Thursday 26 February 2009

(masih) Belajar Menjadi Aktivis

0 comments

Engkau bahkan masih memberi penjelas, penegas bahwa kita harus berbagi tugas. Tidak semua harus terjun ketika agenda dakwah begitu memadat. Banyak ruang kosong di sana sini yang harus diisi oleh sebaran kader yang harus terbagi. Dan engkau yang membagi sebaran itu, dan engkau yang memilih ruang lain itu.1

“af1, Akh. Da amanah lain yg hrus sgra ditunaikan. ane g bs syuro bidang nanti mlm.


Huda tersenyum getir membaca SMS dari stafnya. Izin lagi. Izin lagi. Kapan seluruh staf bisa kumpul dalam syuro bidang? Padahal undangan syuro dah dikirim jauh-jauh hari yang lalu. Bukan sekedar via SMS tapi juga undangan tertulis plus taushiyah telah disampaikannya secara langsung. Semua usaha untuk menghadirkan seluruh personel bidang sudah dilakukan. Bahkan sebagai ketua bidang, ia rela bergerilya dari kos ke kos, dari fakultas ke fakultas, dan dari basecamp ke basecamp agar bisa menemukan anak buahnya. Memastikan agar syuro special kali ini bisa dihadiri oleh seluruh personel. Minimal kali ini saja.

Nurul, kembaran sekaligus sekretaris bidangnya, juga telah melakukan hal yang sama. Tapi memang manusia hanya bisa berencana.

“Akhwat hanya separuh yang bisa. Yang lain izin.” Laporan Nurul via interkom membuat Huda jadi kehilangan semangat. Kalau begini terus bagaimana bidangnya bisa solid? Padahal targetan syuro bidang malam nanti adalah membahas the big event yang membutuhkan banyak pemikiran. Bagaimana mungkin hanya mengandalkan kabid dan sekbidnya?

Masih dengan akumulasi kekecewaan Huda menuruni tangga masjid NH. Segera ditujunya tempat wudhu. Kesejukan air kran membuat kepala ikhwan berjenggot tipis itu sedikit lebih ringan. Pelan, istighfar pun terlantun dari bibirnya. Hatinya kini menjadi lebih lapang.

Kini ia bersiap untuk shalat ashar. Usai ashar ia harus meluncur ke kampus sebelah untuk mengisi kajian sore.



Nurul berjalan berjingkat-jingkat. Hujan selepas maghrib menemani perjalanannya menuju masjid kampus. Payung mungilnya tak mampu melindungi tubuhnya dari guyuran air dari langit. Jaket UKMI yang dikenakannya sudah basah. Kaos kakinya apalagi. Namun gadis itu mencoba menikmatinya. Ia ingat taushiyah sang murrabiyah.

“Hujan adalah tentara ALLAH. Dan antunna percaya bahwa sesama tentara ALLAH tak akan saling menyakiti, bukan?”

Gadis itu pun tersenyum. Kalaupun habis kehujanan ia jatuh sakit biasanya sebuah isyarat staminanya sedang menurun. Mudah-mudahan kali ini tidak begitu. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdamakum. Ia percaya hal itu.

“Mbak Nurul, tunggu!” Sebuah suara yang tidak asing menghentikan langkahnya. Nurul menengok ke belakang. Ada Ajeng yang berlari-lari kecil mendekat ke arahnya. Keduanya pun bergegas menuju eNHa, masjid perjuangan tercinta.

“Mbak afwan sebelumnya. Ajeng capek banget. Tadi habis muter-muter cari sponshorship untuk acara HMJ. Semisal nanti nggak terlalu loading dalam syuro harap dimaklumi, ya?” sebuah pinta dari Ajeng baru saja diterimanya.

Melihatmu datang saja, mbak sudah senang. Nurul berucap dalam hati. Senyumnya yang masih mengembang membuat Ajeng jadi salah tingkah.

“I ya, deh mbak, ntar Ajeng tetap berusaha connect.”

“Begitu lebih baik. You can if you think you can!.” Kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja. Semangat yang lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.



Nurul masuk rumah sakit. Typus-nya kambuh. Huda segera meminta bantuan seorang al-akh untuk meneruskan proposal kegiatan bidang yang sebenarnya sudah didelegasikan ke stafnya, lebih tepatnya menjadi tanggung jawab sekretaris kegiatan. Deadline sudah lewat, proposal itu belum juga dikerjakan. Terpaksa ia mengambil alih pekerjaan itu untuk kesekian kali. Namun kali ini ia terpaksa meminta tolong pada teman sekamarnya di eNHa.

Huda segera meluncur ke PKU Muhammadiyah, tempat Nurul dirawat inap.
“Syafakillah, Dik,” bisik Huda di cuping saudara kembarnya.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Nggak usah khawatir. Ini bukan yang pertama, kan?”

Dalam kondisi lemah, Nurul masih saja bercanda. Mau nggak mau Huda pun tersenyum. Dua akhwat yang membawa Nurul ke rumah sakit pamit untuk sementara waktu. Huda pun segera mengiyakan. Tak lupa ia berterimakasih pada keduanya.

“Tawadzun itu nggak mudah, ya?” Nurul masih saja berceloteh.

“Sudah nggak usah mikir yang macam-macam. Istirahat aja.”

“Tapi, Da... deadline laporanku....?”

“Sudah...Insya ALLAH kubantu.”

Ups! Tak sengaja ia berjanji. Tapi Huda bertekad akan membantu saudara kembarnya.

Kasihan Nurul. Tadi malam ia masih berapi-api dalam syuro bidang bersamanya. Meski dari 15 personel hanya tujuh yang hadir, gadis itu masih berusaha membantunya mengkondisikan forum agar muntijah. Saudara kandung sekaligus teman seperjuangan yang tak pernah bosan menyemangatinya.

Jam di dinding kamar rumah sakit menunjukkan pukul dua dini hari. Huda masih terjaga. Dipandanginya wajah tirus sang adik kembar. Hanya iba yang kini mewarna di benaknya. Iba itu menimbulkan sesak di dada, men-stimulus bening-bening kristal mengalir di pipi.

Astaghfirullah! Ia kembali mengulang istighfarnya. Lantas diraihnya mushaf kecil di meja. Dibacanya kalam suci dengan tartil. Sepenuh hati dicobanya mentadabburi ayat-ayat cinta Illahi. Ada ketenangan yang tak berhingga.

Huda me-review kembali perjalanannya di kampus hijau. Betapa ternyata kesibukan demi kesibukan tak diimbangi dengan suplai energi yang sepadan. Betapa ternyata ‘kokoh dan mandiri dalam maknawiyah, fikriyah dan jasadiyah’ masih sebatas slogan. Amal yauminya akhir-akhir ini seolah hanya mengejar target tanpa pemaknaan. Buku-buku pergerakan dan sains yang dibacanya sama sekali tak berbekas. Pola makan dan istirahatnya belumlah memenuhi standar kesehatan. Huda mendesah pelan. Ia yakin Nurul pun demikian. Mungkin lebih parah.

“Aina anta ya jundullah?” kini pertanyaan itu lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri.

“Aina ana?”


Ternyata lagi-lagi ia (masih) harus belajar untuk menjadi seorang aktivis. Semangat saja memang tidak cukup.

Dibentangkannya sajadah kecil di samping tempat tidur Nurul. Sepertiga malam ini dilaluinya dengan syahdu. Di hadapkan wajahnya dengan hati yang penuh rindu. Betapa ia merasa sangat lemah.

Apa jadinya diri ini tanpa pertolonganmu, Ya Rabb?

Huda tersungkur dalam sujud panjangnya.

9 Juli 2007:01.30 untuk adik2 eNHA

*Dikutip dari “Aina Anta Ya Jundullah?Refleksi seorang Murrabi: Fajar el-Shahwah)



RINDU DAMAI SENYUMMU, BUNDA !

0 comments

SELEPAS membaca Al-Matsurat bersama teman-teman sepondok, aku segera kembali ke kamar. Adzan Isya’ sepertinya masih beberapa menit lagi. Kuraih mushaf yang ada di meja kecilku. Masih ada waktu untuk tilawah barang satu dua lembar.

Baru dua ayat yang kubaca, terdengar SMS masuk ke ‘kotak unyil’ yang lupa ku-non-aktifkan. Meski sedikit malas, kubuka SMS itu. Siapa tahu memang penting.


Assmlkm. M’Ita, bsk ba’da Ashar syuro’ di masjid kampus. Mbk, anti stiap minggu plg da acr, ya? Usul:bgmn jk bsk tdk plg, mndampingi adik2? Sampun diSMS U’Wati, tho? Fahma

Entah sudah berapa kali kuterima permintaan yang sama. Permintaan agar akhir pekan aku tidak pulang. Kali ini giliran Fahma, mahasiswa semester empat yang jadi koordinator majalah ‘English Sisters’ yang memintaku mendampingi mereka syuro’. Di pekan-pekan sebelumnya permintaan yang sama tak sekali dua kali ditujukan padaku.

“Tak selalu kita mesti mengatakan pada orang lain apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.” tegas Mbak Ais ketika aku mengeluhkan protes beberapa orang akan kepulanganku tiap Sabtu sore.
Segera kuhapus SMS dari Fahma tanpa membalasnya. Pulsaku sudah habis sejak tadi pagi. Belum ada anggaran untuk mengisi.

Kemarin juga ada telepon yang minta kesediaanku untuk rapat di malam hari.

“Sudah ana tegaskan: ana nggak bisa mabit malam Ahad.”

“Anti selalu pulang? Kenapa?”

“Ada alasan.”

“Ya sudah.”

Akhirnya menyerah juga. Aku pun segera menutup gagang telepon. Dalam hati aku merasa bersalah namun bukankah setiap orang bebas menentukan apa yang terbaik menurutnya. Begitu pun aku.
Aku sudah berjanji untuk selalu pulang, minimal sepekan sekali. Tak ada yang bisa menghalangiku kecuali ada agenda yang menuntut tanggungjawab penuhku. Kukira syuro’ atau rapat tanpaku tetap bisa berjalan.
☺


“Bunda nggak masak apa-apa. Adanya cuma soto ayam dari warung.”

“Ah, Bunda! Selalu begitu! Nggak pa-pa, kok. Tenang aja.”

Kutatap sekilas wajah perempuan yang telah melahirkanku. Kutemukan gurat kelelahan di sana. Ya, bahkan masih kujumpai kesedihan yang belum juga hilang.

“Ita, Bunda sudah lupa untuk memasakkan makanan kesukaanmu.” Ujarnya penuh rasa bersalah.

“Sudahlah, Bunda. Tsabita tak pernah mempermasalahkan tentang makanan yang kita makan.”

“Syukurlah kalau begitu. Bunda ke depan dulu, ya!”

Bunda, perempuan yang baru menginjak usia 45 tahun itu, segera meninggalkanku. Tiap sore beliau selalu meluangkan waktunya untuk menyirami bunga-bunga, bonsai, dan rumput di taman depan bila hujan tidak turun. Sudah setahun lebih Bunda melakukan rutinitas itu, terhitung sejak ayah pergi meninggalkan kami dan menikah dengan perempuan lain.

“Dik, jaga Bunda baik-baik, ya!”

Selalu terngiang di telinga pesan dari Mas Ikhlas, kakak semata wayangku, sebelum merantau ke Kalimantan.

“Mas, aku juga seorang perempuan.” jawabku waktu itu.

“Aku mengerti perasaannya dan pasti akan menjaganya. Memastikan beliau baik-baik saja.”

“Janji pulang tiap pekan, ya!”

“Insya Allah.”

Begitulah! Mulai saat itu aku pulang ke rumah tiap pekan untuk memastikan kondisi bunda baik-baik saja. Minimal Bunda tidak sakit dan masih melakukan rutinitas seperti biasa.
☺


Rintik-rintik air hujan
jatuh ke bumi membawa rizki
hilangkan dahaga ini
hapus semua keluh kesah kita*


Gerimis kecil mulai berjatuhan. Segera kupercepat langkahku menuju pondok sederhana, tempatku melepas penat setelah seharian beraktivitas. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai.

“Assalamu’alaikum.” Ucapku riang sesampai di depan pintu.

“Wa’alaikumussalaam… Wah, kehujanan, ya Mbak? Ada yang bisa dibantu?”

Suara khas Ayu dari dalam kamar terdengar riang. Teman sekamarku itu memang gadis yang teramat baik. Hampir-hampir aku tak pernah melihatnya berdiam diri sekiranya ada yang bisa dilakukan untuk membantu orang lain. Sungguh, aku masih harus banyak belajar darinya.

“Mbak, kubuatkan teh hangat, ya?” lagi-lagi ia menawarkan kebaikan.

“Sudah nggak usah. Nanti aja usai mandi, mbak buat sendiri. Lanjutkan aja pekerjaanmu, Dek.”
Kutinggalkan Ayu yang sedang asyik di depan komputer. Kulangkahkan kaki keluar kamar menuju tempat cucian. Ada dua pasang gamis, kerudung dan kaos kaki yang harus segera kucuci. Mumpung masih ada waktu luang. Ya! Jangan sampai ada kejadian seorang Tsabita kehabisan baju dengan alasan terlalu sibuk dengan seabrek agenda. Sama sekali nggak nyeni, kan? Apalagi membawa baju kotor ke laundry, jangan pernah, deh kecuali dalam kondisi darurat.

Nyuci itu menyenangkan, kok! Setidaknya itulah yang diajarkan ayah ketika kami –aku dan Mas Ikhlas- mulai belajar mencuci baju sendiri. Ketika itu kami baru pindah dari Jakarta ke sebuah desa kecil di kabupaten Ngawi. Dalam kondisi ekonomi yang masih belum mapan, segala pekerjaan rumah tangga kami lakukan bersama. Bahkan sampai sekarang, ketika segalanya telah teraih, dalam hal ini lebih pada perekonomian yang semakin mapan, aku dan Mas Ikhlas pun masih selalu melakukan pekerjaan rumah tangga; nyuci, nyapu, ngepel sendiri.

Tanpa sengaja kupandangi tetes-tetes air dari langit yang semakin berjatuhan.
Ayah! Hujan hari ini mengingatkanku akan memori masa lalu. Hujan yang menghadirkanmu dalam monologku. Kutahu, ayah, hujan yang dianugerahkannya juga tentara Allah. Kedatangannya selalu mengingatkanku; betapa kita pernah bersama; betapa kita pernah bahagia. Kini apa yang kau rasakan tiap rintik-rintik itu turun?

Astaghfirullah!
Kuulang istighfar dalam-dalam. Tiba-tiba aku begitu merindukan ayah. Aku baru sadar bahwa aku tak benar-benar bisa melupakannya. Ternyata bunda benar; bahwa apapun yang terjadi; ayah tetaplah ayah dan tak pernah ada yang akan mampu memutuskan ikatan itu.

Ah, Bunda. Semoga sore yang basah ini pun, putrimu masih selalu mampu menjaga bara shalihahnya hingga menjadi secantik bidadari, sebaik-baik perhiasan dunia.
Bidadari? Ah, kukira terlalu berlebihan gelar itu kudapatkan saat ini. Ya! Masih terlalu jauh.
☺


“Gimana Tsabita? Kau sudah siap untuk menggenapkan setengah dienmu, bukan?”

Pertanyaan mbak Ais hanya kubalas dengan senyum. Aku tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Bukankah saat ini masih banyak yang lebih berhak ketimbang diriku? Atau jangan-jangan Mbak Ais hanya mencoba menjajaki sejauh mana kesiapan adik-adik binaannya. Setahuku, baru Mbak Ami yang telah mengisi biodata ‘hijau’ untuk diproses. Ya! Idealnya memang Mbak Ami lebih dulu.

“Maksud Mbak Ais?” aku balik bertanya.

Kini ganti mbakku yang tersenyum.

“Setahu Ita, pernikahan itu menyatukan dua kekuatan. Siap menikah artinya juga siap menjanda.

Bukankah begitu, Mbak?”

“Maksudmu apa, Tsabita?”

“Orang bilang menikah itu mengumpulkan dua kekuatan menjadi interdepent, kumpulan dua orang yang independent, masing-masing tidak bergantung dengan yang lain. Ita merasa belum siap kehilangan, Mbak.”

“Astaghfirullah, Tsabita...”

Mbak Ais meraih tanganku.

Sejujurnya aku masih trauma dengan kepergian ayah. Aku tidak siap bila kelak mengalami kejadian yang sama dengan apa yang telah terjadi pada bunda. Aku tahu menikah itu ibadah, namun aku tak yakin telah benar-benar siap.

“Bukankah tak pernah ada yang abadi di dunia, Ukhti? Mbak rasa sudah saatnya kau mengaplikasikan ilmu yang kau pelajari selama di pondok dan majelis ilmu yang lain; tarbiyatul aulad, tafsir wanita, fiqh dakwah muslimah, shirah sahabat, juga teori-teori praktis kehidupan, setidaknya akan membantumu untuk memasuki kehidupan pasca pernikahan.”

“Tapi, Mbak sepertinya Ita belum siap. Ita masih...”

“Baiklah. Semua mbak kembalikan padamu. Dalam sepekan ini, kuatkan maknawiyahmu. Mbak percaya padamu, Tsabita. Kau boleh pulang sekarang.”

Kutinggalkan rumah Mbak Ais dengan ragu. Aku ingin mengatakan bahwa aku masih gamang. Namun hari sudah terlalu sore untuk tinggal. Sebentar lagi adzan Maghrib sepertinya berkumandang.
Kukendalikan motor dengan kecepatan sedang. Sungguh aku tak tahu apakah ini jawaban dari doa-doaku; agar ALLAH menjagaku untuk tetap teguh menapaki kehidupan? DIA datangkan teman perjalanan ketika langkahku mulai terasa berat.
☺


Malam yang indah. Bintang-bintang bertaburan meski tanpa cahaya bulan. Kutengadahkan wajah melihat bentang luas cakrawala. Dulu aku dan Mas Ikhlas sering menghabiskan malam dengan melihat bintang bersama ayah. Masa kecil yang tak kan terulang. Saat itu aku merasa menjadi anak yang beruntung. Punya ayah yang hebat, mas yang baik, dan bunda yang selalu memanjakanku. Aku menyangka keutuhan keluarga kami akan terjaga selamanya. Takdir berkata lain. Ayah pergi dari rumah di tahun ketiga aku duduk di bangku kuliah. Kepergian yang tiba-tiba itu sungguh menggoncang kami.

Bunda bilang mestinya aku bersyukur. Ayah pergi ketika aku telah punya pegangan yang kuat; aku telah belajar agama dan punya banyak teman berbagi. Meski tergoncang, aku mencoba memaknai hal itu sebagai ujian. Ayah memang tak ada lagi di samping kami namun ia tak pernah benar-benar pergi dari hati. Selalu kususun jemari, menyebut namanya dalam doa yang tiada putusnya.

“Percayalah Tsabita, laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik dan sebaliknya. Bunda yakin kau adalah gadis yang tegar. Tak perlu larut dalam kesedihan panjang. Belajarlah dari ayah dan bunda agar kelak bahtera rumah tanggamu tenang menghadapi karang dan gelombang kehidupan.”
Tiba-tiba aku jadi kangen dengan Bunda. Apakah beliau akan bahagia bila putri semata wayangnya menikah? Apakah bebannya akan berkurang? Selama ini kutahu Bunda selalu mencemaskanku. Sejak ayah pergi, kami jadi semakin dekat.

Selalu ada damai di senyum Bunda. Selalu kutemukan kekuatan dari senyum itu. Senyum yang mengisyaratkan ketegaran; bahwa hidup akan terus berlanjut dengan atau tanpa pasangan yang kita cintai. Baiklah Bunda, izinkan putrimu belajar meniti ketegaran dengan damai senyum itu.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, masih belum mampu kuhitung bintang. Tak akan pernah memang. Namun tahukah engkau, Bunda? Bila memang sudah tiba masanya kan kusambut dia yang berhati cahaya untuk meniti jalan bersama menuju surga.

Ngawi, 21 April 2007:21.41
Bingkisan di bulan kelahiran ayah.
Thanks untuk mbak Er lis atas inspirasinya.
*petikan senandung dari Harmoni Voice.













BARA SHALIHAH

0 comments
Malam ini hatiku sedang gerimis. Kangen dengan orang-orang di rumah. Bersyukur pada Allah, aku masih punya mereka. Hanya ruang dan waktu yang memberi jarak. Ya! Kucoba membongkar ingatan bersama ayah dan ibu. Sudut mataku basah, ada aliran deras iringi munajatku. Tiada kata mulia kecuali doa untuk mereka. Kucoba telusuri rangkaian kebersamaan masa kecil. Benar: kasih sayang dan pengorbanan mereka tiada kan pernah terbeli di dunia ini. Ya Allah, kuingin membayar semua itu dengan kesholihahanku. Izinkan aku menjadi jariyah untuk mereka.*

“Adakah orang yang tak mempunyai beban dalam hidup ini? Jangan sekali-kali kau jawab ada : orang gila. Itu bukan jawaban yang kuminta.”


Pertanyaan Atiyatul Izzah, teman masa SMA, dua tahun silam tiba-tiba terngiang di telingaku. Hm...kini baru kusadari bahwa beban adalah sebuah kemestian yang harus ditanggung oleh manusia yang menjalani kehidupan. Kini kucoba menyemai harap akan hadirnya sejumput kekuatan untuk tetap tegak dalam menapaki hidup. Mungkin ini adalah episode yang menuntutku untuk mengaplikasikan beberapa ilmu yang hampir-hampir tak berbekas dalam keseharianku.

“When you said, when you blue, when you really2 blue, don’t forget that you have Allah!** My dear, be patient. I will always love you & support you. And be sure Allah protect and help you if you close to HIM. And our parents need your help. Please pray for them!”

Sms Mbak Eka dua tahun silam mengingatkanku akan tempat bersandar yang paling tepat. Ya, aku masih punya Allah. Diam-diam kuhapus bening-bening kristal yang tlah lama berjatuhan di pipi. Kupupuk segenap keyakinan bahwa Allah begitu mencintaiku. Meski kurasa kali ini ujian itu begitu berat. Ya Allah, help me please!

Di hati ini biarlah kusimpan segala dukaku rapat-rapat. Ah, andai saja berandai-andai itu boleh. Kuingin ada seorang saudara yang tahu dan mendamaikanku dengan untaian taushiyah. But what should I do? Aku tak ingin masalahku menambah beban mereka sedang dakwah yang mereka pikul pun tlah menguras energi yang besar.

“Senantiasa Qta ingat! Ats diri qta...ada hak u/ agama qta, u/diri qta sdr, u/ ortu, u/sahabat,...dst. Shg jngn smp qta spt lilin yg t’bakar. Mbrkn cahaya pd lingkungn tp mbiarkn drnya hancur. Smg qta bs tawadzun.”

Kubaca untuk kesekian kali kubaca taushiyah yang dikirim oleh seorang sahabat via SMS. Harusnya memang aku mampu memanaj diri. Menjadi seperti lilin bukanlah hal yang kuinginkan. Bahkan tak pernah terbesit sedikit pun menjadi seperti itu. Tapi apa yang terjadi saat ini padaku memang seperti lilin. Aku terbakar dan hampir hancur.

Kesedihan meraja di jiwaku. Bagaimana mungkin aku bisa tetap tinggal di Solo sementara di rumah begitu banyak masalah yang tak kunjung selesai. Ya Allah...betapa Kau tahu bahwa tak pernah terbesit niat di hatiku untuk mendzolimi siapapun.

Tugas-tugas kelembagaan yang selalu hadir tiap kali aku hendak pulang kadang kurasa begitu berat. Aku yang memang belum sepenuhnya faham akan fiqh prioritas seringkali bimbang. Kutunaikan tugas-tugas itu dengan hati yang meradang. Bayangan ibu senantiasa memenuhi pikiranku.

“Apakah kepulanganmu ke rumah begitu diperlukan?”

Pertanyaan yang hampir selalu sama. Dan aku hanya bisa mengangguk sedih tanpa penjelasan apapun. Teman-temanku telah begitu hapal kebiasaanku tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya kulakukan di rumah.

Tak banyak memang. Hanya saja aku tak akan pernah bisa tenang jika seminggu saja tak pulang. Bayangan ibu akan selalu lekat di keseharianku. Ibu yang hampir tak pernah mengeluh. Ibu yang selalu berusaha tampak tegar di hadapanku. Ibu yang tak henti-hentinya memompakan semangat kepadaku meski dalam dirinya seringkali tersimpan keletihan yang sangat.
ﺏﻱﺖ


Kabar baik, Bunda?
Smg malam ini penuh barokah.
& qta sll bsyukur kpd-Nya.
Doakan nanda bisa jd so2k yg shalihah
agar bs brmanfaat bgi smua
& bs mbuat Bunda trsenyum bangga.


Usai mengirim SMS, kukenakan jaket peninggalan Mbak Eka. Udara malam ini benar-benar dingin. Hujan yang seharian turun seperti tak memberiku jeda agar bisa sedikit menepis gundah. Hampir selalu begitu. Aku tak mengerti mengapa percikan air yang jatuh senantiasa menghadirkan romantika kenangan yang kini lebih cenderung menguras air mata. Kenangan indah yang tak akan terulang. Dan ternyata keindahan itu begitu mahal untuk kumiliki saat ini.

Desember yang basah tlah sampai ke penghujungnya. Biasanya di akhir tahun masehi ada Mbak Eka di sampingku, mengingatkanku untuk tidak larut dalam hingar bingar menyambut tahun baru. Kebiasaan jahiliyah, katanya. Lebih banyak menimbulkan mudharat. Sedangkan setiap 1 Muharram belum tentu kami, yang mengaku umat Islam, menyambutnya.

Aku pura-pura cuek ketika empat tahun yang lalu kakak perempuanku itu memaparkan argument yang jitu. Diam-diam aku sepakat dengannya : bahwa lebih baik pesta di penghujung tahun itu diganti dengan evaluasi diri saja. Setelah itu setiap dari kita hendaknya menata ulang planning setahun ke depan agar target berprestasi di setiap sisi kehidupan bisa tercapai.
Ayah dan Mas Dwi hanya tertawa ringan. Mereka sengaja membiarkan Mbak Eka berbicara panjang lebar.

“What it is to be, it is up to you, Eka,” begitu prolog yang digunakan Mas Dwi untuk menyatakan ketidaksepemahaman pendapat, “So, menjadilah dirimu dan janganlah kau mempengaruhi kami. Ingat, tahun baru hanya sekali setahun. Senang-senang sedikit nggak ada salahnya”

Ibu dan Catur, si bungsu yang saat itu masih kelas 5 SD, berada di pihak yang netral. Ya! Tak ada gunanya saling memaksakan pendapat bila tak ada titik yang bisa mempertemukan sudut pandang. Lebih baik pesta tahun baru tetap diadakan dengan masing-masing pemaknaan. Begitulah…tahun berikutnya kebiasaan begadang di pergantian tahun itu tetap berlaku sampai akhirnya terjadi insiden yang meluluhlantakkan jiwaku
ﺏﻱﺖ

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***?” Mbak Eka sengaja mengulang perkataan itu lantas ia pun membelai kepalaku yang hampir empat tahun tertutup selembar kain lebar, “Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”

Meski sangat terlambat, aku tergugu menyadari kalimat perpisahan kakak perempuanku. Ia pergi saat aku merasa benar-benar membutuhkan kehadirannya. Ibu, wanita yang sangat tegar itu, memelukku erat. Mengingatkanku bahwa Mbak Eka adalah titipan Allah.

“Ikhlaskan saja, Nak! Doakan mbak Eka-mu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.”
Mbak Eka pergi tepat setahun setelah ayah tak lagi ada di sisi kami. Hampir-hampir aku tak kuat menanggung beratnya ujian. Ya! Andai saja aku tak ingat janji-Nya di ayat terakhir surat Al-Baqoroh; bahwa Dia tak kan menguji hambanya di luar batas kesanggupan, mungkin aku sudah berganti haluan seperti Mas Dwi yang kini tinggal di bui.
ﺏﻱﺖ

Kami berpagi hari dan berpagi hari pula kerajaan milik Allah. Segala puji bagi Allah, tiada sekutu bagi-Nya, tiada Ilah melainkan Dia, dan pada-Nya tempat kembali. Kami berpagi hari di atas fitrah Islam, di atas kata keikhlasan, di atas agama nabi kami : Muhammad saw., dan di atas millah bapak kami : Ibrahim yang hanif. Dan ia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik.

Kucoba memaknai wirid al-matsurat dengan hati yang bening, menghadirkan selalu semangat tiap pagi hingga petang. Mengikhlaskan segala kejadian yang tlah ditetapkan-Nya. Meyakini bahwa setiap apa yang tlah digariskan-Nya adalah yang terbaik.

Kenyataan pahit yang kualami seperti kisah-kisah yang ada dalam sinetron. Rasanya tragedi yang beruntun dalam keluargaku adalah rentetan kisah dalam sinetron yang di-skenario dengan sangat sempurna. Dan bukankah memang segalanya tak pernah bisa lepas dari skenario Allah, Tuhan Semesta Alam? Bila saja berandai-andai itu boleh; ingin sekali aku lari dari kenyataan. Tapi itu tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

Sedih yang begitu menghunjam. Seketika kurasa perih yang teramat sangat ketika tanpa sengaja kubuka sms di HP ayah. Sms di tanggal 1 Syawal itu dikirim oleh seorang wanita.
Bah, di hari yang fitri ini aku minta maaf.
Ingin sekali aku ada di sampingmu
tapi apalah dayaku. Aku hanya wanita keduamu
Tapi aku sangat mencintaimu, Bah.


Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Astagfirullah….Kulantunkan istighfar berulang-ulang. Menepis dzon yang buruk tentang ayah. Bagaimana mungkin ayah, sosok yang senantiasa bijak di mataku, ternyata berkhianat. Ayah, seorang tokoh masyarakat yang kredibilitasnya sebagai seorang pendidik tak pernah kami ragukan, ternyata berselingkuh. Ayah, yang meyakinkan ibu bahwa jilbab yang menutup seluruh tubuhku tak akan menghalangiku untuk menjadi gadis lincah dan berprestasi, ternyata berpaling dari wanita yang telah melahirkanku.

Ingin sekali aku mencaci maki diriku sendiri yang terlambat mengetahui berita buruk itu. Aku yang dalam hati sering memproklamirkan diri sebagai aktivis dakwah kampus ternyata terlambat menyadari badai yang menghantam bahtera rumah tangga yang telah dibina lebih dari 23 tahun. Di mana kepekaanku? Di mana empatiku ketika tiap kali pulang kulihat ayah jarang di rumah. Bahkan aku tak sedikit pun menaruh curiga ketika ibu semakin kurus. Kupikir ayah sibuk dengan bisnis kayu jatinya sedangkan ibu semakin langsing karena diet dan rajin ikut senam kebugaran dua kali dalam seminggu.

Di mana tanggungjawabku? Aku yang kuliah hanya beberapa kilo dari rumah tak mampu memberikan perhatian yang lebih pada keluarga. Mana aplikasi dari materi birul walida’in yang beberapa kali kuberikan pada adik-adik mentorku di SMA? Mengenaskan sekali ketika agenda kampus yang padat membuatku jarang pulang. Padahal jarak Solo-Sragen tak ditempuh dalam waktu yang lama. Tidak seperti Mbak Eka yang kuliah di STAN. Tidak pula sama dengan Mas Dwi yang kuliah di ITB.
Ketika aku minta maaf pada Mbak Eka dan berkata bahwa aku-lah yang harus disalahkan dalam musibah yang membuat ayah akhirnya pergi dari rumah, Mbak Eka menggenggam erat tanganku.

“Segala yang terjadi tlah menjadi ketetapan Allah, Dik. Jangan pernah menyalahkan diri. Jadikan ujian ini kendaraan yang megah yang akan menghantarmu bermunajat, bermesraan dengan Allah Yang Maha Penyayang. Mbak tahu, kau sangat terpukul tapi mbak sangat yakin kau adalah gadis yang tegar.”


Mbak Eka, kakak yang selalu menjaga perasaanku, saat itu sudah menyelesaikan tugas akhirnya. Tinggal menunggu masa wisuda dan penempatan kerja.
ﺏﻱﺖ


Bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yang sementara
Bagaimanakah bila semua hilang dan pergi
meninggalkan dirimu….****


Entah bagaimana awal bermulanya. Mas Dwi tak mampu lagi menahan emosi. Melihat Retno, wanita pemicu nyala api di antara ayah dan ibu, hadir di sidang perceraian, kakak laki-lakiku yang gagah tiba-tiba berlari dan menghunjamkan pisau tajam ke dada wanita itu.
Wanita itu roboh. Ia segera dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tak bisa diselamatkan. Sidang perceraian ditunda. Beberapa hari berikutnya memang ada persidangan, tapi tak lagi di pengadilan agama. Ya! Sidang pengadilan akhirnya memutuskan masku menghuni penjara atas tuduhan pembunuhan.

Masku memutuskan naik banding. Kutelepon Mbak Eka untuk segera pulang dan mencarikan pengancara. Tapi ternyata Allah punya skenario lain. Bus Patas yang ditumpangi kakakku bertabrakan dengan truk tronton saat hendak menyalib bus antar propinsi di tikungan. Tak banyak yang selamat. Masih beruntung Mbak Eka sempat di bawa ke rumah sakit. Masa koma telah lewat. Tapi ternyata itu adalah keadaan yang dihadiahkan-Nya agar kami bisa benar-benar mampu menyaksikan kepergiaannya yang tenang.

Ada haru yang senantiasa menitikkan butir-butir bening di mataku tiap kali aku mengingat kata-kata terakhirnya.

“Kau adalah anak yang baik, kau tahu itu, kan***? Setahu Mbak, kau adalah gadis yang tegar melebihi mbakmu ini. Tetaplah bersemangat adikku, meski Mbak Eka tak lagi di sampingmu.”
ﺏﻱﺖ


“Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras yang tidak akan mengelak perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa-apa yang diperintahkan.” (Q.S At-Tahrim : 6)

Desember yang basah tlah benar-benar sampai di penghujungnya. Terompet tahun baru tlah duabelas kali terdengar. Kulepas jaket Mbak Eka, membiarkan dingin menyapa kesendirianku.

“Ada tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir sampai mati.”
Tiba-tiba suara Mbak Eka saat aku menangis di pelukannya kembali terngiang.

“Amal jariyah, doa anak yang shalih dan ilmu yang bermanfaat.”
Kubuka jendela kamar kos perlahan. Refeks, tatapku menengadah menatap langit tak berbintang. Gelap pekat; terlihat awan menggumpal. Gerimis kecil masih berjatuhan.

“Dik Tri, dalam sebuah hadist riwayat Bukhari & Muslim, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”

“Bilakah aku menjadi sosok itu, Mbak?” retoris, tanyaku saat itu terucap sendu.

“Ya, bila saja kau punya tekad yang kuat. Lalu biarkan azzam itu menjadi bara. Jagalah bara shalihahmu agar terus menyala. Wanita yang didunianya shalihah akan menjadi cahaya bagi keluarganya, melahirkan keturunan yang baik dan jika wafat di akhirat akan menjadi bidadari****.”
ﺏﻱﺖ


Ayah & ibu, ………
Ini impianku :
ingin menjadi anak yang sholeh
Menolong ayah,
membantu ibu
Terus berbakti di negeri abadi…


O, Tuhan beri kekuatan iman….
Kepada kedua ayah dan ibuku
Kau ampunkan segala kelemahan
Senantiasa dalam bimbingan-Mu………
…******


Januari!
Awal bulan pertama dalam hitungan masehi kali ini berhasil kulewati tanpa hingar bingar. Tiada ayah di sisi. Tidak pula Mbak Eka, ibu, Mas Dwi, dan Dik Catur. Kebersamaan dengan mereka dalam satu waktu adalah kenangan yang akan selalu menyalakan bara di hatiku.
Hari ini aku pulang ke Sragen. Minggu tenang selama 7 hari sebaiknya kuhabiskan di rumah saja. Menemani Dik Catur belajar. Membantu ibu menjaga toko kelontong kami yang mulai berkembang. Usai Ujian Akhir Semester kan kutengok Mas Dwi di LP. Menyemangatinya untuk selalu berbenah.

Ya Rabb, sucikan selalu niatku
agar tiada lagi resah di jiwaku
Jaga asaku menggapai jannah-Mu
Maka : izinkan aku menyalakan bara shalihah sepanjang hayatku.

ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ ﺏﻱﺖ

Ngawi: sebuah rumah yang sangat nyaman,
02 Januari 2006 : 12.02
Kado wisuda (yang telat tapi tulus) buat masku : maafkan aku tak hadir di wisudamu. Jazakumullah khoir untuk semangat yang selalu dipompakan; terkhusus untuk Bulik Hery & 2 mujahidah kecilku : Rohmah &Nahdah.
* : gubahan sms dari Mbak Ferriya, yang menyemangatiku menyelesaikan 3 tulisan.
** : bait nasyid dari SNADA
* ** : perkataan Mr. Kobayashi pada Toto-Chan yang sering ditirukan Dek Wiwit,dkk.
**** : bait dari “Bila Waktu Tlah Berakhir” (Opics)
***** : kata-kata di E-book Islami di CD hadiah kuis dari Humas SKI FKIP UNS.
******: bait nasyid di winamp, nggak tahu siapa yang menyenandungkan.











































Monday 16 February 2009

MELIHAT DIRIKU DI SETIAP SISI1

0 comments
Dalam islam wanita tidak pernah sedikitpun dikebiri kebebasannya dalam meningkatkan kualitas dirinya untuk maju. Wanita seperti halnya lelaki diberi kebebasan dalam menuntut ilmu, bekerja (membantu suami) dll. Kita tahu Khadija, istri nabi yang memiliki kekayaan berlimpah sebagai bisnis women yang sukses. Kita tahu Aisyah, yang dengan kecerdasannya mampu menghafalkan ratusan hadits-hadits rasullullah. Dan kita tahu bagaimana seorang Syafiah turut berperang/berjihad di dalam salah satu peperangan bersama nabi. 2

Fathimah masih bertahan di depan komputer. Rasa kantuk yang datang telah coba diusirnya dengan segelas kopi tulen. Kebiasaan buruk itu memang susah dihilangkan meski sebetulnya dalam salah satu muwashofat yang harus dipenuhinya adalah tidak mengkonsumsi kopi, teh dan minuman yang tidak baik untuk kesehatan. Apa boleh buat.. gadis itu harus bertahan dan membaca sebagian files yang diwariskan oleh para pendahulunya. Ia ingin belajar dari sejarah. Bukankah belajar sejarah adalah keharusan untuk menjadi maju dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Ada pula yang mengatakan bahwa orang yang bijak adalah orang yang mau belajar dari sejarah.

Gadis 22 tahun itu menghentikan aktivitasnya begitu mendengar HP yang diletakkan di meja sebelah bergetar. Ada satu pesan masuk.

“Teruntuk U’Fathimah. Bismillah.. Ukhti, Insya 4JJi ana akan menggenapkn dien ana. Tgl 28 Okt jam 7 pgi (Akad&walimah). Mhn doa dan kehadirannya. Syukron. Wulan.”

Gadis itu tersenyum. Subhanallah! Alhamdulillah! Berulang-ulang tasbih dan tahmid pun terlantunkan dalam hatinya. Teman ngajinya masa SMA satu demi satu menggenapkan diennya.
Kapan giliranku?

Tanya itu kemudian ditepisnya. Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan. Ia ingin ketika masa itu tiba ia telah benar-benar siap. Baginya menikah adalah rekayasa dakwah, bukan lintasan keinginan yang harus dituruti. Emangnya seperti buat mie instant? Gadis itu lagi-lagi tersenyum. Fragmen-fragmen yang berserakan yang telah dilaluinya pun hadir menyapa; menghentikan aktivitasnya beberapa waktu.

SEPENGGAL FRAGMEN SEORANG ‘MBAK’

“‘Wanita yg baik adl utk laki2 yg baik & laki2 yg baik adl utk wanita yg baik2’. Mba’ ukuran wanita baik2 tu seperti apa?& bagaimana? Aq bingung, apa ya hrs pake kerudung/jilbab besar? Af1 ganggu”

Malam itu HP sengaja tidak kuaktifkan. Rasanya tiap SMS yang masuk, membuatku semakin tertekan. Biasa, kalo’ lagi stress tiap bunyi dari ‘kotak unyil’ itu terdengar berisik dan mengusik ketenangan yang beberapa hari terakhir ini tak kutemukan. Esoknya ketika HP kembali aktif, beruntun SMS masuk memenuhi inbox. Salah satunya berisi pertanyaan Ika, salah satu adik binaanku. Pertanyaan yang cukup menarik, yang menurutku wajar ditanyakan oleh seorang gadis yang mulai menginjak usia dewasa.

Astaghfirullah!

Beberapa kali kulantunkan istighfar, teringat janji untuk siap dihubungi kapan saja.


“Pokoknya kalo’ ada permasalahan hubungi mbak. Kapan saja, Insya ALLAH online 24 jam.”

“Boleh free talk, dong Mbak?”

Aku tersenyum dan mengangguk, “Kalo’ nggak diangkat berarti nggak dengar.”

Ya! Ternyata aku nggak bisa memenuhi janji apalagi kalau pulsa lagi kosong.. Free talk sih Oke, tapi kalo’ SMS? Nggak bisa ngasih a good service, dong! Tapi Alhamdulillah, sebagian telah mengerti. Semacam kesepakatan nggak tertulis:kalau nggak membalas SMS artinya nggak punya pulsa.

Namun yang terjadi sekarang: aku telat membalas SMS bukan karena pulsa. Aku sedang tidak ingin dihubungi oleh siapapun. Hmh… something wrong with my hearth. Biasa sedang banyak deadline. Astaghfirullah. Aku harus ber-istighfar dengan benar.

Kubaca SMS itu sekali lagi. Beberapa kali aku tertegun, mencoba mencerna kembali pertanyaan itu. Kata-kata yang sebenarnya lebih tepat untuk kumamah kembali. Sebab menjadi wanita yang baik memerlukan proses dan tidak bisa dicapai dalam sekejab. Aku jadi teringat lembar kajian muslimah yang kususun waktu masih di keputrian Rohis SMU. Dari beberapa buku rujukan, disebutkan kriteria tentang wanita yang baik (baca: shalihah). Kriteria yang cukup singkat tapi masih memerlukan banyak penjabaran. Tiga diantaranya, yang sampai saat ini masih kuingat, adalah wanita wanita yang taat kepada Allah, yang taat pada Rasulullah, dan berjihad di jalan-NYA.

Aku tak menemukan kata-kata yang tepat untuk mendefinisikan wanita yang baik. Apalagi via SMS. Akhirnya aku mengirimi Ika beberapa kalimat yang kuketik dengan ‘kotak unyil’ku.

“Jangan jadikan ukuran kerudung sebagai parameter. Sebab itu hanya penampakan dzahir saja, De’. Ukuran besar kecilnya kerudung tidak selalu berbanding lurus dengan keimanan seorang muslimah. Yang penting menutup aurat dengan baik. Ngerti maksud, mbak, kan?”

“Lantas tentang laki-laki yang baik, Mbak?”

What? Apa maksud adikku.
“Mbak jelaskan pada pertemuan rutin kita, ya!,”


SEPENGGAL FRAGMEN SEORANG UKHTI FSLDK
“Apa kabar Jarmus FSLDK? Hari ini ada syuting jam 14.00. Agenda: evaluasi tim jilbab nas, PPM, dan JKD.”

SMS dari Uni Agustiba Zahara, Koordinator Komisi C FSLDK3, mengingatkanku bahwa hari ini ada syuro’ chatting (syuting). Rasa bersalah kembali hadir, lagi-lagi aku tidak bisa ikut. Jam dua aku masih ada kuliah sampai Ashar. Untuk kesekian kali aku mem-forward SMS itu ke Mbak Anis, berharap ia bisa hadir dalam syuro’ di dunia cyber. Ya! Bagaimanapun chatting adalah alternatif yang yang paling efektif untuk melakukan koordinasi dengan teman-teman antar wilayah di Indonesia.

Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) merupakan salah satu bentuk komunikasi dakwah yang berfungsi sebagai sarana terciptanya gerak dakwah yang teratur, terpadu, kompak saling menguatkan laksana bangunan yang kokoh menuju terbentuknya ummatan wahidah4. Di dalamnya terdapat tiga komisi, dan aku lebih sering berada di komisi C, nama lain dari komisi Jaringan Muslimah. Ada beberapa progam kerja terkait dengan kebutuhan dan isu-isu kemuslimahan yang berkembang. Selain isu jilbab, pornografi dan pornoaksi, Pengembangan Potensi Muslimah (PPM) menjadi agenda yang dievaluasi hampir setiap syuro’.

PPM merupakan sebuah program yang berfungsi untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh muslimah sehingga dapat memperlancar aktifitas LDK di kampus dan untuk lebih mengoptimalkan peran muslimah sebagai aktifis dakwah. Hasil akhirnya nanti adalah untuk membuat standarisasi konsep keputrian LDK.

Hmh,.. PPM! Mengeja tiga huruf itu akan mengingatkanku pada training PPM yang sempat kuikuti di Padang akhir bulan Maret yang lalu. Sayangnya, sampai sekarang Buku PPM belum bisa dilaunchingkan. Jarmusnas masih menunggu masukan dari BP-BP5 yang lain. Masukan dari UNS sudah kusampaikan langsung ke Uni Agus.

Tanpa sadar kusenandungkan mars muslimah yang pernah dibawakan para kabid Nisaa’ fakultas-fakultas yang ada Unand:

Dengarlah wahai muslimah
Janganlah pernah menyerah
Berjuang….Fii sabilillah
Muslimah benteng kebenaran
Nan selalu rindu kejayaan
Muslimah pewaris tahta nan gemilang
Pendidik generasi yang cemerlang…..

(Mars Muslimah Universitas Andalas, Padang).

Semenjak Pusat Komunikasi Nasional (Puskomnas), yang dulu dipegang UNS, berpindah ke Unand dan UNS menjadi BP belum banyak progress report dari kinerja yang ada. Tinggal setahun lagi amanah puskomnas ini akan berpindah tangan. Dan dalam hitungan waktu yang sudah lebih setahun aku belum bisa memberikan kontribusi apa-apa. Astaghfirullah!


SEPENGGAL FRAGMEN SEORANG CALON PENDIDIK


Beberapa kali aku tertegun ketika mendengar seorang ummahat bercerita tentang kehidupan rumah tangga. Aku merasa tersindir, seolah-olah taushiyah beliau memang sengaja diberikan kepada orang-orang yang lebih sering berpikir pragmatis sepertiku.

MUSLIMAH TANGGUH! Begitulah aku memberi judul atas rangkaian kata yang beliau susun untuk para gadis lajang yang beberapa di antaranya sudah hampir diwisuda. Intinya: seorang muslimah memang membutuhkan banyak bekal yang cukup untuk kehidupannya yang akan semakin penuh dengan nuansa pelangi. Aku mengangguk dalam diam ketika umi (begitu aku dan teman-teman memanggilnya) bertutur tentang berbagai bekal yang harus dimiliki oleh muslimah, khususnya muslimah yang da’iyah, sebelum menghadapi kehidupan pasca pernikahan.

Ternyata materi tarbiyatul aulad yang selama ini kudapatkan masih belum cukup. Aku memang masih harus banyak belajar untuk menjadi seorang pendidik. Aku jadi teringat SMS dari seorang kakak tingkat yang dikirim ketika aku benar-benar tidak bersemangat menghadapi anak-anak SMP yang kuajar saat PPL.

“Bknny menglng kslahan, siklus hidup adl prss bljr & prss bljr adl manifestasi ibadah seorg muslim & qt akn mdptkn hsil ssnggny stlh maut mjmpt, ktk kubur dilpngkn smp 70 hsta, ktk dplihtkn pntu surga yg akn qt tmpt klak dipadi&sore hr. Dan 1 hal yg prlu qt syukuri, qt saat ni msh dbri ksmptn u bljr, bljr, & bljr smp liang lahat. Tdk smua org mdptkn ksmptn ini, sxpun qt mnggp seolah2 qt org tbodoh di dunia. Niat lurus, nkmti hdp:pkkny apapun yg tjd shw mst go on, nvr give up. Smg 4jji br kmdhn.”

Bagaimanapun seorang wanita, jika ALLAH mengizinkan, adalah seorang pendidik meskipun tidak semuanya menjadi guru di sekolah formal. Dari rahimnyalah kelak akan lahir generasi baru. Di tanganlah pertama kali seorang anak belajar. Jadi tak ada alasan sedikit pun untukku berhenti mencari bekal untuk kehidupan di masa mendatang.

Pernikahan memang indah namun kehidupan pasca pernikahan-lah yang harus lebih dipersiapkan.
ﺏﻱﺖﻱ@F

Wulan…Wulan… berbahagialah. Semoga ALLAH anugerahkan lelaki berhati cahaya sebagai pendamping hidupmu.

Berpikir tentang menikah selalu membuat fantasi Fathimah ke mana-mana. Ia selalu mengkaitkannya dengan posisi wanita di kehidupan selanjutnya.

Menyelami dunia wanita tiada kan ada ujungnya. Sungguh harusnya aku bersyukur ditakdirkan menjadi wanita meski terkadang aku tak mengerti kenapa eksistensiku pun selalu tak jauh dari dunia wanita; di Rohis SMA aku masuk di divisi keputrian, di LDK masuk Bidang Nisaa’, di FS bagian Jarmus, dan baru-baru ini ‘dipaksa’ menjadi bagian dari ‘English Sisters’.

Fathimah pun kembali ke alam nyata. Fragmen-fragmen yang sempat terlintas membuatnya berkaca. Membuatnya merasa tersadar bahwa begitu berat tugas yang diembannya sebagai seorang wanita. Namun bukankah ALLAH menjanjikan keindahan yang lebih di akhirat jika ia ikhlas melaksanakan semua kewajiban yang dibebankan padanya? Perlahan dibacanya kembali tulisan yang ada di layar komputernya. Tulisan yang membahas tentang wanita.

Islam ingin memuliakan wanita menjadi wanita yang aktif yang berinteraksi dengan realita baru,berpartisipasi dalam memeliharanya dan ikut aktif dalam pengembangannya menuju universilitas islam. Ajaran islam yang berkaitan dengan wanita ditujukan untuk mencetak wanita haraki yang aktif dalam pembinaan diri, keluarga, pekerjaan dan masyarakatnya.bila ia mampu menjadi wanita yang aktif lagi positif,wanita baru akan merasakan nilai dari kedudukannya yang hakiki sebagai wanita

Sosok itulah yang seharusnya ada dalam diri kita (akhwat) wanita yang memilki kekhasan yang menjadi dirimya “luar biasa”di mata Allah dan mulia juga di mata sesamanya.yaitu:
Wanita yang memilki kepribadian yang kuat,berani dan percaya diri, berpikir rasional, sistematis, memilki kemempuan intelektual dalam megkritik,mengevaluasi,membangun,menentang dan memilih serta mandiri

Untuk itu saudariku kita dalam proses menuju ke sana dan hal ini harus dimulai dari sekarang dan satukan semua tekad dan optimalkan potensi diri, ambillah bagian dalam barisan para syuhada ALLAHU AKHBAR.. 6


ALLAHU AKBAR! Refleks, gadis itu pun bertakbir usai membaca paragraf terakhir. Ada semangat yang kini membara di jiwanya. Semangat untuk membuat bidadari-bidadari surga cemburu padanya. Sepenggal hadits yang dijadikan pelecut semangat kini diingatnya.

“…wahai Rasulullah, manakah yang lebih baik antara wanita-wanita dunia dengan bidadari bermata jeli? Jawab Rasulullah Saw., wanita-wanita dunia lebih baik daripada bidadari-bidadari bermata jeli sebagaimana bagian luar lebih baik daripada bagian dalam. Mereka lebih baik karena sholatnya, puasanya, dan ibadahnya kepada ALLAH SWT….” (HR. AThabrani)

F@, 25 Oktober 2006:20.24
Special 4: Retno Wulandari, Heni Marina & Hannah Kuswara Nova!Luv u all!

FOOTNOTES:
1 : terinspirasi dari bait-bait Harmoni Voice
Aku bersimpuh di hadapan ALLAH/ Kusujudkan wajahku pada debu-NYA/ Menohon aku agar diridhoi-NYA/ Melihat diriku di setiap sisi/ Agar kutemukan kesejatian/ dan mengerti akan arti kehidupan.
2 : paragraf kedua dari Artikel “EUPHORIA, DISTORSI FEMINISME” yang ditulis Yanti Rahim, saya temukan di antara file “LOKOMOTIF FSLDK” yang dicopy dari FKI Rabbani, Universitas Andalas, Padang
3 : FSLDK=Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus; jaringan Lembaga Dakwah Kampus nasional. Dari hasil FSLDKN XIII di Samarinda, mengamanahi FKI RABBANI UNAND PADANG sebagai puskomnas periode 2005-2007
4 : pengertia FSLDK dari artikel “FSLDKN, MATA RANTAI PERJUANGANPEMUDA MENUJU INDONESIA BARU” yang ditulis oleh Dimas Bayu Susanto, anggota Puskomnas JN UKMI UNS periode 2002-2005
5 BP : Badan Pekerja Puskomnas; berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari puskomnas untuk lebih memudahkan komunikasi dengan puskomda-puskomda yang berada dibawahnya. UNS adalah 1 diantaranya BP yang ditunjuk oleh Puskomnas, sebagai pendamping untuk wilayah Indonesia timur.
6 : empat paragraf terakhir dari artikel yang sama dengan footnotes ke-2

MELATI MEWANGI HATI

1 comments
Ibu kulo nyuwun arto
Ing njawi wonten kere
Kere lumpuh lan wuto
Sambat ngelak lan luwe

Iki angger wenehno
Sega iwak lan banyu
Kerene kandanono
Kongkon rene saben minggu


ENTAH mengapa bayangan nenek selalu berkelebat di hadapannya tiap kali ia melewati bolevard kampus hijaunya. Bahkan ia pun tak mengerti mengapa telinganya seolah menangkap tembang yang seringkali dinyanyikan bersama ibu di masa kecilnya. Kenangan manis itu menyapanya tanpa diminta, membuatnya terpaku sejenak. Kemudian baik dengan lapang dada atau pun terpaksa ia akan merogoh saku tasnya lalu mengambil beberapa koin logam. Sebentuk senyumnya akan mengembang beriringan dengan perpindahan beberapa koin logam ke topi caping yang diletakkan tepat di hadapan perempuan-perempuan tua yang selalu duduk di trotoar jalan hampir setiap waktu dhuha.

Sedikitnya ada tiga orang perempuan tua yang menengadahkan tangan, menampakkan wajah penuh harap akan belas kasihan para pejalan kaki yang berjalan menuju ke bagian dalam kampus. Dan ia adalah salah seorang yang tak pernah tidak memperhatikan para perempuan tua seumur neneknya.

Bagaimana mungkin aku membiarkan nenek itu berhampa tangan sedang Ibu selalu membekaliku uang berlebih setiap aku berangkat dari rumah. Sisi batinnya selalu memprotes rasa jemu yang kadang hinggap dan mengeruhkan dzonnya. Kadang hatinya mengatai mereka sebagai orang-orang malas yang senang menggantungkan nasib pada orang lain. Kadang ia pun jengkel mendengar rengekan yang sangat dihapalnya, “Den Ayu, kula nyuwun paring-paring.”

Tapi toh ia akan tetap memberi mereka tidak kurang dari dua ratus rupiah per orang. Kalkulasi matematika atas sejumlah uangnya yang begitu saja berpindah tangan tak pernah diingatnya. Karena memang ia menyadari bahwa dalam setiap harta yang dimilikinya ada bagian untuk orang lain. Tiada pilihan selain melafalkan istighfar yang akan mengembalikan ikhlasun niatnya. Bukankah ia sudah bertekad untuk berbagi dengan siapa saja yang memerlukan baik diminta maupun tidak?

“Nduk, bagaimana perasaanmu jika kau ada dalam posisi mereka?” pertanyaan retoris Ibu membuat dadanya lapang dan ia akan sekuat tenaga menyingkirkan prasangka yang mengganggu benaknya.

“Analogikan saja mereka dengan dirimu yang selalu menengadahkan tangan pada Ibu tiap pekan!” Nasehat yang dinilainya sangat bijak. Mengingatnya sama halnya dengan memutar kenangan masa kanak-kanaknya. Begitu mulia apa pernah yang diteladankan ibu kepadanya.

“Bu, Min Gesot datang!” lapornya jika pengemis ‘langganan’nya telah nampak di pelataran rumahnya dengan pakaian compang-camping plus wajah memelas. Rutinitas yang menghiasi hari minggu masa kanak-kanaknya membuatnya senang menyanyikan lagu tentang kere yang datang ke rumahnya karena lapar dan haus.

Ibu kulo nyuwun arto
Ing njawi wonten kere
Kere lumpuh lan wuto
Sambat ngelak lan luwe

Iki angger wenehno
Sega iwak lan banyu
Kerene kandanono
Kongkon rene saben minggu


Ibu akan tersenyum, memberinya bungkusan nasi dan plastik berisi air putih. Dan seperti yang diajarkan ibu di hari-hari sebelumnya ia segera membawa bungkusan itu lalu menyerahkannya pada pengemis dengan wajah ceria. Ibu pernah menasehatinya; bahwa tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Ia tak mengerti. Baru setelah duduk di bangku SD dan belajar peribahasa, ia mulai belajar mencerna kebenaran dari nasehat ibu; bahwa memberi itu lebih baik daripada menerima.



“Yas, kamu ada uang?” bisik Vika, teman sekosnya usai sholat duhur.

Ia hanya tersenyum. Vika masih berhutang sepuluh ribu rupiah. Jika ia mau meminjam kepadaku lagi berarti rencanaku untuk membeli buku Agar Bidadari Cemburu Padamu-nya Salim A.Fillah akan tertunda lagi. Ia membantin. Angin yang menerobos dengan leluasa ke Masjid Nurul Huda tak mampu menularkan kedamaian. Ada bimbang yang berkecamuk di hatinya. Penting mana antara membeli buku atau menolong teman? Itsar, Yas! Ia berusaha untuk menepis keegoaannya.

“Yasmin!” Vika mengeraskan suaranya.

“Eh...i ya..i ya.... kenapa Vik?” Ia tergagap.

“Aku lupa bawa uang. Padahal harus membayar uang fotokopian ke Ayu. Kamu bisa tolong aku, nggak? Please deh...Yas! Insya Allah besok aku kembalikan.”

“Berapa?” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutnya.

“Dua puluh ribu. Kamu punya, nggak?”

“Aku hanya bawa uang sepuluh ribu. Kekurangannya pinjam teman yang lain ya! Afwan, aku harus ke kampus sekarang. Ada kuliah . Yuk, assalamu’alaikum.” Ia menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan pada Vika. Dengan terburu-buru ia segera menuruni tangga masjid dan membawa langkahnya menuju kampus yang hanya berjarak beberapa meter dari masjid Nurul Huda. Tapi baru beberapa langkah dari pintu masjid, Ivan, seorang bocah usia lima tahunan telah menantinya.

“Mbak, minta uangnya untuk beli nasi!” rengekan yang sangat dihapalnya. Hm...selalu begitu. Dan kali ini ia tidak berkomentar apa-apa. Biasanya ia akan menasehati bocah kecil itu dengan beberapa kalimat tapi kali ini ia hanya berlalu dengan kesedihan yang mendalam. Siapa orang tua bocah kecil itu? Siapa yang mengajarinya untuk ‘bekerja’ di kompleks masjid kampus? Ia hanya mengeluh dengan pertanyaan yang masih juga sama dengan hari-hari kemarin.



Di sepanjang jalan, di sela-sela kota, kulihat tangan tengadah
Wajah lelah resah, tubuh lusuh berpeluh, menunggu para penderma
Jalan hidup tlah meredup, ujian dari Allah
Ladang cinta sang penderma, Sbagian tanda taqwa


Balada Dhu’afa dari Mupla mengalun lirih di kamar kosnya yang sempit. Diletakkannya diktat kuliah yang belum juga sempat dibacanya. Bayangan Min Gesot yang datang ke rumahnya dengan pakaian compang-camping kembali mengusiknya. Di mana rasa empati yang pernah diinternalisasikan dalam jiwanya? Di mana kepedulian yang dulu mewarnai hari-harinya? Di mana tekadnya untuk senantiasa memberi, baik dalam keadaan ringan atau berat.

“Nduk, kamu tahu kenapa Ibu memberimu nama Yasmin Rizki Ramadhani?”
Ia menggeleng ketika tiba-tiba ibu menyodori pertanyaan tentang sejarah nama uniknya.

“Yasmin itu melati. Bapak suka sekali dengan bunga itu karena meski kecil dan kadang tersembunyi tapi wanginya mampu mengikat hati. Putihnya suci dan nggak menyolok hingga tak pernah membuat jemu orang yang memandangnnya. Rizki Ramadhani karena kau lahir di bulan Ramadhan.”

Hm...nama yang cantik sekali. Pasti bapak orang yang romantis. Pikirnya sederhana.
“Kau tahu, Nduk, nama adalah do’a. Ibu dan bapak berharap kau mampu menjadi seperti melati.”
Astaghfirullah! Tiba-tiba rasa bersalah memenuhi ruang hatinya. Akankah ia mampu untuk mewujudkan pencitraan melati pada dirinya? Akankah ia mampu mencerna kata-kata yang sering diberikan pada adik-adik asistensinya? Bahwa sebaik-baik mukmin adalah yang paling bermanfaat bagi lingkungannya.

“Setiap muslim adalah bersaudara Ibarat tubuh, kita adalah satu. Jika ada satu bagian saja yang sakit yang lain ikut merasakan.” Kalimat yang diucapkannya sebagai prolog waktu menasehati adik tingkatnya yang cenderung apatis dalam setiap masalah di LDK kembali terngiang.

Mengapa kau mengatakan apa yang tidak kamu perbuat, Yasmin?
Ia menyudutkan dirinya sendiri. Ternyata teori tentang ukhuwah yang sering diagung-kannya masih sangat sempit dalam pemahamannya. Ia hanya berpikir, bagaimana mengaplikasikan teori itu sebatas pada orang-orang yang dicintainya? Setiap muslim adalah bersaudara. Meski tidak saling mengenal. Jadi selama ini aku belum mampu memenuhi hak saudara-saudaraku. Kesimpulan yang sungguh dengan terpaksa tak dibantahnya.



Ketika diriku bercermin di kaca akau jadi malu
Melihat bayangan yang berjilbab putih itulah diriku
Tapi nyatanya hati dan tingkah lakuku
Belum sesuai dengan pakaianku.....


Tanpa sadar bibirnya menyenandungkan bait nasyid dari Bestari yang dihapalnya bersama teman-teman masa SMP-nya. Seperti hari-hari yang lain, ia mengenakan jilbab warna putih. Ia tampak bahagia hari ini. Mungkin efek dari supplai energi mabiru yang diikutinya semalam.
Hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berjuang menjadi seputih melati. Menghilangkan segala tuntutannya untuk diperhatikan. Ia berjanji untuk menjadi muslimah yang baik, yang mampu memberi manfaat bagi siapapun. Ia berjanji untuk lebih peka terhadap lingkungan. Ia berjanji untuk membumikan teori tentang ukhuwah yang telah dipelajari sejak ia masih kelas tiga SMP.

“Yas, mau berangkat ke kampus lagi, ya?” Pertanyaan Vika sedikit mengejutkannya. Ia melirik sahabatnya dari cermin.

“I ya, Vik. Abis kuliah nanti aku langsung pulang ke rumah lho... Insya Allah Senin pagi aku kembali ke sini.”

“Pulang lagi? Apa nggak capek?”

“Kamu mau ikut?” tawarnya tulus.

“Hm..lain kali aja. Tugasku menumpuk. Jangan lupa bawa oleh-oleh ya!”
“Insya Allah.” Jawabnya serius.


Tresno iki dudu mung dolanan
Kabeh mau amargo kahanan
Sing tak jaluk amung kesabaran
Mogo Gusti paring kesempatan


Ia tersenyum mendengar suara bocah usia SD yang berdiri tak jauh dari joknya. Kenapa bocah ingusan juga senang dengan lagu campur sari macam itu? Wajahnya seketika berubah. Kasihan sekali .bocah itu. Ya Allah....berikan kasih sayang dan cinta-Mu kepadanya. Ia berdoa tulus. Lalu bunga-bunga empati yang dikejawantahkan melalui kepingan koin lima ratusan pun diberikannya.

Bus Sumber Kencono jurusan Jogja-Surabaya melaju cepat. Sampai di daerah Pilang Sari, Sragen, bus berhenti menurunkan beberapa penumpang dan mengganti- kannya dengan penumpang baru plus pedagang asongan.

“Buah...buah.” seorang ibu menawarkan dagangannya.
Ia segera menyiapkan selembar uang bergambar Kapitan Pattimura.

“Buahnya...Mbak. Semangka, nanas, melon...”

“Melon Bu’, kaleh.” Ia ingat Mbah Putri yang kadang kesulitan mencari buah untuk menurunkan darah tingginya. Dan bukankah melon adalah salah satu buah ‘favorit’ Mbah Putrinya?

“Buahnya...Mas! Semangka, nanas, melon, kates, bengkoang, jeruk....”
Diperhatikannya sejenak ibu penjual buah yang berusaha menjaga keseimbangan. Ia berpindah dari bus demi bus untuk menawarkan dagangannya. Subhanallah. Betapa kerasnya kehidupan ini hingga seorang ibu pun turut membanting tulang demi menghidupi diri dan mungkin anak-anak yang dicintai. Ya...Allah ampuni aku bila selama ini kurang menghargai tiap tetesan keringat kedua orang tuaku. Batinnya bergemuruh...kemudian air yang menggenang di pelupuk matanya terasa begitu panas.

Bus Sumber Kencono masih melaju kencang. Ia mencoba memperbaiki posisi duduknya. Disandarkan tubuh letihnya pada sandaran jok. Ia mencoba untuk menikmati perjalanannya dengan memejamkan mata. Jarak Sragen-Ngawi tinggal beberapa kilometer. Bayangan Ibu di rumah yang menunggu kedatangannya terlihat begitu jelas. Bait-bait yang disenandungkan Salsabila Rafflesia tiba-tiba terngiang di telinganya.

Hari demi hari dilalui
Isak tangis terkadang menyayat hati
Namun ia tetap tabahkan diri
Moga syurga kan selalu menanti
Derita demi derita
Dilaluinya dengan tabah
Tak pernah ia rasakan lelah
Demi untuk membesarkan kita semua



“Ukhuwah itu degup penuh makna yang m’ngalir indah b’sama darah b’awankan ketsiqohan m’nembus kuras prasangka dlm hati”

U-khu-wah! Ia mengeja kata itu berkali-kali. SMS dari kakak kelas SMA yang kini kuliah di Surabaya itu coba dipahaminya. Ukhuwah itu indah. Ya betul, ukhuwah itu indah. Paling tidak, jalinan yang terjaga atas nama cinta karena-NYA itu mampu membuatnya percaya bahwa keindahan itu memang ada dan akan terus tumbuh tanpa tendensi apa-apa. Ia adalah salah satu di antara orang yang merasa beruntung karena ‘dibesarkan’ dalam media tumbuh yang sehat. Ya, ukhuwah memang ada karena kasih sayang-Nya.

Betapa ia tak pernah memungkiri bahwa dalam bingkai ukhuwah ia mampu belajar banyak hal. Cinta, perhatian, dan kasih sayang mungkin adalah hal yang biasa ia temukan. Dalam bingkai ukhuwah ia pun menjadi mengerti; bagaimana cara memanagemen hati agar senantiasa lapang menerima segala kenyataan yang kadang di luar perkiraan; bagaimana menyampaikan kritik agar tidak tidak menjadi sayatan yang menyakitkan; bagaimana cara bersikap itsar dan memenuhi hak-hak saudara sebagai sesama muslim.

Hm...ukhuwah itu indah. Sungguh! Tanpa ukhuwah, mungkin ia sudah tercebur dalam dunia kelam. Secuil perhatian dari saudara-saudaranya yang jauh di seberang adalah pompa semangat yang membuatnya tetap optimistis memandang masa depan. Ketika ia merasa putus asa, seringkali Allah menegurnya via taushiyah seorang ikhwah. Ada haru yang segera membuatnya tersadar bahwa masih banyak orang yang menerima ujian yang lebih berat. Kemudian ia pun kembali yakin bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan.

Ukhuwah itu indah! Ia pun bertekad untuk membagi keindahannya dengan siapa saja. Dengan para anak jalanan; pengamen, pedagang asongan dan saudara yang belum dikenalnya. Ia ingin merasakan segala suka duka yang mewarnai hari-hari mereka di sepanjang jalan.
Ukhuwah itu indah. Maka di pertengahan Sya’ban ini pun ia tlah menyiapkan kado untuk kaum dhu’afa yang sering dijumpainya. Meski mungkin kecil, ia tlah menyisihkan uang sakunya demi sembako yang akan diberikannya pada beberapa orang yang secara tidak sengaja mengajarkannya makna perjuangan. Ya, mereka adalah para ibu yang sering dilihatnya menyapu dan membersihkan kawasan Kampus Hijaunya.

Ukhuwah itu indah. Itulah mengapa ia dan teman-teman kampusnya akan menggelar baksos di kawasan kritis yang menjadi target pemurtadan. Ia dan teman-temannya akan berjuang untuk menyelamatkan akidah yang tergadai karena kemiskinan.

Ukhuwah itu indah! Karenanya ia ingin membiaskan keyakinan kepada setiap orang yang merasa terbebani oleh ujian hidup dengan kata-kata yang pernah dihadiahkan seorang ikhwah,

“Sbnrnya ktk 4JJI mmbr mslh, itu a/ bukti cinta-NYA pd hamba-NYA. Mk jk qta ttp huznudzon, Isy a/ byk hal yg akn qta dpt. KEIMANN, KSBRN, KDWSAAN, & KECINTAAN-NYA. Hny pd 4JJI qta bsrh dr.” 
.Ukhuwah itu indah! Ingin sekali ia membisikkan kata itu kepada siapa saja yang ditemuinya.



Tiada kata indah seindah kata ukhuwah
Dalam sebuah jalinan persaudaraan Islam
Jalinan abadi di sisi Tuhan
Berawal dari sebuah perkenalan


UKHUWAH dari Suara Persaudaraan mengalun lirih di kamar kos Yasmin. Gadis 20 tahun itu mengenakan jilbab putih berbodir bunga sederhana. Senandung tentang Ukhuwah dari SP kini membuatnya mencium wangi melati. Yasmin ingin memiliki kesucian dari kuntum-kuntum mungilnya. Ingin benar ia segera membagi rizki yang dimilikinya di bulan ramadhan ini. Ya! Agar melati mewangi hati di syahrul tarbiyah ini. 


Ngawi, 2 Oktober 2004:11.22
Bingkisan buat Bundaku di Villa Gerih Permai
Seputih Cintaku yg mewarna melati ‘tuk Ivan Cs dan API di bus Jurusan Surabaya-Jogja
Untuk teman-teman di SIMPATI : yo yo ayo’ terus nulis tapi jangan lupa baca baca & baca
To : Mbak En & A’Hendra : Jazakumullah atas  &nya.

KADO-KADO Ke-15

0 comments


”Wah jubahnya bagus lho, Bu! Makin cantik aja ! “ Aku mengomentari penampilan ibu yang sore ini lain dari biasanya.

“ I ya, benar ya, Na! apalagi kalo’ ditambah jilbab biru dongker yang dibelikan Budhe Dyah sepulang dari Mekkah kemarin,” sambung Mas Doni sambil tersenyum nakal.

“Sekalian pake penutup muka biar kaya’ ninja hatori. Oalah..mau jadi apa ibu nanti. Kalian tahu kan yen ibu ndak suka dengan penampilan yang ribet dan ndak praktis seperti itu. Makanya Na, kowe ojo terpengaruh dengan mereka. Bisa-bisa kamu terpengaruh alirannya. Aliran sesat, Nduk!” Ibu menanggapi gurauan kami dengan muka masam.

Aku dan Mas Doni hanya bisa bertemu pandang dengan senyum kesepakatan. Kesepakatan untuk menggoda ibu maksudnya. Eh...nggak nding kesepakatan untuk menggurauinya aja.

“Pokoknya, kowe rasah nganggo jilbab. Wis ngono kuwi wae. Ibu lebih suka kalo’ kamu berpenampilan wajar. Seperti layaknya manusia.”

“Apa? Ibu menganggap para jilbaber itu bukan manusia?!”
Astaghfirullah! Aku prihatin dengan pendapat ibu. Bahkan tak pernah kusangka kalau ternyata ibu sangat phobia dengan jilbab.

“Bu, Dona sudah besar. Dan kalau toh memang ingin segera berjilbab bukankah itu adalah pilihan yang harusnya kita dukung. Karena adalah suatu kewajiban bagi tiap muslimah yang sudah baliq untuk menutup semua tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan.” Mas Doni mencoba untuk memberi penjelasan kepada ibu dengan hati-hati takut disangka bermaksud menggurui.

“Siapa yang bilang begitu, Don? Ustadz kamu, ya? Mbok yo kowe iki ojo sok keminter tho...Le! Baru ngaji kemarin aja sudah berani bilang yang enggak-enggak. Mbok..ya kamu jangan ikutan fanatik begitu. Coba kamu lihat Pak Ibnu dan guru-guru agama yang lain. Mereka pandai tentang Islam, pengetahuannya banyak, bacaan Qur’an-nya juga bagus, mereka juga sering jadi khotib dan sering diundang untuk ngisi pengajian dan resepsi pernikahan tapi toh mereka tetap bersikap moderat. Mereka nggak menuntut istrinya untuk berjilbab. Buktinya rata-rata istri mereka hanya berjilbab kalau pas ada pengajian dan kadang di resepsi pernikahan.”

Mulut Mas Doni terbungkam mendengar penuturan ibu. Aku pun demikian adanya. Kami belum tahu cara apalagi yang akan kami pakai agar ibu mau menerima kebenaran yang tlah kami yakini; bahwa berjilbab adalah kewajiban bagi muslimah yang sudah baligh sepertiku.

“Don, Na, manusia hidup itu yang penting kelakuannya bukan penampilannya. Yang penting kalian sopan dan tahu tata karma. Penampilan tidak menjamin kuat lemahnya keimanan seseorang. Kalian mau bukti?” Seperti biasa ibu mencoba memancing kami untuk mengukuhkan ‘kemenangan’ dari argumennya.

“Kamu kenal Meli, kan? Sudah dua tahun ini memakai jilbab. Tapi masih suka jalan bareng dengan anak laki. Berjilbab tapi bajunya ketat. Dan sekarang kalian pun tahu apa akibatnya, Meli dikeluarkan dari SMAnya karena ketahuan hamil. Dengan siapa pun..masih belum jelas karena dia tu suka sekali gonta-ganti pacar.”

Ibu mengambil jeda sejenak demi melihat reaksi kami, “Yang penting kalian sopan dan jadi anak yang berbakti, ibu sudah senang.”

Mas Doni mencoba tersenyum. Lalu diilihatnya jam dinding tua yang terpasang di ruang tengah ini seolah ingin segera mengakhiri pembicaraan yang tak kunjung mencapai titik temu.
“Bu, Doni mau ke Baiturrrahman dulu, ada janji dengan teman-teman. Kapan-kapan bisa kita lanjutkan pembicaraan ini dengan topik yang sama”

“Rapat lagi? Atau kajian...?” Introgasi singkat ibu hanya dibalas dengan senyuman. Dan wajah ibu pun kembali seperti sedia kala. Padam sudah emosi yang sempat menyala. Aku bisa bernapas lega.

“Eh..Don..anter ibu dulu, ya! Kamu mau, kan? Ibu mau arisan ke tempat Bu Surti. Rumahnya sebelah utara Masjid Baiturrahman, kok!”

Mas Doni mengangguk.

“Na, jangan lupa siapkan hidangan untuk berbuka Masmu, ya! Ibu mungkin sampai rumah agak malam soalnya mau njenguk Bu Titi di RS Widodo bareng ibu-ibu yang ikut arisan. Jangan lupa tutup pintu begitu ibu dan masmu keluar. Dan satu lagi : jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa telepon masmu di hp!”

Hampir selalu begitu. Pesan yang 2panjang+2lebar alias berkeliling itu akan ditinggalkan untukku seolah aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan kalau tinggal di rumah sendirian. Over protetective benar ibuku.

“See you again, Honey! Assalamu’alaikum” Mas Doni melambaikan tangan padaku.

“Alaikumussalam Mas. TitiDi J ya..”

“Apa?”

“Hati-hati di jalan” jawabku sedikit berteriak.

Beberapa saat kupandangi hujan rintik-rintik di luar di sela-sela pandang melepas kepergian ibu dan kakak semata wayangku. Setelah Kijang yang menyimpan banyak kenanganku dengan Ayah itu hilang ditelan tikungan segera kututup pintu dan menguncinya.

Aku terpaku sejenak dalam bimbang. Ya Allah bukalah pintu hati ibuku agar aku diizinkan untuk segera menunaikan kewajibanku. Seindah pintu hidayah yang terbuka melalui Mas Doni, kini pendirianku mulai berangsur tetap.


Ingat wahai adikku
tuk menghormati ayah ibu
mereka tlah berjasa membesarkan kita semua....
saat kau berdoa doakan pula mereka
saat kau bahagia bahagiakan mereka


Lirih kusandungkan bait nasyid dari Harmoni Voice sambil memandang bunga flamboyan yang menghiasi taman halaman SLTPku. Mas Doni sering mengeraskan tapenya kalo’ aku keasyikan nonton TV di ruang tengah.

“Pagi Dona! Assalamu’alaikum. Lho..kok murung. Ada masalah apa?”

Aku menggeleng ketika Wulan menegurku.

“Cantik sekali..!” aku bergumam ketika sosok berjilbab itu mendekatiku.

“Apa?” seolah ia tak mendengarkanku.

“Ngggak.. pa-pa kok. Hm.. by the way, semua keluargamu berjilbab ya? Sejak kapan kamu memakainya?” ada iri yang menyelinap di hati apabila tanpa sengaja kuperhatikan jilbabnya yang berbordir bunga sederhana.

“He...tentu saja tidak dong, Na! Hanya Mbak Ita, Mbak Nanik, aku dan keponakan kecilku yang memakainya.” Jawabnya sambil membetulkan tali sepatunya yang lepas.

“Yang lain?” tanyaku penasaran.

“Hmm..semua kakakku yang lain laki-laki jadi nggak mungkinlah kalau pakai jilbab.”
Aku hanya ber’O panjang mendengar jawabannya. Andaikan aku punya kakak perempuan yang berjilbab satu saja..mungkin sekarang aku telah mengikuti jejaknya.

“Na, aku ke kelas dulu ya! Ada PR-ku yang belum selesai. Insya Allah nanti tak jemput ke rumah sebelum berangkat kajian. Sudah jangan murung gitu...! Assalamu’alaikum”

Terburu-buru agaknya Wulan menuju kelasnya yang terletak di ujung timur. Dengan langkah yang kurang bersemangat, aku pun segera masuk ke kelas 3A yang berada persis di samping ruang TU. Kelasku yang kata orang kelas jalur cepat ini sudah dipenuhi penghuninya yang rajin-rajin. Teman-temanku memang maniak buku. Tuh, pagi-pagi aja sudah berkutat dengan buku....Aku juga nggak boleh ketinggalan. Time is time, time isn’t money ,kata Mas Doni. He..he....


“Mungkin ini terakhir kali kalian ngaji di sini ! “ Asli aku terkejut, seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan Pak Ali. Kuperhatikan Sita, Rahma, Endang, dan Wulan yang sama terkejutnya denganku.

“Karena kalian nampaknya serius dan antusias di tiap pertemuan maka kalian akan saya transfer kepada seorang Mbak. Beliau masih muda, baru lulus dari Brawijaya. Insya Allah bisa lebih intents dalam membimbing kalian.”

Akhirnya kami bisa tersenyum lega. Mungkin Pak Ali sibuk , tapi nggak pa-pa deh, mungkin Mbak yang baru lulus kuliah itu lebih punya waktu menemani kami.

Minggu-minggu berikutnya di hari yang sama -Sabtu- aku dan teman-teman bertemu dengan itu (Mbak Sa’adah, namanya) di sebuah rumah kontrakan yang sederhana. Mbak itu cerdas, terlihat dari retorikanya yang teratur. Aku jadi semakin bersemangat untuk mengkaji Islam dengannya. Kami membahas masalah apa aja. Hm..memperhatikan jilbabnya yang lebar, hatiku semakin dilanda rindu...apakah harus menunggu kelas 1 SMU dulu untuk mengenakan jilbab itu.

Hari ini aku harus bilang ke Mas Doni bahwa aku sudah nggak tahan membiarkan rambut hitamku ini tanpa pelindung. Mas Doni harus bisa membujuk ibu. Harus!Perlu senjata apa untuk meluluhkan hati ibu, dosen STKIP yang kritis itu?


Kumandang adzan Subuh menghentikan mimpiku. Lagi-lagi aku tertidur berbantal buku. Maksud hati pingin niru Mas Doni yang suka belajar usai shalat lail tapi ternyata aku lebih sukses menuju alam bawah sadar...belajar sambil tidur atau tidur sambil belajar, ya?

“Na, bangun! Ayo’ shalat! Dah adzan lho..!” suara Mas Doni membuatku segera beranjak. Buru-buru aku mengambil air wudhu dan menyusulnya ke musholla keluarga yang terletak persis di depan kamarku. Kulihat Ibu dan Mas Doni sudah khusyu’ dalam Qobliyahnya. Aku segera menyusul. Jangan sampai aku kehilangan kesempatan yang sangat berharga ini.

Subuhku lebih panjang dari biasanya. Kali ini di rakaat pertama Mas Doni membaca Surat Ar-Rahman dan rakaat kedua Masku membaca surat An-Nur. Bacaannya jernih dan makhrojnya jelas. Meski tak sepenuhnya tahu artinya, toh air mataku meleleh. Mas Doni pernah mengajakku untuk mentaddaburi kedua surat itu.

Syahdu menyusup ke ruang hatiku dan semakin kurasa tatkala kusambung doaku usai salam. Tertunduk aku menatap sajadah yang terhampar. Kucurahkan semua beban yang menghimpit jiwa. Berharap kutemukan titik terang untuk segera keluar dari duka yang membebani kepala. Ya Illahi..bimbing dan tuntun.hamba menuju pada-MU dengan segenap bekal dan keridhoan!
Tiba-tiba ibu menyentuh punggungku Aku terkejut. Tapi aku tak berani memandang wajahnya. Tatapku masih tertuju pada sajadah. Mas Doni masih tak bersuara, entah apa yang dilakukannya. Mungkin masih khusyu’ di dalam doa.

“Na, Ibu mau bicara!”
“Inggih, Bu. Sakniki?”
“Iya, saiki.”

Setelah melipat mukena kuikuti langkah ibuku menuju ruang tengah. Aku menurut ketika ibu mengisyaratkanku untuk duduk di sofa, tepat di sampingnya.

“Dona, apa betul kamu pingin berjilbab? Kamu serius, Nduk?”

Ibu membuka pembicaraan dengan nada tenang.

“Insya Allah, Bu!” mantap sekali aku menjawab.

“Sudah kau pikirkan konsekuensinya?”

“Insya Allah Dona sudah berkomitmen. Jadi apa pun yang akan terjadi nanti Dona siap untuk menghadapinya.”

“Sebenarnya ibu tak berkeberatan. Hanya saja ibu masih khawatir...”

“Khawatir?”

“Ya, ibu khawatir kalau keinginan itu hanya letupan emosi sesaat karena kebetulan kau masih dekat dengan Masmu. Apa i ya nantinya kamu mampu untuk tetap menjaga niatmu itu agar tidak menyimpang? Kau lihat fenomena yang terjadi sekarang? Bahwa jilbab mulai menjamur bukan karena produk idiologi tetapi sekedar trend. Jika kamu yakin dengan pilihanmu, ibu pun akan mendukung. Satu hal yang harus kau ingat : jangan sampai jilbab membatasi gerakmu. Buktikan dengan jilbab itu kau pun mampu berprestasi!”

Alhamdulillah...segala puji hanyalah untuk-Mu Ya Rahman atas rizki dan pertolongan-Mu yang datang tanpa pernah bisa disangka. Apa saja ya....yang dikatakan Mas Doni pada ibu kemarin ?

“Maafkan, Dona ya Bu kalo’ ternyata kurang bisa menangkap kekhawatiran ibu. Dona mengira ibu sangat anti dengan jilbab.”

“Ibu juga minta maaf, Nduk kalo’ sempat emosional menghadapi kalian. Sebenarnya itu lakukan karena ibu sayang sama kamu dan Mas Donimu. Ibu nggak ingin kalian jadi bahan gunjingan karena kefanatikan yang tanpa pemikiran.”

“Ceileh...da pa nih, nama Doni disebut-sebut? Siapa yang jadi bahan gunjingan?” tanpa permisi Mas doni nyelonong dan duduk di sampingku. Aku dan ibu tertawa tapi hanya sebentar kemudian entah kenapa kami terdiam hingga suasana menjadi hening. Kulirik Mas Doni, eh... Mas Doni juga meliriku. Jadilah suasana penuh lirikan. He...he.....

“Kamu udah gedhe ya.. Na, padahal rasanya baru kemarin kita maen kejar-kejaran di rumah Si Mbah.”

“Apa hubungannya Mas?” aku sama sekali nggak ngerti.

“Kamu udah hampir 15 tahun, Na. Udah remaja. Orang bilang masa remaja adalah masa yang paling indah. So, jangan siakan masa remajamu. Mulailah belajar untuk menjadi sebaik-baik perhiasan.Mudeng?”

Aku menggeleng. 15 tahun? Masih beberapa bulan lagi. Masak Si Mas lupa sih dengan hari kelahiranku. Dasar Mas Doni jelek!

“Na, nggak terasa ya..beberapa hari lagi dah Ramadhan. Waktu begitu cepat berlalu. Kamu tahu , Na dalam hitungan tahun Hijriah usiamu genap 15 tahun karena lahirmu tepat 1 Ramadhan 15 tahun yang lalu.” Ibu membelai sayang rambutku sementara Mas Doni hanya cengar-cengir mendengarkan.

“Kamu tahu siapa yang memberimu nama?”

Refleks aku menggeleng padahal aku ingat kalau ayah pernah bercerita tentang namaku yang bersejarah itu.

“Ibu yang ngasih nama karena ayah sudah ngasih nama masmu. Dwi Anugerah Ramadhona. Artinya kamu itu anak kedua yang dianugerahkan oleh Allah pada ayah dan ibu di bulan Ramadhan. “

“Trus kenapa nama Mas Doni juga ada embel-embel Ramadhon-nya?” tanyaku asal karena aku pun juga pernah menanyakan pertanyaan yang sama pada ayah.

“Eka Al-Fauzan Ramadhoni. Kata ayahmu, Eka itu satu atau anak pertama. Fauzan itu kemenangan. Ramadhoni karena lahir di akhir Ramadhan.”

“Jadi Mas Doni itu anak pertama yang akan mencapai kemenangan setelah ditempa Allah di bulan Ramadhan?” Aku mengambil kesimpulan sendiri.

“Jam berapa sekarang, Na?” Mas Doni selalu begitu. Tanya jam berarti ada jadwal di agendanya. Masku ini memang aktivis sejak SMU..tapi nggak masyalah. Meski jam terbangnya tinggi tetapi tetap ada waktu untukku jika aku mau.

“Jam enam kurang sepuluh, Don.” Tanpa diminta ibu melihat jam tua peninggalan kakek.

“Ada Kajian Ahad Pagi di Al-Qomariah, kamu mau ikut nggak? Kalo’ ikut mandi dulu. Pakai jilbabmu yang paling rapi.” Masku mulai suka mendikte tapi kali ini aku senang kok.

“Al-Qomariah? Masjid di jalan Kartini itu, ya?”

“I ya, Bu. Emang kenapa?”

“Nggak pa-pa, kok! Hanya saja dulu ibu dan ayah melakukan ahad nikah di situ....Ngomong-ngomong ayahmu sedang apa ya di Jerman?”

“ Ya, sedang belajarlah, Bu atau mungkin menyelesaikan risetnya.” Jawabku mengira-ngira saja.

” Ah, nanti ibu mau telepon ah... ngabarin Dona mau pakai jilbab. Jam sepuluh pagi berarti di sana jam berapa, ya?”Ibu seolah bertanya pada dirinya sendiri.


Senin yang kutunggu akhirnya datang juga. Ingin segera kukabarkan pada Wulan bahwa sebentar lagi aku mau menyusulnya untuk berjilbab. Aku akan belajar menjadi akhwat mukminat yang shalihah ...Yes!

Tapi kenapa badanku terasa lemah sekali....ILLAHI, ada apa ini? Napasku terasa berat, sesak maksudku. Susah payah aku mencapai pintu kamar tapi begitu pintu kubuka mataku berkunang-kunang. Ingin rasanya kupanggil Mas Doni tapi entah mengapa suaraku hanya menggema di hati.
Syahdu! Kudengar suara orang membaca Qur’an di dekatku. Mas Doniku.....

Kucoba membuka mata. Memastikan itu suara Masku.

“Dona sudah sadar. Alhamdulillah” suara ibuku.
“Alhamdulillah.” Masku mendekat dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan aku, Dek. Kemarin kau kecapekan ya tak ajak muter-muter pake sepeda? Aku lupa kalau kau ndak boleh terlalu lelah.”

Digenggamnya jemariku. Hangat! Kulihat genangan air itu mengalir dan sebagian jatuh di tanganku. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi.

“Sabar, ya Dek! Moga Allah segera memberi kesembuhan untukmu.” Bisiknya pelan di telingaku.

“Don, sebaiknya kamu istirahat di rumah dulu. Biar ibu yang jaga adikmu. Ayo! Kemarin kamu bilang pada Ibu bahwa tubuh kita punya hak untuk istirahat.”

Dikecupnya keningku hati-hati sekali. Lalu tanpa kata-kata Mas Doni meninggalkanku. Ada apa ya? Kalau Mas memanggilku ‘Dek’ artinya sedang terjadi apa-apa padaku yang membuatnya khawatir. Entahlah....

“Cepat sembuh, Sayang!” Ibu membelai rambutku yang kusut.

Kupejamkan mataku. Illahi, apa yang terjadi padaku? Apakah asma dan jantungku kambuh lagi? Kalau memang itu yang terbaik untukku, hamba ikhlas ya Allah! Apabila sakit ini mampu menggugurkan sebagian dosa-dosaku, hamba ridho ya Rabb!

“Na, kamu baik-baik saja, kan?” Ibu sepertinya khawatir melihat mataku yang terpejam. Demi melihat ibu tersenyum kubuka kembali mataku meski sebenarnya terasa berat.

“Insya Allah..Ndak pa-pa, kok! Bu, tolong telfonkan Wulan, Dona ingin ketemu. Dona ingin...”

“Wulan sudah di sini, Nduk. Sekarang ada di luar. Sebentar ya Ibu panggilkan!”
Wulandari Safitri. Sosok yang kukagumi benar ketawadhu’annya itu menghampiriku. Hari ini jilbabnya biru laut serasi sekali dengan warna gamisnya. Hm..masihkah ada waktu untukku untuk belajar menjadi tawadhu’ sepertinya.

“Assalamu’alaikum, Na. Kaifa haluki ya..Ukhti?”

“Ana bikhoir. Alhamdulillah.” Aku tersenyum. Hm..Ukhti, baru ia yang memanggilku demikian.

“Besok tanggal berapa?” pertanyaan yang mungkin tak diduganya

“Bulan Hjiriah?” kutegaskan pertanyaanku.

“ 1 Ramadhan, Na. Hari lahir anti, ya? Tadi pagi Ibumu bercerita.”

“Sekarang jam berapa?”

“Jam setengah empat, Na. Da apa?”
“Sore?”
“Ya”
“Aku belum shalat”
“Orang pingsan gugur kewajibab shalatnya.”
“Sekarang sudah masukl Ashar, ya?”
“I ya”
“Aku mau shalat. Bantu ke kamar mandi ya! Aku wudhu dulu”
“Tayamum aja! Anti belum boleh banyak gerak dan nggak boleh kena air”
“Caranya?”

Wulan membantuku bertayamum. Lalu aku mengerjakan shalat dengan berbaring. Jujur, aku takut sekali...takut ini shalat terakhirku. Ya Allah bilakah kau izinkan aku untuk menyiapkan perbekalan yang cukup sebelum menuju pada-Mu?



Tadi malam aku ngotot minta pulang tapi rupanya dokter belum mengizinkan. Hasil diagnosa penyakitku pun belum keluar. Entahlah...aku menduga bukan hanya jantung dan asmaku yang kambuh tapi ada yang lain. Tapi aku pasrah! Mas Doni pernah bilang kalau nikmat seorang muslim yang tidak pernah dimiliki umat lain adalah ketika ditimpa musibah ia bersabar dan ketika mendapat nikmat ia bersyukur. Mungkin ini adalah saatnya aku belajar untuk menyelami ujian sekaligus nikmat yang diberikan oleh tuhanku.

“Sudah bangun, Dek.” Mas Doni menyibak tirai putih yang menghalangi pandanganku keluar. Ialah yang paling tahu kalo’ aku nggak suka berada di ruang tertutup. Dibukanya jendela mungil yang berada kurang lebih 1 meter dari pintu. Kulihat mawar merah yang masih kuncup menyapaku dari kejauhan. Seolah mawar di taman mini itu menyuruhku untuk menyambut ramadhan pagi ini dengan ceria.

“Subhanallah udara pagi ini sejuk sekali, ya Dek!”

Hm..Dek? Sejak kemarin masku memanggilku demikian. Kedengarannya romantis sekali. Ada apa ya?

“Dek, kemarin ada titipan dari teman-temanmu yang ke sini. Sorry ya... nggak ku bangunkan...habisnya...”
Aku manyun. Mas Doni jelek!

“Eh, marah ya...tuan putri...? Nih, Mas bawakan something special from Solo...jangan manyun gitu jadi jelek lho..”

“Apaan Mas?”
“Coba tebak!”
Aku menggeleng. Males! Akhirnya Mas Doni membukanya tanpa kuminta.

Subhanallah...Alhamdulillah. Masku memang paling baik sedunia. Kupegang jilbab-jilbab halus dari kain pilihan...(aku nggak tahu jenis-jenis kain, mungkin katun). Manis sekali....ada warna-warna favoritku: biru dongker, putih, dan coklat susu, putih, dan hijau lumut. Ukurannya sama :130, pas dengan seleraku.

Hm..hatiku langsung berbunga-bunga. Bahagia dan haru jadi satu. Pokoknya aku merasa tersanjung. “Mas beli di mana? Kok bordirannya bagus banget, sih! Thanks ya, eh..syukron jazakallah!” Ucapku tulus.

“Hm...nitip akhwat yang kuliah di Solo. Jilbab-jilbab ini diproduksi sendiri. Semacam industri rumah tangga-lah . Tapi nggak kalah dengan yang di toko-toko, kan?”
“Boleh dong lain kali aku ke sana. Mborong yang banyak sekalian nanti di jual ke teman-teman. Ongkos Ngawi-Solo berapa ya..Mas?”

“Ih, dasar tukang jualan. Sakit-sakit masih mikir keuntungan.”

“Eh..jangan salah! Insya Allah sebentar lagi akan ada hijrah masal. Teman-temanku bikin kesepakatan mau pake jilbab begitu masuk SMU. Pasti asyik deh! Mas, SMU 2 tu Rohisnya bagus lho..” Tanpa sadar aku mulai menerawang, membayangkan betapa bahagianya jadi anak SMU.
“Sudah, Na. Jangan ngelantur ke mana-mana dulu. Nih lihat hadiah dari teman-temanmu! Ada nasyidnya lho..,buku, Annida edisi terbaru dan... apaan ini?”

He..he..masku menimang-nimang sepasang manset berwarna krem.

Ya Allah terimakasih untuk semua nikmat yang Engkau limpahkan di awal Ramadhan ini. Di hari kelahiranku ini Kau hadiahkan padaku kado-kado istimewa melalui orang-orang yang kucintai. Ya Allah...hantarkan aku bersama orang-orang yang teguh berjuang di jalan-Mu. Ya Rahman terimakasih tlah Kau hadirkan untukku orang-orang yang mencintaiku karena-Mu; untuk ibu yang ikhlas membesarkan kami dengan segala pengorbanan, untuk seorang Mas Doni yang baik, Pak Ali, Mbak Sa’adah, Wulan, dan teman-teman yang senantiasa memberi dukungan padaku untuk belajar dan berma’rifat pada-Mu. Ya Rahim, dengan apa aku akan membalas mereka? Ya Rabb, balaslah cinta mereka kepadaku dengan cinta-MU.”


“Lho..Na, kok nangis, sih? Don, kau apakan adikmu..?” Ibu terkejut mendapatiku tlah berlinang air mata.

“Biasa: anak cengeng!Nunggu Ibu nggak datang-datang...katanya lama sekali. Dah keburu pingin pulang dan pakai jilbab..” mulai deh Mas Doni menggodaku.

“Nih, dah ibu bawakan jilbab babat. Langsung dipakai sekarang nih?”

“I yalah, Bu ini kan sudah 1 Ramadhan...masak mau ditunda lagi.”
Lagi-lagi Masku yang menjawab. Aku hanya berteriak dalam hati: SURPRISE! 

Rindu yang selalu ada u/ nama-nama yang kupinjam tanpa izin, ikhlaskan saja ya!
Ngawi, 1 November 1999 dengan perubahan alur & nama2 tokoh 4tahun kemudian.

BATU KALI BATU BATA

0 comments


’’Jangan lupa, jam sembilan rapat sie pelayanan sambut maru dan ba’da Ashar nanti ada rapat bidang! Bisa, kan, Dek?!”

Nisa mencoba tersenyum, menyembunyikan resah yang semakin bertambah di dadanya. Matanya tertunduk ke bawah, ia tak berani menatap Mbak Eliza, Kabid Nisaa’nya.

“Nisa usahakan, tapi untuk rapat bidangnya kali ini izin dulu, ya Mbak? Mungkin siang ini ke Jogja, mo’ lihat pengumuman STAN.”

“Lewat internet, kan bisa, Dek.”

“I ya, sih tapi...” suaranya mengambang.

“I ya, deh. Mudah-mudahan diberikan yang terbaik.”

“Amien....Nisa pamit dulu, ya Mbak. Assalamu’alaikum.”

Nisa menyeret langkahnya, meninggalkan masjid kampus. Kajian Jumat Pagi yang baru saja diikutinya terasa benar-benar hambar. Degup di jantungnya semakin terasa ketika jarak MannaWaSalwa, kosnya yang terletak di Jalan Surya, tinggal beberapa meter lagi. Ya Allah...bagaimana hasil Ujian Masuk STAN-ku? Batinnya mulai lagi bertanya-tanya.



“Assalamu’alaikum.” Salamnya hampir tak terdengar. Ia segera menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

“Belum beli maem, ya, Nis?” Nikmah yang tengah sarapan melihatnya berhampa tangan. Biasanya sepulang kajian pagi memang ada plastik yang berisi bungkusan nasi di tangannya.

“Nggak sarapan, nggak ada selera.” Jawabnya lesu.

“Lho, katanya mau ke Jogja. Baiknya sarapan dulu. Yo’ sama aku, kelihatannya aku juga nggak habis, kok.”


“Makasih, nanti aja kalo’ habis rapat aku mampir beli nasi.” Ditampiknya tawaran Nikmah dengan halus. Ia segera masuk ke dalam kamarnya. Entahlah...hati-nya benar-benar nggak bisa tenang. Padahal dulu waktu menunggu pengumuman SPMB ia nggak setegang ini.

Dihidupkannya HP yang sejak tadi malam dinon-aktifkan. Tak lama kemudian ada SMS masuk. Hatinya bergetar. Perlahan-lahan sekali ia membacanya.

“Ass, gmn dah da pgmn? Klo sulit hrs ke jogja, krm aja no BPU anti. Nnti biar tmn2 JKT yg mlihatkn. Apapun hsilnya, serahkn pd 4JJI.”

SMS itu berasal dari mahasiswa STAN yang sebentar lagi lulus.
Bismillah...ia mengetik nomor BPUnya dan segera mengirimkannya pada kakak kelas SMUnya yang kini di sedang magang di Jakarta.



“Gmn jd dftr STAN? Mau nyari apa smp pngn ksna?He..2 Anti akhwat, kn?”

SMS dari murrabiyahnya di SMU membuatnya sempat ragu. Tapi toh ia pun menyempatkan diri untuk mendaftar ke Jogja di sela-sela semester pendeknya. Jujur, apa yang dilakukannya hanya pelarian. Ia merasa kulminasi jenuh sudah mencapai puncaknya.Ia sudah merasa tidak kuat untuk bertahan di Kampus Hijaunya.

Mencari lingkungan yang baru. Mungkin itu alasan yang sangat tidak masuk akal. Ada hal yang tidak beres yang lama ditutupinya. Tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya tanpa sengaja Tyas menemukan kartu peserta Ujian Saringan Masuk STAN di tasnya.

Aneh. Mungkin itu yang kemudian ditangkap oleh teman sehalaqohnya. Kemudian entah bagaimana murrabiyahnya di SMU pun tahu tentang hal itu. Ragu ia mereply sms yang datang tanpa diduga.
“Doakn klo itu yg t’baik tuk dunia akherat, proses ke sna kn dpmudah. Di sini ada virus. Nisa ingin hijrah. Nisa nggak mau jadi lilin yg t’bakar.”

“Ane dah ngerasa da yg g’ beres pd anti. Biasanya klo dah tbina mlh hndri STAN. Di sna kbykn putra, putri plg byk 3-4. Apa anti kuat? Blm lg da ikatn dinas, nnti klo dah kerja plg sore2 bhkn smp jam 4. Tlg dpkrkn lg. Klo g’ co2k di LQ, sgr mnt gnti halaqoh&mrrbyh. Hijrah ksna bkn kptsn yg tpat. Klo da pa2 telp ane or sgr ksni klo da waktu. Cerita da apa dng anti! Mau, kn?”

Nisa tergugu. Semangatnya untuk bertempur di ujian STAN surut seketika. Ia memang nggak berniat untuk kuliah di sana. Tapi hanya itu satu-satunya jalan yang bisa ditempuhnya. Mau ikut SPMB lagi jelas tidak mungkin. Ayah tidak akan mengijinkannnya apalagi kalau ngambil UGM. Selain jauh dari rumah, biaya kuliah dan biaya hidup di sana lebih mahal. Biaya dari mana? Kalau ngambil jurusan lain di Kampus Hijau itu sama aja ia harus tetap tinggal di Solo. Hm.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Solo. TIDAK ADA! Apa yang dicarinya ada di sini. Tapi ...ia merasa menjadi manusia planet. Serasa tidak menginjak bumi. Eksistensinya tak terdeteksi. Ia merasa menjadi orang asing yang numpang sementara waktu di kota pusat berkembangnya beberapa harakah ini. Ia bukan Nisa yang periang seperti dulu. Ia bukan Nisa yang selalu bersemangat dengan aktivitas berlabel ‘dakwah’. Ia bukan lagi Nisa yang siap memenuhi panggilan jihad.

Ya, semua perubahan itu memang bukan tanpa alasan. Tapi ia sama sekali tak yakin bahwa alasannya itu dipandang syar’i oleh teman-teman dan murrabiyahnya. Pingin tahu alasan sebenarnya?

Kompleks. Awalnya ada sedikit keraguan ketika ia memutuskan untuk registrasi ke kampus hijau. Alasan klasik: pilihan kedua yang juga pilihan ortu. Jadi ia agak gamang, bisakah kuliah dengan sepenuh hati. Kemudian ketidaknyamaan yang dirasakannnya di prodi semakin bertambah. Kenapa? Belum ada seorang teman pun yang tertarbiyah, intinya ia belum menemukan teman seperjuangan yang nyambung kalo’ diajak ngomong dan berdiskusi tentang dakwah dan harakah, nggak bisa nyaman di kelas. Parahnya, ia merasa tidak cocok dengan halaqohnya. Ia merasa kurang sreg teman-teman ngajinya yang kebayakan ‘aktivis siyasi’. Di kos-annya yang ammah, teman-teman nggak ada yang berstatus sebagai ADK. Ketika kondisi ruhiyahnya terpuruk dan ke-error-an kumat, nggak ada yang mengingatkan. Ia merasa tertekan. Nggak ada yang bisa diajak sharing apalagi menyemangatinya untuk berfastabiqul khairat.

Semester pertama dilalui begitu saja. IPnya nggak sampai 3 bahkan ada satu mata kuliah yang nggak lulus. Ia semakin tidak kerasan tinggal di Solo. Capek lahir batin. Ia semakin mendramatisir keadaan. Ketika tersadar...ia telah jauh tertinggal dengan teman-teman sehalaqoh. Mereka tlah berakselerasi dan melesat jauh meninggalkannya sendirian dalam ambiguitas. Kondisinya kian hari bertambah kritis. Maka dalam batas kesadaran ia pun memutuskan untuk segera pergi dan mencari lingkungan yang baru.

Kuliah di STAN? Mungkinkah? Konon, bi’ah di sana kondusif untuk percepatan diri. Tapi .....? Anti akhwat, kan? Pertanyaan retoris via sms itu begitu menggoreskan luka di hatinya. Ia takut tak bisa mempertahankan status itu.

“Memang peluang masuk STAN lebih besar putra daripada putri tapi yg penting kn the best ikhtiar. Sukses, ya...Ukh!Smg 4JJI mbrkn yg t’baik”

Mungkin SMS dari ikhwan ini pun sekedar bentuk simpati. Tapi sekedar mencoba, kenapa tidak?



Rapat sie pelayanan penyambutan mahasiswa baru di Nurul Huda, masjid kampusnya, diikutinya tanpa konsentrasi. Berkali-kali SMS masuk. Nisa hanya menghela nafas tiap kali mendapati SMS yang menanyakan tentang pengumuman STAN. Jujur ia pun ingin segera mengetahuinya.

“Jangan lupa saat penyambutan pakai jaket almamater, cocard dan jilbab putih untuk akhwat.” Pesan dari koordinator sie dari balik hijab hanya mampir sebentar di telinganya. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 10.00, ia pun izin meninggalkan rapat yang sebenarnya sudah hampir usai.

Resah itu masih bersarang di hatinya. Akankah aku mampu menerima ketentuan Allah dengan ikhlas? Mampukah aku mengambil ibrah dari semua ini dengan sebening pemaknaan?
Mengapa aku jadi putus asa begini? Illahi...kuatkan aku menjalani semua ini!

Nisa mencoba mengusir ketakutan yang membisik di telinganya. Bukankah rizki Allah yang telah ditetapkan untuknya tak kan mungkin diberikan kepada orang lain. Begitu pun sebaliknya. Jadi? Sabar, Nis. Tunggu aja sms dari Jakarta. Nggak usah repot-repot pergi ke Jogja. Banyak hal yang harus kau selesaikan di sini.

Kuliah Semester Pendeknya pun belum selesai. Nanti siang kuliah terakhir Cross Culture Understanding. Ya, sebaiknya aku tinggal di sini. Akhirnya ia membelokkan langkahnya ke jalan Surya menuju kosnya, MannaWaSalwa.



“Afwan, ana nggak mnemukn no BPU anti. Coba dicek via web. Klo trnyt tidak diterima mungkin 4JJI lbh ridho anti berdakwah di Solo. Laa Tahzan, Ukh! Smg sll ISTIQOMAH.” begitu isi SMS yang ditunggu-tunggunya.

Nisa menghapus air matanya.

Laa Tahzan?

“Bukankah kesedihan adalah hal yang sangat manusiawi untuk saat-saat seperti ini?” sebuah suara menggema di hatinya. Ia menggeleng dan segera beranjak untuk mengambil wudhu.

“Ini adalah sebuah episode yang harus kuhadapi.”

Ucapnya tertuju pada sosok berjilbab putih di kaca almari yang mencoba menyunggingkan senyum manis kepadanya.

Jalan masih panjang ...Sayang! Ia menghibur dirinya sendiri.


Usai Ujian Semester Pendek dan penyambutan mahasiswa, Nisa memutuskan untuk pulang kampung, Sidolaju. Kampung yang terletak di tengah hutan ini menyimpan banyak kenangan. Pagi ini ada Ikhwan yang mengajaknya melakukan perjalanan tapak tilas masa kecilnya.

“Berdua saja, nggak usah ngajak adik-adik”

Begitu tawaran via SMS yang tanpa pertimbangan langsung disetujuinya.
He..he..tenang aja! Ikhwan Kelana Mujahid adalah kakak sulungnya.
Gemericik air mengalir dari mbelik yang melewati celah-celah bebatuan sungai begitu merdu di telinganya. Nisa membiarkan kaos kakinya basah. Ia meniti sungai di dekat mbaon dengan hati yang riang. Sesekali bibirnya bertasbih. Ia pun mengakui kekerdilannya. Duhai...Maha Besar Allah dalam setiap pencintaan-NYa.

“Dek, istirahat dulu ya. Duduk di batu besar itu sepertinya nyaman.” Ajak Ikhwan seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Batu-batu besar di bawah grojogan itu sepertinya memang nyaman untuk istirahat.

Nisa mengiyakan. Dipilihnya batu yang paling besar seukuran tempat tidurnya di kos. He...mungkin nggak perlu ranjang jika batu ini ada di kamar. Pikirnya usil.

“Main tebak-tebakan yuk!” laki-laki berkaos oblong yang duduk di sampingnya mengeluarkan secarik kertas dan pulpen.

Nisa nyengir, “MALES! Maen aja sama ikan mujair,” jawabnya asal.

“Eh..kalo’ kamu menang, besok tak anterin ke Solo pakai motor.”

“Mending juga naik bis.” Jawabnya sadis.

“Apa bedanya batu kali dengan batu bata?”

“Gitu aja ditanyakan. Ih..dasar arsitek ...nggak punya nilai seni?”

“Justru inilah bagian dari seni. Nih jawab 3 pertanyaanku!”
Tanpa semangat dibacanya 3 pertanyaaan dari sang kakak. Fuih...benar-benar nggak ilmiah. Tapi ia pun bingung juga menjawabnya.

“Bandingkan antara batu kali dan batu bata, lihat perbedaan yang mendasar antara keduanya; bagaimana proses tarbiyah keduanya, ciri-ciri dan kegunaannya dalam kehidupan.”
Ikhwan tersenyum senang melihat wajah adiknya yang berubah serius. Diperhatikannya detail wajah gadis berkerudung yang beberapa bulan ini kehilangan binar kebahagiaan.

“Sudah, Dek?”

“Ya....tapi jawaban ini nggak nyeni blas. Habis...”

Ikhwan membaca tulisan adiknya.

“Batu kali melalui proses tarbiyah yang sangat panjang. Ia berasal dari dalam bumi yang kemudian keluar melalui letusan dasyat gunung berapi. Perubahan suhu lingkungan yang signifikan membuatnya menjadi kuat dan nggak mudah rapuh. Cocok digunakan sebagai pondasi bangunan dan bisa juga untuk dinding.”

“Sedangkan batu bata melalui proses tarbiyah yang cepat. Berasal dari tanah liat pilihan yang dicampur dengan air hingga menjadi adonan yang proporsional. Setelah dicetak dikeringkan dibawah terik matahari lalu dibakar. Cirinya mudah rapuh, membawanya harus hati-hati sekali. Ia cocok digunakan sebagai dinding bangunan.”

“By the way, lagi nyindir aku ya....”
Ikhwan tersentak. Astaghfirullah.

“Bukan. Sama sekali tak ada maksud untuk itu.”

“Bohong.”

Ditinggalkannya Ikhwan dengan penuh kecewa. Nisa nggak habis pikir : duhai tega nian menambah luka yang belum-lah tuntas ia sembuhkan. Agak terburu-buru, ia kembali meniti sungai menuju dangau yang terletak di tengah mbaon Mbah Kungnya.


Adikku Sayang,
semoga Allah snantiasa mengizinkan kita untuk meniti jalan panjang ini. Memang ujian dan rintangan akan selalu mengiringi perjalanan kita. Tapi percayalah Sayang, di balik itu semua banyak hikmah yang dapat kita petik. Yakinlah bahwa pertolongan Allah begitu dekat!

Adikku generasi Aisyah ra,
jangan bosan dengan tarbiyah. Belajarlah dari batu kali dan batu bata. Mana yang lebih baik? Itu bukan pertanyaan yang harus kau jawab. Masing-masing mempunyai peranannya sendiri. Tapi adikku, bukankah batu kali lebih kuat. Ia sanggup di tempatkan di mana-mana. Sebagai pondasi yang diletakkan paling bawah hingga tak kelihatan., sebagai campuran bahan cor, sebagai dinding atau sebagai apapun. Maka jangan pernah berharap kau akan menempati kedudukan yang strategis, yang kelihatan ‘wah’ dari luar tapi ternyata tak lebih seperti batu bata yang rapuh. Banyak orang memujinya tapi ia tak cukup kuat menghadapi terpaan badai atau angin kencang.

Adikku,
jangan kau larut dalam pilu berkepanjangan! Syukuri tiap nikmat yang tlah Allah berikan. Laa Tahzan! Semoga kau mampu setangguh batu. Di mana pun kau ditempatkan, berikanlah yang terbaik. Jangan sedih tidak diterima di STAN, di sini pun kau mampu melesat tinggi menggapai harap dan impian. Jangan kecewa dengan lingkungan yang belum kondusif, di sini kaulah pioneer yang diharapkan memulai penghijauan. Jangan menyalahkan keadaan tapi tancapkan azzam untuk segera bergerak menyongsong kegemilangan!!! Teriring doa untukmu, Adikku! Selalu.
Sepenuh cinta karena-NYA
Ikhwan Kelana Mujahid


“Sbnrnya ktk 4JJI mmbr mslh, itu a/ bukti cinta-NYA pd hamba-NYA. Mk jk qta ttp huznudzon, Isy a/ byk hal yg akn qta dpt. KEIMANN, KSBRN, KDWSAAN, & KECINTAAN-NYA. Hny pd 4JJI qta bsrh dr.” 

’’Kla jenuh mnerpa&jubah mujahadah tlahlusuh t’kulai usang. Mk biarkan AZZAM m’jejak langkah m’napak syukur&sabar dalam keikhlasan krn-Nya. Krn qta hanyalah jiwa yg lahir dr secuil masa” 

’’Ikhlaskanlah tubuhmu…pikiranmu…dan hatimu untuk ALLAH. Slmt Bjuang Smoga Sukses’’ 

Nisa tersedu. Perhatian yang tulus ternyata tak hanya datang dari kakaknya tapi juga dari saudara-saudaranya yang berada jauh di seberang sana. Meski via sms tapi ia merasa taushiyah itu begitu mengena di hatinya. Maka ia pun berjanji untuk mengeringkan luka dengan segera. Jangan biarkan jiwa rapuh seperti batu bata.
Duhai Nisa, tataplah ke depan!


Ngawi, 28 Ramadhan 1425 H : 21.19
Untuk yang masih setengah hati di kampus hijau, jangan larut dalam kecewa berkepanjangan.
‘Tuk Akh Hendra, Mbak Eni, & Rifai : jazakumullah khairan jaza’ atas smsnya ()
‘Tuk Aisyah Crew: luv u all coz of ALLAH! Afwan atas sgl kesalahan.