indonesia pada jam pertama

“By the way, Ra..ada yang mau curhat, nih!” Anggi berhenti menulis dan menyikut lengan Anis.
“Ada apa, Nis?”
“Hmm..ada aja! Eh... anu...nanti habis nyelesaian PR aja ya Mbak!” Jawab gadis manis yang berambut panjang itu sedikit malu-malu.

Bhara mengiyakan. Sambil menunggu teman-temannya menyelesaikan PR dibacanya Risalah Pergerakan yang kemarin dipinjamnya dari Ash-Sholihiin Islamic Library. Sekali-kali matanya melihat ke arah pintu, mencari sosok Caya. Hampir lima menit berlalu tapi sosok yang dicarinya belum juga muncul di kelas.

“Hanyo..Mbak Bhara baca buku kok kaya’nya gelisah sekali...nunggu seseorang ya?” Tanpa disadarinya Anggi sudah duduk di sampingnya.

Hm..ketahuan. tapi bukan Bhara kalau mau mengakui kebenaran dugaan Anis.
“I ya..Nis, nunggu kamu. Katanya mau curhat.”
“Gini...Mbak, Anis mau tanya...”

“Ya?” Bhara memasang telinganya takut kalau pertanyaan itu menyangkut privacynya. Anis tersenyum melihat Bhara berwajah serius.

“Jawab dengan jujur, ya! Mbak Bhara pernah jatuh cinta nggak?”

What? Pertanyaan yang polos. Bhara mengulum senyum. Duh...mesti njawab apa ya?

“Jawab dong Mbak, soalnya aku lagi naksir seseorang, nih! Tapi kayaknya bertepuk sebelah tangan.” Anis terlihat murung. Bhara diam menunggu kalau ada kelanjutan lebih detail dari kalimat Anis.

“Aku tahu Mbak Bhara tuh nggak mengenal yang namanya pacaran tapi......” belum sempat melengakapi kalimatnya, Anis melihat ke arah pintu. Tak lama berselang Awan dan beberapa anak lelaki masuk ke kelas tanpa salam. Bhara pura-pura nggak melihat.

“Mbak, sepulang sekolah ada acara, ya? Aku mau main ke rumah Mbak Bhara aja. Nggak jadi curhat di sini, takut ada yang ndengar...” Anis mulai salah tingkah. Meski berusaha menyembunyikannya tapi toh Bhara bisa menebak mengapa Anis mengurungkan niat curhatnya. Jawabannya sederhana : orang yang ditaksir Anis ada di sini. Siapa lagi kalo’ bukan ketua suku yang baru saja datang : Awan!

“Nanti sepulang sekolah ada ASC. Ikut, yuk! Acaranya sampai Ashar... habis itu langsung aja ke rumahku. Nanti tak anter pulang menjelang Maghrib. Tapi kau harus izin ibumu dulu. “

“ASC? Acara apaan tuh Mbak?”

“Masak nggak pernah dengar, sih. ASC itu Ash-Sholiihin Study Club.”

“Oooh..kaya’nya menarik juga. Kegiatan belajar bareng anak-anak Rohis ya, Mbak? Gimana sih kegiatannya?”

“Ya kita ngerjain soal-soal atau membahas kesulitan belajar di kelas. Tentornya kakak kelas 3. Hari ini jadwal kita belajar Fisika... Ayo’, Nis ikut aja. Minggu depan kan Bu Mei akan mengadakan ulangan. Ya itung-itung nyicil belajarlah...biar pas hari- H kita bisa ngerjakan dengan optimal...” akhirnya Bhara promosi padahal sebelumnya nggak ada rencana untuk itu.

“Aku pikir-pikir dulu aja ya Mbak. Kalau nggak jadi ikut berarti nanti sore aku langsung ke rumah Mbak. Ok?”

“Boleh!” Bhara mengangguk mantap.

“Sip..!” Anis memamerkan dua jempolnya.

“Kalau gitu aku ke perpus dulu, ya! Mau ngembalikin buku. Kalau telat nanti kena semprot Mbak Mur.”

“I ya, deh aku juga mau ke kantin.”

Keduanya berpisah di pintu kelas. Soalnya arah kantin yang dituju Anis berlawanan dengan letak perpus sekolah.

Beberapa langkah lagi Bhara akan sampai di perpus tapi....

“He... Ra, mau ke mana? Nyari aku ya?” sebuah suara yang khas membuatnya celingukan. Tak lama kemudian Bhara merasa ada yang menutup matanya.”

“Idih...apa-apaan, sih , Ya?” Bhara cemberut. Caya memasang wajah marahnya.

“Kamu jahat, Ra! Membiarkan aku terperangkap dalam demam berkepanjangan. Kau biarkan aku kembali pada dunia maya yang menyengsarakan. Kau...”

Bla-bla...Bhara ingin lari rasanya. Seperti biasa Caya membuatnya merasa terpojok dan terjepit dalam tanda tanya besar : salahkukah semua ini?

“Kita bicara baik-baik, ya.. Ya! Ke sekretarian Rohis, yuk! Mumpung lagi sepi. Aku bawa kuncinya, kok.” Bhara mengurungkan niatnya ke perpus dan mencoba menawarkan tempat yang nyaman. Caya mengiyakan.

Di ruang yang berukuran 4x6 itu Caya mengungkapkan keluh kesahnya. Masih seputar kegelisahannya menepis gelora rasa terhadap Awan. Caya memberikan argumen-argumen yang kuat; bahwa Awan adalah sosok yang pantas untuk dicintai. Bhara mencoba bersabar mendengarkan setiap kata dari mulut sahabatnya. Ia masih menunggu Caya mengungkapkan pemaparannya yang lebih terperinci. Sampai akhirnya....

“Please tolong aku, Ra!” Wajah Caya memelas.

“Aku butuh jawaban yang menyejukkan. Meski kutahu itu klise dan kau pun telah terlalu sering mengatakannya.” Caya menatap Bhara penuh harap.

“Baiklah, aku akan coba menawarkan alternatif baru. Jika selama ini kau telah sekuat tenaga menjaga pandanganmu untuk tidak menatapnya maka mulai detik ini cobalah juga untuk tidak menyebut namanya dalam setiap perbincangan kita.”

Caya mendesah pelan. Bhara meyakinkan sahabatnya bahwa cinta kepada manusia tanpa landasan yang benar hanya akan membuahkan kecewa.

“Kerap kali kita menjumpai kepalsuan. Hal yang kita sangka bahagia ternyata mengecewakan.”

Sepuluh menit lebih Bhara mendapati Caya diam. Bhara tidak tahu apa yang sedang dipikirkan gadis tomboy yang hampir sebulan ini menyulsulnya berjilbab. Perlahan diraihnya tangan Caya, mencoba menguatkannya untuk mengendalikan rasa itu dengan baik.

“Kembali ke kelas, yuk! Bentar lagi Bu Ema datang. Sayang, kan kalau kau melewatkan matematikamu tercinta.”

Caya masih diam. Bhara bingung mau berkata apalagi.

“Kalau menurutmu apa yang kukatakan tadi terlalu ekstrim, kau boleh memilih langkah yang lebih tepat dan sesuai dengan kondisimu saat ini.”
Caya menatap Bhara lekat, “ Apa iya begitu?”


Jam setengah lima sore Bhara baru sampai rumah. ASC hari ini asyik nian. Pemandunya memang jagoan Fisika. Kabarnya mau masuk teknik elektro UGM via PBUD. Ah, andaikan berandai-andai itu boleh, aku juga ingin masuk UGM tapi ngambil HI saja..keren...siapa tahu bisa ketemu Amien Rais atau minimal anaknya. He..he.. apa hubungannya? Coba tebak? Bhara juga nggak tahu..we...!

“Ra, tadi Anis ke sini. Ke mana aja, sih kamu ditungguin kok nggak pulang-pulang?” tegur bundanya begitu ia siap beraksi ke meja makan. Lapar banget dari siang belum makan.

“Kan, kemarin Bhara sudah izin pulang sore, Nda.” Jawabnya santai sembari mengambil nasi dari Magicjer.

Astaghfirullah! Bukankah tadi pagi Anis sudah buat kencan denganku. Tiba-tiba selera makannya jadi hilang. Dasar pelupa! Bhara memaki dirinya sendiri.

“Ada pesan nggak, Nda?”
“Ada. Nih..surat kepada layang.” Bunda memang suka berkelakar.
Bhara cengengesan, “Bukannya layang kepada surat, Nda?”
“Emboh, Nduk! Aku mau njahit dulu....Apa pun pesan itu segera dibaca lho, barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan Anis.”

Bunda meninggalkannya sendirian di meja makan. Meski tidak antusias, akhirnya ia menuruti saran bundanya. Selesai makan dan mencuci piring, dibukanya surat dari teman sekelasnya itu.

Assalamu’alaikum, Mbak Bhara! To the point aja ya.!
Akhir-akhir ini Awan rajin ke musholla, apakah ia mau bergabung dengan anak-anak Ash-Sholihiin, Mbak? Dan sikapnya kok jadi aneh, ya? Sombong banget! Ia nggak mau mbonceng cewek...biasanya dia nawarin mboncengin aku pulang ke rumah tapi kok sekarang nggak mau lagi. Emangnya Mbak tahu kenapa?

Pacaran itu haram ya, Mbak? Tapi kalau sekedar pingin dekat dengannya boleh nggak? Cinta kan nggak harus memiliki! Tapi gimana bisa dekat lha wong dia aja angkuh begitu. Apa aku juga harus berjilbab seperti Mbak agar bisa menarik simpatinya?
Jawab ya Mbak! Besok pagi taktunggu di gerbang sekolah! Via kertas aja jawabannya dan jangan sampai ketahuan siapa-siapa ya!Thanks. Wassalam
Anis


Bhara mengulang-ngulang istighfarnya....Mengapa jadi begini nasib sahabat kecilku? Aku harus bilang ke ikhwan Ash-Sholihiin untuk menjaganya. Tapi siapa? Lagian apakah aku berhak mencampuri urusannya? Bhara menggeleng! Rasanya nggak perlu, ia takut terjadi fitnah.


“Raa..ada telfon! “ Bunda berteriak memanggilnya dari ruang tengah.

Jam delapan malam. Baru dua soal dari 20 soal trigonometri yang diberikan Bu Ema terjawab, eh... sudah ada gangguan teknis. Kapan bisa kelar? Bhara mengeluh.

“Assalamu’alaikum.” Sifat hiprokit-nya kambuh...pura-pura jadi orang terramah sedunia.

“Ra..anu...eh... ‘Alaikumussalam. Gini lho, aku Cuma mau ngasih tahu kalo’ ternyata Anis juga naksir Awan. Parahnya lagi, ternyata nggak cuma dia yang suka dengan Awan. Widya, Yanti, Tri, dan Tyas juga kepincut berat sama Awan. Gimana dong, Ra?”

Bhara melongo mendengar suara penuh nada kecemasan dari sebrang. Kasihan benar Caya...berita seperti itu saja harus dikabarkan padaku. Bhara ngedumel dalam hati.

“Istighfar Ya...Istighfar yang bener. Wudhu dulu, abis itu tanyakan pada hati nuranimu : Apa I ya semua yang kau lakukan untuk melupakan Awan sudah dilandasi kesadaran. Meski wajar bila kadang rasa itu menggelora di hatimu, tapi jangan terus dibiarkan, dong! Ingat, jalanmu masih panjang. Dah dulu ya...Caya Sayang aku mau nyelesain PR dari Bu Ema dulu. Daag...Assalamu’alaikuum.”

Bhara menutup telepon tanpa persetujuan dari lawan bicaranya. Ia tertegun sejenak. Kata-kata yang diucapkan pada Caya sebenarnya lebih pas untuk dicernanya sendiri.
Astaghfirullah! Bhara mengambil napas panjang lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Awan...Awan, mengapa banyak sekali yang menjatuhkan harap padamu?

Tanpa semangat Bhara kembali ke kamarnya. PR matematika yang berjumlah 20 soal itu menjadi tidak menarik lagi. Pandangannya sengaja ia kembarakan ke seluruh penjuru kamar. Buku diarynya yang bersampul hijau muda seolah melambai padanya. Menawarinya untuk berbagi tentang cerita-ceritanya hari ini.

Bhara tak menolak tawaran itu. Diambilnya diarinya dari rak buku yang tertempel di dinding. Baru beberapa kata tertulis tapi Bhara memutuskan untuk berhenti. Diurungkan niatnya untuk membingkai kisah tentang Awan. Sudah terlalu sering ia tulis nama yang sama pada diarynya.
Sebetulnya apa sih keistimewaanmu, Wan? Berlagak lupa, Bhara pun membuka lembar-lembar awal.....

17 Juli 2000
Muhammad Awan Kelana. Entah atas dasar apa kutuliskan namamu pada diary ini. Yang jelas aku sebel bin kesal serta tak habis pikir : kenapa kau sekelas lagi denganku? Huuh..aku jadi berprasangka yang macam-macam. Aku takut tak berani memulai perubahan total karena kau telah tahu bagaimana dan siapa aku waktu di TK, SD, dan SLTP. Aku takut kau akan membeberkan rahasiaku pada yang lain; bahwa aku angkuh, dingin, dan tentu saja nggak gaul. Astaghfirullah, maafkan aku, Wan!

18 Juli

Aku nggak peduli, Wan! Meskipun kau ada di kelasku, aku harus tetap berubah. Aku harus berani memulai petualangan baruku ‘tuk tunjukkan eksistensiku sebagai muslimah. Juju aja: aku masih harus banyak belajar darimu, terutama tentang cara membawa diri pada lingkungan yang heterogen dan bagaimana bisa berbaur dengan semua pihak tanpa melupakan kesejatian diri.

20 Juli
Masa orientasi sudah berakhir. Kita sudah benar-benar resmi menghuni sekolah ‘kaporit’. Bagaimana denganmu, Wan? Apa kau sudah mulai bangga menjadi warga ‘Permadani Hijau’? Eh, gimana rasanya kepilih jadi kepala suku di kelas punya banyak etnis ini?? Mudah-mudahan kau bisa jadi kepala suku yang baik...Amien.
10 Agustus
Kamu memang ‘ndableg’, Wan! Kamu nggak suka ‘dioyak-oyak’. Dan akibatnya, nikmati aja sendiri...kelas kita terlambat mengumpulkan foto untuk raport dan kelengkapan administrasi. Tapi aku yakin kau tetap pegang amanah, kok. Insya Allah!


17 Agustus

He...akhirnya kelas kita dinobatkan jadi kelas paling memprihatinkan dalam lomba kebersihan. Gimana perasaanmu? Cuek..pasti nggak kerasa apa-apa. Sebab apapun kata orang, kau akan bilang yoben, biarin!


September 2000
Aku benci kau, Wan..asli! Siapa suruh kau calonkan aku jadi anggota MPK. Aku nggak suka rapat...kau tahu, kan sebenarnya? Tapi it will be oke karena sidang pleno itu hanya setahun sekali. Di komisi B, kami membahs tentang progam kerja OSIS. By the way, kau lulus jadi OSIS baru ya! Selamat, mudah-mudahan kau dapatkan banyak pengalaman. Sayangnya Dik, kau nggak aktif di musholla. Sebenarnya pilih Scout boleh aja, OSIS pun silakan asal RoHis jangan dilupa...Sayang seribu sayang jika ngaji pun kau tinggalkan!


Bosan membaca, Bhara menutup diarynya. Dan kesimpulannya : Caya benar. Awan adalah figur yang istimewa, buktinya ia pun memperhatikan sosok yang kadang kala dianggapnya sebagai musuh bebuyutan.

Kembali Bhara beristighfar.

Ya Allah bersihkanlah hati kami dari segala sesuatu yang membuat kami berpaling dari-MU. Izinkan kami merasakan keindahan kasih-MU selalu.

Bhara tersedu menghayati do’a yang pernah didapatnya dari seorang sahabat. Entah dari mana sumbernya, ia tak tahu. Kini dibukanya kembali kertas merah jambu yang disimpannya di sela-sela buku diarynya. Berharap ia tak kan larut & tertular penyakit yang tlah menjangkiti teman-temannya dan kini mulai menyerangnya.

YA ALLAH, jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya kepada-MU, agar bertambah kekuatanku untuk mencintai-MU. YA MUHAIMIN, jika aku jatuh cinta, jagalah cintaku padanya agar tidak melebihi cintaku pada-MU YA ALLAH, jika aku jatuh hati, izinkanlah aku menyentuh hati seseorang yang hatinya tertaut pada-MU, agar tidak terjatuh aku dalam jurang cinta semu. YA RABBANA, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku padanya agar tidak berpaling pada-MU. YA RABBUL IZZATI, jika aku rindu, rindukanlah aku pada seseorang yang merindui syahid di jalan-MU. YA ALLAH, jika aku menikmati cinta kekasih-MU, janganlah kenikmatan itu melebihi kenikmatan indahnya bermunajat di sepertiga malam terakhir-MU. YA ALLAH, jika aku jatuh hati pada kekasih-MU, jangan biarkan aku tertatih & terjatuh dalam perjalanan panjang menyeru pada manusia kepada-MU. YA ALLAH, jika KAU halalkan aku merindui kekasih-MU, jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan aku pada cinta hakiki&rindu abadi hanya pada-MU *)

Ngawi, 1 Juni 2001 dengan beberapat edit-an 3 tahun kemudian
Untai rindu untuk Ash-Sholihiin Crew : Moga Istiqomah selalu!
*) diambil dari lembar yang dihadiahkan Bu Is tanpa kutahu sumbernya dari mana.

BILAKAH KUGAPAI KEMBALI

0 comments


“Gus, aku mo’ pulang dulu. Yuk, assalamu’alaikum,”

Sosok berjilbab putih itu terlihat terburu-buru mengendarai sepeda mininya. Aku hanya diam melepas kepergiannya tanpa ekspresi yang tegas. Bahkan bibirku masih terkatup ketika salam yang selalu dihadiahkannya dengan penuh ketulusan itu terucap.

Ia memang bukan siap-siapa bagiku. Ia hanyalah seorang teman. Ya, seorang teman yang keberadaannya kadangkala mempengaruhi keseharianku. Tapi kali ini ia benar-benar membuatku marah.

“Gus, sesama muslim aku masih boleh mengingatkanmu, kan?”

Hmm, kuakui ia memang pandai mengambil prolog lalu merangkai kata demi kata dengan retorika yang bagus. Sayangnya ia terlalu mengedepankan egonya, ia terlalu membawa ‘ekslusivitas’nya dalam menasehatiku. Ia benar-benar mengintegrasikan semua pengetahuan yang ia dapat ke dalam tindakan nyata , yang dinamainya sebagai ‘amal’.

“Gus, apakah besok kau akan benar-benar merayakan hari lahirmu?

Entahlah, sebenarnya aku masih ragu tapi rasanya sulit untuk mencegah ‘pasukan’ku dalam mengembangkan kreativitasnya yang kalau dilihat dengan kacamata Islam memiliki simbol sebagai kemubadziran.

“Gus, kau masih mendengarkanku, kan?”
Ia selalu senang dengan pertanyaan yang seharusnya nggak perlu ditanyakan. Dan seperti biasa aku pun menjawab dengan ‘deheman’ yang khas,”Ehm!”

“Aku harap, kau bisa mengondisikan teman-teman sebaik mungkin. Paling tidak, insiden setahun yang lalu nggak terulang kembali. OK, do your best! Dan maaf jika kau merasa terganggu dengan kehadiranku. Yah, aku ngerti kalau berbicara itu mudah. Tapi Insya Allah kalo’ kita mau benar-benar berusaha maka kemungkinan terciptanya keadaan yang terkondisi akan terbuka lebar.”

Aku hanya diam, mencoba mencerna kata-katanya meski wajahku menyiratkan ketidaksimpatian atas semua nasehatnya. Aku tak butuh uraian panjang lebarnya dan aku yakin sebenarnya ia pun tahu bahwa manusia bisa berubah. Jadi aku punya hak, kan untuk menemukan dinamika hidup yang lebih kusuka dan sesuai trend?


Namanya Melatiningtyas. Aku lebih suka memanggilnya Mela meskipun teman-teman di sekolah kami lebih sering menyapanya Bunga. Aku mengenalnya secara tidak sengaja di perpus umum waktu kami masih sama-sama duduk di bangku SLTP.

Bunga cantik! Begitu pujian yang sering kudengar dari temab-teman. Dan untuk hal seperti itu aku sama sekali nggak berminat untuk memberi komentar. Bahkan memperhatikan wajah seorang wanita, apalagi yang memakai jilbab merupakan sebuah pelanggaran dan termasuk dalam katagori tabu dalam kamus keseharianku. Tapi itu dulu. Lantas sekarang? Sudah nggak berlaku lagi sebab bukankah wajah cantik memang untuk dilihat? Ya, hitung-hitung vitamin A-lah. Meski demikian tetapi tetap ada pengecualian dalam bersikap kepada Bunga alias Si Mela itu.

Aku belum pernah memandangnya. Sungguh! Jadi kalo’ ada yang bilang ia cantik aku sih percaya aja. Bukankah cantik tidaknya seorang wanita itu relatif? Dan sebenarnya kriteria cantik tidaknya seorang wanita menurutku tuh nggak hanya dari segi fisik, kepribadiannya lebih utama. Juga ia harus nyambung kalo’ diajak bicara, nggak cerewet-cerewet amat, bisa ngerti en maklum dengan perbedaan di sekitarnya, etc. Ih.., kaya’ ngomong kriteria istri idaman, ya! Jadi malu nih....

Malu? Apakah laki-laki yang sekarang jadi play boy kelas kakap seperti aku ini masih punya malu? Aku sendiri jadi nggak yakin dengan keimanan yang setiap saat sering kuikrarkan. Padahal aku ingat betul lho...hadist Rasulullah yang artinya malu itu sebagiam dari iman. Em, sebenarnya aku juga nggak begitu ngeh dengan keadaanku sekarang ini. Apa yang menyebabkanku berubah 180 derajat?

Lingkungan pergaulan? Meski udah nggak deket lagi ama komunitas jenggoter alias anak-anak yang nge-team di Rohis, aku masih sering diingetin. Terlalu sering malah. Dan satu-satunya akhwat (ih, aku masih inget lho sebutan itu) yang paling sering ngingetin aku ya Si Mela itu. Nggak tahu, tuh akhwat perhatian banget (GeeR kali ya aku?). Dulu memang aku yang minta untuk dikasih kritik, masukan, saran, nasehat atau taushiyah-lah biar kalo’ agak bengkok bisa lebih mudah ngelursinnya. Sekarang udah terlanjur bengkok beneran, eh ia masih belum kapok buat ngasih teguran ke aku.

Agaknya ia benar, bahwa semuanya pasti mengalami proses, dan seperti metamorfosisku dari ‘itong’(ikhwan sepotong) menjadi ikhwan beneran, kini penjelmaanku menjadi mantan ikhwan pun juga mengalami proses meski sebenarnya sangat perlahan-lahan. Dan sebenarnya aku pun merasakan sekali proses perubahan itu. Ada rasa gelisah yang menyeretku pada sebuah tanda tanya besar. Mengapa... mengapa tak bisa kurasakan kenikmatan antara dua kenikmatan sekaligus? Mengapa harus ada rasa kehilangan yang sangat ketika aku berlari dan mengejar kenikmatan yang lain?
Aku masih ingat, Mela pernah mengingatkanku untuk meluruskan niat. Yah, tak pernah terlintas sedikitpun di dalam benakku untuk menikmati posisi itu. Ketua OSIS! Aku menerima musyawarah itu juga atas dorongan Mela juga. Ia yang menguatkanku untuk menempati posisi yang menjadi incaran berbagai elit organisasi di sekolah. Katanya itu peluang yang harus diambil, paling tidak merupakan sebuah wasilah dakwah.

“Gus, aku yakin kau bisa pegang amanah. Menjadi ketua memang tidak mudah. Tapi siapa lagi yang bisa diharapkan untuk membuka jalan bagi kami agar lebih leluasa dalam bergerak. Berazzamlah Gus! Untuk semaksimal mungkin menunaikan tanggungjawab. Kewajiban kita, maksudku tugas kita untuk mengarungi samudera dakwah ini tak kan pernah usai.”

“Tapi Mel, aku takut bila nanti tak mampu mencapai ketawadzunan. Aku takut bila langkahku nanti cenderung mengikuti arus. Aku takut...menjadi sekuler!” tenggorokanku seperti tercekat dan aku tak mampu berkata-kata lagi. Entahlah..yang pasti aku pun mengangguk perlahan-lahan. Dan sepertinya Mela bisa bernapas lega.

Segala sesuatu itu tergantung pada niat. Meski berat, kucoba untuk selalu meluruskan niat itu. Laa ghayata illallah. Allah ghayatuna. Kucoba memaknai tujuan hidup itu. Hanya untuk Allah!
Tapi apa yang terjadi padaku saat ini? Futur???


“Tit...tit...tit...” suara alarm dari hp itu memecah kesunyianku.

Jam 24.00 atau 00.00, aku tak mempedulikannya. Yang ada di pikiranku hanya kesedihan. Aku nggak tahu...kenapa. Sepertinya aku telah sampai pada titik kejenuhan yang sangat. Puncak kejenuhan ini membuatku benar-benar nggak bersemangat. Aku lelah!

Kucoba memejamkan mata kembali. Masih ada waktu untuk memulihkan energiku di kasur empuk yang disediakan ibu kosku. Tapi malam ini kurasa begitu panjang...kurasakan kesendirianku di dunia ini.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran.

Seperti ada yang membacakan surat Al-‘Asr di telingaku. Lalu bayangan anak-anak Rohis hadir menyapaku. Aku tak mengerti...ada Susilo, Habib, Awan, Sakti, Nugroho dan Agung yang membawakanku spanduk. Membentangkannya tepat di hadapanku.
BE A GOOD FIGHTER & Let’s join with us: Ash-Sholihiin crew!!!
“Apa yang kau ragukan lagi, Akhi? Bukankah surga Allah lebih indah daripada dunia dan seisinya? Apa yang kau risaukan? Apakah keindahan dunia lebih menarik di hatimu?” Habib mendekat, duduk di sampingku dan mengintrogasiku dengan pertanyaan retoris. Aku diam, tak tahu hendak menjawab apa.
“Kau masih ingat akan ikrar di awal perjuangan kita, kan?” kali ini suara Susilo yang juga teman sekelasku pun ber-retoris.
Aku masih membisu, menunggu barangkali ada yang akan mereka tanyakan lagi. Aku masih menunggu...dan ketika sedang kupilih kata untuk balik mengintrogasi mereka, Nugroho yang menjadi lead vocal dari Ash-Sholiihin Voice mendendangkan penggalan nasyid dari SP yang sangat kuhapal.
Allah Ghayatuna
Muhammad Qudwatuna
Al-Qur’an Dusturuna
Jihad Sabiluna
Syahid asma amanina

“Apa mau kalian?” akhirnya hanya itu kalimat yang mampu kuucapkan.
Mereka pun diam dan memberiku seulas senyum secara bersamaan lalu tanpa kata perpisahan menghilang. Kulihat diriku sendirian di padang yang luas. Panas tiada atap perlindungan. Duhai tempat apakah ini?
“Tit...tit.. Ar-ruhul jadid fii jasadil ummah. Hai Mujahid luluhlantakkan jiwa pendosa.. Ar-ruhul jadid fii jasadil ummah...” Seketika aku terbangun. Ringtone ini sengaja kutambahkan bila panggilan anak-anak Rohis itu menghubungiku. Dan nyatanya memang benar. Ada miscalled dan sebuah sms masuk.

“SMT Hri Lahir!
Gusti Agung Setya Asmara,bangunlh u/ qiyamul lail.
Ingat 5 sblm 5, mg ALLAH mengizinkn qta u/ b’benah!
JIHAD IS STILL GOING ON, Akhi!”


Aku terhenyak. Habib, ketua Rohis yang merangkap sebagai koordinator bidang I OSIS mengingatkanku untuk qiyamul lail. Kulihat jam dinding di kamar menunjukkan 03.15. Kukira Habib sudah bosan mengingatkanku.

Angin sepertiga malam terakhir berhembus melewati jendela kamar yang sengaja kubuka kali ini sangatlah sejuk. Dingin tapi benar-benar menggiringku untuk menemui ketenangan. Bayangan Habib cs memenuhi benakku. Mereka pasti sudah khusyu’ dalam shalat malam. Pasti mereka sudah larut dalam isakan-isakan keinsyafan. Ah, sedang aku? Sudah berbulan-bulan melupakan kebiasaan untuk menjalin kemesraan itu. Dan apakah ini momentum yang tepat untuk memulainya kembali?

Meski masih enggan akhirnya kuambil air wudhu dan memulai rakaat demi rakaat. Tapi aku tak tahu mengapa tiada kurasakan kenikmatan seperti dulu. Sungguh, aku pun tak mengerti, ketenangan yang tadinya sempat kutangkap lewat hembusan angin dari jendela tiba-tiba hilang.
Aku capek! Kembali kurebahkan diriku di ranjang. Sayup-sayup sampai kudengar adzan Subuh. Aku tak peduli. Kurapatkan selimut karena rasa ngantuk menyerangku sedemikian hebat.
Ash-sholaatu khoirun minan naum... Sholat lebih baik darupada tidur, tapi aku benar-benar ngantuk!


“Gus, bangun! Sudah hampir setengah tujuh lho..Le! Ayo, gek ndang ...mengko telat lho!
Ah! Kalau saja nggak sungkan dengan ibu kosku yang baik hati itu mungkin aku nggak akan beranjak. Setengah tujuh? Hah? Berarti Ajeng sudah menungguku di teras depan. Aku harus super kilat nih: mandi, nyiapin buku, pakai seragam!

Benar seperti dugaanku. Gadis manis, putri tunggal ibu kos itu terlihat gelisah, kulihat ia mondar-mandir menungguku. Ketika kustarter Supra X-ku, tanpa berkata-kata, ia segera duduk di boncengan.

Dengan kecepatan 75km/jam, aku meluncur ke SMA Klitik Jaya. Tepat 5 menit, aku dah sampai di pelataran SMA dan tentu saja bersamaan dengan bunyi bel. Hm..belum terlambat. Aku bisa bernapas lega menuju kelasku di 3IPA 4 tanpa kata-kata perpisahan atau hanya say good by pada Ajeng. Kubiarkan gadis itu dalam kejengkelen. Biarlah! Kalaulah dia mau marah, silakan saja dan aku tak kan peduli!

Sampai di kelas kudapati wajah-wajah tegang. What’s happened? O, aku baru ingat! Hari ini ulangan Matematika, pantas saja! Segera kuletakkan tas dan duduk setenang mungkin meski secara materi aku belum siap.

“ Gus, sudah siap?” Habib menepuk pundakku pelan.

“Eh...anu...” Aku tergagap. Refleks, aku berpaling melihat wajahnya. Tanpa sengaja kurasakan pancaran ketenangan di balik tatapan matanya. Ada perasaan haru atas perhatiannya.

Entahlah..., kenapa aku jadi sentimental begini. Padahal aku kan laki-laki.
“Kamu masih punya kesempatan untuk belajar, kok! Yah, semoga besok kamu benar-benar siap.”
“Maksudmu?’
Ulangannya dicancel. Hari ini mulai jam pertama sampai ke tiga guru-guru akan rapat tentang...” belum selesai Habib memaparkan informasinya, terdengar sorak bahagia dari penjuru kelas.
“Yes..yes...yes!”
Dasar anak-anak norak. Ada jam kosong saja senangnya bukan main, bagaimana bangsa ini bisa maju?
“Gus, aku ke Ash-Sholiihin dulu ya! Sekalian yuk!” tawarnya. Aku menggeleng.
“Nantilah kalau pas Dhuhur.”
“Ya sudah! Assalamu’alaikum”

Kuperhatikan sosok itu berlalu. Langkahnya mantap menuju ke musholla. Ah, sebenarnya aku juga ingin ke sana tapi gengsi. Udah lama aku nggak sholat dhuha. Ironis sekali...padahal dulu aku yang paling sering koar-koar ngajak teman sekelas shalat dhuha bila istirahat pertama tiba. Tepat sekali kalo’ dikatakan bahwa degradasi ruhiyahku tlah mencapai stadium empat. Ah, biarlah...aku capek membahas masalah begituan. Mending belajar matematika saja.
Belum genap lima menit aku mengotak-atik soal-soal logika tiba-tiba kurasakan ada yang

“Plok...plok..plok..” lemparan itu semakin menjadi dari kiri kanan depan belakang. Kemudian

“Byuuur...” ada yang menyiramku dengan cairan kental. Baunya sangat tidak sedap sekali. Pasti ini perpaduan yang proporsional dari air comberan, telur busuk, dan aneka makanan basi yang telah dilembutkan.

Astaga! Aku nggak bawa ganti. Padahal hampir setiap bulan insiden seperti ini terjadi. Dan sebenarnya kemarin Mela juga sudah mengingatkanku.

“Teman-teman yang budiman, adek-adek kelas 1&2 yang cantik dan ganteng, hari ini sebelum reorganisasi OSIS berlangsung, ketua OSIS kita tercinta akan memberi sambutan. Marilah kita dengar pidatonya di hari ultahnya yang ke-18 ini.”

Mulai lagi! Si Gayuh yang kukerjain sebulan yang lalu ternyata menyimpan dendam kusumat. Dan ia memilih hari ini sebagai hari pembalasan.
Plok..plok...terdengar tepuk tangan yang membahana. Aku diseret ke luar kelas menuju lapangan volley yang letaknya persis di samping musholla. Kemudian tanpa karcis, anak-anak sableng dari kelas 1, 2, & 3 menuju ke arahku. Aku jadi tontonan gratis kali ini.

“Ayo’ Gus, ngomong dong! Tuh udah ditunggu fansmu.” Gayuh berbisik di telingaku. Wajahku seketika memerah bak udang rebus.
“satu..dua..tiga..” kudengar sebuah suara yang memberi komando. Ya Allah, apa yang akan terjadi. Aku terduduk lemas dan pasrah dengan surprise-surprise yang sebenarnya kampungan dan sangat tidak edukatif sekali.

“Mas Gusti, happy birthday !” tanpa kusadari Ajeng mendekat lalu menaburiku tepung terigu dan bunga-bunga mawar. Astagfirullah, aku bergidik. Mengerikan sekali. Apa lagi yang akan dilakukan putri ibu kosku itu? Ya Allah lindungi aku!
Aku harus berbuat sesuatu sebelum kejadian yang lebih buruk menimpaku. Tiba-tiba aku seperti mendapat pertolongan. Dengan tenang yang kupaksakan aku tersenyum dan mencoba untuk berbicara baik-baik. Memberi sambutan? Konyol sekali!

“Assalamu’alaikum Wr. Wb...Terimakasih atas kebaikan teman-teman 3IPA4 yang dengan sukses mempermalukan saya di depan adik-adik kelas 1 & 2. Dan terimakasih atas kesediaan adik-adik yang telah menyempatkan diri untuk melihat tontonan gratis yang sebenarnya nggak bermutu ini. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih atas keikhlasan dari semua pihak yang ada di sini. Wassalamu’alaikum.”

Aku segera berlari menuju musholla Ash-Sholiihin. Aku nggak tahu harus menyelamatkan diri ke mana lagi. Banyak yang mencoba mengejar dan menghalangiku. Tapi begitu tahu aku menuju ke sekretariat Rohis, mereka lebih memilih untuk melepasku dengan tatapan kecewa.
Dari pintu yang sedikit terbuka, kulihat anak-anak Rohis sedang asyik berdiskusi. Mungkin rapat atau membicarakan masalah pelajaran. Aku tak tahu. Hampir saja kuurungkan niat untuk mengetuk pintu tetapi Habib lebih dulu membukanya.

Aku mencoba membalas sernyumnya ketika ia menghampirku dengan tatapan yang menawarkan ketulusan. Ada getar yang tiba-tiba muncul di hatiku. Hm..rasa sentimentil itu kambuh lagi. Ya Allah apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Assalamu’alaikum Akhi.” Ia menghulurkan tangannya terlebih dulu. Aku menyambutnya kaku. Dipandanginya rambutku yang kusut, bajuku yang belepotan dengan telur busuk, air comberam, tepung, etc.

“Sebentar ya!”

Ia segera masuk ke dalam ruang sekretariat lalu keluar dengan bungkusan di tangannya.

“Nih, pake! Insya Allah bersih. Itu sebenarnya seragam yang sengaja kutinggal di base camp untuk persiapan kalo’ nanti malam jadi mabit di sini dan besok nggak sempat pulang ke rumah.”

“Thanks ya!”

Buru-buru kubawa langkahku menuju kamar ganti yang terletak persis di depan kantor sekretariat Rohis alias base camp mereka. Untung saja ukuran baju ini tidak begitu kekecilan karena sebenarnya badanku lebih besar darinya.

“Nanti sore ada acara?” Habib langsung menodongku dengan pertanyaan begitu aku selesai ganti pakaian. Aku malas untuk menjawabnya. Acara apa? Yang pasti nanti sore aku punya banyak agenda yang mesti kuselesaikan.

“Sebenarnya kami, aku dan teman-teman sudah lama ingin berbicara denganmu. Tapi entahlah...mungkin belum ada kesempatan yang pas. Seperti terbentang jarak...”
Jarak itu memang sengaja kubuat. Tiap kali ada di antara kalian yang mencoba mengajakku untuk kembali. Bahkan untuk sekedar ngobrol dan berbasa-basi pun aku lebih sering menghindar.

“Gus, kami mau minta maaf!”
Seperti ada petir yang menyambar tiba-tiba tapi aku hanya diam.

“Untuk segala kesalahan yang tanpa sengaja telah melukaimu, membuatmu merasa tak nyaman bahkan untuk sekedar berada di tempat ini.”

Habib cs ternyata punya pikiran seperti itu. Benarkah mereka masih memperhatikanku sama seperti dulu meskipun aku telah terlalu sering mengacuhkan mereka.
“Dah shalat Dhuha?” tanyanya ringan, mungkin mencoba memecah dinding kekakuan antara dia dan aku.

“Belum tuh” jawabku santai

“Buruan sana! Mumpung masih ada kesempatan. Nanti kalau dah selesai jemput ane di base camp ya! Kita ke kelas bareng. Sekarang ane mau nyelesain proposal untuk seminar bulan depan. Eh, ente mau kan jadi panitia...koordinator sie sponsorship, ya?” Ditepuknya pundakku cukup keras sebelum ia kembali ke ruang sekretariat. Kalau sudah kumat dengan ane ente-nya itu berarti ada udang di balik rempeyek.

Asli aku bingung! Sebenarnya kalau mau jujur, ini adalah momentum untuk kembali bergabung dengan komunitas mereka. Tapi bagaimana dengan Ajeng? Bagaimana dengan janjiku untuk setia padanya, paling tidak sampai aku lulus nanti. Hm..setia? Harusnya untuk Allah saja.

Ah...aku mumet.

Allah bilakah kugapai hidayah-MU kembali sedang hati ini masih sibuk memikirkan urusan duniawi? Bilakah kan kudapatkan cinta-MU , sedang masih saja kuharap cinta lain selain cinta-MU?


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada ALLah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada ALLAH, sesungguhnya ALLAH mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang yang lupa kepada ALLAH, lalu ALLAH menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik. Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, maka pasti kamu akan melihatnya tunduk terpacah belah disebabkan takut kepada ALLAh. Dan perumpamaan-perumpaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.


Isakan tangis tak mampu kutahan ketika Habib membaca surat AL-Hasyr ayat 18-21 yang masih kuhapal artinya. Di sini, di bumi Perkemahan Sidorejo pula kami pernah bersama-sama menghapal dan mentadaburrinya. Syahdu memenuhi ruang hatiku. Ya Allah terimakasih atas lembut tegurmu melalui hadirnya sahabat yang mengingatkanku untuk kembali menggapai indah hidayah-MU.

Hari ini cerah sekali. Hawa pegunungan yang sejuk menemani kami berpetualang, mentafakuri penciptaan-NYA. Akhirnya setelah melewati pergulatan batin yang melelahkan kuputuskan untuk kembali mengikrarkan janji setia di jalan-Nya. Kututup lembar-lembar yang hitamku. Ku tak ingin hidup dalam kehampaan jiwa.

Kemarin dengan bantuan Habib cs, kubawa barang-barang dari rumah Ajeng. Untuk sementara aku tinggal di markas mereka. Kontrakan yang sederhana yang kupilih untuk melakukan terapi ruhiyah. Masih ada luka yang harus kusembuhkan. Luka yang belumlah kering karena kesilauan pada fatamorgana.

Kuputuskan Ajeng dengan alasan yang mudah diterimanya. Karena kutahu hingga kini ia masih belum mengerti akan cinta yang lebih membiusku, membawaku mengembara di rimba-NYA.

“Maafkan aku yang telah salah memilihmu. Dan mungkin sangat menyakitkan jika aku memutuskanmu begitu saja. Ada hubungan yang lebih pantas untuk kita: ukhuwah. Karena hubungan ini tak mempunyai tendensi apa-apa. Mari berbenah agar masa depan mampu kita jelang dengan kegemilangan.”

“Mas Gusti takut kalau aku mengganggu konsentrasi belajar Mas ya?”

“Bukan itu. Tapi memang Mas butuh konsentrasi karena sebentar lagi UAN. Mas juga perlu mempersiapkan SPMB dengan baik. Sekali lagi maafkan aku, Jeng. Semoga kau temukan labuhan cinta yang tepat. Kau percaya Allah, kan?”

Kutahu hatinya hancur tapi ia terlihat tidak emosi.

“Semoga sukses dan diterima di Kedokteran.” Ucapnya sebelum berlari meninggalkanku. Suaranya serak seperti menahan tangis.

Minggu depan reorganisasi OSIS. Aku harus melaporkan pertanggung jawabanku di hadapan Majelis Perwakilan Sekolah. Dan di sana pasti ada Mela yang siap menyerangku dengan pertanyaan.

“Gus, jangan ngelamun aja! Bentar lagi kita mulai perjalanan. Perbekalan di tasmu sudah lengkap, kan? Jangan sampai ada yang ketinggalan lho! Coba cek dah ada semuanya kan: korek api, air minum, roti, gunting, tali rafia!” Kali ini Susilo yang menegurku.

“ Siap bos!” jawabku mantap.
“Lupakan sejenak beban yang menghimpitmu. Mari kita nikmati simulasi dari perjalanan panjang kita. Inilah The Real Moslem Adventure. Pasukan siap? Are you ready? ” Nugroho memberi komando.

“Yes, we are!” Serentak semua anak-anak Rohis menjawab kompak.

Aku kembali asyik dengan pikiranku ketika Habib mengingatkanku untuk bersiap.

“Subhanallah” akhirnya hanya kata itu yang senantiasa terucap di sepanjang perjalanan out bond melewati hutan pinus bukit Selondo yang sebenarnya tak jauh dari kampungku.

Ya Allah bilakah keindahan ini kan terus mewarna di esok hari?

  

Bumi Gerih Permai, 300804:10.45 setelah lebih setahun kutinggalkan.
Untuk Lukky, Amalia &Akhi Putra Chilup: bilakah kembali merentas di jalan ini?

HARUSNYA KUKEMBALI...!

1 comments


Cobalah lihat wajahmu di cermin! Adakah perubahan yang membuatmu merasa tak nyaman? Perhatikan baik-baik, apakah bias ketaqwaan masih terpancar dan tatapan matamu terjaga dari hal yang diharamkan? Masihkah dirimu mencoba untuk selalu menjadi penyejuk hati bagi siapapun yang memandang? Masihkah engkau pribadi muslimah yang terus bertekad untuk setia di jalan dakwah, untuk senantiasa tegar meniti jannah?

Nisa bermonolog dengan himpitan kepedihan yang mendalam. Dipandanginya wajah putihnya yang tak lagi berseri. Ada gurat kelelahan yang jelas terlihat. Matanya cekung dan semakin sayu. Senyumnya tiada menandakan ketulusan, ada keterpaksaan yang tak mampu disembunyikannya.
Jilbabnya masih sama. Warnanya saja yang semakin memudar. Tapi ia memang berniat mempertahankannya jilbab-jilbabnya yang hanya berjumlah tiga helai. Ketiganya berwarna putih. Ya, putih adalah warna netral yang menurutnya cocok untuk dipadukan dengan gamis warna apa saja yang dimilikinya.

Gaya berjilbabnya pun masih sama dengan gayanya semasa SMU. Sederhana tanpa accessories. Lebarnya menandakan kekhasan akhwat : tampak elegant dan ekslusif, panjang menjuntai dan memberikan kenyamanan. Performance akhwat memang masih dimilikinnya...tapi jelas ia kehilangan sesuatu sehingga membuatnya terkungkung dalam kehampaan.
Ke manakah kan kumuarakan segenap rasa yang selama ini terpendam. Bilakah ku kan mampu untuk menikmati hari-hariku sebagai seorang akhwat?

Akhwat? Ya, seorang muslimah yang perfect! Definisi yang kini terlalu berat dirasakannya. Definisi yang dulu pernah dilontarkan kepada Anang sewaktu mereka masih kelas 1 SMU itu kini disesalinya. Akhwat adalah sosok muslimah yang menampilkan performance Islam. Ia berjilbab dan mengaktualisasikan ajaran Islam dalam kehidupannya1. Dalam hal sekecil apapun ia berusaha untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Ya, dalam hal sekecil apapun! Nisa menekankan klausa itu sembari menunjuk ensiklopednida sebagai referensinya. So?

“Akhwat itu harus cerdas menempatkan diri dalam hal dan kondisi seperti apapun, ” katanya mantap dan penuh kebanggaan saat itu. Maka tak heran, tiap mengisi lembar biodata atau formulir, tentang cita-citanya ia selalu menulis : kuingin menjadi akhwat mukminah yang kaffah, Insya Allah!

“Belum berangkat, Dek? Sudah, ndak usah terlalu lama mematut-matut diri di cermin. Dah cantik, kok! Cepat berangkat! Nanti nggak kebagian apa-apa lho...” teman sekamar yang juga kakak tingkatnya di kampus menegur dengan lembut.
Seketika ia tersentak dan menyudahi monolog paginya.
“Mbak Hesti ikut, yuk! Sekali-kali ikut kajian pagi biar...,” belum sempat ia selesaikan kalimatnya ketika tanpa izin sela terdengar tawa cekikikan dari kamar sebelah.
“ Hesti sedang tidak beriman, masih belum berminat untuk berkumpul dengan orang-orang beriman di dalam masjid, Nis! ” Hm..meski tahu suara yang menimpali itu hanya bercanda, ia merasa hatinya teriiris ribuan sembilu. Refleks, mulutnya langsung manyun 1,5 cm.
“Sudah, Dek, jangan diambil hati, berangkat sana gih!”
“I ya, deh Mbak! Assalamu’alaikum, ” pamitnya datar.
Nisa! Ia menyapa dirinya sendiri dalam hati. Mengapa kau jadi begini, Ukhti? Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau jadi sensitif begini? Apa yang membuatmu berubah sedemikian drastis? Beruntun, ia menggeleng empat kali menandakan ketidakmengertiannya akan dirinya sendiri. Sesekali wajah yang dibiarkannya tertunduk pasrah itu terangkat, matanya mengawasi jalanan yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan. Meski tak bersemangat, kakinya tetap melangkah cepat dan saling bersusulan antara kiri dan kanan. Tepat di gerbang belakang kampus, ia menyebrang.
Nurul Huda, masjid kampusnya sudah mulai dipenuhi jama’ah. Hamparan jilbab jelas terlihat di hadapan matanya. Dan kini, tinggal beberapa langkah lagi ia segera sampai dan bergabung dalam majelis ilmu.
Kajian Jum’at Pagi...Hm..kini diikutinya dengan setengah hati.



Hari ini Nisa bangun lebih dulu daripada alarm yang biasanya membangunkan dirinya tepat jam 03.30 pagi. Namun udara dingin yang menyapanya tidak dibalas dengan ramah. Hampir saja ia kembali berbaring kalau saja tidak ingat iqobnya yang akan semakin menumpuk jika ia kembali absent dari qiyamul lail. Hm.. Rp.500,00 per hari jika dikalkulasi selama sebulan sudah lumayan untuk ukuran anak kos. So? Apakah artinya ia melakukan QL karena takut tak sanggup membayar iqob? Entahlah ... terkadang ia merasa bosan juga. Kenapa dulu ia bersemangat sekali untuk mengiqob dirinya jika tak mampu memenuhi target amal yaumi yang dibuatnya sendiri.
Wudhu ...ayo bergegas, Nis! Ia mencoba menyemangati dirinya. Lantas, dibukanya pintu kamar dengan perlahan sekali.
Waktu hendak mengambil air wudhu tanpa sengaja matanya menatap ke atas. Subhanallah! Refleks, ia bertasbih. Sudah lama sekali ia tak menikmati kerlip-kerlip bintang yang menawan itu. Allah, kurindu pada-Mu! Bimbing daku untuk bertafakur dan memikirkan penciptaan-Mu agar aku mampu berma’rifah pada-Mu. Kembali dipandanginya gugusan bintang di langit. Ia bergumam penuh kekaguman.

”Nis, elingo aku yen kowe pas ngguyu! Bila kau rindu aku, Nis, pandanglah langit di malam hari. Perhatikan baik-baik bintang gemintang yang berlomba memamerkan kerlipnya. Carilah bintang yang paling terang dan tahukah kau, itulah semangatku. Itulah semangat Arkini yang besar dan akan senantiasa menyala untuk menapaki liku kehidupan yang penuh dengan ujian, ”
Terngiang kembali kata-kata perpisahan sahabatnya semasa SMU. Semangat! Ia pun menikmati wudhunya dan segera kembali ke kamar. Tidak, aku tidak boleh kehilangan 1/3 malam-Mu lagi Ya Rabb. Ia bertekad.


Jam 11.00 tepat Nisa meninggalkan kos tempat ia dan teman-temannya biasa ngaji. Ia mempercepat langkahnya menuju jalan raya di belakang kampus. Begitu angkot kuning bertulis ’03 muncul ia segera melambaikan tangannya.

“Sekar Pace, Pak!” ia setengah berteriak ketika angkot yang ditumpanginya sampai di perempatan daerah Sekar Pace. Terburu-buru ia menyerahkan uang Rp. 1500,00, lalu setengah berlari ia menuju halte yang berada di sebelah barat lampu lalu lintas untuk menunggu bus jurusan Jogja-Surabaya. Lega sekali rasanya ketika bus Sumber Kencono telah berhasil dinaikinya sebelum 2 menit ia menunggu di halte.

“Ngawi, Pak!” katanya seraya menyerahkan uang RP.5.500,00 ketika sang kondektur bus menghampirinya. Kemudian ia mulai asyik dalam diamnya dan tak mempedulikan seorang kakek yang memang tertidur di sebelahnya.

Selalu begini! Hatinya mulai bermonolog. Mengapa setelah selesai liqo’, penyakitku justru menjadi? Duhai, salahku-kah semua ini jika aku tak pernah lagi mampu menikmati segala sesuatu di lingkaran LQ-ku? Salahkah aku bila semangat untuk hadir dalam tiap pekan itu hanyalah paksaan diri, bukan refleks dari kebutuhan akan pentingnya siraman ruhiyah?Salahkah aku bila merasa terasing tiap kali berada di antara mereka. Salahkah aku bila akhirnya menganggap liqo’ itu hanya formalitas belaka agar tidak disebut sebagai akhwat futuris?
Akhwat? Andai saja dulu aku tak terlalu menggebu untuk mendapatkan status itu. Menyesal? Tidak! Nisa menggeleng. Ia berusaha untuk tetap yakin bahwa keputusannya untuk hijrah pada saat itu bukanlah suatu kesalahan.

Azzam! Akankah mampu ia hadirkan kembali syahdu di hatinya seperti saat tekad yang kuat untuk menggapai kemuliaan itu mulai ditanam? Duhai..ternyata istiqomah itu tidak mudah. Ia ingat betul siapa saja yang paling bersemangat di awal-awal hidayah itu menyapa. Ia ingat betul ketika pertama kali dimabuk cinta atas nama ALLAH, ketika ukhuwah dirasakannya benar-benar indah. Ia pun tak kan pernah lupa bagaimana ia mengendalikan hatinya agar jangan sampai menduakan-NYA, bagaimana ia menolak seseorang yang sebenarnya sungguh dikaguminya. Tapi mengapa kini justru ia menjadi kecewa? Mengapa? Ia bahkan tak tahu mengapa semangat yang pernah membara itu padam begitu saja.

Nisa! Ia masih sering menyapa dirinya kala perih itu takterperikan. Genap satu tahun sudah ia ada di Kampus Hijau, tapi mengapa ia justru merasa hidup di tempat yang panas. Muak. Itu yang lebih sering dirasakannya. Ia benar-benar dihimpit resah tiap kali melihat teman-temannya yang aktivis begitu bangga menceritakan agenda harian yang padat, yang lebih sering terisi dengan rapar dan rapat. Ia merasa lelah menghabiskan malamnya untuk mabit demi syuro’ dan syuro’. Ia merasa bosan tiap kali teman-teman mengajaknya untuk aksi dan meneriakkan yel-yel di jalan-jalan. Ia sungguh kecewa ketika mendengarkan perbincangan teman-teman di kos akhwat; yang tak pernah luput dari pokok bahasan: ikhwan!

“Mengapa kau nggak milih kos akhwat aja, Nis?” tanya Tante Wardah, adik kandung ibunya yang menemaninya membawa barang-barang ke kosnya yang baru.

“Nggak ah, males. Bosen.” Jawaban pendeknya yang ketus membuat tantenya terkejut.
“Kenapa? Bukannya di lingkungan yang kondusif kamu lebih bisa terjaga. Kalau pas lagi error ada yang bisa bantu ngebenerin. Kamu bisa langsung mengaplikasikan teori ukhuwah agar lebih membumi.”

“Iya, sih. Tapi pengalamanku membuktikan kalau kos akhwat tuh nggak seindah cerita Tante. Buktinya pas lagi kumpul yang dibicarain pasti ikhwan kalau nggak gitu ya seputar munakahat. Hm..sebel! Jadi nambah penyakit hati aja. Ngurus diri aja belum bisa udah ngomongin masalah begituan. “

“Nggak semua akhwat begitu khan, kamunya aja yang sensitif atau jangan-jangan...” Tante Wardah tersenyum melihat keponakannya yang semakin cemberut kuadrat menanggapi gurauannya.
Dan mulai saat itu entah kenapa ia pun bosan dengan vocabulary yang biasa digunakan dengan teman-temannya: ikhwan, akhwat, akhi, ukhti, ana, antum, anti, afwan, syukron, etc.

“Ngawi...Ngawi. Ayo persiapan..Ngawi akhir, terminal!”
Astaghfirullah! Dicobanya beristighfar untuk mengendalikan dzonnya. Ya ILLAHI, ampuni hambamu yang lemah ini!

Ngawi ..I am coming! Ia segera turun dari bus dan bersenandung lirih.

Di sini kita pernah bertemu..
Mencari warna seindah pelangi
Ketika kau menghulurkan tanganmu
Membawaku ke daerah yang baru


Kini terbayang jelas di pelupuk matanya indahnya kebersamaan bersama teman-teman di masa SMU.


Berdiri dalam yakin
Berpeganglah dalam hidup
Wahai Ukhti hiasi diri
Dengan dakwah ‘tuk Islammu3

Nisa menyapu butir-butir bening yang perlahan mengalir di pipinya. Haru! Rasa yang akan senantiasa mengisi relung hatinnya tiap kali nasyid dari Muplavoix itu terdengar. Seolah ada yang membisikkan semangat untuk memaknai hijrahnya dengan sebening pemaknaan. Tanpa sadar bibirnya melafalkan hadist Arba’in yang pertama kali dihafalnya. Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barangsiapa hijrahnya menuju Allah dan rasul-NYA, ia akan sampai pada Allah dan Rasul-NYA...
Nisa terisak. Ada yang tidak beres dengan dirinya. Meski signal ketidakberesan itu sudah lama dirasakannya, baru kini disadarinya bahwa salah satu penyebabnya adalah niatnya yang sudah menyimpang. Wajar bila hanya kehampaan yang dirasakannya karena bukankah ruh dari tiap amalan adalah ikhlas dan kini ia tak menjaganya. Ada ambisi pribadi yang diam-diam menodai aktivitas yang berlabel dakwah.

Astaghfirullah...!
Ia pun mengerti atas rasa ketidaknyamanan yang kerap menyerangnya di setiap kajian rutin halaqohnya. Ia merasa tidak sekufu. Ya! Rasa itulah yang akhirnya mendominasinya. Membuatnya mendramatisir perbedaan yang ada. Ia merasa down tiapkali melihat semangat teman-temannya yang menggebu. Betapa tidak, mereka –teman-teman ngajinya- sebagian adalah akhwat siyasi yang dinilainya terlalu kelebihan energi. Aktivitas di BEM serta organisasi eksternal kampus yang padat masih dibawa dan diperbincangkan di sela-sela aktivitas halaqohnya. Dan terus terang ia merasa terganggu. Ia merasa didzolimi karena tak mendapatkan suplai energi yang sangat dibutuhkannya. Durasi pertemuan yang singkat dinilainya tidak efektif karena sebagian waktu terbuang hanya untuk pembicaraan yang tidak perlu.

Astaghfirullah...!
Dicobanya untuk mengulang istighfar, menetralisir segala kekecewaannnya. Satu tahun di kampus hijau dilaluinya begitu saja. Ia merasa benar- benar di ambang kritis....Akankah kau mampu bertahan agar tidak semakin terjatuh dan terpuruk di jurang kefuturan, Nis? Akankah kau biarkan dirimu menambah jumlah barisan yang berjatuhan di jalan dakwah? Pertanyaan yang itu-itu saja yang muncul dalam monolognya dan ia semakin tidak bersemangat untuk menjawabnya.

Jam di dinding kamarnya menunjukkan jam 15.30. Nisa menekan tombol ‘stop’ di tape recordernya lalu mengembalikan kaset Muplavoix pada tempatnya. Hm..ia ingat betapa bahagia hatinya saat pertama kali memutar kaset itu. Kaset yang didapatnya setelah pertanyaaan di Kafe Nida yang ia kirim dimuat. Betapa bahagia hatinya saat itu, selain menerima paket berisi 3kaset nasyid, ia pun menerima kiriman surat dari para muslimah yang sebaya. Saat itu ia masih kelas tiga SMP dan itulah saat pertama ia merasakan indahnya ukhuwah dalam bingkai Islam. Nisa tertegun sejenak, memperhatikan sampul kaset yang dibumbui tanda tangannya sendiri plus tahun ’ 99. Ia pun ingat di pertengahan tahun itu ia mulai rutin mengikuti kajian di rumah guru agamanya sebelum ditrasfer dan diserahkan pada seorang akhwat. Nisa tersenyum tipis mengingat manisnya saat pertama ia mengenakan jilbab kaosnya yang telah 3 tahun absent pasca ia lulus TPA. Diperhatikannya lagi tanda tangan itu untuk beberapa saat. Kemudian dalam hitungan detik segera diletakknya kaset Muplavoix di antara tumpukan nasyid-nasyidnya. Ia segera mengambil wudhu untuk shalat ashar.

Usai Ashar, ia menyapu halaman rumahnya dengan hati lapang. Rumahnya yang lebih mirip dengan villa meski tidak berada di kawasan pegunungan itu senantiasa mengingatkannya akan romantisme kenangan masa SMA yang belum lama ditinggalkannya. Dan memang benar kalau ia adalah orang yang suka terkenang dengan romantisme kenangan.4


An-Nisa Muthmainah. Mantan kabid kemuslimahan Rohis di SMU Permadani Hijau itu ingin menemukan dunianya kembali. Disadarinya bahwa ia tak mungkin menjadi seperti teman-temannya yang aktivis siyasi. Hari ini keputusannya sudah bulat: ia akan mengajukan proposal untuk pindah halaqoh.
Aku harus kembali...menjadi diriku tanpa bayang-bayang siapapun.
Biarlah aku dengan caraku yang sederhana dalam memaknai dakwah ini. Aku bukan kalian wahai teman-teman!
Ternyata proposal pindah halaqoh yang diajukannya ditolak mentah-mentah oleh murrabiyahnya. Terus terang ia kecewa.
Aku akan mengadakan boikot untuk tidak LQ. Ia membatin.
“Berpikirlah dewasa, Ukh! Pindah halaqoh bukanlah solusi terbaik. Belum tentu di halaqoh yang baru anti bisa lebih baik. Janganlah kita membebani dakwah ini dengan persoalan internal. Ana harap anti lebih bijak dalam menyikapi perbedaan yang ada.”
Terlalu teoritis. Itu yang dirasakan saat mendengar jawaban Mbak Sinta. Dan sungguh ia merasa tak mengerti dengan jawaban dari murrabiyahnya.


“Kau tahu Nis, Mas Cahyo, mantan ketua Rohis SMU kita sekarang nggak ngaji lagi. Ia hampir berubah 180 derajat. Dan Ukhti, kami tidak ingin hal ini terjadi padamu. I mis U, Ukh! Kembalilah...sebelum jauh engkau berbelok arah ” suara serak Tyas di telepon tadi malam kembali terngiang.
Tarbiyah memang bukan segala-galanya tapi segala-galanya tak kan bisa diraih kecuali melalui tarbiyah. Perkataan Musthafa Mansyur yang ditulis sebagai hiasan kamarnya kini dirasakan sangat dalam maknanya.
Sudah sebulan lebih ia absent dari halaqohnya. Ia yang semula yakin mampu mengandalkan tarbiyah dzatiyahnya, kini pun merasa kewalahan.
Ya Rabb ampuni keputusanku yang ternyata keliru!
Cahyo, Hida, Titik dan Tono. Disebutnya nama aktivis Rohis SMUnya yang kini berbalik arah. Akankah kau membiarkan dirimu mengikuti jejak mereka, Nis? Nisa tergugu...tangisnya pecah. Ya Illahi, izinkan aku kembali! Pintanya penuh harap.
Cahyo, mantan ketua RoHis yang prestasi akademiknya menonjol sejak di bangku SLTP, yang selalu juara pararel waktu SMU, yang mewakili SMUnya di Olimpiade Nasional; selain cerdas juga kritis, senang nulis, rajin ngisi mentoring adik-adik kelas, sering ngingetin aktivis Rohis via kertas taushiyah berantai, kok bisa-bisanya mencapai titik kuliminasi jenuh dalam urusan dakwah. Bahkan sudah setahun terakhir ini nggak ngaji lagi.
Hida, teman karibnya di SLTP, yang dulu begitu antusias untuk segera memenuhi kewajibannya dalam berhijab, yang gigih dalam berprinsip, yang dikagumi ketawadhu’annya kini pun sudah nggak ngaji lagi. Bahkan jilbab yang mulanya lebar perlahan-lahan mengecil dan akhirnya terbang entah ke mana.
Titik, maniak buku, yang sering meminjaminya majalah Sabili, yang memprovokasinya untuk bergabung dengan halaqoh tarbawi, toh akhirnya hilang di telan bumi.
Dan satu lagi dari sahabatnya yang kini mengubah peta hidupnya : Tono. Mantan ketua OSIS yang terkenal paling dingin dengan lawan jenis, yang begitu bersemangat kalau berdiskusi tentang khilafah Islamiyah, sekarang pun jadi aktivis sayap kiri.
Segalanya bisa terjadi bila Allah berkehendak. Akankah kulepas sgala keindahan hidayah-MU? Akankah kubiarkan hidayah itu pergi begitu saja? Ya Yang Maha Membolak-balikkan hati tetapkanlah aku dalam dien-Mu! Untuk kesekian kali bening-bening kristal berjatuhan di pipinya. Seiring istighfar yang menggema memenuhi lubuk hati, ia pun berjanji untuk kembali.

Bila dakwah ibarat pohon, ada saja daun-daunnya yang gugur berjatuhan. Tapi pohon dakwah itu tak kan pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas baru. Sementara pohon-pohon yang berguguran tak lebih hanya akan menjadi sampah sejarah5. Nisa tergugu. Kalimat yang tertulis di majalah Tarbawi yang tak sengaja dibukanya itu semakin membuatnya larut dalam penyesalan yang sangat. Bila-bila daun-daun dakwah banyak yang berguguran di terpa angin dan godaan maka izinkan aku menyembul menjadi tunas-tunas baru yang siap tumbuh di segala iklim dan kondisi.
Ya Rabb, kabulkan pintaku.

Hanya perbedaan karakter saja mengapa sudah membuatku lupa dengan segala keindahan yang ada dalam lingkaran tarbiyah? Bukankah perbedaan adalah rahmat yang mestinya dimaknai dengan bijak?

Nisa tersenyum. Ada azzam yang kini menyalakan bara di gulita jiwanya.

Allah………….
Kuseretkan langkahku
Hasung dosa kan kulebur
Kubasuh luka kuhempas nista
Izinkan aku kembali
Takkan lagi kusurutkan langkahku
Songsong fajar baru dalam cahya-Mu
Ya Rabbi teguhkan derap jiwaku
Tiap desir nadiku sebut asma-MU6




Bumi Gerih Permai, 280804:14.57
untuk: Pak Ali, Mbak Prih, Mbak Binti, Bu Iis, Mbak Eni, Wulan, dan smua nama yang tlah menerbitkan rindu untuk kembali di pangkuan tarbiyah.
Catatan:
1 : Kata-kata di Ensiklopenida
2 : bait nasyid dari Brother
3 : bait nasyid dari Muplavoix
4 : kata-kata seorang teman:Atiyatul Izzah
5 : dari majalah Tarbawi Edisi 8 Tahun 1 30 April
2000/25Muharram 1421 H
6 : bait nasyid dari Izzatul Islam