Thursday 8 April 2010

METAMORPHORIA

1 comments

”Perlahan tapi pasti manusia di sekitar Rasulullah mulai bermetamorfosis. Mereka mengisntal ulang visi dan pandangan hidupnya, tentang diri mereka sendiri, tentang Tuhan, tentang keberadaannya di dunia, dan tentang alam raya yang terbentang luas. Titik metamorfosis ini menjadi awal lahirnya manusia besar yang kelak memimpin dunia. Menjadikan mereka orang-orang yang luar biasa.*)”

Sungguh sebuah sentuhan akhir yang manis. Naisya tak menduga bahwa dengan sangat lancar ia berhasil mengucapkan kata-kata itu.

”Adik-adik Muslimah yang dirahmati Allah, Mbak berharap setelah bedah buku kali ini, kita menjadi manusia yang tercerahkan. Semoga kita mampu meresapi makna kehidupan yang sebenarnya. Marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan!”

Diam-diam Naisya menata hatinya. Rasa-rasanya closing statement itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri. Sungguh tiap kali ada permintaan untuk menjadi pembicara dalam berbagai kesempatan, ia berada pada dilema. Menolak berarti ia menyia-nyiakan kesempatan untuk dakwah bil lisan. Menerima berarti ia harus kembali berkaca pada dirinya sendiri: seberapa pantas ia mampu menginternalisasikan kebaikan yang disampaikannya pada diri sendiri? Pada akhirnya, ia lebih sering menerima tawaran menjadi pembicara dengan mencoba meluruskan niatnya. Segala amal itu tergantung niatnya, bukan?

Fuuih... akhirnya sampai di penghujung sesi tanya jawab. Muslimah yang hampir memasuki usia seperempat abad itu menarik nafas lega.

Setelah berpamitan dengan panitia, gadis berjilbab yang mempunyai nama lengkap Naisya Fathimatuzzakia itu bersiap meluncur ke kampus belahan utara kawasan Solo Raya. Ada kajian rutin bersama adik-adik kampus yang harus didatanginya.

*******

“Mbak Nais, bisa, kan? Ayolah, Mbak!” Suara di sebrang mulai merayu.
“Yang lain saja, ya, Dik. Mbak, kan belum menikah. Khawatir hanya omdo -ngomong doang- berdasarkan teori tanpa pengalaman sesungguhnya.”

”Tapi Mbak, ini mendesak. Ayolah, Mbak! Hitung-hitung memantapkan kesiapan setengah dien. Ayolah, Mbak! Mbak Nais sendiri, kan yang bilang kalo kita sedang berproses. Berubah menjadi baik itu menyenangkan. Begitu, kan? Metamorphoria, Mbak. Ingat METAMORPHORIA!”

”Masya Allah, Salma. Mbak Nais nggak bisa. Ini mendadak sekali. Mbak kan perlu persiapan. Mosok yo besok tho, Nduk? Mbak Nais carikan yang lebih ahli, ya?” Naisya mencoba untuk bernegosiasi.

”Baiklah, kalau begitu. Segera kabari Salma via SMS, ya, Mbak. Jazakillah. Assalamu’alaykum.”

Setelah menjawab salam, Naiya meletakkan HP-nya dengan asal. Ruang kamar berukuran 4x3 M ini terasa semakin sempit.

Salma ngaco banget. Masak nyuruh ngisi materi tentang fiqh Munakahat. Emang aku ini Ustadzah? Fuih... M U N A K AH A T?

Naisya uring-uringan sendiri. Meski hanya dalam hati, jilbaber yang mempunyai jam terbang tinggi itu merasa mangkel. Siapa yang harus dihubunginya? Acaranya besok. Catat: BESOK! TOR juga belum dikasih. Bagaimana mungkin ’menembak’ Ustadzah untuk mengisi acara dalam waktu yang cukup mepet. Malu, ah.

Akhirnya, Naisya mencoba menghubungi para senior dakwah kampus yang sudah lulus. Berulangkali ia memencet kotak unyilnya, mengirim SMS dan menelepon para kakak tingkat yang diseganinya. Hasilnya nihil. Tak ada satu pun yang menyatakan kesanggupan.

”Wah, mendadak sekali Dek Nais. Mbak dah ada acara.”
”Lho, masak besok. Mbak nggak bisa, Dek.”
”Coba hubungi Ustadzah Ely saja, Dek. Atau Ustadzah Lusi.”
Naisya menggeleng. Ia tidak punya muka menghadap Ustadzah. Satu hal yang menjadi masalah. TIME. Waktunya terlalu mendadak.

Dengan wajah ditekuk dan mulut manyun, Naisya keluar kamar. Warga kosnya sedang asyik ngerumpi di ruang tengah sambil melakukan aktivitas sendiri-sendiri. Ada yang setrika, ada yang menyalin laporan praktikum, ada yang menyulam, ada yang mengiris sayuran untuk dimasak, ada pula yang nonton TV sambil facebook-an.

”Dear kru KEMULIAAN yang Mbak NICE Sayangi, Help me please!”
Kontan, anak-anak Wisma Kemuliaan menghentikan aktivitas mereka sejenak.
”Ada apa, Mbak Nais?” Tanya mereka kompak
”Siapa yang mau gantiin Mbak ngisi kajian besok di kampus sebrang kali. UNSA?”
”Haaa...Besok?” Eka menghentikan sulamannya.
”Temanya Apa, Mbak?” Tanya Win bersimpati
”Nikah.” jawab Naisya singkat.
”Nyak, Babe, aye mau nikah.” Yani yang sedang facebook-an menyahut.
”Kenapa nggak minta tolong Ustadzah aja.” Usul Eka.
”Hmh...”

Naisya pun ngeloyor pergi dengan tampang bete. Ia kembali ke kamar dan mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Dimatikannya lampu kamar pertanda ia bersiap tidur. Begitulah kalau lagi suntuk. Naisya melampiaskannya dengan tidur. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Namun, setidaknya ia bisa meringankan kepalanya barang sejenak.

Hampir saja Naisya terlelap. Tiba-tiba saja mengalun ringtone dari HP-nya pertanda ada SMS yang masuk.

Sapa Mbak yang akan mengisi, besok?Makasih. Salma Hanifah
Naisya tersenyum getir dan me-replay: Naisya Fathimatuzzakia.

Huuuh.... Naisya mendengus tak percaya. Sayang, ia terlanjur menuliskan namanya. Mau tak mau ia pun menyalakan lampu kamarnya. Ia keluar kamar untuk mengambil laptopnya yang lagi dipakai online oleh salah satu adik kosnya.
”Mbak pinjam sebentar buat berselancar,ya? ”

Dalam hitungan menit mahasiswa tingkat akhir Universitas Nomor Satu itu sudah asyik berselancar lewat dunia maya. Apalagi kalau bukan mencari materi tentang pernikahan buat kajian Muslimah besok.

*******

”Dalam menganjurkan ummatnya untuk melakukan pernikahan, Islam tidak semata–mata beranggapan bahwa pernikahan merupakan sarana yang sah dalam pembentukan keluarga, bahwa pernikahan bukanlah semata sarana terhormat untuk mendapatkan anak yang sholeh, bukan semata cara untuk mengekang penglihatan, memelihara farj atau hendak menyalurkan biologis, atau semata menyalurkan naluri saja. Sekali lagi bukan sekedar alasan tersebut. Akan tetapi lebih dari itu.**) ” Naisya mengawali pemaparannya dengan tenang. Sebelumnya ia telah meminta izin panitia untuk menyampaikan materi tentang persiapan menuju gerbang pernikahan.

”Islam memandang bahwa pernikahan sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan. Pernikahan adalah bagian tak terpisahkan dari upaya perbaikan Ummat. Untuk itulah, pada kesempatan kali ini kita akan membahas berbagai persiapan menjelang pernikahan. Apa saja itu?”

Khas Naisya. Ia melempar pertanyaan pada audience sambil mengingat-ingat kelanjutan materi yang akan disampaikan.

Materi seputar pernikahan memang selalu menarik bagi anak kampus. Tak terasa satu jam telah berlalu. Naisya tersenyum. Entah mengapa ia berbunga-bunga sendiri. Tak menyangka bahwa inilah materi yang disampaikannya adalah kebutuhannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Siapa tahu sebentar lagi married. Lho kok malah ngelantur, nih.

”Saya tak bisa banyak berkata-kata. Saya bukan pakar cinta atau pernikahan. Yang jelas saya meyakini bahwa secara sunatullah, laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, sejak saat ini tak ada salahnya kita mempersiapkan diri. Siapa tahu, besok telah ada laki-laki yang berhati cahaya yang disiapkan Allah untuk kita.”

Ya Allah, sungguh kalimat terakhir itu adalah doaku, Naisya membatin.
”Baiklah, marilah bersama-sama kita bermetamorfosis menjadi manusia baru dan bersiap mengukir sejarah emas bersama orang-orang besar yang cahayanya mempesonakan setiap mata.Ya, mari kita ber-metamorphoria. Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan! ” Kembali Naisya mengkampayekan metamorphoria sebagai closing statement. Para muslimah di hadapannya pun mengangguk-angguk.

*******

METAMORPHORIA. Hampir setiap hari Naisya mengucapkan kata-kata itu lengkap dengan slogan kebanggaannya: KARENA BERUBAH MENJADI BAIK ITU MENYENANGKAN.***)

METAMORPHORIA sebenarnya adalah judul buku mentoring yang digunakan oleh kampus-kampus harapan di kawasan Solo Raya. Naisya sendiri pernah bergabung sebagai tim pendamping salah satu kampus harapan. Mereka menamai kampus-kampus swasta di kawasan Solo Raya dengan kampus harapan. Mereka meyakini satu hal: selama ada mahasiswa di sana maka ada harapan untuk melebarkan dakwah. Kampus bagi mereka selalu menyimpan harapan untuk menambah jumlah orang yang berafiliasi terhadap dakwah Islam.

Tim kampus harapan adalah tim solid yang berjibaku tak pernah lelah untuk mengembangkan sayap dakwah. Mereka mempunyai motto: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan. Maka tak heran bila sepak terjang mereka luar biasa. Sejalan dengan kinerja FSLDK****) Solo Raya mereka bergerilya dari kampus ke kampus hampir setiap hari.

*******

”Hari ini kita masak apa, Dik?”
Naisya terkejut dengan pertanyaan laki-laki berjanggut tipis di hadapannya.
”Ya, mau masak apa? Boros, kan kalau kita beli terus tiap hari. Bisa masak, kan, Dik?”

”He..he... bisa-bisa, masak air.” Jawab Naisya lesu.

”Kamu pasti bercanda. Tapi gak papa, soal rasa, lidah Abang ini cukup toleran, kok. Nggak usah khawatir. Ingat sloganmu waktu mendampingi kampus harapan, kan?”

”METAMORPHORIA.” pelan Naisya menjawab. Kali ini sungguh tanpa antusias seperti dulu yang biasa meledak-ledak.

”Karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, ya Dik?” Ghazi menyambung kalimat kebanggaan istrinya.

”Baiklah, learning by doing aja. Abang berangkat dulu, ya. Jaga diri dan kehormatan suamimu baik-baik.”

Naisya mencium takzim tangan suaminya. Ini adalah hari keempat pernikahan mereka. Belum genap tujuh hari sudah ditinggal-tinggal. Namun, Naisya menyadari sepenuhnya konskuensi menikah dengan aktivis dakwah. Setelah mencari nafkah masih banyak hal yang harus dikerjakan. Bukankah mereka memang da’i sebelum menjadi yang lainnya?

Baiklah. Naisya pun menikmati status barunya sebagai seorang istri. Ia ingat, pertanyaan suaminya yang belum dijawab. Masak apa, ya? Bahannya apa?

Naisya pun menyalakan laptop. Ia pun bertanya kepada Mbah Google tentang menu masakan. Akhirnya pilihannya jatuh pada sayur bening. Sederhana. Tinggal masak air dengan bumbu bawang merah, bawang putih, temu hitam, dan 2 cm kencur yang diiris halus. Setelah mendidih, tinggal masukkan jagung manis, wortel, dan sayur bayam. Matang, tinggal angkat. Mudah, kan?

Naisya pun keluar rumah. Berjalan beberapa meter ke kios. Ia membeli beras, sayuran, dan kebutuhan untuk masak-memasak hari ini. Pengalaman pertama, Naisya terlihat masih malu-malu.

Sampai di rumah, nyonya muda itu tak bersegera memasak. Suaminya pulang sore. Jadi masaknya nanti sore aja. Siang ini makan mie instan. Duh kebiasaan anak kos itu masih melekat.

Usai shalat Ashar, Naisya bersiap memasak. Bismillah.... bantu aku ya Allah, bisiknya penuh harap. Ia memotong Jagung, wortel, bayam dan menyiapkan bumbu.

O, ya sebelum masak sayur mending nanak nasi dulu.

Naisya pun mencuci beras. Tak sampai bersih, takut vitaminnya hilang. Setelah itu dikasih air. Seberapa, ya? Husy... Naisya lupa pelajaran dari Widya dan adik-adik kosnya. Mau tanya via telepon gengsi. Akhirnya, beras yang sudah berada dalam panci itu dituanginya air menurut takarannya sendiri. Tinggal cup! Sudah nancep di listrik, nunggu mateng deh! Naisya tertawa-tawa sendiri.

Tak lama setelah sayur bening, tempe dan pindang goreng plus sambal tomat kreasinya siap dihidangkan, Naisya mandi. Bersiap menyambut suami dengan penampilan terbaik dan keceriaan penuh.

*******

Penantian Naisya sore ini berakhir. Deg-degan jantung Naisya waktu suaminya mengetuk pintu diiringi salam.
”Subhanallah, cantik sekali bidadari Abang ini.”
”Halah... Bang Ghozi mulai, deh ngegombal.”
”Nggak, kok. Ini tulus dari hati. Hmh... by the way, Abang lapar berat nih. Dari siang belum makan.”
“Tenang, Bang, makanan sudah siap, kok.”
Naisya menghidangkan kreasi istimewa perdananya.
“Wah, kelihatannya enak. Mana nasinya, Dik?”
“Ada di rice cooker, Bang.”
“Oh, baiklah giliran Abang yang mengambilkan, deh.”
Naisya mengiyakan.
“Masya Allah, Dik. Kok nasinya belum masak?”
Gubrrakkk!!!
Naisya terkejut. Ia ingat belum meng-On-kan rice cooker-nya. Astaghfirullah.

Ghozi tersenyum melihat kepanikan istrinya. Diam-diam, ia membawa panci dan membuang air.

”Airnya kebayakan, Dek. Sini Abang ajarin.”

Ghozi unjuk kebolehannya menanak nasi di rice cooker. Lha wong cuma masak nasi kok nggak bisa. Kebangetan deh!

METAMORPHORIA, learning by doing, karena berubah menjadi baik itu menyenangkan, dan sederet slogan kebanggaan Naisya kini tak berarti lagi. Ternyata tak cukup slogan sebagai penyemangat. Namun, butuh aplikasi yang lebih. So, mari kita ber-METAMORPHORIA dengan sungguh-sungguh. Jangan instan, ya! Yoi: karena berubah menjadi baik itu menyenangkan.

*******
*)Preface di buku METAMORPHORIA
**) http://cahaya05.wordpress.com
***) Preface di buku METAMORPHORIA
****) Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus, http://fsldkn.org