Monday, 8 April 2013

Be a Writer: Berani Berkarya, Nurani Tetap Terjaga!

11 comments

Be a Writer (BaW) bagi saya adalah komunitas yang luar biasa. Berada di dalamnya, seperti halnya berada di antara para penjaga semangat untuk menebar kebaikan melalui pena. Menulis bagi saya pribadi adalah sarana menjaga nyala cahaya di dada agar tidak meredup. Menulis selalu mengingatkan saya akan perjalanan mencari cahaya. Perjalanan menjemput hidayah dengan membaca  dan mendengarkan bisikan nurani.
Memasuki bangku SLTP (SMP), saya semakin gemar membaca, tidak saja buku-buku yang berada dalam perpustakaan tapi juga berbagai majalah remaja yang beredar di kelas. Ketika memutuskan untuk berlangganan majalah, saya memutuskan berlangganan Majalah ANNIDA. Keputusan itu juga mengawali titik balik perubahan dalam diri saya dan cara pandang terhadap Islam. Saya mulai berbenah, dan bertekad untuk mengajak teman-teman menjemput cahaya melalui tulisan. Singkat kata, ada janji yang diam-diam saya ikrarkan saat itu: saya akan menempuh jalur pena dalam berdakwah (wow^^, meski kusadari diri ini hanya debu di hamparan pasir-Nya ~nyanyi~).
Memasuki bangku SMU (SMA), saat saya merasa menjadi orang bahagia di dunia, saya masih konsisten dengan janji untuk terus (belajar) menulis. Semangat menulis itu terpelihara karena saya punya komunitas.  Salah satunya adalah tim redaktur buletin dakwah sekolah. Kemudian, ketika diizinkan untuk menginjakkan kaki di kampus hijau (UNS), banyak sekali lomba, seminar, dan komunitas yang senantiasa mengingatkan saya untuk terus mengukir sejarah dan berdakwah lewat pena. Bahkan, ada yang memfasilitasi saya agar terus menulis, salah satunya dengan menjadikan saya bagian dari admin sebuah situs LDK. Saya bersyukur memiliki sahabat yang memotivasi saya untuk terus berbenah dan menulis meskipun tertatih-tatih.
Pertengahan tahun 2006, saat mengikuti sebuah PPL (Program Pengalaman Lapangan, baca: praktik mengajar), saya mendapatkan kabar gembira dari sebuah penerbit. Salah satu kumpulan tulisan sederhana (baca diary) hendak diterbitkan. Satu tahun berlalu, tulisan itu belum juga terbit. Setelah mengalami masa terombang-ambing dan ketidakjelasan nasib karena menunggu antrian untuk diterbitkan, naskah itu saya cabut dan saya lempar ke penerbit lain dengan sedikit revisi.  Suatu hari, di awal tahun 2008, alhamdulillah akhirnya naskah itu menemukan juga jodohnya. Hanya satu kata yang dihadiahkan sang editor kepada saya, ”Betty, tulisanmu sebenarnya biasa dan sederhana. Tapi saya berharap, ini menjadi awal untuk karya-karyamu selanjutnya.”
Tahun itu juga saya diberi kesempatan untuk berakrab ria dengan tulisan dan belajar menjadi editor secara otodidak. Saya menikmati bahasa-bahasa langit (di antaranya naskah bahasa Arab yang diterjemahkan) yang luar biasa hampir setiap hari dari pagi hingga menjelang Ashar. Alhamdulillah, saya mendapatkan bacaan gratis yang mencerahkan di samping uang saku tambahan. Saat itu, janji untuk menulis masih saya pegang dengan penuh kebanggaan. Saya masih ingin menjadi salah satu da’iyah bersenjata pena:).
Tahun 2009, ketika Allah mengizinkan saya menjadi seorang Ibu, saya berharap masih bisa terus menulis. Memilih menjadi full time mom (ada yang bilang stay at home mom) dan beradaptasi dinamika yang baru membuat saya tak selalu bisa menulis. Saya menyadari sepenuhnya, bahwa saya butuh sebuah komunitas yang mengingatkan saya tentang janji yang pernah saya ikrarkan sewaktu SMP. Ya, sebuah komunitas yang menjaga saya untuk istiqomah dan tak pernah berhenti berjuang dengan pena.
Saya sangat berterimakasih kepada Mbak Leyla Imtichanah (Leyla Hana) yang mengizinkan saya untuk berada dalam Be a Writer (BaW). Semoga seiring dengan perjalanan waktu –hayah-, saya tak hanya menjadi anggota pasif tapi juga bisa memberikan kontribusi seperti teman-teman yang lain (baca: para senior). Diam- diam, saya belajar banyak dari Mbak Leyla. Saya mengenal namanya sekitar tahun 2006 ketika mencari referensi novel remaja. Kala itu, buku Mbak leyla yang berjudul True Love menjadi bacaan awal sebelum saya menyelesaikan novel remaja untuk diikutkan sebuah lomba (he2 meskipun hasilnya bukan saya juaranya^^). Kemudian, lebih dari satu tahun yang lalu melalui beliau pula saya mengirimkan kumpulan tulisan (baca diary) ke sebuah penerbit. Mbak Leyla bahkan telah berbaik hati memberi masukan ke naskah tersebut sebagai pijakan revisi tapi sampai detik ini juga belum selesai. Nah, ini sebenarnya yang membuat saya ‘pekewuh’ untuk aktif di BaW. Jujur, saya malu. Sangat malu kepada Kepsek BaW ini. Hmm.. bagaimana, ya? Saya tak ingin memberikan alasan klise tentang managemen waktu yang masih kacau balau. Saya akan berusaha untuk menyelesaikannya. Setidaknya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kebaikan beliau yang telah memberi koreksi di antara kesibukannya. Ya apapun hasilnya, saya Insya Allah akan menuntaskannya. Maafkan, saya ya Mbak Ela! Tolong izinkan saya tetap berada dalam grup ini:).
BaW adalah sekolah menulis yang luar biasa bagi saya. Meskipun lebih banyak menyimak tapi jujur, begitu banyak pelajaran yang saya dapatkan. Saya berusaha tak melewatkan setiap note dan diskusi hangat meski tak banyak meninggalkan jejak.
Saya takjub menyaksikan para penulis yang tak berhenti berkarya. Mbak Eni Martini, Riawani Elyta (Fauziah Fachra), Shabrina Ws, Aida Maslamah, Arul Chandrana, Ade Anita, dkk. Para penulis yang juga jago lomba seperti Mbak Mugniar, Naqiyyah Syam, Windi Teguh, Binta Al-Mamba, dkk. Semoga suatu saat, as well as possible, saya bisa seperti mereka.
BaW bagi saya mirip jaringan FSLDK (Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus) yang lebih banyak bertemu di dunia maya tapi tetap berkarya di mana saja. Kadang ngiri juga dengan teman-teman yang berkesempatan untuk bertemu langsung –kopi darat-. Semoga suatu hari nanti, Allah mengizinkan saya untuk belajar langsung, setidaknya bertegur sapa dengan mereka (para senior saya itu). Setidaknya saya juga ingin bertemu dengan teman-teman di kawasan Solo Raya. Ada Mbak Santi Artanti, Triana Wibawanti, Mell Shaliha, Cowie, dan tentu saja Mbak Afra –sosok yang begitu menjulang dan ho-ho.. diam-diam beberapa kali saya lihat dari jarak lumayan dekat tanpa pernah saya berani untuk memperkenalkan diri-. O, ya saya juga ingin berjumpa kembali dengan Viana Wahyu -satu-satunya teman SMA yang ada di sini- dan Mbak Najmatul Jannah -semoga segera berhasil merealisasikan duet kita, ya, Mbak-.
BaW bagi saya seperti keluarga, tempat pulang yang paling nyaman. Di sini, para anggotanya bisa saling berbagi apa saja. Bukan sekedar teori kepenulisan tetapi lebih dari itu. Inilah yang membuat BaW menjadi salah satu universitas kehidupan dengan mata kuliah yang beragam seperti persiapan pra-nikah, parenting, akhlak, moral, dsb.
BaW juga mengajarkan bagaimana menjadi penulis bermental baja yang mampu menghadapi setiap aral melintang dalam perjalanan menuju kegemilangan. Selalu mengingatkan agar kita  tetap rendah hati dengan setiap keberhasilan, serta tetap semangat memaknai kegagalan sebagai keberhasilan yang tertunda. Sebab, sejatinya dunia kepenulisan sama kerasnya dengan kehidupan. Mereka yang berhasil adalah mereka yang punya nyali untuk melalui proses yang tak kenal henti.
Saat saya masih tertatih untuk (belajar) menulis seperti saat ini, BaW seperti halnya sebuah jama’ah dakwah. Jika saya adalah domba, maka berada dalam lingkaran BaW seperti halnya menjaga diri agar tidak diterkam serigala. Setidaknya, dengan tetap berada di sini, saya (lebih) mudah untuk istiqomah menulis dan menepati janji yang saya ikrarkan saat masih SMP untuk menjadi bagian da’iyah yang bersenjata pena. Mari bersama-sama menebar kebaikan, saling menyemangati, dan menjadi lebih baik dengan membaca dan menuliskannya kembali untuk anak cucu kita.
Semoga BaW selalu berani berkarya dan berjaya sepanjang masa. Ya! Bersama-sama berkarya dalam bingkai nurani yang selalu terjaga. Insya Allah.

Solo, 6 April 2013 9:17 pm
Fathimatul Azizah

Tulisan ini dikutsertakan dalam Give Away BaW. Syarat dan ketentuan bisa dibaca di sini



Saturday, 17 November 2012

GINI LHO, MI.. ARKAN AJARI, YA!

4 comments
“Kelinciku kelinciku.. Oh, manis sekali
Melompat kian kemari.. Sepanjang hari
Aku ingin menemani.. sepulang sekolah
Bersamamu lagi.. menari-nari.”
Aku dengarkan kembali rekaman lagu yang dinyanyikan Arkan yang tersimpan di memory HP. Lagu yang diajarkan Uti (neneknya/ Ibuku) ketika pulang ke Ngawi. Aku ingat, suatu waktu, Arkan bertanya kepadaku, “Ummi, bisa nyanyi lagu kelinciku?”
Aku menggeleng. Sungguh, aku memang tidak hafal lagu itu.
“Ummi hafal, nggak?”
“Nggak, Sayang.”
“Gini Ummi, biar Arkan yang ajari. Ummi dengarkan dulu, ya.” Pintanya. Duh, nggaya banget sulungku.

Monday, 2 April 2012

TOILET TRAINING ALA MAS ARKAN

1 comments

Sebanyak apapun buku parenting yang pernah kita baca, kita tak pernah tahu sebelumnya mana yang akan kita aplikasikan dalam perjalanan mendidik dan mengantar anak-anak kita menuju gerbang kemandirian. Aku tak pernah menjadikan buku sebagai standar baku keberhasilan melainkan sekedar penambah wawasan. Toh, setiap anak punya keunikan masing-masing yang tidak bisa disamaratakan

Begitu pun tentang standar keberhasilan toilet training, aku tak pernah mematok kapan sulungku, Arkan, harus mandiri keluar masuk kamar mandi. Bukankah semua akan berjalan secara alami seiring dengan perkembangan usia? Yang menjadi tugas orang tua sekedar mengantarnya bukan mematok kapan harus bisa melakukannya sendiri.

Sejak bayi, aku dan suami memang tidak membiasakan Arkan memakai diapers sepanjang waktu. Selain tak ramah lingkungan juga karena tak punya budget khusus dalam anggaran belanja bulanan. Paling banter beli 1 paket yang isi 7 atau 8 pcs. Pernah, sih, terpikir beli clodi tapi belum juga terealisasikan.

Pertama kali memakaikan Arkan diapers adalah saat perjalanan Ngawi-Solo. Saat itu, Arkan berusia 2,5 bulan. Kemudian hal itu kembali dilakukan saat mengajaknya bepergian. Pernah juga saat emaknya belum sempat setrika (kalau yang ini jarang, kok).

Nah, mulai usia 6 bulan, Arkan dah jarang ngompol di malam hari. Jadi percuma juga kalo memakaikan diapers malam hari. Mulai usia 1 tahun, saat tulang punggungnya mulai kuat menahan berat tubuhnya, aku mulai mengajarkan toilet training. Sebagai ibu yang full time di rumah, tak sulit mengenali waktu-waktu Arkan akan pipis.

Sedangkan tanda-tanda hendak pup pun dengan mudah bisa dibaca dari raut wajahnya yang tak biasa. Kadang juga ia bilang sebelum terjadi insiden pup di celana. Kadang-kadang memang kecolongan juga tapi aku tidak keberatan kok mengganti celana danmembersihkan bekas pipis atau pupnya. Kubuat santai saja.

Menjelang 2 tahun keberhasilan toilet training sudah semakin tampak. Meskipun begitu, kalau bepergian atau berkunjung ke rumah sanak saudara, Arkan masih pakai diapers, sekedar untuk jaga-jaga. Ya meskipun tetap kering dan Arkan pun bilang kalau mau buang hajat, setidaknya kami tenang dalam bertamu. Sedia payung sebelum hujan. Biasanya kalau bawa payung nggak jadi hujan. He..he..

Nah, menjelanng usia 2, 5 tahun pembelian diapers benar-benar kami stop. Di rumah masih ada sisa 3 pcs, dan terkadang aku tergoda untuk memakaikannya saat mengajaknya kondangan. He2.. malas cari KM tapi ternyata kadang juga Arkan mengajakku ke KM saat asyik-asyiknya menikmati jamuan makan. Baiklah, kuanggap ini konskuensi mengajak anak kecil ke kondangan.

Tanggal 13 April tahun ini, Arkan genap 3 tahun. Dan aku masih sering mewanti-wanti kalau cuaca dingin, “Mas Arkan, kalau mau pipis bilang Umi atau Abi lho, ya..” He..he begitulah emak cerewet. Soalnya belum lama terjadi insiden yang tidak mengenakkan, Arkan pipis di celana saat keasyikan maen di depan rumah. Saat itu memang masih pagi dan udara dingin. Hmm.. Padahal sebelumnya nggak pernah kejadian. Lha wong pas di rumah Mbah Ngawi 10 hari juga nggak pernah ngompol sama sekali. Tengah malam terbangun minta diantar ke KM. Siang juga kalau mau pipis atau pup juga bilang. Kadang ngeloyor ke KM sendiri.

Pengalaman mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik dalam segala hal. Jadi aku lebih hati-hati dan tidak sombong soal keberhasilan Arkan toilet training di usia 2 tahunan. He..he.. baru dirasani berhasil ternyata kecolongan juga. Tapi tak mengapa, anggap saja kecelakaan sejarah. Hmm.. yang terpenting ia sudah mengerti ke mana harus membuang hajat. Sesekali ngompol ya masih wajar. Jangan dijadikan beban.

Tak ada tips khusus tentang toilet training yang aku peroleh. Dan aku juga tidak saklek menyerap referensi-referensi kapan saat yang tepat untuk melakukannya. Hanya satu hal yang selalu kuingat saat bepergian jauh adalah bertanya atau mengajaknya ke KM saat-saat tertentu (emaknya yang hafal ritme anak harus ke KM, 2-3 jam sekali). Setiap anak tak sama satu dengan yang lain, jadi sebetulnya orang tuanyalah yang paling mengerti kebutuhannya. Jadi santai aja, Bund.. :)

Bukit Gading Indah, 2 April 2011: 00.07

Sunday, 11 March 2012

ASYIKNYA MEMASAK BARENG MAS ARKAN

1 comments

Setelah hampir empat tahun menikah, akhirnya tibalah aku pada sebuah kesimpulan bahwa memasak adalah ketrampilan yang berbanding lurus dengan jam terbang. Seperti halnya belajar bahasa, semakin diasah semakin lihailah kita. Tak perlu ada kekhawatiran akan hasil sebuah masakan. Toh, pada intinya memasak adalah mengubah bahan mentah menjadi makanan yang memberikan nutrisi yang diperlukan tubuh.

Setelah terbiasa, insting memasak menjadi sebuah seni berkreasi. Apalagi sekarang ada Mas Arkan yang gampang-gampang susah untuk urusan makan. Tapi semalas-malasnya makan (saking asyiknya main) kalau lapar juga minta makan. Biasanya dengan wajah tak berdosa, sulungku akan berkata, “Ummi, Arkan lapar…”

Atau kalau tidak, ia akan ngamuk-ngamuk. Dan setelah kutanya,” Mas Arkan lapar?”

Secepat kilat, jujur ia menjawab, “Lapaaar……..”

Berhubung aku bukan penganut nasi minded, maka bagaimana pun keadaan ekonomi (tak peduli tanggal muda atau tua karena aku bukan orang gajian:D), setidaknya ada cemilan di rumah. Antisipasi saja kalau aku malas makan nasi. Dan sepertinya hal ini menurun ke Mas Arkan yang suka ngemil. Terbukti sudah bahwa peacky eater –meskipun stadium 1- bisa diwariskan tanpa atau dengan sengaja. Nah, lho.. makanya biasakan makan apapun yang tersaji yang penting bergizi.

***********************************************

Sebenarnya aku lebih suka memasak ketika Mas Arkan sedang lelap dalam tidurnya. Atau setidaknya ada suami di rumah yang mendampinginya bermain. Namun, tak selamanya keadaan ideal seperti itu bisa kutemui, sehingga mau tak mau Mas Arkan akan ikut merecokiku didapur. Jika tidak, ngalamat deh masaknya pindah ke warung:D (Asyik. He2.. )

Pernah aku trauma. Saat itu, ia membantuku memasukkan tahu ke dalam bumbu. Awalnya biasa saja. Ia meniruku memindahkan tahu dari tempat awalnya ke dalam campuran air ketumbar, bawang, dan garam. Tapi tanpa kuduga, muncul ide kreatifnya.

“Arkan bantu, ya, Mi. Sekarang, dicuci dulu tahunya…”

Tanpa dosa, diremasnya tahu ke dalam bumbu sampai hancur seperti bubur. Hiks..hiks.. hancur juga hatiku. Meskipun begitu, kucoba tetap tersenyum seraya berkata, “Iya, Mas Arkan pintar. Kreatif, deh. Tapi lain kali tahunya nggak usah diremas-remas. Ini bumbu, Mas. Bukan untuk mencuci tahu.”

Eh, mujahid kecilku malah senyam-senyum, pringas-pringis tanpa dosa dan ber he-he ria..

Hal itu membuatku selektif memilih jenis masakan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak kuinginkan.

“Mas Arkan boleh ikut, kalau Ummi masak kue saja.” Tegasku.

***********************************************

Lalu terjadilah rutinitas itu. Begitu bunyi mixer terdengar, Mas Arkan segera mendekat. Dengan wajah riang ia menawarkan kebaikannya, “Arkan bantu, ya Mi..”

“Iya.. tapi tunggu Ummi dulu, ya…”

“Iya.”

Janji…?”

“Janji!”

“Sekarang tambahkan garam, gula. Masukan tepungnya. Tambahkan… bla..bla..” Aku memberi instruksi sambil mengambil bahan yang diperlukan dan memberikan kesempatan pada Mas Arkan untuk menuangnya satu persatu ke dalam adonan. Ia bahagia sekali.

Meski seringkali ada saja unexpected doing yang memancing emosi tapi aku telah berjanji untuk bersabarrrrr. He..he..

Setelah adonan masuk ke dalam cetakan, aku memintanya untuk menunggu, “Sekarang tunggu setengah jam lagi. Kita maen bola dulu, yuk!”

“Yuk..” Ia meninggalkan dapur terlebih dulu.

Tak lama kemudian ia bertanya, “Sudah matang, Ummi?”

“Belum. Sebentar lagi. Sabar, ya!”

“Sudah matang, Mi?” Ulangnya.

“Belum, Sayang…”

“Lima menit lagi, Mi?” Kejarnya..

Aku hanya menggeleng, “Arkan tunggu aja, ya! Nanti kalau sudah matang, Ummi ambilkan.”

***********************************************


Kalau kupikir-pikir, memasak bareng Mas Arkan memberikan banyak sekali pelajaran, baik untukku maupun untuknya. Ternyata benar juga bahwa anak dua tahun ke atas memang sudah bisa dilibatkan dalam aktivitas ini. Meski dapur akan lebih berantakan, waktu memasak jadi lebih lama, dan seringkali ia mengacaukan resep tapi banyak juga manfaat dari pembelajaran ini.

Kalau boleh aku merangkum dari wejangan para senior, manfaat yang akan kita dapatkan saat memasak bersama anak adalah:

  1. Melatih motorik halus dan ketajaman panca indera
  2. Mengajarkan matematika sederhana dan memperkaya kosa kata
  3. Meningkatkan pengetahuan anak tentang beberapa konsep, seperti panas-dingin, keras-lunak, cair-padat, mentah-matang, dsb
  4. Melatih konsentrasi dan daya ingat
  5. Meningkatkan kemampuan anak untuk bekerjasama. Hal ini akan tampak, ketika ia berinteraksi dengan teman-temannya.
  6. Membiasakan pola makan sehat, dsb.


Jadi sebenarnya tak ada alasan untuk tidak melibatkan Mas Arkan dalam memasak. Seru, deh.. setidaknya, aku juga bisa mengelola kecerewetan pada tempatnya. Apalagi setelah matang, ia akan sangat lahap memakannya. Gembira ria sambil berkata, “Enak, ya.. Lagi, Mi.. Terimakasih.”

Ah, Mas Arkan.. kepala Ummi jadi terasa di awang-awang:D

Bukit Gading Indah, 3 Maret 2012: 3.01

Wednesday, 30 November 2011

HASRAT INGIN MEREBUT

2 comments

“Bude, mobil sedanku direbut Mas Rama.” Adu Alif pada Bu Asih, Ibu dari anak yang merebut mainannya.

Bu Asih segera mendekati anaknya, “Kembalikan pada Dek Alif, Nak. Ambil mobil-mobilanmu di rumah.”

Bu Asih mulai geram. Tidak sekali dua kali saja anak 2,5 tahun itu merebut mainan temannya.

Memang bukan hal yang aneh melihat balita suka merebut mainan milik teman. Meskipun mempunyai mainan yang mirip atau bahkan sama, mereka selalu ingin memiliki apa yang sedang dinikmati oleh orang lain. Oleh karena itu, di usia batita, orang tua hendaknya mengenalkan konsep kepemilikan. Bukan hanya mana benda kepunyaannya, tapi juga mana yang bukan miliknya.

Anak di usia ini sedang berkembang sifat otonominya. Otonomi merupakan sifat kemandirian yang berkaitan erat dengan eksistensi anak atau kemampuannya melakukan sesuatu.

Otonomi juga yang menyebabkan anak ingin mencoba sesuatu tanpa mempedulikan orang lain. Terlebih di usia ini, anak juga senang bereksplorasi. Ia senang mencoba-coba sesuatu yang dirasa menarik olehnya. Saat melihat mainan temannya yang baru, anak langsung tergerak untuk mencoba dan kemudian merebutnya
.
Jika dibiarkan, anak tidak akan merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan yang salah. Bisa-bisa dia akan kehilangan teman-temannya. Untuk mengatasinya, orang tua harus segera membantunya dengan :
1. Mengajari anak untuk menghormati kepemilikan. ”Mainan itu milik Alif, kita tidak boleh merebutnya kecuali dia meminjamkan.” Demikian juga, mintalah anak untuk menjaga barang yang dimilikinya.
2. Mengajari anak meminta izin. Jadilah contoh yang baik. Biasakan selalu minta izin saat meminta sesuatu pada orang lain, termasuk kepada si kecil, ”Rama, bolehkah Bunda pinjam mainanmu?”
3. Mengajarkan empati dan jangan berpihak. Penting bagi anak untuk menerima konskuensi jika orang lain tidak mau meminjamkan mainan kepadanya meskipun sudah ia meminta izin. Alihkan perhatiannya, “Rama main yang lain saja, yuk! Dik Alif masih mau main mobil sedannya.”
4. Sabar dan konsisten. Lakukan dengan penuh kesabaran dan tetap konsisten dengan nilai-nilai yang ingin Anda ajarkan.


~Dari Berbagai sumber, Fathimatul Azizah~

Sunday, 27 November 2011

ASI SAMPAI 2 TAHUN? BISA!

10 comments

Gara-gara senang menulis atau share link seputar ASI, saya sering mendapat pertanyaan dari adik-adik atau teman tips dan trik agar ASI lancar. Tak jarang pula mendapat teguran dari bapak-bapak yang tidak suka ajakan saya agar tidak menjatuhkan pilihan terhadap sufor meskipun sang ibu bekerja. Bahkan ada yang melarang saya agar tidak koar-koar tentang ASI. Katanya, saya hanya akan menyakiti hati ibu-ibu yang tidak bisa memberikan ASI terhadap bayinya dengan optimal. Hati saya gerimis, maksud baik saya ditanggapi dengan hujatan yang menyakitkan. Namun, saya berusaha berlapang dada. Bagaimanapun saya ingin memberikan surga pertama untuk anak-anak saya di awal pertumbuhannya. Dan saya berharap bayi-bayi yang lain juga mendapatkan haknya. Ya. ASI bukan yang lain!

Pada kesempatan ini izinkanlah saya menuliskan kembali tentang perjalanan memberikan ASI pada sulung saya, Arkan Dian Husnayan. Semoga bisa memotivasi para pejuang ASI untuk menyempurnakan pemberian ASI hingga 2 tahun penuh.



SAAT KENYATAAN TAK SESUAI HARAPAN
Kesedihan pertama yang saya rasakan pasca melahirkan adalah belum bisa memberikan ASI pada buah hatiku. Padahal sejak ia dalam kandungan, saya sudah bertekad untuk tidak memberi setetes pun susu formula padanya. Tetapi apalah dayaku. ASI belum keluar walaupun pasca melahirkan ia diletakkan di dadaku untuk Inisiasi Menyusui Dini (IMD).

Satu hal yang sampai saat ini saya sesali adalah tidak segera mencari donor ASI. Maklum waktu itu saya masih lugu dan tidak menyangka bahwa ASI tidak langsung keluar dengan lancar. Parahnya, meskipun tahu bahwa bayi yang baru lahir masih mempunyai cadangan makanan hingga 2-3 hari, saya tak mampu melawan keadaan. Saat bidan menawarkan sufor, saya tidak menolak. Saya tak ingin berdebat dengan ibu dan kerabat yang tak tega melihat bayi yang baru lahir seharian tidak mendapatkan makanan apa-apa. (Maafkan, Ummi, ya Arkan Sholeh)

Saat itu saya mengalami baby blues syndrom. Rupanya itu yang menjadi penyebab ASI tidak segera keluar. Bahkan sampai hari ke-5, ASI belum juga keluar. Saat itu banyak hal yang kupikirkan. Skripsi yang belum tersentuh, pekerjaan saya tinggalkan pasca melahirkan, rumah kontrakan dekat kampus yang belum kami temukan (saya tak ingin tinggal di rumah mertua), dan janji saya membantu ibu mengerjakan Tugas Akhir kuliah beliau. Saya takut tak mampu menjadi ibu yang baik.

Tapi kemudian, ketakutan itu menjelma menjadi kesedihan yang mendalam. Sedih bukan kepalang menyaksikan suamiku menyuapi bayi kami susu formula sendok demi sendok. Ya Allah, sampai kapan hal itu akan berlangsung? Sungguh, saya tak rela bayi yang tak berdosa itu minum susu formula. Setetes pun tak rela.

Kutepis sedihku dengan banyak-banyak berdoa. Apapun akan kulakukan agar bisa memberikan ASI. Selain makan kacang-kacangan dan berbagai macam sayuran hijau, saya juga rajin melakukan massage untuk merangsang agar ASI segera keluar. Saya pun rajin memberikan puting susu meski ASI belum keluar. Suami juga tak henti-hentinya memberikan support. Ia meyakinkan saya bahwa setiap ibu hamil Insya Allah bisa menyusui bayinya.

Alhamdulillah hari ke-6, ASI keluar. Saya pun segera memberikannya pada bayi kami. Lega sekali rasanya saat aqiqah (hari ke-7), ASI sudah lancar. Saat itulah saya bisa say good bye to sufor.

DIANKU, CAHAYA YANG TAK PERNAH PADAM
Suamiku, Dhian Kresnadipayana adalah orang nomor satu yang memberikan semangat dalam proses laktasi selama 2 tahun penuh tanpa sufor (kecuali ketika ASI belum keluar). Dua motivasi yang selalu diberikan kepadaku adalah ingatan tentang ayat dan hadist betapa memberikan ASI adalah kewajiban seorang ibu. Betapa besar pahala ibu yang menyusui bayinya sepenuh cinta.

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melaink...an menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. ” (Al-Baqarah: 233)

“…Tak ada seorangpun perempuan yang hamil dari suaminya, kecuali ia berada dalam naungan Allah azza wa jalla, sampai ia merasakan sakit karena melahirkan, dan setiap rasa sakit yang ia rasakan pahalanya seperti memerdekakan seorang budak yang mukmin. Jika ia telah melahirkan anaknya dan menyusuinya, maka tak ada setetes pun air susu yang diisap oleh anaknya kecuali ia akan menjadi cahaya yang memancar di hadapannya kelak di hari kiamat, yang menakjubkan setiap orang yang melihatnya dari umat terdahulu hingga yang belakangan. Selain itu, ia dicatat sebagai seorang yang berpuasa, dan sekiranya puasa itu tanpa berbuka niscaya pahalanya dicatat seperti pahala puasa dan qiyamul layl sepanjang masa. Ketika ia menyapih anaknya Allah Yang Maha Agung sebutan-Nya berfirman: ‘Wahai perempuan, Aku telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu, maka perbaruilah amalmu’.
”(Mustadrak Al-Wasail 2: bab 47, hlm 623)


BREASTFEEDING FATHER ALA SUAMIKU

Breastfeeding father adalah dukungan penuh dari seorang suami kepada istrinya dalam proses menyusui. Dukungan ini diberikan mulai saat bayi masih dalam kandungan, lahir, dan menyusui. Beberapa hal yang dilakukan oleh suami saya selama menyusui anak pertama kami adalah memijat punggung, menyiapkan camilan dan minuman hangat di malam hari, dan membantu mengurus keperluan bayi seperti memandikan, mengganti celana, mengendong, bahkan terkadang memijatnya.

Dalam proses breastfeeding father, ibu dan anak merasa dipedulikan. Kebahagiaan seorang ibu akan meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga produksi ASI juga meningkat. Lebih dari 90% keberhasilan ASI esklusif tidak lepas dari peran ayah. Sedangkan kegagalan ASI ekslusif disebabkan kurangnya support dari lingkungan, dan kurangnya penguasaan ilmu tentang ASI dan menyusui.

ASI DI TAHUN KEDUA TETAP LEBIH BAIK

Masih banyak ibu yang meragukan kehebatan ASI setelah usia sang bayi lebih dari 1 tahun. Bahkan, di kalangan ibu-ibu well-educated sekalipun. Gempuran iklan sufor yang bombastis ternyata benar-benar luar biasa pengaruhnya. Kasihan pada ibu-ibu yang pontang-panting mencari uang demi membeli sufor. Padahal sebenarnya jika mau, para ibu tak perlu repot memikirkan anggaran susu. Sungguh, memberikan susu yang terbaik tak perlu biaya. Gratis! Ya, jika saja semua ibu mengetahui bahwa ASI di tahun kedua tetap lebih baik. Anggaran sufor bisa dialihkan untuk anggaran pendidikan bagi buah hati kita.

Pada suatu kesempatan, saya mendapatkan pertanyaan dari seorang ibu muda.
“Sampai sekarang belum dikasih susu formula?” Saya tersenyum, perlahan menggeleng.

“Wah, hebat.. tapi mbok dikenalkan susu formula, Mbak. Menyusui itu berat lho. Apalagi kalau ibu sakit. Wah rekoso , kasihan, kan, nanti dedeknya.” Ibu muda yang juga tetangga saya itu memberikan saran.

Berjuta kali (lebay.com) pertanyaan yang sama ditujukan. Namun jawaban saya tidak berubah. Ho..ho tapi saya belum pernah bilang sama ibu-ibu: Say no to Sufor! Masih sungkan, sebagian besar punya banyak pengalaman yang lebih. Anak-anak mereka lebih dari satu. Bukan minder karena kalah pengalaman tapi saya belum menemukan kesempatan yang pas untuk koar-koar menolak sufor.

Saya lebih memilih adik-adik dan teman sebaya untuk mengatakan tidak pada sufor. Pada setiap kesempatan, saya berpesan agar kelak mereka selalu semangat memberikan ASI pada buah hati. Tidak hanya 6 bulan pertama tapi sampai dua tahun penuh. Silakan googling tentang ASI, maka kau akan percaya bahwa Allah memang sayang hambanya, adik bayi dan ibunya.

Adik-adikku, inilah beberapa alasan yang menguatkan bahwa di tahun kedua bayi masih membutuhkan ASI:
1. ASI di tahun kedua kandungan faktor imunitasnya meningkat
2. Pemberian ASI setelah bayi 6 bulan cegah risiko alergi dan asma
3. ASI perkecil risiko sakit anak usia 16-30 bulan
4. ASI dibutuhkan anak yang sakit
5. ASI di tahun kedua lebih kaya nutrisi
6. ASI di tahun kedua sumber lemak dan vitamin A tak tergantikan
Selengkapnya silahkan mendarat di sini http://irmahs.wordpress.com/2009/04/17/asi-di-tahun-kedua-tetap-yang-terbaik/ dan berselancar bersama Mbah Google:)

AKHIRNYA EXTENDED BREASTFEEDING JADI PILIHAN
Menjelang usia dua tahun, sudah kupersiapkan menyapih Arkan. Kubisikkan padanya, “Nak, sebentar lagi Arkan dua tahun. Kalau sudah dua tahun nggak nenen Ummi lagi, ya, Sayang.”

Saya ingin menyapih Arkan dengan cinta. Berbagai referensi tentang Weaning with Love (WWL )sudah saya baca berulang kali mulai Arkan usia 15 bulan. Tapi rupanya sampai Arkan usia 2,5 tahun ini saya belum berhasil menyapihnya. Saya nggak tega dan tidak punya alasan kuat untuk menolak tiap kali Arkan minta ASI (Alhamdulillah sekarang udah jarang, seringnya pas mau bobok aja). Apalagi saya telah mengunyah artikel tentang keunggulan extended breastfeeding (menyusui lebih dari dua tahun).
Saya telah lama berdiskusi dengan suami tentang kapan harus benar-benar menyapih Arkan. Alhamdulillah, suami tak berkeberatan saya menjadikan extended breastfeeding sebagai pilihan. Jadi Arkan masih boleh nenen, deh. Boleh juga minum susu UHT. Semoga menjelang usia tiga tahun bisa self weaning, ya:)

SELAMAT BERJUANG IBU DAN AYAH!
Asi memang bukan segala-galanya. Tapi bisa jadi segala-galanya berawal dari ASI. Setelah sukses menyusui selama 2 tahun, bahkan lebih, saya merasakan manfaat yang luar biasa dari proses laktasi. Sungguh Allah Maha Pengasih, Allah sayang Ibu dan Adik bayi.

Mari berjuang bersama, Wahai para ibu! Ya, Karena ASI Perlu Diperjuangkan! Dan Ayah, bantu istrimu untuk semangat memberikan yang terbaik untuk buah hati tanpa mengganti dengan susu lain. Mari berjuang bersama demi generasi terbaik yang akan menggantikan kita. Ingatlah selalu bahwa anak adalah amanah-Nya. SEMANGAT!!!

Wanita yang sedang hamil dan menyusui sampai habis masa menyusuinya, seperti pejuang di garis depan fi sabilillah. Dan jika ia meninggal di antara waktu tersebut, maka sesungguhnya baginya pahala mati syahid. ” (HR. Tabrani)